*

*

Ads

FB

Kamis, 18 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 112

Mendengar ini, Keng Hong cepat-cepat memberi hormat dan berkata,
"Mohon petunjuk Ciangkun bagaimana aku akan dapat membekuk perempuan iblis itu?"

"Dia terkenal sebagai wanita cabul yang tak dapat bertahan lama melewatkan malam dingin sendirian saja." Hok Gwan tertawa mengejek dan merendahkan. "Selain ini, di waktu lepas tugas setiap malam dia selalu berkeliaran mencari pemuda untuk menemaninya. Nah, kalau engkau bersabar, Cia-taihiap, engkau dapat menggunakan kesempatan selagi ia bebas tugas seperti itu, menyergapnya dan kalau di waktu itu menewaskannya, engkau tidak akan dianggap pemberontak. Akan tetapi engkau harus bersabar dan untuk beberapa lamanya jangan muncul di kota raja, karena seorang perempuan iblis seperti dia amatlah cerdik dan tentu dia tidak akan berani muncul kalau dia tahu atau menduga bahwa engkau sedang mengintainya seperti seekor kucing menanti munculnya tikus. Mengertikah engkau apa yang kumaksudkan, Taihiap?"

Keng Hong menjadi girang sekali, akan tetapi dia merasa malu sendiri mendengar pengawal yang lihai ini menyebutnya taihiap (pendekar besar)! Ia cepat menjura dan berkata,

"Banyak terima kasih atas petunjuk Ciangkun. Nah, selamat berpisah sampai jumpa pula."

Tubuh Keng Hong berkelebat dan sebentar saja lenyaplah pemuda ini dari depan Tio Hok Gwan. Pengawal pengantuk ini sejenak termangu, kemudian menghela napas dan menggeleng kepalanya.

"Pemuda hebat....!" Kemudian dia pun kembali ke dalam istana.

Keng Hong mempergunakan ilmu lari cepat setelah dia keluar dari kota raja. Ia memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan kota raja, kemudian dia duduk di bawah pohon, termenung. Hatinya girang bahwa dia telah bisa menemukan tempat sembunyi Cui Im. Biarpun dia sekarang belum berhasil, akan tetapi dia yakin akan dapat menangkap Cui Im, merampas kembali kitab-kitab yang harus dia kembalikan kepada mereka yang berhak, kemudian menghukum gadis itu yang selalu mencelakainya dan telah mendatangkan kesengsaraan kepada Biauw Eng.

Biauw Eng ! Teringat akan gadis itu, tanpa disadarinya Keng Hong menyangga dagu dengan tangan dan menyangga siku lengan lutut. Hatinya berduka sekali. Memang ada rasa bahagia di hatinya bahwa dia telah bertemu dengan Biauw Eng, melihat dara itu selamat dan telah membukakan rahasia hatinya kepada Biauw Eng, bahkan telah menceritakan segala kesalah fahaman di masa lalu. Akan tetapi, akhirnya Biauw Eng marah-marah dan meninggalkannya!

Dan semua itu adalah karena kesalahannya sendiri, karena sikapnya! Kalau dia kenangkan keadaan gadis itu, hatinya makin pedih dan tampak olehnya betapa mulia dan murninya hati gadis itu, gadis yang menjadi puteri Lam-hai sin-ni si nenek iblis, akan tetapi juga puteri gurunya, Sin-jiu Kiam-ong! Ia selalu menyangka yang bukan-bukan terhadap Biauw Eng, padahal gadis itu bersih dan tidak berdosa. Kalau dipikir-pikir kembali, jelas kini bahwa dialah yang kotor dan penuh dosa. Dan yang terakhir sekali, dia masih memaki Biauw Eng karena gadis ini membalas budi Lai Sek yang amat besar!

"Heh-heh-heh.. tak baik orang muda melamun kosong! Melamun membikin orang menjadi lekas tua, heh-heh-heh!"

Keng Hong terkejut dan meloncat bangun sambil membalikkan tubuh. Tidak banyak di dunia kang-ouw ada orang datang tanpa dia ketahui, biarpun dia sedang melamun.






Ternyata di depannya telah berdiri seorang kakek bertubuh kecil bongkok, punggungnya berpunuk dan mukanya ramah tersenyum terus, rambutnya panjang akan tetapi di tengah kepalanya botak, tangan kirinya membawa guci arak. Siauw-bin Kun-cu!

Di antara selaksa orang, dia mengenal kakek ini, kakek yang selain aneh juga yang amat berjasa kepadanya karena kakek inilah yang membuka rahasia Siang-bhok-kiam. Kakek inilah yang tanpa disadarinya oleh kakek itu sendiri telah menolongnya sehingga berhasil mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Hanya tampak perbedaan pada pakaian kakek itu. Kalau dalam pakaiannya yang selalu bersih dan baru itu terbuat dari bahan sederhana dan dengan potongan tidak karuan pula, kini pakaiannya yang amat mewah, berkembang seperti pakaian orang berpangkatan, bahkan kedua kaki yang biasanya telanjang itu kini memakai sepatu baru, berkembang pula!

"Ah, kiranya Locianpwe yang datang!" Keng Hong cepat menjura penuh hormat dan hatinya girang bertemu dengan kakek ini. "Siauw-bin Kun-cu Locianpwe, sungguh saya hampir tidak mengenal Locianpwe melihat pakaian dan sepatu Locianpwe yang indah!"

"Heh-heh-heh-he-he! Wah, engkau menyindir, ya? Memang pakaian dan sepatuku hebat. Manyalah, ya? Dan caraku berjalan juga berubah. Lihat...!"

Kakek itu lalu mendemonstrasikan cara melangkah kaki seorang pembesar! Penuh gaya, dengan langkah tegap tenang berwibawa, dagu ditarik ke atas, mata memandang seperti dari angkasa memandang ke bawah. Akan tetapi karena punuk di punggunggnya membuat dia terpaksa membongkok, biarpun dia memasang aksi tetap saja kelihatan lucu!

Keng Hong menahan rasa geli hatinya dan berkata,
"Locianpwe benar hebat! Telah memperoleh banyak kemajuan kiranya!"

"Tentu saja! Wah, aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Cia Keng Hong! Muird Sin-jiu Kiam-ong benar-benar menimbulkan gara-gara dan heboh! Aku telah mendengar akan sepak terjangmu di istana. Sampai-sampai panglima besar seperti The-taijin yang gagah perkasa dan arif bijaksana juga kagum kepadamu. Bagaimana kabarnya, sahabat cilik? Aduh, betapa bahagianya bertemu dengan sahabat lama!"

Keng Hong tersenyum mendengar kalimat terakhir itu yang dikutib oleh si kakek dari pelajaran Nabi Khong Hu Cu.

"Sayalah yang bahagia dan girang dapat bertemu dengan Locianpwe yang bijaksana karena tentu akan mendapatkan banyak petunjuk. Di manakah Locianpwe kini tinggal? Ataukah masih merantau sebatangkara, bebas lepas di udara seperti burung?"

"Heh-heh-heh, orang setua aku, kalau seperti burung terus, bukankah berarti kelak akan mati terlantar dan menyia-nyiakan pengertian yang ku pelajari sampai puluhan tahun? Ha-ha-ha, tidak Cia Keng Hong. Aku sekarang telah menjadi guru besar, aku menjadi pembesar di kota raja, memimpin kebudayaan dan kesusastraan, mengurus pelaksanaan ujian bagi para calon siucai. Ha-ha-ha-ha-ha!"

Keng Hong tertegun.
"Locianpwe... Menjadi pembesar...?"

Kenyataan ini amat aneh dan lucu bagi Keng Hong. Sulit membayangkan seorang pendekar tua aneh seperti Siauw-bin Kun-cu menjadi seorang pembesar!

"Apa salahnya?" Mata kakek itu melotot, "Asal orang telah mengerti dan menjalankan tugas hidupnya sesuai dengan To, menjadi pembesar pun tidak ada salahnya. Seorang kuncu (budiman) bukan hanya sebutannya saja, juga harus dalam sepak terjangnya! Aku memegang jabatanku sebagai pembesar berdasarkan pelajaran dari Nabi Khong Hu Cu. Engkau mau tahu? Dengarlah!"

Siauw-bin Kun-cu yang masih berdiri itu lalu menengadah dan membaca ujar-ujar dengan suara lantang dan memakai irama seperti orang bernyanyi berdeklamasi:

“Cai-siang-wi, put-leng-he, Cai-he-wi, put-wan-siang! Ceng-ki-ji, put-kiu-I-jin...."
(Berada di atas tidak menghina yang bawah, berada di bawah, tidak menjilat atasan! Memperbaiki diri sendiri tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain....)

Keng Hong melanjutkan,
"Siang put wan Thian, he put yu jin! (Ke atas tidak mencela Tuhan, ke bawah tidak menyalahkan orang!)"

"Heh-heh-heh, engkau murid yang baik! Engkau tahu betapa Nabi Khong HU Cu sampai mengeluh menyaksikan betapa pada masa beliau hidup, pelajarannya yang amat indah dan menuntut manusia ke kebenaran, disia-siakan orang. Karena itu, sekarang aku ikut membantu menyebarkan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu agar sedikit banyak dapat berguna bagi manusia. Eh, orang muda, mari kita duduk dan mengobrol yang enak, jarang aku bertemu dengan orang yang dapat mengerti baik apabila diajak bicara soal filsafat dan kebatinan."

Keng Hong tersenyum dan mereka duduk di bawah pohon besar, di atas akar-akar pohon. Kakek itu menenggak arak dari gucinya, menawarkan kepada Keng Hong. Dengan halus pemuda itu menolak. Kakek itu minum lagi beberapa teguk, lalu berkata,

"Aah, apa katamu melihat aku menjadi pembesar dan mengajarkan pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang memang mulai disebarluaskan oleh kaisar yang pandai memakai orang dan menghargai kebudayaan ini?"

"Maaf, kalau pendapat saya keliru, Locianpwe. Sesungguhnya saya hanya seorang muda yang bodoh dan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu amatlah sukar bagiku..."

Kakek itu ribut menggoyang-goyang kedua tangannya.
"Salah! Salah! Tidak ada orang pintar atau bodoh di dunia ini. Tidak ada pula sesuatu yang sukar atau mudah! Yang ada hanyalah belum mengerti atau sudah mengerti. Orang biasanya disebut bodoh karena belum mengerti, dan disebut pintar kalau sudah mengerti. Dan untuk jadi mengerti orang harus belajar! Engkau pandai silat, apakah engkau disebut orang pintar! Aku pandai filsafat, apakah aku orang pintar? Kalau kita berdua pergi melihat seorang tukang kayu membuat ukiran-ukiran kayu yang indah, apakah kita dapat melakukannya? Apakah kita pintar dalam pertukangan kayu? Tentu saja tidak. Oleh si tukang kayu kita akan dianggap bodoh. Bukan bodoh, hanya belum mengerti, belum bisa! Dan apakah itu sukar? Apa mudah? Tidak ada. Kalau sudah bisa tentu mudah, kalau belum bisa menjadi sukar. Soalnya hanya MENGERTI, dan untuk mengerti harus belajar!"

"Locianpwe benar sekali, akan tetapi pelajaran budi pekerti sungguh lain lagi, mudah dipelajari, mudah dihafal namun betapa sulitnya melaksanakannya!"

"Salah! Salah! Nabi Khong Hu Cu pernah bersabda demikian : Yang menyebabkan To tidak dilaksanakan : Orang pandai terlampau jauh melewatinya, orang bodoh tidak mampu mencapai/mengertinya. Yang menyebabkan To tidak dimengerti: Orang pintar terlampau jauh melewatinya, orang tidak pintar tidak mampu memahaminya."

Keng Hong mengangguk-angguk karena dia pun hafal akan ujar-ujar itu, akan tetapi dia mendengarkan terus. Kakek itu menggaruk-garuk botak di kepalanya lalu melanjutkan,

"Ujar-ujar itu melanjutkan : Tidak ada seorang pun manusia yang tidak minum dan makan, akan tetapi hanya sedikit saja yang dapat mengenal cita rasanya!"

"Tepat sekali ujar-ujar itu, locianpwe. Memang manusia di dunia ini selalu tertarik oleh kulit tanpa mau memperhatikan isi. Betapa banyaknya orang yang hafal akan segala filsafat, kenal segala pengetahuan batin, mengerti akan segala ilmu kebatinan dan tentang kebajikan. Namun betapa sedikit sepak terjang dalam penghidupan manusia berlandaskan kebenaran dan kebajikan."

Kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas.
"Orang muda, dengan kata-katamu itu engkau menampar mukaku pula! Memang demikianlah, banyak sekali orang, termasuk aku juga agaknya, gila akan kedudukan, akan nama, paling suka kalau disebut seorang kuncu, seorang budiman, seorang cerdik pandai dan arif bijaksana! Segala filsafat yang muluk-muluk ditelan semua, namun apa artinya mengenal dan menghafal seribu satu macam filsafat kebatinan namun tidak menerapkannya dalam hidup satu pun juga? Sama dengan gentong kosong nyaring bunyinya!"

"Kalau Locianpwe sudah tahu akan hal ini, mengapa Locianpwe kini menjadi seorang pembesar, menjadi seorang yang berusaha mengembangkan pelajaran kebatinan atau agama? Bukankah akan sia-sia belaka kalau ada selaksa orang yang mengerti akan semua filsafat kebatinan tanpa melaksanakannya dalam hidup?"

"Eh-eh-eh, orang muda. Lidahmu terlalu tajam dan berbahaya. Coba jelaskan!" Kakek itu melotot.

"Maaf, Locianpwe, akan pendapat saya yang pandir. Bagi saya, filsafat dan ujar-ujar dalam kitab-kitab suci dibuat untuk dilaksanakan! Kalau hanya untuk dihafalkan belaka kemudian tidak dilaksanakan, sama halnya dengan menodai semua pengetahuan murni dan suci itu! Umpamanya saja, ada dua buah ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu yang kalau dituruti oleh semua orang di dunia ini, kiranya dunia akan menjadi aman."

"Heh-heh-heh, kau kira begitu? Ujat-ujar yang manakah itu?"

"Pertama ujar-ujar yang berbunyi : Semua manusia di empat penjuru adalah saudara! Kalau kita berpegang kepada pelajaran ini dan menganggap setiap orang manusia, bangsa apa pun juga, di manapun juga adanya, kaya maupun miskin, berpangkat tinggi maupun rendah, pintar maupun bodoh, adalah seperti saudara sendiri, tentu tidak akan ada musuh! Tentu akan saling bantu, seperti yang selayaknya di antara saudara! Kemudian yang ke dua ujar-ujar yang berbunyi : Jangan melakukan kepada orang lain sesuatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu. Kalau semua orang mentaati pelajaran ini, saya kira tidak akan ada orang yang suka berbuat jahat terhadap orang lain karena dia sendiri tentu tidak mau kalau orang lain berbuat jahat kepadanya."

"Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Apa kau kira hanya untuk itu manusia hidup di dunia ? Apakah cukup dengan mencinta sesama dan tidak berbuat jahat kepada orang lain? Tidak, Keng Hong,. Manusia terikat kewajiban-kewajiban, kewajiban sebagai manusia hidup dan Nabi Khong Hu Cu menunjukkan jalan-jalan dan cara-cara betapa manusia dapat menunaikan kewajiban hidupnya dengan sempurna! Karena itu, mutlak penting bagiku, yang sudah berani memakai nama julukan Kun-cu, untuk menyebarluaskan pelajaran-pelajaran itu agar setiap orang manusia di dunia mengerti, mempejajari, dan kemudian melaksanakannya dalam hidup sehingga semua manusia akan tahu memenuhi kewajiban masing-masing!"

"Maaf, Locianpwe. Akan tetapi bukankah kewajiban pun dapat diartikan banyak sekali, tergantung daripada orang yang mengartikannya?"

"Tidak begitu, ada sabda Nabi Khong Hu Cu mengenai itu yang berbunyi begini : Melakukan kewajiban terhadap ayahku sebagaimana aku ingin melihat puteraku melakukannya terhadap aku. Melakukan kewajiban terhadap rajaku, sebagaimana aku ingin melihat sebawahanku melakukannya terhadap aku. Melakukan kewajiban terhadap kakakku sebagimana aku ingin melihat adikku melakukannya terhadap aku dan demikianlah selanjutnya. Singkatnya merupakan kebalikan daripada ujar-ujar yang kau sebut ke dua tadi. Kalau tadi ujar-ujar itu berbunyi jangan melakukan kepada orang lain sesuatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu, yaitu, Lakukanlah kepada orang lain perbuatan yang kau ingin orang lain melakukannya kepadamu! Jelaskan?"

"Jelas, Locianpwe. Saya teringat akan sebuah pelajaran yang mengatakan bahwa untuk dapat mengatur dan memperbaiki orang lain harus lebih dulu mengatur dan memperbaiki keluarga sendiri dan untuk dapat mengatur dan memperbaiki keluarga sendiri harus lebih dahulu mengatur dan memperbaiki diri sendiri."

Kakek itu bersungut-sungut dan mengamang-amangkan telunjuknya kepada Keng Hong, seolah-olah hendak menusuk hidung pemuda itu dengan telunjuknya.

"Wah-wah, engkau sekali lagi menyinggung aku, ya? Kata-katamu itu benar-benar "mengenai" namanya! Kau tentu bertanya dalam hatimu apakah aku yang mengajar orang lain ini sudah mengatur keluarga sendiri dan telah memperbaiki diri sendiri, bukan? Akan tetapi kata-katamu itu memang amat perlu diperhatikan tiap orang. Memang apakah artinya mengajar orang lain atau keluarga sendiri kalau tidak dapat lebih dulu memperbaiki diri sendiri. Siu-sin (mengatur dan memperbaiki diri sendiri) ini merupakan pelajaran terpenting dari Nabi Khong Hu Cu mengajarkan demikian : Seorang Kuncu tidak boleh tidak harus mengatur dan memperbaiki diri sendiri. Untuk dapat memperbaiki diri sendiri, tidak boleh tidak harus mencinta dan berbakti kepada orang tua. Untuk dapat mencinta dan berbakti, tidak boleh tidak harus tahu akan prikemanusiaan. Untuk dapat tahu akan prikemanusiaan, tidak boleh tidak harus tahu akan ketuhanan!"

"Saya mengenal pelajaran itu, Locianpwe. Dilanjutkan dengan pelajaran bahwa ada lima macam jalan kebenaran, yaitu tata susila antara raja dan hulubalangnya, antara orang tua dan anaknya, antara suami dan isterinya, antara kakak dan adiknya dan antara sahabat dengan handai taulannya. Untuk melaksanakan tata susila itu terdapat tiga dasar kebajikan, yaitu pengertian (kesadaran), welas asih, dan gagah berani."

"Benar.... benar....! Kalau sudah melaksanakan dalam hidupnya semua pelajaran itu, mau apalagi hidup di dunia? Heh-heh-ha-ha-ha! Senang sekali hatiku bertemu dan bicara denganmu Keng Hong! Engkau masih muda akan tetapi engkau sudah banyak mengerti tentang ilmu kebatinan!"

"Aahhh, Locianpwe. Saya hanya seperti seekor burung beo yang meniru-niru belaka. Ujar-ujar dan ayat-ayat suci, pengetahuan tentang agama bukannya hal yang perlu diributkan dalam percakapan melainkan pelajaran yang harus dilaksanakan dalam perbuatan. Kalau tidak dengan Locianpwe, sungguh saya tidak berani bicara soal itu. Hanya satu hal yang amat membingungkan hati saya, Locianpwe. Saya sudah banyak mendengar akan kebijaksanaan kaisar yang pandai mempergunakan orang-orang bijaksana, sehingga buktinya Locianpwe menghambakan diri kepada kaisar. Hal ini saja sudah cukup bagi saya untuk membuktikan kebenaran kabar yang saya dengar itu. Akan tetapi, Locianpwe. Mengapa dalam tempat yang bersih disimpan barang yang kotor? Mengapa kaisar yang bijaksana memelihara srigala dan harimau buas? Mengapa orang-orang macam mereka itu diangkat menjadi pengawal-pengawal?"

"Mengapa tidak? Hal itu justeru menunjukkan betapa bijaksananya kaisar ! Dapat menjinakkan srigala dan harimau sehingga mengubah mereka dari binatang-binatang buas perusak tiada guna menjadi anjing-anjing penjaga yang amat berguna, betapa bijaksananya itu! Jauh lebih bijaksana daripada membiarkan mereka berkeliaran bebas melakukan pengrusakkan sehingga perlu mengerahkan tenaga untuk mengejar-ngejar dan berusaha membasmi mereka!"

Keng Hong tidak membantah, akan tetapi diam-diam dia tidak menyetujui kebijaksanaan itu.

Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri.
"Cia Keng Hong, kuperingatkan kepadamu, jangan sekali lagi engkau mengacau istana, karena kalau engkau ulangi lain kali aku sendiri tentu akan ikut muncul untuk menentangmu! Aku suka kepadamu, akan tetapi kalau urusan pribadimu kau bawa-bawa ke istana sehingga mengacaukan istana, terpaksa aku melupakan rasa sukaku kepadamu. Selamat tinggal!"

Setelah berkata demikian, kakek aneh itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Keng Hong memandang bengong, teringat akan nasihat Panglima The Ho dan juga nasihat pengawal lihai Tio Hok Gwan.

Baru pergi belasan langkah, Siauw-bin Kuncu menoleh dan berkata,
"Aku mendengar bahwa pengawal rahasia wanita itu mempunyai pondok di luar kota raja sebelah barat, pondok mungil warna merah!"

Setelah berkata demikian, kakek itu bergerak cepat sekali dan seperti juga dahulu. Keng Hong merasa geli dan kagum melihat kakek itu meloncat-loncat dengan kedua lengan digerakkan seperti seekor ayam lari akan tetapi gerakannya cepat sekali. Juga hatinya girang. Ternyata biarpun mulut orang-orang seperti Siauw-bin Kun-cu dan Tio Hok Gwan menentangnya, namun di hati mereka itu berfihak kepadanya dalam menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Ia harus bersabar dan menanti saat dan kesempatan baik untuk menyergap Cui Im di luar istana, dan kalau mungkin di luar kota raja.

**** 112 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: