Yan Cu mengangguk. Suaminya mengangguk. Akan tetapi suaminya penasaran dan mendesak,
“Kalau memang mengerti, apa?”
“Keanehan yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita meniadi orang-orang pelarian, dianggap pemberontak, kehilangan rumah, kehilangan toko, kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke mana. Akan tetapi saat tadi yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!”
“Memang aneh bagi umum, akan tetapi sesungguhnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa yang terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa oleh peristiwa itu. Diterima dengan marah boleh. Diterima dengan susah, tidak ada yang melarang. Diterima dengan tenang seperti kita sekarang ini pun bisa. Tidak perlu kita saling menyalahkan, kita hadapi segala yang terjadi, sebagai sewajarnya dan kita bertindak sesuai dengan gerak hati dan pikiran yang benar.”
“Nah, itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!” Yan Cu menarik leher suaminya dan mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa terima kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra. “Dari pada ribut-ribut saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong dan melanjutkan perjalanan bertiga. Betapa senangnya!”
“Wah-wah, betapa anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di dunia ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?”
“Hemm, wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira daripada aku! Uang tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita. Hayo jawab, mengapa engkau malah gembira?”
Cong San mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir.
“Hemm... agaknya yang paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu. Setiap saat mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa penyakitnya, membosankan!”
“Iihhhh, kalau begitu tipis perikemanusiaanmu!” Isterinya mencela.
“Mungkin! Akan tetapi sebutan perikemanusiaan itu pun palsu belaka, isteriku. Hanya dipergunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa senang, merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, melainkan terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi membosankan juga...”
“Dan kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?”
“Tidak sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang, khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula beban itu! Dan engkau, apa yang membuatmu begini gembira?”
“Agaknya, kebebasan seperti yang kau katakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali, aku merasa seperti burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas lepas di dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, menggunakan ilmu untuk melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang-melintang di dunia, tidak dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe yang setiap hari harus memasak obat!”
“Wah, celaka tiga belas!” Cong San memegang kepalanya.
“Mengapa?”
“Isteriku petualang! Dasar engkau berdarah petualang!”
“Ihhhh!”
Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh akan tetapi senda-gurau ini berakhir dengat peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan di atas rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh mereka akan dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang menyambut tubuh mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram suami isteri itu dengan sinarnya yang keemasan.
“Aihhh, masa di tempat terbuka begini...? Seperti orang terlantar...” bisik Yan Cu.
“Memang kita orang terlantar... petualang-petualang tak berumah...” terdengar suara Cong San lirih. “Ingatkah kau malam-malam kita baru saja menikah? Beberapa malam kita berbulan madu di hutan, di alam terbuka seperti ini… aih… mesra...!”
“Ihhh, sudah tua tak tahu malu! ah!”
“Cinta tak mengenal usia...”
Demikianlah, suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa segala, membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru yang mereka lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu (baca ceritaPedang Kayu Harum ).
Setelah matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan. Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir tersenyum dan tangan mereka saling bergandengan ketika mereka melangkah keluar dari dalam hutan. Cong San mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang.
“Dia melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan tidak sengaja menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang di dusun depan, dia ditangkap dan dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya akan tetapi dia dapat membebaskan diri dan lari entah ke mana.”
“Hemm, untung dia bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah, hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya.”
“Tapi kasihan sekali dia. Kita harus dapat segera menemukannya, kalau tidak, aku khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau seorang diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai melindungi diri.”
“Tentu saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita itu. Biasanya, aku menuduhmu terlalu manja, sedangkan kau menuduhku terlalu keras. Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan agaknya kita berdua telah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri, isteriku.”
“Apa maksudmu?”
Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang wajah orang yang berjalan di sampingnya.
“Baik caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan terang-terangan sehingga kelihatan memanjakannya, maupun aku yang ingin melihat anak kita menjadi seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia, sesungguhnya sikap kita berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan kepentingan kita sendiri.”
“Coba terangkan, aku tidak mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita? Bukankah kita, dengan cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang baik?”
Cong San menarik napas panjang.
“Itulah, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan itulah kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita ingin MEMBENTUK dia sesuai dengan keinginan dan selera kita, sehingga lupa bahwa dia itu, sebagai seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita, dia mempunyai hak untuk tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia berhak menentukan sendiri, bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan untuk membentuk dia. Dia bukan boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita! Kita telah keliru dalam mendidik putra kita itu, Yan Cu!”
Yan Cu termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus dia akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya sendiri! Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar, dan lain-lain. Tidak pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya yang disukai dan dikehendaki puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak langkah hidup puteranya itu harus tepat seperti yang digariskannya! Betapa picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia mulai merasa menyesal dan terharu.
“Habis, bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?”
“Anak-anak kita? Anak kita hanya seorang Yan Cu.”
“Hemm, siapa tahu? Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai seorang anak saja?”
Cong San tersenyum dan merangkulkan lengannya di pundak isterinya, lalu mereka melangkah lagi perlahan-lahan.
“Kita harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka agar mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu belajar mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan guru. Agar dia hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang terpenting, tidak seperti seekor kambing yang dituntun, atau seperti batang pohon lemah yang hanya bergerak mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia berkepribadian, kepribadiannya sendiri, bukan menjiplak kepribadianku atau kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita bentuk agar dia menjadi penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi sebuah boneka hidup. Mengertikah engkau, isteriku?”
Yan cu tidak menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu.
“Entah suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat menerima, aku dapat melihat kebenarannya.”
Cong San menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh kasih.
“Syukurlah, aku sendiri pun tidak mengerti betul. Pendapat ini begitu tiba-tiba, bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat kesalahan-kesalahan kita dalam mendidik dan kita harus melakukan perubahan.”
“Sudahlah, tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum ketemu!”
Cong San menarik napas panjang.
“Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh.”
“Memang kau saja melamun? Aku pun sudah melamun, bukan soal pendidikan, melainkan kemana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong.”
“Kemana?”
“Kurasa dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang kita tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san.”
“Keng Hong dan Biauw Eng…?”
Yan Cu mengangguk.
Hening sejenak.
“Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong kalau bukan mereka? Aihh, aku rindu sekali kepada mereka.”
Suami isteri itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami isteri yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat, bahkan melebihi saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng!
Siapakah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang membuat Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu? Cia Ken Hong dapat dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan jauh pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri!
Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar besar, seorang di antara datuk-datuk atau “raja” dunia persilatan! Pendekar sakti itulah yang telah berhasil mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat bukan main. Di sampingnya, isterinya juga terkenal sebagai seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga di dunia kang-ouw, nama Gunung Cin-ling-san yang menjadi tempat tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang berani datang ke tempat itu kalau tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.
Tidaklah terlalu mengherankan apabila dalam keadaan mereka sedang mengalami kesukaran seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini teringat kepada pendekar sakti di Cin-ling-san itu.
“Kalau memang mengerti, apa?”
“Keanehan yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita meniadi orang-orang pelarian, dianggap pemberontak, kehilangan rumah, kehilangan toko, kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke mana. Akan tetapi saat tadi yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!”
“Memang aneh bagi umum, akan tetapi sesungguhnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa yang terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa oleh peristiwa itu. Diterima dengan marah boleh. Diterima dengan susah, tidak ada yang melarang. Diterima dengan tenang seperti kita sekarang ini pun bisa. Tidak perlu kita saling menyalahkan, kita hadapi segala yang terjadi, sebagai sewajarnya dan kita bertindak sesuai dengan gerak hati dan pikiran yang benar.”
“Nah, itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!” Yan Cu menarik leher suaminya dan mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa terima kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra. “Dari pada ribut-ribut saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong dan melanjutkan perjalanan bertiga. Betapa senangnya!”
“Wah-wah, betapa anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di dunia ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?”
“Hemm, wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira daripada aku! Uang tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita. Hayo jawab, mengapa engkau malah gembira?”
Cong San mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir.
“Hemm... agaknya yang paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu. Setiap saat mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa penyakitnya, membosankan!”
“Iihhhh, kalau begitu tipis perikemanusiaanmu!” Isterinya mencela.
“Mungkin! Akan tetapi sebutan perikemanusiaan itu pun palsu belaka, isteriku. Hanya dipergunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa senang, merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, melainkan terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi membosankan juga...”
“Dan kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?”
“Tidak sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang, khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula beban itu! Dan engkau, apa yang membuatmu begini gembira?”
“Agaknya, kebebasan seperti yang kau katakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali, aku merasa seperti burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas lepas di dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, menggunakan ilmu untuk melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang-melintang di dunia, tidak dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe yang setiap hari harus memasak obat!”
“Wah, celaka tiga belas!” Cong San memegang kepalanya.
“Mengapa?”
“Isteriku petualang! Dasar engkau berdarah petualang!”
“Ihhhh!”
Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh akan tetapi senda-gurau ini berakhir dengat peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan di atas rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh mereka akan dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang menyambut tubuh mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram suami isteri itu dengan sinarnya yang keemasan.
“Aihhh, masa di tempat terbuka begini...? Seperti orang terlantar...” bisik Yan Cu.
“Memang kita orang terlantar... petualang-petualang tak berumah...” terdengar suara Cong San lirih. “Ingatkah kau malam-malam kita baru saja menikah? Beberapa malam kita berbulan madu di hutan, di alam terbuka seperti ini… aih… mesra...!”
“Ihhh, sudah tua tak tahu malu! ah!”
“Cinta tak mengenal usia...”
Demikianlah, suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa segala, membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru yang mereka lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu (baca ceritaPedang Kayu Harum ).
Setelah matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan. Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir tersenyum dan tangan mereka saling bergandengan ketika mereka melangkah keluar dari dalam hutan. Cong San mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang.
“Dia melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan tidak sengaja menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang di dusun depan, dia ditangkap dan dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya akan tetapi dia dapat membebaskan diri dan lari entah ke mana.”
“Hemm, untung dia bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah, hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya.”
“Tapi kasihan sekali dia. Kita harus dapat segera menemukannya, kalau tidak, aku khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau seorang diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai melindungi diri.”
“Tentu saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita itu. Biasanya, aku menuduhmu terlalu manja, sedangkan kau menuduhku terlalu keras. Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan agaknya kita berdua telah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri, isteriku.”
“Apa maksudmu?”
Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang wajah orang yang berjalan di sampingnya.
“Baik caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan terang-terangan sehingga kelihatan memanjakannya, maupun aku yang ingin melihat anak kita menjadi seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia, sesungguhnya sikap kita berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan kepentingan kita sendiri.”
“Coba terangkan, aku tidak mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita? Bukankah kita, dengan cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang baik?”
Cong San menarik napas panjang.
“Itulah, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan itulah kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita ingin MEMBENTUK dia sesuai dengan keinginan dan selera kita, sehingga lupa bahwa dia itu, sebagai seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita, dia mempunyai hak untuk tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia berhak menentukan sendiri, bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan untuk membentuk dia. Dia bukan boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita! Kita telah keliru dalam mendidik putra kita itu, Yan Cu!”
Yan Cu termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus dia akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya sendiri! Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar, dan lain-lain. Tidak pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya yang disukai dan dikehendaki puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak langkah hidup puteranya itu harus tepat seperti yang digariskannya! Betapa picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia mulai merasa menyesal dan terharu.
“Habis, bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?”
“Anak-anak kita? Anak kita hanya seorang Yan Cu.”
“Hemm, siapa tahu? Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai seorang anak saja?”
Cong San tersenyum dan merangkulkan lengannya di pundak isterinya, lalu mereka melangkah lagi perlahan-lahan.
“Kita harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka agar mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu belajar mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan guru. Agar dia hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang terpenting, tidak seperti seekor kambing yang dituntun, atau seperti batang pohon lemah yang hanya bergerak mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia berkepribadian, kepribadiannya sendiri, bukan menjiplak kepribadianku atau kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita bentuk agar dia menjadi penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi sebuah boneka hidup. Mengertikah engkau, isteriku?”
Yan cu tidak menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu.
“Entah suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat menerima, aku dapat melihat kebenarannya.”
Cong San menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh kasih.
“Syukurlah, aku sendiri pun tidak mengerti betul. Pendapat ini begitu tiba-tiba, bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat kesalahan-kesalahan kita dalam mendidik dan kita harus melakukan perubahan.”
“Sudahlah, tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum ketemu!”
Cong San menarik napas panjang.
“Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh.”
“Memang kau saja melamun? Aku pun sudah melamun, bukan soal pendidikan, melainkan kemana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong.”
“Kemana?”
“Kurasa dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang kita tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san.”
“Keng Hong dan Biauw Eng…?”
Yan Cu mengangguk.
Hening sejenak.
“Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong kalau bukan mereka? Aihh, aku rindu sekali kepada mereka.”
Suami isteri itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami isteri yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat, bahkan melebihi saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng!
Siapakah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang membuat Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu? Cia Ken Hong dapat dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan jauh pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri!
Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar besar, seorang di antara datuk-datuk atau “raja” dunia persilatan! Pendekar sakti itulah yang telah berhasil mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat bukan main. Di sampingnya, isterinya juga terkenal sebagai seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga di dunia kang-ouw, nama Gunung Cin-ling-san yang menjadi tempat tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang berani datang ke tempat itu kalau tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.
Tidaklah terlalu mengherankan apabila dalam keadaan mereka sedang mengalami kesukaran seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini teringat kepada pendekar sakti di Cin-ling-san itu.
**** 013 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar