*

*

Ads

FB

Kamis, 18 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 113

Bayangan putih itu berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata manusia biasa saking cepatnya. Kalau ada orang melihat bayangan putih itu berkelebat di dalam hutan itu, mendengar isak tangisnya, tentu orang itu akan mengira bahwa yang berkelebatan itu adalah iblis penghuni hutan!

Bayangan putih itu adalah Biauw Eng. Dara ini setelah melarikan diri dari kota raja lalu berlari ke utara. Di sepanjang jalan ia menangis, menangis dengan hati pilu. Ibunya telah dibunuh bekas sucinya dan dendam ini bukan hanya tidak dapat ia balas, bahkan ia kehilangan Lai Sek, pemuda yang amat mencintanya.

Dua peristiwa ini, kematian ibunya dan Lai Sek, merupakan malapetaka hebat yang amat melukai hatinya, akan tetapi lebih hebat lagi adalah luka di hatinya karena pertemuannya dengan Keng Hong. Dia harus mengakui bahwa cinta kasihnya terhadap Keng Hong tidak lenyap, bahkan makin mendalam. Akan tetapi setelah ia menguji hati Keng Hong, ternyata bahwa Keng Hong tidaklah setulus dia cintanya. Keng Hong hanya mencinta tubuhnya, mencinta kecantikannya sehingga ketika ia mencoba dan membohonginya, mengatakan bahwa tubuhnya telah dimiliki Lai Sek, pemuda itu menjadi marah dan menghinanya!

Ah, betapa dangkal cinta kasih Keng Hong terhadap dirinya, kiranya sama saja dengan cinta kasih pemuda itu terhadap Cui Im atau terhadap para wanita yang pernah dilayaninya bermain cinta. Cinta pemuda itu sifatnya hanya badani belaka, cinta nafsu, cinta berahi! Buktinya, begitu mendengar bahwa tubuhnya telah dijamah pria lain, Keng Hong menjadi marah. Padahal, cinta kasihnya terhadap Keng Hong amatlah murni. Dia sudah memaafkan Keng Hong walaupun dia tahu bahwa pemuda itu telah bermain cinta dengan Cui Im dan dengan gadis-gadis lain. Cintanya amat mendalam dan dia sudah berkabung untuk pemuda itu selama bertahun-tahun. Biarpun tadinya menyangka bahwa pemuda itu telah tewas, ia tetap mencinta Keng Hong. Dan kini, setelah bertemu dengan pemuda yang ternyata masih hidup itu, ia dikecewakan!

Makin diingat, makin sakit hatinya dan dengan tubuh lemas Biauw Eng menjatuhkan diri di atas rumput dalam hutan itu.

"Ahhh, Keng Hong.... alangkah kejam hatimu...!"

Tentu saja ia melarikan diri dari Keng Hong karena maklum bahwa kalau ia mengikatkan diri dengan pemuda itu, akhirnya ia hanya akan dianggap sebagai sebuah benda indah, dijadikan benda permainannya. Tentu saja dia tidak sudi. Lebih baik berpisah! Akan tetapi, betapa sengsaranya perasaan hatinya terpisah dari pria yang dicintanya!

"Aduhhh..., daripada menderita siksa batin seperti ini, lebih baik aku mati saja...! mati menyusul ibu... Menyusul ayah...." makin terisak ia menangis ketika teringat bahwa dia adalah puteri Sin-jiu Kiam-ong.

Dia belum pernah bertemu dengan ayahnya. Dan Keng Hong adalah murid ayahnya, murid yang terkasih! Kalau saja ia dapat bersanding dengan Keng Hong, akan terobatilah rindunya kepada ayahnya. Akan tetapi Keng Hong....!

"Lebih baik aku mati...!"






Dan gadis itu menangis sesenggukan, air matanya seperti air sungai meluap, membasahi kedua pipinya, terus menurun ke dagu dan menetes ke dada.

Akan tetapi Biauw Eng adalah seorang gadis yang semenjak kecilnya digembleng kegagahan oleh mendiang ibunya. Semenjak kecil dia diajar menghadapi segala apa pun di dunia ini penuh ketahanan, penuh keberanian dan kepercayaan kepada diri sendiri. Kini, pikiran ingin mati hanya terucapkan di mulut karena dorongan rasa duka yang amat mendalam. Di dalam hatinya, tidak seujung rambut pun keinginan untuk mati, apalagi bunuh diri yang dianggapnya perbuatan seorang pengecut. Ia tidak takut apa pun juga, mengapa takut melanjutkan hidup. Pula, kematian ibunya belum terbalas! Pada saat itu, tidak mungkin bagi dia untuk membalas dendam karena jelaslah bahwa menghadapi Cui Im, dia tidak dapat berbuat apa-apa.

Bekas sucinya itu, yang dahulu bekas lawannya dan akan dapat ia kalahkan dengan mudah, kini telah menjadi seorang wanita yang amat lihai, memiliki kepandaian ynag jauh mengatasinya. Apalagi di sebelah Cui Im terdapat Siauw Lek yang juga amat lihai. Kalau saja ada Keng Hong di sampingnya, tentu mereka berdua akan dapat mengalahkan Cui Im dan Siauw Lek.

Keng Hong....! Ah, tak dapat diharapkan dan ia pun tidak sudi minta pertolongan pemuda berhati palsu itu! Dia tidak takut mati, akan tetapi dia pun bukan seorang tolol yang menyerahkan kematian begitu saja dengan nekat menyerang Cui Im. Ibunya dahulu memberi tahu bahwa dengan nekat menyerang lawan yang jauh lebih kuat sehingga diri sendiri dirobohkan, bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan perbuatan seorang tolol!

Habis, apa yang akan ia lakukan?
"Aduh, ibu...!"

Biauw Eng menangis lagi, baru pertama kali ini selama hidupnya ia merasa tidak berdaya, kehabisan akal dan kehabisan semangat. Luka di hati karena asmara memang amat pedih, apalagi kalau dirasakan dan dikenang. Memang sesungguhnya bukan apa-apa, karena luka seperti itu akan lenyap dengan sendirinya, akan sembuh tanpa diobati.

Obatnya hanya tidak memikirkannya lagi dan mencurahkan pikiran untuk hal-hal lain yang banyak terdapat dalam hidup. Akhirnya tentu akan lenyap dan kemudian orang yang tadinya terluka asmara akan tertawa geli kalau mengenang kelakuannya sendiri. Akan tetapi kalau dikenang dan dirasakan, memang tidak ada luka lebih pedih daripada luka asmara, tidak ada penyakit yang lebih parah dan berat daripada penyakit asmara!

Tidak, dia tidak akan mati! Dia tidak boleh putus asa! Ia teringat akan ibunya. Ibunya dahulu juga disakitkan hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong! Ayahnya, atau guru Keng Hong telah menggoda ibunya, bahkan lebih jauh perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, yaitu telah melakukan hubungan cinta dengan ibunya sehingga ibunya mengandung! Dan ayahnya itu tidak pernah kembali kepada ibunya.

Biarpun demikian, ibunya tidak putus asa, bahkan lalu mengasingkan diri dan berhasil memiliki ilmu kepandaian tinggi, menjadi Lam-hai Sin-ni, tokoh pertama dari semua datuk hitam! Mengapa dia tidak meniru perbuatan ibunya? Ia akan pergi jauh, jauh dari tempat ramai, menggembleng diri dengan ilmu sehingga ia akan dapat memiliki ilmu kepandaian yang akan dapat mengatasi Cui Im! Dia lebih beralasan untuk hidup daripada ibunya dahulu! Dia akan menggembleng diri dan kelak akan membalas dendamnya kepada Cui Im!

Pikiran ini mendatangkan semangat baru dalam hati Biauw Eng. Tidak, dia tidak akan putus asa. Sedikitnya, hubungannya dengan Keng Hong belum sejauh hubungan antara ibunya dengan Sin-jiu Kiam-ong! Dia masih gadis. Lai Sek sekalipun, Lai Sek yang amat mencintanya, yang selalu siap berkorban apa saja untuknya, bahkan yang telah ia serahi seluruh tubuhnya, Lai Sek pun tak pernah menyentuhnya! Sungguh seorang pemuda yang hebat! Cinta kasihnya demikian murni! Kalau saja Keng Hong memiliki cinta kasih seperti Lai Sek. Ah, tidak perlu memikirkan Keng Hong lagi.

"Aku tidak boleh memikirkannya lagi. Dia laki-laki yang tidak berharga! Aku.... benci kepadanya!"

Biauw Eng melompat bangun lalu lari secepatnya ke utara. Ia lari seperti dikejar setan, dan memang dia melarikan diri untuk lari dari bisikan yang mengejarnya, bisikan bahwa tidak mungkin ia dapat melupakan Keng Hong, bahwa tidak mungkin ia dapat membencinya.

Betapapun cepat ia lari, suara bisikan ini terus mengejarnya, terus terdengar oleh telinganya karena yang berbisik adalah hatinya sendiri. Ah, cinta! Sungguh engkau dapat berubah dari seorang dewi pembawa bahagia menjadi seorang iblis yang kejam pembawa derita sengsara!

Dan betapa bodohya orang muda yang sudah dicengkeram kuku-kuku beracun dari asmara! Lebih lagi, betapa bodohnya seorang pemuda seperti Keng Hong yang tadinya tidak dapat membedakan antara cinta kasih seorang gadis seperti Biauw Eng dari cinta nafsu seorang wanita macam Cui Im!

Biauw Eng melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah. Hanya kalau kakinya sudah mogok saking lelahnya, baru ia beristirahat. Kalau matanya sudah hampir tak dapat dibuka saking kantuknya, baru dia tidur dan kalau perutnya sudah tak dapat menahan laparnya, baru ia mencari makanan pengisi perut.

Berbulan-bulan dara yang merana karena asmara ini melakukan perjalanan ke utara dan pada suatu pagi ia memasuki sebuah hutan di lereng Pegunungan Go-bi-san. Pakaiannya yang berwarna putih itu masih bersih karena sering kali dia berhenti dan mencucinya di sungai atau danau, akan tetapi pakaian itu sudah banyak yang robek, juga sepatunya sudah bolong-bolong. Kulit mukanya yang biasanya halus putih itu kini agak hitam karena setiap hari dibakar terik matahari.

Hanya ada perubahan yang amat menyolok, yaitu pada pandang mata gadis ini. Dahulu, ketika masih bersama ibunya, ketika namanya terkenal sebagai Song-Siu-li (Dara Jelita Berkabung) pandang mata, sikap dan bicaranya dingin seperti sebuah gunung es, dingin akan tetapi amat ganas dan ia dapat membunuh lawannya dengan mata tanpa berkedip.

Akan tetapi kini pandang matanya bersinar-sinar penuh api dan semangat, tanda bahwa di dalam hatinya terkandung cita-cita yang amat besar. Selain pandang matanya berubah panas, juga ada kematangan dalam sikap dan suaranya. Kematangan seorang dara muda yang tergembleng oleh tekanan-tekanan batin yang hebat.

Keadaan di hutan itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Banyak tetumbuhan yang aneh dan tak pernah dijumpainya di selatan. Juga banyak terdapat burung-burung indah beraneka warna bulunya. Banyak pula kembang-kembang yang indah bentuk maupun warnanya.

Biauw Eng duduk beristirahat di bawah pohon, memperhatikan bunga kuning yang tumbuh di dekatnya. Bunga itu aneh bentuknya, dapat dikatakan buruk dan tidak berbau wangi. Tak jauh dari bunga kuning ini tumbuh bunga lain yang warnanya merah, bentuknya indah seperti bunga kiok-hwa (seruni) dan berbau harum.

Bunga ini dikelilingi beberapa ekor kumbang yang seolah-olah berebut hendak memasuki kelopak bunga merah dan menghisap madunya. Bunga kuning yang buruk itu tidak dihiraukan kumbang.

Biauw Eng menarik napas panjang mengulur lengan dan menyentuh bunga kuning dengan ujung jar-jari tangannya, sentuhan halus penuh kasih sayang dan rasa iba.

"Jangan berduka, bunga kuning," bisiknya menghibur. "Dalam kesepianmu, engkau lebih bahagia daripada bunga merah itu.

Biauw Eng memperhatikan bunga-bunga itu dan menghela napas panjang. Betapa sama nasib bunga-bunga ini dengan nasib para wanita. Di mana-mana, seperti bunga-bunga ini, wanita menjadi permainan kaum pria. Hanya wanita-wanita cantik yang dikejar-kejar kumbang. Pria dan kumbang sama saja. Pria tertarik oleh kecantikan wanita seperti kumbang tertarik oleh keharuman madu kembang.

Kembang-kembang yang tidak harum, seperti kaum wanita yang tidak cantik, tidak dipedulikan dan tersia-sia. Namun, kembang-kembang tidak harum dan wanita-wanita tidak cantik tidaklah lebih sengsara daripada nasib kembang-kembang harum atau wanita-wanita cantik. Kembang bermadu setelah madunya habis dihisap kumbang, lalu ditinggal pergi tanpa pamit oleh si kumbang. Wanita cantik setelah dipermainkan oleh pria, seperti kembang habis madunya, seperti tebu habis manisnya, lalu disia-siakan dan ditinggal begitu saja! Seperti ibunya!

Dan dia tidak mau dijadikan seperti ibunya seperti kembang bermadu harum yang kelak disia-siakan. Tidak, lebih baik menjadi kembang kuning yang tidak dipedulikan kumbang, akan lebih segar dan dapat bertahan lama, tidak mudah layu! Persetan dengan kumbang-kumbang palsu itu! Persetan dengan cinta kasih pria-pria palsu yang hanya membutuhkan kecantikan wajah dan keindahan tubuh!

Tiba-tiba rasa bencinya kepada kaum pria yang mempunyai cinta kasih palsu melimpah dan membuat Biauw Eng marah kepada kumbang-kumbang itu. Tangan kirinya bergerak menampar dan empat ekor kubang besar terkena tamparan tangannya, terbanting hancur di atas tanah, di bawah kembang kuning. Biauw Eng memandang puas.

"Tersenyumlah, kembang kuning. Tertawalah, dan lihat kumbang-kumbang palsu itu kini menjadi bangkai, sebentar lagi membusuk dan dimakan semut!" Saking gembiranya dan puas hatinya melihat "kumbang-kumbang berhati palsu" itu tewas, Biauw Eng bicara dengan keras, seolah-olah kembang kuning merupakan seorang wanita lain yang perlu dihibur hatinya.

Tiba-tiba, agaknya terkejut oleh suaranya, dua ekor kijang berbulu coklat kekuningan seperti emas meloncat keluar dari balik semak-semak. Biauw Eng terkejut dan memandang, ketawa senang dan ia merasa kagum sekali menyaksikan dua ekor kijang jantan betina yang berkejaran itu. Saking gembiranya, Biauw Eng lupa diri dan seperti seorang anak kecil yang nakal, ia pun lalu mengerahkan ginkangnya dan meloncat pula, lari mengikuti dua ekor kijang yang berlari naik ke bukit.

Dua ekor kijang berlari makin cepat dan kelihatan ketakutan, mengira bahwa manusia yang dapat berlari cepat di belakang mereka itu mengejar mereka dan hendak menangkap mereka. Mereka mengeluarkan suara ketakutan dan lari kacau balau. Melihat ini, Biauw Eng menjadi kasihan dan mengikuti dari jauh agar dua ekor kijang itu tidak menjadi ketakutan. Ia berniat untuk mendekati mereka secara sembunyi agar dia dapat memandang mereka sepuas hatinya.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang amat nyaring, yang menggetarkan seluruh permukaan bukit. Gerengan ini disusul suara mengembik yang menyayat hati, dua kali beruntun. Biauw Eng terkejut bukan main dan cepat ia meloncat tubuhnya berkelebat mengejar ke arah suara. Ketika ia tiba di tempat itu, dara ini memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali saking marahnya.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: