*

*

Ads

FB

Selasa, 29 November 2016

Petualang Asmara Jilid 193

Segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang sakti itu. Adapun Hong Khi Hoatsu yang maklum bahwa keselamatan Cia Keng Hong tentu terancam kalau dia tidak berjaga-jaga untuk melawan ilmu sihir Ketua Pek-lian-kauw, hanya menonton di pinggiran sambil kadang-kadang menggunakan kaki tangan merobohkan anggauta Pek-lian-kauw yang berani mencoba untuk menyerangnya.

Dia tidak berani ikut menyerang Thian Hwa Cinjin, karena dalam beberapa jurus saja kakek yang ahli dalam ilmu sihir ini maklum bahwa dibandingkan dengan kedua orang yang sedang bertempur itu, tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh sehingga bantuannya tidak akan ada artinya, bahkan akan mengacaukan gerakan serangan Ketua Cin-ling-pai itu.

Kini keadaan para tamu menjadi berbalik. Kalau tadinya terdapat orang-orang yang jauh lebih banyak jumlahnya memihak Pek-lian-kauw, sekarang mereka itu sebagian besar membalik dan menentang Pek-lian-kauw! Mengapa demikian?

Sebagian besar para tamu adalah orang-orang kang-ouw dan tadinya mereka suka bekerja sama dengan Pek-lian-kauw bukan semata-mata karena perkumpulan ini royal dalam menjamu dan menghormati mereka, melainkan karena mereka sungguh-sungguh menganggap bahwa Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pejuang rakyat yang menentang pemerintah lalim dan membela rakyat tertindas.

Kini baru terbuka mata mereka, dan mereka telah melihat bukti betapa kejinya Ketua Pek-lian-kauw yang menyuruh anak buahnya menculik gadis lalu memperkosanya! Setelah melihat kenyataan ini, sebagai pendekar-pendekar gagah di dunia persilatan, tentu saja mereka tidak sudi lagi bersekutu dengan kakek keji itu. Maka kini sebagian besar di antara mereka berpihak kepada Cia Keng Hong dan menyambut serbuan para anak buah Pek-lian-kauw!

Tentu saja masih ada di antara para tamu yang memihak Pek-lian-kauw dan mereka ini memanglah orang-orang dari golongan sesat yang terdiri dari perampok, bajak, dan orang-orang yang tidak pernah merasa segan melakukan perbuatan jahat demi mengumbar hawa nafsu mereka.

Anggota Pek-lian-kauw yang kebetulan berada di situ dan kini maju menyerbu berjumlah kurang lebih seratus orang dan ditambah dengan para tamu golongan sesat yang membantu mereka, maka jumlah mereka antara seratus dua puluh lima orang!

Sedangkan pihak yang menjadi lawan mereka hanya berjumlah kurang lebih empat puluh orang. Maka dengan perimbangan kekuatan yang berat sebelah ini, setiap orang kang-ouw dikeroyok oleh dua tiga orang Pek-lian-kauw dan di antara para angauta Pek-lian-kauw terdapat banyak tokoh yang berilmu tinggi. Terdesaklah mereka yang menentang Pek-lian-kauw dan sudah beberapa orang yang roboh terluka sungguhpun di pihak Pek-lian-kauw juga banyak yang terluka.

Lie Kong Tek mengangkat mayat tunangannya, merebahkannya di tempat aman, kemudian bagaikan seekor harimau kelaparan, pemuda tinggi besar yang berduka dan marah ini mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan para anggauta Pek-lian-kauw dan baru setelah dia dikeroyok oleh lima orang pimpinan Pek-lian-kauw tingkat rendah, terjangan pemuda ini dapat dibendung dan terjadi pertempuran yang amat seru dan mati-matian.

Pertandingan antara Thian Hwa Cinjin dan Cia Keng Hong juga berlangsung dengan hebatnya sehingga Hong Khi Hoatsu yang menonton sambil menjaga kalau-kalau Ketua Pek-lian-kauw itu berlaku curang mempergunakan sihirnya, menjadi amat kagum.

Baru sekali selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan ilmu silat yang sedemikian hebat dan bermutu. Diam-diam dia merasa bersyukur bahwa di saat itu muncul pendekar Ketua Cin-ling-pai ini, karena kalau tidak demikian, dia sukar dapat percaya apakah Yap Kun Liong yang diandalkannya itu akan mampu menandingi Ketua Pek-lian-kauw yang sedemikian lihainya!

Bagi Cia Keng Hong sendiri yang selama belasan tahun ini baru beberapa kali bertanding melawan datuk-datuk kaum sesat ketika dia membantu pemerintah membasmi kaum pemberontak, kini merasa menemukan lawan yang benar-benar tangguh sekali.






Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur ini ternyata masih lebih lihai daripada lima datuk kaum sesat yang pernah dilawannya! Setelah dia menggerakkan Pedang Kayu Harum di tangannya itu dengan ilmu pedang yang khas untuk pedang itu, yaitu Siang-bhok Kiam-sut dan mendasari gerak kaki dan tangan kirinya dengan Thai-kek-sin-kun, barulah lewat seratus jurus dia mampu mendesak Thian Hwa Cinjin yang kini mundur-mundur dan baru berhasil membalas tiap tiga kali serangan lawan dengan satu serangannya sendiri yang tidak begitu berarti.

Padahal setiap serangan yang dilancarkan lawannya, baik dengan Pedang Kayu Harum itu maupun dengan pukulan tangan kiri yang terbuka, amat dahsyat dan membuatnya mengeluarkan keringat dingin dan terus main mundur.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan berbondong-bondong masuklah banyak orang melalui pintu gerbang Pek-lian-kauw. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong, Hong Khi Hoatsu, dan para orang kang-ouw yang menentang Pek-lian-kauw ketika puluhan orang yang baru datang itu serta merta membantu pihak Pek-lian-kauw dan menyerang mereka!

Bahkan Keng Hong sendiri kini diserang oleh seorang pemuda tampan yang berpedang ular dan memiliki ilmu silat lihai sekali! Pemuda ini bukan lain adalah Ouwyang Bouw! Dia telah datang bersama isterinya, yaitu Lauw Kim In, dan Marcus bekas anak buah Legaspi Selado diiringkan oleh hampir seratus orang anak buahnya!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw memimpin para pemberontak Mongol dan membentuk Pasukan Tombak Maut. Bersama dengan Marcus yang menggabungkan diri dengan mereka, pasukan ini hendak bergabung dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak terhadap pemerintah.

Pertempuran yang sudah berat sebelah itu menjadi makin tidak berimbang lagi ketika Pasukan Tombak Maut ikut menyerbu dan membantu Pek-lian-kauw!

Kini setiap orang dikeroyok oleh banyak lawan. Cia Keng Hong sendiri selain harus menghadapi Thian Hwa Cinjin dan Ouwyang Bouw juga diserang oleh Lauw Kim In yang membantu suaminya.

Namun pendekar Cin-ling-pai ini ternyata hebat sekali kepandaiannya. Dengan marah Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak seperti kilat, tampak sinar hijau menyambar-nyambar dan... Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In berteriak kaget, mencelat mundur dan pundak mereka berdarah tercium sinar pedang Siang-bhok-kiam!

Mereka kaget dan penasaran sekali. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja telah terluka oleh lawan Ketua Pek-lian-kauw ini!

“Ji-wi, hati-hatilah! Ketua Cin-ling-pai ini lihai sekali ilmu pedangnya!” Thian Hwa Cinjin yang sudah mengenal Owyang Bouw berkata memperingatkan.

Diam-diam Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terkejut sekali. Terutama sekali Lauw Kim In. Jadi inikah pendekar sakti yang selama ini dipuji-puji subonya dan selama ini merupakan nama yang dia junjung tinggi? Adapun Ouwyang Bouw juga terkejut karena tentu saja dia mengenal nama Ketua Cin-ling-pai. Dia tahu bahwa pendekar yang sakti ini bernama Cia Keng Hong dan menjadi sahabat baik serta selalu membantu gerakan Panglima Besar The Hoo dalam menghadapi para pemberontak.

Bersama Panglima The Hoo, pendekar ini telah mengobrak-abrik sarang-sarang pemberontak, seperti Telaga Setan (Kwi-ouw), Pulau Ular, dan lain tempat lagi. Bahkan datuk hitam Toat-beng Hoat-su yang lihai itu kabarnya tewas di tangan Panglima The Hoo, sedangkan ayahnya sendiri, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, tewas di tangan Cia Keng Hong. Sekarang, pendekar ini kembali telah menyerbu Pek-lian-kauw!

Dengan hati giris Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In maju lagi, kini lebih hati-hati mengeroyok Cia Keng Hong. Sementara itu, Hong Khi Hoatsu yang bantu-membantu dengan muridnya, Lie Kong Tek, dikeroyok oleh Marcus dan belasan orang pimpinan Pek-lian-kauw dan jagoan-jagoan Mongol. Guru dan murid ini beradu punggung dan melawan mereka mati-matian.

“Cia Keng Hong, berlututlah kau... lihat naga saktiku hendak menelanmu!” tiba-tiba terdengar bentakan Ketua Pek-lian-kauw.

Cia Keng Hong maklum bahwa lawannya menggunakan sihir, dia sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melawan pengaruh itu, namun karena tadi dia mau memandang muka kakek itu sehingga sinar matanya bertaut dengan sinar mata penuh kekuatan mujijat itu, pendekar ini tidak mampu menahan kakinya yang seperti memaksa diri berlutut!

“Cia-taihiap, bangkitlah!”

Pekik nyaring ini keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu. Biarpun dia sedang dikeroyok banyak lawan, kakek ini masih memperhatikan keadaan Keng Hong sehingga menolongnya dari pengaruh sihir lawan. Seketika Keng Hong sadar dan dengan pekik melengking nyaring sekali dia menerjang maju, pedangnya berkelebat.

“Trangg-tranggg... krekkk!!”

Pedang di tangan Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terpental hampir terlepas dari pegangan, sedangkan ujung tongkat hitam di tangan Thian Hwa Cinjin patah. Kagetlah kakek ini sehingga dia meloncat ke belakang dengan muka pucat.

“Kalian berani melawan aku? Lihat, aku adalah Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa) dari langit! Hayo kalian berlutut! Hayo kalian berlutut!”

Hong Khi Hoatsu membentak dan semua pengeroyoknya, kecuali Marcust berlutut dengan taat! Mengapa Marcus tidak terpengaruh oleh bentakan yang mengandung kekuatan mujijat ini? Hal ini adalah karena Marcus belumlah begitu paham akan bahasa Han sehingga bentakan yang dikeluarkan di antara suara hiruk-pikuk pertempuran itu tidaklah terdengar jelas olehnya dan karenanya dia pun tidak terpengaruh.

Akan tetapi melihat betapa semua temannya berlutut, dia terkejut sekali dan sebelum dia sempat mengelak, Hong Khi Hoatsu telah berhasil menotoknya roboh. Kakek ini lalu berteriak,

“Cia-taihiap, Kong Tek, dan Cu-wi sekalian, mari kita pergi!”

Teriakan ini menyadarkan Cia Keng Hong dan yang lain-lain bahwa melawan terus menghadapi jumlah lawan yang jauh lebih banyak itu tiada gunanya. Apalagi yang menjadi pokok persoalan, yaitu Nona Cia Giok Keng telah pergi dari situ mengejar pengantin pria tadi.

“Pergi...!” Terdengar teriakan-teriakan mereka.

Cia Keng Hong maklum bahwa beberapa kali dia ditolong oleh Hong Khi Hoatsu, maka dia lalu memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga ketiga orang pengeroyoknya terpaksa bergerak mundur. Kesempatan ini dia pergunakan untuk meloncat jauh ke arah Lie Kong Tek yang terdesak hebat oleh para pengeroyoknya.

“Singgg... tranggg... krek-krek-krekkk!”

Senjata-senjata para pengeroyok Lie Kong Tek patah-patah dan mereka terpaksa mundur, memberi kesempatan kepada Lie Kong Tek untuk lolos dari kepungan. Mereka berdua lalu meloncat ke dekat Hong Khi Hoatsu, lalu bersama para tokoh kang-ouw yang tadi ikut menentang Pek-lian-kauw mereka mulai mundur.

Pihak Pek-lian-kauw mengejar, akan tetapi tiba-tiba Hong Khi Hoatsu berteriak nyaring dan aneh sekali bagi para pengejar itu, mendadak tampaklah awan hitam yang tebal bergerak turun dan membuat pemandangan menjadi gelap. Tentu saja mereka menjadi bingung dan tidak melihat lagi ke mana orang-orang kang-ouw itu melarikan diri.

Setelah Thian Hwa Cinjin yang mengerahkan ilmunya juga memekik nyaring, awan hitam itu lenyap, akan tetapi para musuh juga sudah lenyap. Mereka itu melarikan diri dengan berpencaran sehingga sukarlah untuk mengejar.

“Jangan kejar!”

Thian Hwa Cinjin berseru. Kakek ini maklum bahwa dengan berpencar, pengejaran menjadi berbahaya sekali karena kekuatan anak buahnya menjadi terpecah-pecah pula sedangkan pihak musuh demikian lihai, terutama Ketua Cin-ling-pai tadi. Masih ngeri dia memikirkan kehebatan Pedang Kayu Harum di tangan Cia Keng Hong tadi yang membuat ujung tongkat wasiatnya sampai patah, semua orang tentu saja mentaati Perintah Ketua Pek-lian-kauw dan berbondong mereka memasuki kembali markas Pek-lian-kauw dan para anak buahnya merawat teman-teman yang terluka.

Pihak orang-orang kang-ouw yang terluka juga tidak ada lagi karena mereka telah dibawa lari oleh teman masing-masing. Sedangkan para orang kang-ouw yang tadi membantu mereka, dipersilakan masuk ke ruangan tamu dan dijamu sebagai tanda terima kasih Pek-lian-kauw dan untuk mengikat hati mereka agar selanjutnya menjadi sekutu mereka.

Sementara itu, dalam pelarian yang berpencaran tadi, Cia Keng Hong tetap berlari bersama Hong Khi Hoatsu dan Lie Kong Tek. Di tengah perjalanan Lie Kong Tek berkata,

“Terima kasih kepada Cia-locianpwe yang telah membantu saya tadi.”

Mereka berhenti berlari karena tidak ada yang mengejar, dan andaikata ada juga yang mengejar, asal tidak terlalu banyak jumlah lawan, tentu akan mereka basmi dengan mudah.

“Tidak perlu berterima kasih, bahkan maafkan aku akan sikapku tadi ketika engkau membela anakku. Engkau memang benar!”

Berkata Cia Keng Hong dengan muka agak merah, teringat betapa dia tadi hampir membunuh pemuda ini, yang biarpun sama sekali tidak mengenal Giok Keng, telah mati-matian membelanya. Kemudian ternyata bahwa pemuda ini dan gurunya yang telah menolong dia, dan telah menyadarkan Giok Keng. Andaikata tidak ada guru dan murid ini, entah apa jadinya, akan tetapi yang jelas, Giok Keng menjadi korban kekejian Pek-lian-kauw dan Liong Bu Kong, sedangkan dia sendiri tentu tidak terluput dari malapetaka.

“Kalau mau bicara tentang budi, akulah yang berhutang budi kepada gurumu, dan kepadamu, orang muda!”

“Ha-ha-ha-ha, Cia-taihiap mengapa menjadi begini sungkan-sungkan? Di antara orang sendiri yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, bantu-membantu merupakan hal yang lumrah, bahkan sudah semestinya! Kalau tidak ada Cia-taihiap, juga kalau tidak ada Yap-sicu yang keduanya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit, mana kami mampu menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?”

Mendengar disebutnya nama Yap Kun Liong, Cia Keng Hong teringat akan puterinya, maka sambil menjura dia berkata,

“Sekarang saya hendak pergi menyusul dan mencari puteriku, kita terpaksa berpisah di sini. Saya harap saja kalau ada waktu dan kesempatan, Hoatsu sudi memberi kehormatan kepada saya dengan mengunjungi Cin-ling-san.”

Hong Khi Hoatsu mengangkat tangannya ke atas sambil berkata,
“Nanti dulu, Tai-hiap. Saya mempunyai niat hati yang perlu saya kemukakan kepada Tai-hiap.”

“Ada petunjuk apakah yang Hoatsu hendak berikan kepadaku?” Cia Keng Hong menjawab sambil memandang tajam.

Kakek yang biasanya hanya tersenyum-senyum itu kini menarik napas panjang, wajahnya bersungguh-sungguh.

“Secara tidak sengaja saya telah melihat dan mendengar semua yang dialami oleh puterimu dan merasa kasihan sekali kepada puterimu, Tai-hiap. Namanya telah dicemarkan di depan banyak orang oleh Si Laknat Liong Bu Kong dan perkumpulan kotor Pek-lian-kauw. Dan sebagai seorang tua yang awas akan gerak-gerik muridnya, saya pun telah melihat sikap muridku kepada Tai-hiap tadi, ketika membela puterimu. Muridku sendiri, di tempat itu, telah pula kehilangan calon isterinya yang telah tewas membunuh diri...”

“Ahhh, Suhu! Mengapa teecu tadi sampai terlupa untuk membawa lari mayat Bu Li Cun?” Tiba-tiba Lie Kong Tek memotong ucapan suhunya dengan suara menyesal dan kaget.

“Biarlah, Kong Tek. Lebih baik kalau mayatnya dikubur oleh mereka agar selalu menjadi peringatan akan perbuatan kotor ketua mereka dan menginsyafkan para anggautanya betapa mereka mengabdi kepada seorang yang jahat seperti Thian Hwa Cinjin itu.”

“Kalau boleh saya mengatakan, bagaimanakah selanjutnya kehendak Hoatsu?”

Cia Keng Hong bertanya, diam-diam dia mempertimbangkan karena dia sudah dapat menduga apa yang hendak dikatakan selanjutnya oleh kakek sakti ini.

“Melihat sikap muridku, saya mengambil kesimpulan bahwa di antara mereka memang ada jodoh, Tai-hiap. Kalau sekiranya Tai-hiap percaya pada kami, dan sudi mempertimbangkan sebaiknya, perkenankan saya mengajukan pinangan sekarang juga atas diri puteri Tai-hiap untuk murid saya, Lie Kong Tek ini.”

Mendengar ucapan suhunya itu, Lie Kong Tek menundukkan mukanya yang menjadi merah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia tidak merasa heran akan sikap suhunya yang memang amat aneh, bicara tentang jodoh di tengah jalan dan bicara secara blak-blakan begitu saja!

Mendengar pinangan yang memang sudah diduga sebelumnya, Cia Keng Hong tidak menjadi kaget dan dia cepat menjura sambil menjawab,

“Banyak terima kasih kepada Hoatsu yang masih menghargai puteriku yang telah tercemar namanya itu, akan tetapi hendaknya Hoatsu mengerti bahwa dalam soal perjodohan anakku itu, saya tidak dapat memutuskan kecuali ada persetujuan dari anaknya sendiri. Oleh karena itu, terpaksa sementara ini saya belum dapat memberi jawaban menerima atau menolak, tergantung kepada anak saya sendiri kelak. Kalau dia menerima, atau kalau dia menolak, tentu saya akan mengirim berita kepada Hoatsu. Ke manakah kelak saya harus mengirim berita?”

“Ha-ha-ha, Tai-hiap membuat kami menjadi malu saja. Kami berdua telah meninggalkan pegunungan dan sengaja hendak merantau di dunia ramai, karena itu tentu saja tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Maka sebaiknya diatur begini saja, Tai-hiap. Setahun kemudian kami akan mengunjungi Cin-ling-pai untuk menerima keputusan Tai-hiap mengenai pinangan saya.”

Cia Keng Hong mengangguk-angguk.
“Baiklah, Hoatsu. Kami akan menanti kunjunganmu itu dan mempersiapkan jawaban yang tepat, dan mudah-mudahan saja anakku akan suka menyetujuinya. Sekarang saya terpaksa meninggalkan Ji-wi untuk menyusul anakku.”

Guru dan murid itu memberi hormat dan Cia Keng Hong berkelebat, sekali loncat dia lenyap dari pandang mata guru dan murid itu. Hong Khi Hoatsu menghela napas dan menggeleng-geleng kepala.

“Kong Tek, engkau akan beruntung besar kalau bisa menjadi mantu seorang gagah perkasa seperti dia itu.”

Wajah Lie Kong Tek menjadi merah dan terpaksa dia menjawab,
“Suhu, apakah suhu tidak terlalu tergesa-gesa mengajukan pinangan itu tadi? Seorang seperti teecu ini, mana ada harganya untuk berjodoh dengan Nona Cia Giok Keng? Saya amat jauh kalau dibandingkan dengan dia, baik mengenai tingkat kedudukan, kepandaian maupun keadaan.”

“Kong Tek, engkau mempunyai kelebihan yang besar sekali dan mempunyai modal yang tiada habisnya, yaitu kejujuran, kesetiaan dan cinta kasih. Nah, kau menunggu apalagi? Hayo cepat kau pergi menyusul dan mencari nona itu, siapa tahu dia terancam bahaya. Kalau kau berjumpa dengannya, jangan ragu-ragu kau nyatakan isi hatimu secara langsung sehingga kita tidak perlu lagi ragu-ragu menanti berita keputusan dari ayahnya. Pergilah!”

“Akan tetapi... Suhu...”

“Apakah kau masih kanak-kanak sehingga harus memerlukan asuhanku terus? Sudah waktunya kau terbang sendiri seperti burung yang telah mempunyai sayap yang kuat. Setahun kemudian kalau tiada halangan, kita sama-sama berjumpa di Cin-ling-san.”

Lie Kong Tek terharu sekali dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya.
“Harap Suhu maafkan bahwa teecu sama sekali belum dapat membalas budi kebaikan Suhu yang berlimpah-limpah.”

“Asal engkau menjadi seorang manusia yang baik dan benar, itu telah merupakan pembalasan budi yang jauh lebih berharga daripada engkau memberiku sebuah gunung emas hasil kejahatan. Nah, kau terimalah ini untuk bekalmu di perjalanan.”

Kakek itu lalu menyerahkan sebuah kantung terisi emas dan sebatang pedang yang selama ini disimpannya saja. Pedang itu adalah pedang pusaka keluarganya, gagangnya dari perak berukir burung Hong sehingga diberi nama Gin-hong-kiam (Pedang Burung Hong Perak).

Dengan hati terharu Lie Kong Tek menerima bekal ini dan setelah menghaturkan terima kasih, pemuda ini lalu berpisah dari gurunya, hendak pergi mencari Cia Giok Keng, dara yang merupakan gadis pertama yang pernah merebut hatinya karena biarpun dia bertunangan dengan Bu Li Cun sebenarnya dia belum mengenal gadis itu, apalagi jatuh cinta. Sebaliknya, dalam pertemuan pertama, ketika melihat Cia Giok Keng berhadapan dengan ayahnya, Lie Kong Tek telah jatuh cinta. Dia merasa kagum dan juga kasihan kepada Giok Keng dan agaknya dari kedua perasaan inilah tumbuhnya cinta kasih di hatinya.

**** 193 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: