*

*

Ads

FB

Selasa, 16 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 107

"Aku... Aku sudah membacanya...." Ang-taijin yang menjadi gugup menjawab tanpa dia sadari.

"Engkau baru datang bagaimana bisa mebacanya? Surat ini palsu! Tentu engkau dan kaki tanganmu yang menulisnya dan Sim Lai Sek tidak mati karena membunuh diri, melainkan mati terbunuh oleh totokan di lehernya. Tentu engkau.. pembesar jahanam berhati palsu dan keji, engkau yang mengatur semua ini, keparat!"

Sambil berkata demikian, tangan Biauw Eng bergerak ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram baju pembesar itu di bagian dadanya.

"Jangan.... eh, tolooongg..!"

Laki-laki hidung bengkok yang berdiri di dekat pembesar Ang, cepat menengahi dan berkata,

"Nona, bersabarlah.... dan jangan kurang ajar terhadap Ang-taijin...."

"Engkau tukang mengatur siasat yang menjijikan!"

Tangan kirinya menyambar dan ia sudah menjambak rambut si hidung bengkok, kemudian dengan kemarahan membakar dada dan kepala, gadis ini menggerakkan kedua tangannya.

"Prokkk!"

Dua buah kepala milik Ang Joan Ti dan si hidung bengkok bertemu keras sekali, beradu dahi dan ternyata kepala si hidung bengkok lebih keras karena kalau kepala Ang Joan Ti pecah dan pembesar yang celaka oleh nafsunya sendiri itu tewas seketika. Si hidung bengkok hanya menjadi pening dan matanya menjuling saja. Melihat ini, Biauw Eng mengayun tubuh si hidung bengkok, membantingnya ke atas lantai dan terdengar suara keras ketika kepala si hidung bengkok ini pecah berantakan, berbeda dengan kepala Ang Joan Ti yang retak-retak saja.

“Perempuan keji! Pembunuh! Tangkap...!"

Teriakan-teriakan ini terdengar ramai dan keadaan di situ menjadi geger. Pelayan-pelayan perempuan menjerit dan melarikan diri, adapun lima orang tinggi besar bertombak yang berada di dalam kamar itu, segera menerjang maju dengan tombak mereka.

Biauw Eng yang sudah menjadi mata gelap saking duka dan marahnya melihat nasib Lai Sek, cepat melemparkan mayat Ang-taijin ke arah lima orang pengeroyoknya. Lima orang itu adalah Sin-chio Ngo-houw, lima orang pengawal luar istana yang oleh si hidung bengkok sengaja di undang untuk menghadapi Biauw Eng.

Akan tetapi sungguh di luar persangkaan mereka bahwa gadis itu memiliki kepandaian sedemikian hebat sehingga gerakannya luar biasa cepatnya dan lima orang pengawal itu tidak sempat lagi mencegah pembunuhan yang dilakukan Biauw Eng atas diri Ang-taijin dan penasihatnya.






Kini lima orang pengawal itu menjadi marah sekali. Melihat gadis itu dengan ganasnya membunuh Ang-taijin dan melemparkan mayatnya kepada mereka, seorang diantara mereka menerima mayat dengan kedua tangan sedangkan empat orang kawannya segera menerjang Biauw Eng dengan tombak mereka.

"Sim-twako, aku akan membalaskan kematianmu?"

Biauw Eng berseru, mencabut pedang yang menancap di perut mayat Lai Sek, kemudian sambil bercucuran air mata gadis ini mengamuk, menghadapi pengeroyokan lima orang Sin-chio Ngo-houw yang sudah mengurungnya. Adapun para pelayan sudah menyingkir dengan ketakutan dari kamar itu. Pertandingan terjadi dengan seru di dalam kamar maut itu di mana menggeletak tiga buah mayat.

Dalam deretan tingkat para pengawal istana, pengawal pribadi rahasia tentu saja menduduki tingkat pertama, kemudian para pengawal pribadi kaisar menduduki tingkat ke dua. Adapun tingkat ke tiga diduduki oleh para pengawal dalam istana dan pengawal luar istana, seperti Sin-chio Ngo-houw adalah pengawal tingkat empat. Mereka ini sudah termasuk ahli-ahli silat kelas tinggi bagi ahli silat umumnya. Akan tetapi dibandingkan dengan Biauw Eng, tentu saja mereka masih kalah jauh.

Gadis yang menjadi amat berduka dan marah ini menggerakkan pedang Lai Sek dengan cepat, ganas dan kuat sekali sehingga biarpun lima orang pengawal itu mengeroyoknya dengan tombak mereka yang terkenal ampuh, tetap saja dalam belasan jurus Biauw Eng telah merobohkan tiga orang di antara Sin-ciio Ngo-houw sehingga jumlah mayat di dalam kamar itu bertambah menjadi enam!

Akan tetapi tiba-tiba keadaan di luar gedung itu menjadi berisik sekali dan ternyata bahwa sepasukan penjaga keamanan telah menyerbu. Kota raja menjadi geger ketika mendengar bahwa seorang gadis telah mengamuk di dalam rumah gedung pembesar Ang, bahkan membunuh pembesar Ang dan banyak pembantunya.

Melihat betapa pasukan pengawal menyerbu, Biauw Eng menjadi makin marah, akan tetapi suaranya terdengar dingin menyeramkan ketika ia berkata,

"Puaskanlah hatimu, Sim-twako. Nyawamu akan mendapat tebusan banyak sekali nyawa musuh!"

Setelah berkata demikian, Biauw Eng menubruk maju dan pedangnya bergerak cepat, merobohkan dua orang sisa Sin-chio Ngo-houw dan mendesak mundur pasukan pengawal yang sudah tiba di depan pintu kamar itu. Biauw Eng maklum bahwa untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang, amatlah berbahaya kalau dia terus bertahan di dalam kamar yang sempit itu. Maka ia menerjang keluar dan di bawah teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan hujan senjata para pengeroyok, Biauw Eng mengamuk di ruangan tengah yang luas.

Apa yang dikatakan Biauw eng kepada mayat Sim Lai Sek sebelum ia meninggalkan kamar maut itu terjadilah. Biauw Eng mengamuk dengan pedang itu dan para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya itu roboh seperti rumput di babat. Mereka, para penjaga keamanan, berteriak-teriak dan mengurung, akan tetapi mereka ini seperti sekumpulan laron menerjang api, siapa yang berani mendekati Biauw Eng tentu roboh disambar sinar pedang gadis ini.

Ruangan yang luas dan biasanya bersih itu kini menjadi tempat menyeramkan, banjir darah di lantai dan di dinding, sedangkan mayat berserakan, bertumpuk, ada yang masih berkelojotan, lebih dari dua pulah orang banyaknya!

Melihat betapa pasukan pengeroyok makin banyak, Biauw Eng maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, pula dia tidak biasa mainkan pedang yang berat. Maka ia lalu melolos sabuk suteranya, meninggalkan pedang yang menancap di dada seorang pengeroyok dan begitu sinar sabuknya yang bergulung-gulung putih mengamuk, para pengeroyok mundur dan menjauh.

Jangkauan sabuk sutera yang lebih panjang daripada pedang itu membuat para pengeroyok ngeri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk meloncat dan lari keluar dari gedung dengan maksud untuk melarikan diri.

Tidak perlu lagi ia mengamuk, kematian Lai Sek sudah cukup dibalas dan kalau terlambat ia tentu akan celaka, tidak mungkin kuat menghadapi pengeroyokan pasukan keamanan yang amat besar jumlahnya dan yang makin banyak berdatangan itu.

Sabuk sutera di tangan Biauw Eng memang merupakan senjatanya yang khusus dan kalau tadi ketika memegang pedang Biauw Eng dapat diumpamakan seekor harimau marah, kini memegang sabuk suteranya dia seperti harimau yang tumbuh sayap!

Dengan membuka jalan berdarah ia berhasil keluar sambil terus mengamuk sampai di luar gedung, dimana telah menanti banyak penjaga keamanan yang terus mengurungnya. Namun Biauw Eng mengamuk terus, kini tidak lagi mengamuk untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya karena kematian Lai Sek, melainkan mengamuk untuk menyelematkan diri.

Sabuk sutera putih itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung melindungi tubuhnya sehingga senjata para pengeroyoknya tidak ada yang dapat menyentuhnya, bahkan sekali-kali kalau ada pengeroyok yang kurang hati-hati, senjatanya akan terlibat ujung sabuk dan terampas, dilemparkan sampai jauh.

Para pengeroyok berteriak-teriak saling menganjurkan kawan, dan biarpun mereka tidak mampu merobohkan Biauw Eng, sedikitnya mereka berhasil mengurung rapat sehingga sukarlah bagi Biauw Eng untuk dapat meloloskan diri.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring suara wanita,
"Semua mundur! Biarkan aku menangkap dia!"

Para pengeroyok menengok dan ketika melihat bahwa yang membentak adalah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki tampan, keduanya menunggang kuda, dan sama sekali tidak mereka kenal, para pengeroyok tidak mau ambil peduli. Akan tetapi tiba-tiba seorang perwira pengawal luar istana yang mengenal dua orang ini cepat memberi aba-aba,

"Semua pasukan mundur!"

Aba-aba ini tentu saja ditaati oleh semua pengeroyok yang menjadi terheran-heran dan terbukalah jalan yang lebar sehingga Biauw Eng kini berhadapan dengan dua orang penunggang kuda itu. Wajah Biauw Eng menjadi merah, matanya mengeluarkan sinar berapi saking marah dan bencinya ketika ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Bhe Cui Im dan laki-laki itu adalah Siauw Lek!

Tujuh orang pengawal rahasia kaisar mengatur penjagaan secara bergiliran maka terbukalah kesempatan bagi Cui Im dan Siauw Lek di waktu bebas tugas untuk berjalan-jalan. Pagi hari itu mereka berdua juga sedang bebas tugas, maka dengan menunggang kuda mereka jalan-jalan di kota raja dan kebetulan sekali mereka mendengar berita akan mengamuknya seorang gadis di gedung pembesar Ang. Karena mereka ingin menonjolkan jasa, cepat mereka mendatangi tempat itu dan ketika mereka melihat bahwa yang mengamuk adalah Biauw Eng, Cui Im terkejut dan cepat menyuruh para pengeroyok mundur.

Biauw Eng berdiri dengan sabuk sutera di tangan, maklum bahwa ia berada dalam cengkeraman bahaya maut, akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Dan sesunguhnya, apa sih artinya kematian baginya? Dia tadinya telah merupakan seorang yang hampir mati, hanya karena kenekatan dan pembelaan Sim Lai Sek yang mencintanya dan yang mengorbankan matanya maka ia masih hidup sampai sekarang.

Dia adalah seorang manusia yang seolah-olah hidup kembali dari kematian, hidup untuk kedua kalinya yang sedianya akan ia lewatkan untuk membalas budi Lai Sek. Hidupnya yang pertama telah lenyap dan mati bersama.... nama Keng Hong. Hidupnya yang kedua pun kini tidak ada artinya lagi setelah Lai Sek mati. Mengapa ia takut menghadapi kematian? Hatinya menjadi dingin sekali dan ia menghadap Cui Im dengan senyum dingin yang membuat Cui Im meremang bulu tengkuknya.

Melihat bekas sumoinya itu dalam keadaan seperti itu, pakaianya banyak yang robek dalam pertempuran tadi, rambutnya kusut dan mukanya membayangkan kedukaan besar, melihat mulut yang tersenyum dingin, tiba-tiba Cui Im teringat akan perhubungan antara mereka di waktu kecil. Tanpa turun dari kudanya ia berkata,

"Biauw Eng, engkau telah terlalu banyak menderita. Biarlah mengingat hubungan lama, aku akan mengampunimu asal engkau suka menyerah. Aku yang akan mengusahakan agar perkaramu di sini diperiksa dan engkau akan mendapat hukuman ringan."

Makin dingin senyum Biauw Eng ketika bibirnya merekah makin lebar.
"Bhe Cui Im, aku tidak butuh pengampunanmu, dan kalau engkau hendak membunuhku, coba majulah. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah takut kepadamu, perempuan durhaka, murtad dan khianat. Kalau aku tidak dapat membunuhmu saat ini, lebih baik aku mati di tanganmu!"

Wajah Cui Im menjadi merah sekali.
"Perempuan rendah! Tak tahu kebaikan orang! Mampuslah!"

Tiba-tiba tubuhnya mencelat dari atas kuda dan berubah menjadi sinar merah karena dalam kemarahannya, Cui Im mencabut pedang merahnya dan sambil meloncat itu, ia menerjang dan menyerang dengan pedangnya dengan gerakan yang hebat dan dahsyat luar biasa!

Silau juga mata Biuaw Eng menyaksikan gulungan sinar pedang yang menerjangnya itu. Kedukaan karena kematian Lai Sek ditambah pertandingan ketika ia dikeroyok membuat tubuhnya lemah dan lemas.

Akan tetapi semangatnya bangkit ketika ia melihat Cui Im, musuh besar yang membunuh ibunya. Biarpun ia maklum bahwa dia bukan tandingan Cui Im yang sekarang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, namun ia tidak gentar dan cepat sabuk suteranya bergerak mengeluarkan suara meledak ketika ia menyambut terjangan Cui Im.

"Cring.... Brettttt!"

Biauw Eng terkejut dan cepat melompat ke belakang ketika pertemuan sabuknya dengan sinar merah membuat sabuknya terbabat putus ujungnya!

"Hi-hi-hik, Biauw Eng, bersiaplah untuk mampus!"

Cui Im mengejek dan menyerang lagi, pedangnya yang berubah gulungan sinar merah itu mengeluarkan suara berdesing-desing. Cui Im sengaja mengerahkan tenaga dan kepandaiannya setiap kali Biauw Eng menangkis, sabuknya menjadi putus. Sampai enam kali sabuknya terbabat putus sehingga tinggal satu kaki panjangnya. Ia terpaksa membuang sabuknya itu dan tangan kirinya bergerak melepas senjata rahasia bola-bola putih berduri.

Akan tetapi Cui Im tertawa dan dengan mudahnya ia membabat dengan pedangnya sambil mendesak. Bola-bola itu terpukul runtuh dan sinar pedang terus mengejar Biauw Eng. Melihat datangnya tusukan ke dadanya, Biauw Eng berlaku nekat dan hendak mengadu nyawa. Biar ia mati asal ia dapat membawa serta nyawa Cui Im!

Ia sengaja bergerak lambat dan tiba-tiba ia mendoyongkan tubuh ke kiri, menjepit pedang lawan di bawah ketiak kanan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut Cui Im! Gerakan tiba-tiba ini biarpun membahayakan dirinya sendiri akan tetapi sekali tangannya berhasil mencengkeram perut, tentu perut itu akan pecah!

"Setan!"

Cui Im mendengus kaget, terpaksa menjatuhkan tubuh ke kiri, melepaskan gagang pedangnya dan rambutnya menyambar ke depan menotok ke arah leher Biauw Eng! Gadis ini miringkan tubuh, akan tetapi ujung rambut masih menampar pundaknya, membuat ia terhuyung ke belakang.

Akan tetapi Biauw Eng sudah melepaskan kempitan pedang merah dan kini ia menyambar gagang pedang itu. Pada detik berikutnya, tangannya yang memegang pedang itu ditendang Cui Im dengan cara menendang yang sama sekali tidak tersangka-sangka.

Tubuh Biauw Eng yang masih terhuyung itu kehilangan keseimbangan, pedang rampasannya mencelat dan ia pun terguling. Sambil tertawa-tawa Cui Im yang berkepandaian luar biasa itu telah menyambar kembali pedangnya, kemudian dengan langkah perlahan dan pedang ditodongkan ia menghampiri Biauw Eng yang masih nanar oleh tamparan rambut Cui Im.

Sinar merah berkelabat cepat sekali, membuat sinar kilat di depan mata Biauw Eng yang sukar mengikuti ke mana pedang hendak menyerang dan gadis ini yang merasa tak mungkin dapat menyelamatkan diri, hanya memandang sambil tersenyum dingin penuh ejekan. Pedang merah menusuk ke arah dada Biauw Eng secepat kilat!

"Tranggggg....!"

"Aiiihhhhh....!"

Cui Im kaget bukan main karena pedang itu hampir terlepas dari tangannya. Cepat ia meloncat ke belakang dan dengan mata terbelalak ia melihat bahwa yang menangkisnya adalah Keng Hong yang menggunakan Pedang Kayu Harum!

Dengan sikap tenang namun cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar tubuh Biauw Eng yang setengah pingsan, kemudian sejenak matanya bagaikan dua ujung pedang menembus jantung Cui Im ketika dia memandang wanita itu sambil berkata,

"Cui Im, perempuan sejahat-jahatnya perempuan! Tak boleh engkau mengganggu seujung rambut pun dari wanita yang kucinta sepenuh jiwaku!"

Setelah berkata demikian, menggunakan kesempatan selagi semua orang terbelalak heran dan kaget, tubuhnya meloncat tinggi melampaui kepala orang ke atas genteng, memondong tubuh Biauw Eng yang sudah pingsan ketika mendengar ucapan Keng Hong tadi.

"Keng Hong, manusia menjemukan! Kejar! Tangkap!"

Cui Im menggerakkan tangan kirinya dan sinar-sinar merah dari senjata rahasia jarumnya menyambar ke arah tubuh Keng Hong yang masih melayang. Namun dengan menggerakkan tangan kanan yang memegang Siang-bhok-kiam, hanya dengan angin sambaran pedang ini saja sudah cukup membuat sinar merah jarum-jarum itu lenyap karena jarum-jarumnya runtuh ke bawah.

Sebelum Cui Im sempat menyerang lagi, Keng Hong telah menghilang di balik wuwungan istana. Kemudian pemuda perkasa ini mengerahkan seluruh ginkangnya berloncatan dari rumah ke rumah sampai berhasil keluar dari kota raja.

Cui Im meloncat ke atas genteng mengejar, disusul oleh Siauw Lek, namun mereka berdua tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Keng Hong sehingga jauh sebelum Keng Hong keluar dari kota raja, mereka berdua sudah kehilangan jejaknya.

Terpaksa Cui Im dan Siauw Lek kembali ke tempat tadi dengan sikap murung, apalagi Cui Im yang menjadi gelisah setelah melihat munculnya Keng Hong yang ia tahu merupakan satu-satunya orang yang berbahaya dan terlalu lihai baginya. Baru tangkisan tadi saja sudah membuktikan bahwa Keng Hong benar-benar amat lihai, memiliki sinkang yang tak terlawan, kemudian gerakan Keng Hong ketika melarikan diri juga jelas membuktikan keunggulannya.

"Mulai sekarang kita harus berhati-hati. Sebelum manusia itu dapat kubunuh, hidup ini tidak tenteram bagiku," kata Cui Im kepada Siauw Lek yang sudah mendengar dari Cui Im tentang diri murid Sin-jiu Kiam-ong itu.

"Mengapa khawatir?" katanya memandang rendah. "Dengan kepandaian kita berdua, belum tentu kita kalah olehnya. Apalagi di sana ada lima orang rekan kita yang berilmu tinggi."

"Phuhhh! Apa kau kira manusia macam Pak-san Kwi-ong dan yang lain-lain itu akan suka membantu aku?"

"Kalau kita menggunakan akal sehingga Keng Hong dianggap berbahaya untuk istana, tentu saja mereka mau tak mau membantu kita menghadapi Keng Hong. Kalau kita bertujuh sudah maju mengeroyoknya, biar Keng Hong mempunyai kepala tiga dan lengan enam, masa kita tidak mampu membinasakannya?"

Ucapan Siauw Lek itu sedikit banyak menghibur hati Cui Im, akan tetapi wanita ini maklum bahwa mulai saat itu, ia tidak akan dapat menikmati makan lezat tidur nyenyak lagi.

**** 107 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: