*

*

Ads

FB

Minggu, 27 November 2016

Petualang Asmara Jilid 186

Orang Mongol itu masih nekat dan mengayun goloknya. Akan tetapi ketika berulang-ulang dia memenggal kepala dan selalu tumbuh kepala baru dari leher yang buntung, orang Mongol itu yang sejak tadi menahan rasa takutnya, kini tidak kuat lagi melihat banyak kepala berserakan di dekat kakinya, kepala yang masih hidup, tertawa dan melotot. Dia mengeluh, goloknya terlepas dan dia roboh pingsan!

Seperti tawon diusir dari sarangnya, seratus lebih Pasukan Tombak Maut itu kini berlumba melarikan diri, didahului oleh Marcus dan empat orang pemimpin Mongol! Debu mengebul tinggi ketika mereka tergesa-gesa membalapkan kuda dan membawa pergi algojo Mongol yang masih pingsan!

Kun Liong masih duduk dengan mata terbelalak ketika pundaknya ditepuk orang dari belakang. Dia menoleh dan melihat bahwa yang menepuk pundaknya adalah pemuda tampan gagah tadi. Dia terkejut, mukanya masih pucat dan ketika dia memandang lagi ke arah “mayat” yang lehernya dipenggal berkali-kali itu, ternyata bahwa kakek itu pun sudah bangkit berdiri dan kepala-kepala yang tadi berserakan di atas tanah sudah lenyap. Yang ada hanyalah kakek itu, tersenyum-senyum tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

“Eh, apa yang terjadi...? Bagaimana... mengapa...” Kun Liong masih bingung dan dengan gagap bertanya.

“Sudah kuberi isyarat, akan tetapi engkau tidak mau meniru apa yang kulakukan, sehingga engkau terpengaruh pula oleh hoatsut yang dikerahkan Suhu untuk menakut-nakuti dan mengusir mereka,” kata pemuda itu.

“Hoatsut (ilmu sihir)...? Ahhh... kiranya begitu?” Kun Liong kagum bukan main dan kini dia memandang kakek itu dengan sikap hati-hati. Tak disangkanya kakek itu memiliki kekuatan batin yang demikian hebat sehingga dapat bermain sulap dan mempengaruhi demikian banyaknya orang. Kemudian dia menjura dengan sikap hormat sambil berkata, “Kiranya saya berhadapan dengan orang pandai! Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Saya Yap Kun Liong dan bolehkan saya mengetahui nama besar Locianpwe dan saudara gagah perkasa?”

“Ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa bergelak. “Yap-sicu terlalu merendahkan diri dan bersikap sungkan. Kami guru dan murid sama sekali tidak menolong Sicu yang gagah perkasa. Kalau mau bicara tentang pertolongan, agaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku telah menolong orang-orang Mongol bodoh itu dari kematian di tangan Sicu yang amat lihai. Karena tidak ingin menyaksikan Sicu yang perkasa melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang, maka terpaksa dengan lancang aku menakut-nakuti mereka agar mereka dapat diusir tanpa dibunuh.”

Kun Liong terkejut. Kiranya kakek itu selain lihai ilmu sihirnya, juga bermata tajam dan berpemandangan luas, membuat dia makin tunduk dan cepat dia berkata,

“Locianpwe, terlalu memuji. Harap sudi memperkenalkan nama.”

“Aku disebut Hong Khi Hoatsu, seorang pertapa yang berkelana tak tentu tempat tinggal dan tempat tujuan. Dia ini adalah Lie Kong Tek, muridku yang juga menjadi anak angkatku. Yap-sicu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Sicu dimusuhi oleh gerombolan orang Mongol dan orang kulit putih itu? Sedangkan Sicu sendiri memakai pakaian orang kulit putih.”

Kun Liong menunduk memandang pakaiannya sendiri. Dia tidak ingin berpanjang cerita, apalagi menyangkut diri Lauw Kim In yang telah bersikap baik kepadanya itu.

“Mungkin karena pakaian inilah yang membuat aku dimusuhi mereka, Locianpwe. Mereka mengira bahwa aku mencuri pakaian seorang di antara teman mereka, dituduh membunuh orang itu.”






“Hemm, memang aneh melihat Sicu memakai pakaian seperti ini.”

“Memang aku mengambil pakaian ini dari mayat seorang kulit putih yang terbunuh oleh gerombolan Mongol.”

Dengan singkat Kun Liong menuturkan pengalamannya ketika dia menolong seorang kulit putih yang dikeroyok orang-orang Mongol akan tetapi yang tidak berhasil diselamatkan nyawanya itu.

“Aku disangka membunuhnya dan dikejar-kejar, untung muncul Locianpwe dan Lie-twako yang menolongku.”

Hong Khi Hoatsu tertawa.
“Jangan Sicu mengulangi kata-kata menolong. Kalau boleh aku mengetahui, Yap-sicu hendak menuju ke manakah? Mengapa sampai tersesat di tempat terasing di luar Tembok Besar ini?”

“Aku hendak pergi ke Tibet untuk suatu urusan yang amat penting, urusan pribadi.”

Berseri wajah kakek itu.
“Bagus, kalau begitu kita dapat melakukan perjalanan bersama!”

“Mana saya berani mengganggu Locianpwe?”

“Ah, pertemuan ini berarti bahwa ada jodoh di antara kita, Yap-sicu. Kalau Sicu tidak bertemu dengan kami, tentu tidak ada yang memberi tahu bahwa Sicu telah keliru mengambil jalan!”

“Apa maksud Locianpwe?”

“Perjalanan menuju ke Tibet sebaiknya dilakukan melalui pedalaman. Dari sini menyeberang Tembok Besar memasuki pedalaman terus ke selatan, setelah tiba di Propinsi Shantung. barulah ke barat melalui Secuan. Dengan demikian, selain perjalanan lebih cepat, juga jauh lebih aman. Melalui pegunungan dan padang pasir di luar Tembok Besar merupakan perjalanan yang amat sukar, berbahaya, dan karenanya akan memakan waktu lebih lama.”

“Aihh! Begitukah?” Kun Liong berseru kaget dan juga girang.

“Karena itu, marilah Sicu melakukan perjalanan bersama kami. Selain Sicu memperoleh petunjuk jalan, juga kalau Sicu sudi membantu kami membutuhkan bantuan Sicu.”

Kun Liong tidak segera menyanggupi.
“Ji-wi hendak pergi ke manakah?”

“Kami bertujuan pergi ke muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning...”

“Ahhh...!”

Kun Liong terkejut sekali karena segera teringat dia akan orang kulit putih yang dia rampas pakaiannya, kata-kata pesanan orang itu sebelum mati.

“Mengapa Yap-sicu terkejut?” kakek itu bertanya.

“Apakah ada hubungannya dengan Pek-lian-kauw?” Kun Liong memancing.

Kini kakek dan pemuda ganteng itu yang kaget. Hong Khi Hoatsu memandang tajam lalu bertanya,

“Yap-sicu, kita adalah orang-orang sendiri yang tidak harus merahasiakan sesuatu. Dari mana Sicu tahu akan Pek-lian-kauw yang berada di muara Sungai Huai?”

“Aku mendengar dari pemilik pakaian ini, sebelum dia mati, dia meninggalkan kata-kata tentang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning.”

“Bagus sekali! Jadi jelas bahwa Sicu bukanlah sahabat Pek-lian-kauw, bukan?”

“Tentu saja bukan, Locianpwe. Bahkan di waktu kecil dahulu, hampir saja saya dibunuh seorang tosu Pek-lian-kauw bernama Loan Khi Tosu.”

“Hemm, kalau begitu kebetulan sekali. Sicu tentu sudi membantu kami untuk suatu usaha menolong orang dan berhadapan dengan Pek-lian-kauw, bukan?”

“Harap Locianpwe menceritakan persoalannya lebih dulu sebelum saya menyatakan kesanggupan saya.”

“Kami benar-benar mengharapkan bantuan Sicu karena menyaksikan gerakan Sicu tadi kami merasa yakin bahwa hanya seorang dengan kepandaian seperti Sicu yang akan dapat membantu. Ketahuilah, Yap-sicu. Ketika aku bersama muridku mengunjungi seorang sahabat baikku di luar Tembok Besar, kami melihat dia berada di ambang kematian karena luka-lukanya. Dia telah bentrok dengan Pek-lian-kauw, dan dalam pertandingan yang hebat, dia terluka parah dan puterinya telah tertawan dan diculik oleh kaum Pek-lian-kauw yang berkedudukan di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Sebelum mati, sahabatku itu berpesan agar kami suka menolong puterinya itu, bahkan dia menyerahkan puterinya itu kepadaku untuk dijodohkan dengan muridku.”

“Hemm...” Kun Liong mengangguk-angguk sambil melirik ke arah pemuda tampan itu yang sejak tadi diam saja. Mereka bertemu pandang dan Lie Kong Tek berkata, “Saudara Yap, pesan seorang yang sedang sekarat merupakan pesan keramat. Biarpun saya tidak setuju dengan ikatan jodoh yang mendadak ini, namun saya tidak tega untuk menolak, dan terserah kepada Suhu. Betapapun juga, kami harus menolong gadis yang belum pernah kami lihat itu. Hanya kami ketahui namanya, yaitu Bu Li Cun.”

Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong berkata,
“Kalau demikian persoalannya, tentu saja saya dengan senang hati akan membantu Ji-wi!”

“Bagus! Dengan bantuan Yap-sicu, tugas kami menjadi lebih ringan dan makin besar harapannya akan berhasil baik!” Kakek itu tertawa-tawa gembira.

Lie Kong Tek lalu membuka bungkusan pakaiannya, menyerahkan satu stel pakaian kepada Kun Liong sambil berkata,

“Saudara Yap, harap kau suka memakai pakaian ini. Pakaianmu itu hanya akan menimbulkan kecurigaan dan keributan saja.”

Kun Liong tersenyum. Tanpa membantah dia menerima pakaian lalu mengganti pakaiannya yang memang aneh itu. Setelah mengenakan pakaian biasa, barulah terasa enak dan lega hatinya dan sambil tersenyum dia mengucapkan terima kasih kepada sahabat baru itu.

“Eh, Yap-sicu. Aku merasa heran sekali melihat bentuk rambut kepalamu dan takkan puas aku sebelum mendengar darimu mengapa rambutmu menjadi begitu pendek,” kakek yang suka berkelakar dan suka mengobrol itu bertanya.

Kun Liong meraba-raba kepalanya, merasa beruntung bahwa kini kepalanya sudah berambut. Sudah berambut saja, karena masih pendek, sudah menjadi perhatian dan pertanyaan orang, apalagi kalau masih gundul!

“Panjang ceritanya, Locianpwe.”

“Kalau begitu, mari kita melanjutkan perjalanan dan harap kau suka menceritakan di dalam perjalanan, Yap-sicu.”

Berangkatlah tiga orang itu ke selatan sambil bercakap-cakap dan Kun Liong makin merasa suka kepada guru dan murid itu. Dia mulai membuka sedikit perihal dirinya dengan menceritakan betapa rambutnya pernah gundul karena pengaruh racun akan tetapi sekarang telah sembuh.

Beberapa hari kemudian, Kun Liong sudah menjadi sahabat baik Lie Kong Tek dan diam-diam dia merasa kagum dan heran. Kagum karena baik si guru maupun si murid merupakan orang-orang gagah dan budiman, jujur dan ramah, akan tetapi dia juga heran mengapa terdapat perbedaan seperti bumi dan langit antara guru dan murid itu. Kalau gurunya suka mengobrol, gembira dan jenaka, adalah si murid pendiam dan serius sehingga sukar sekali mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Lie Kong Tek ini.

Setelah mereka melewati Tembok Besar, mulailah Kun Liong melihat peradaban, melihat lagi kota-kota dan penduduknya, bertemu dengan manusia-manusia biasa di dunia ramai. Namun, berbeda dengan dahulu, semua itu hanya merupakan hiburan sepintas lalu saja karena hati dan pikirannya selalu penuh dengan bayangan wajah Pek Hong Ing dan seringkali dia merasa gelisah memikirkan keselamatan wanita yang dicintanya itu.

**** 186 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: