*

*

Ads

FB

Selasa, 16 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 106

Apa yang dikhawatirkan Biauw Eng terjadi pada malam kelima semenjak dia tinggal di situ. Malam itu selagi ia merebahkan diri di atas dipan yang mewah, dengan tilam sutera merah muda, rebah termenung memikirkan nasibnya, dan terutama sekali membayangkan wajah Keng Hong, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang.

Ia cepat melompat dengan sigap terbawa oleh reaksi tubuhnya sebagai seorang ahli silat yang selalu siap siaga dan waspada lahir batin. Akan tetapi ia segera bersikap biasa untuk menyembunyikan kepandaiannya, berjalan perlahan menuju pintu dan membukakan daun pintu. Ia terheran melihat bahwa yang datang adalah Ang Joan Ti yang berpakaian indah, diikuti oleh empat orang pelayan wanita yang tersenyum-senyum dan masing-masing membawa nampan yang terisi masakan-masakan yang masih panas mengepul dan berbau sedap.

"Taijin mau ..... apakah....?”

Biauw Eng bertanya, menindas perasaan dan pura-pura tidak mengerti sungguh pun dari senyum dan pandang mata pembesar itu ia dapat menduga maksud kedatangan orang ini.

Akan tetapi Ang Taijin hanya tersenyum, bahkan menoleh pada para pelayan dan berkata,

"Cepat atur di atas meja dan segera pergi meninggalkan kami!!"

Biarpun suara pembesar itu setengah membentak, yang dibentak tersenyum-senyum dan mengatur makanan di atas meja dalam kamar, kemudian sambil membungkuk-bungkuk dan tertawa-tawa genit mengerling ke arah Biauw Eng, mereka meninggalkan kamar dan menutup daun pintunya.

"Nah, baru sekarang aku dapat menjawab pertanyaanmu tadi, Siauw-moi. Aku sengaja datang membawa hidangan ini karena aku tahu betapa engkau kesepian. Aku merasa kasihan kepadamu, maka aku ingin mengajakmu makan bersama sambil minum arak wangi untuk menghilangkan kesepian dan kekesalan hatimu. Marilah duduk, Manis, dan kusuguhkan arak untukmu!"

"Taijin, ini tidak boleh, tidak layak. Harap Taijin suka keluar dari kamar ini dan jangan menggangguku. Bagaimana Taijin boleh memasuki kamarku seperti ini? Aku adalah calon isteri Sim Lai Sek!"

"Heh heh heh, aku tidak akan mengganggumu menjadi isterinya, Manis. Akan kunikahkan engkau dengan si buta itu, ehemmm......hanya untuk di luarnya saja bukan? Padahal sesungguhnya, ahhhh......kita lebih cocok, dan semenjak aku melihatmu, aku sudah suka sekali kepadamu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, Sie Biauw Eng yang jelita. Engkau akan hidup mewah, apa pun yang kau minta akan kuberikan, asal engkau suka melayani aku. Marilah....!" Pembesar itu mendekat akan tetapi Sie Biauw Eng melangkah mundur.

"Jangan Taijin, aku adalah tunangan Sim Lai Sek dan dia masih hidup, bagaimana aku sudi berbuat serong? Aku bukan perempuan macam itu! Pergilah Taijin sebelum aku kehabisan kesabaranku."






Ang Taijin tertawa.
"Ihhh, pakai malu-malu kucing segala? Aku pun tahu kau lebih suka kepadaku daripada pemuda buta yang tak dapat menghargai kecantikanmu dengan matanya......!"

"Cukup!!"

Biauw Eng membentak dan saking marahnya ia menusuk kan jari-jari tangannya ke permukaan meja.

"Plongggg!!"

Jari-jari tangan sebanyak lima buah yang kecil mungil itu amblas menusuk meja sampai tembus ke bawahnya. Ketika diangkat, tampak lima buah lubang kecil bekas tusukan jari. Melihat ini, seketika wajah Ang Taijin menjadi pucat.

"Taijin aku dapat menguasai jari tanganku, akan tetapi kalau kesabaranku hilang dan aku tidak dapat menguasai hatiku, jangan-jangan bukan meja yang kutusuk bolong, melainkan kepala orang,. Pergilah!"

"Aihhh.....kiranya engkau pandai silat. Hemm..tentu saja, Lai Sek juga seorang ahli silat. Baiklah aku tidak akan mengganggumu kalau engkau tidak suka melayani orang lain karena Lai Sek masih hidup. Akan tetapi katakanlah Nona Biauw Eng yang manis, andaikata di sana tidak ada Lai Sek, engkau tentu suka menyambut cinta kasihku , bukan?”

Agaknya pembesar ini masih tercengang karena belum pernah ada wanita menolak cintanya dan agaknya bagi laki-laki ini merupakan suatu hal yang mustahil kalau ada wanita yang tidak suka menjadi kekasih pembesar Ang.

Biauw Eng sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya, maka untuk membuat pembesar itu cepat pergi, ia berkata,

"Kalau begitu lain lagi, Nah, pergilah dan jangan pernah berani lagi memasuki kamar ini!"

Pembesar itu menghela napas dan pergi meninggalkan kamar Biauw Eng. Setelah pembesar itu pergi, barulah Biauw Eng teringat akan keselamatan Lai Sek dan teringat akan ucapan Ang Taijin, ia cepat meniup padam lilin di atas meja, kemudia meloncat keluar melalui jendela kamarnya dan membayangi Ang Taijin yang memasuki ruangan tengah.

Di ruangan ini, Ang Taijin bicara perlahan dengan seorang laki-laki berhidung bengkok yang agaknya menjadi penasehatnya. Biauw Eng cepat menghampiri, bersembunyi dan mengintai.

"Akan tetapi dia pandai silat dan bayangkan sekali tusuk dengan jari tangan ia mampu melubangi meja! Kalau tusukan itu mengenai kepala, celaka! Mana bisa aku memaksa denga kekerasan?" terdengar suara pembesar itu penuh penyesalan.

"Mengapa mengkhawatirkan dia? Ilmu silat seorang gadis cantik itu saja apa artinya? Malam ini juga akan kupanggil Sin-chio Ngo-houw (Lima Harimau Bertombak Sakti) yang menjaga di luar istana untuk mengawal paduka dan kalau perlu menghadapinya,"

"Akan tetapi bagaimana agar dia mau? Aku paling tidak suka mendapatkan wanita dengan kekerasan. Lebih menyenangkan kalau dia menyerahkan diri dengan suka rela dan suka hati, hemmm......!"

"Begini, Taijin....."

Si Hidung Bengkok itu lalu mendekatkan mulut ke telinga pembesar itu, berbisik-bisik sehingga Biauw Eng tidak mampu mendengar apa yang dikatakannya, sedangkan pembesar itu mengerutkan kening, kadang-kadang menggeleng, kadang-kadang cemberut, akan tetapi kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum.

Biauw Eng tidak peduli lagi. Paling-paling mereka itu mengatur siasat untuk menundukkannya dan hal ini ia anggap remeh karena apa pun yang akan mereka lakukan terhadap dirinya, ia tidak khawatir dan merasa yakin akan dapat melindungi dirinya sendiri.

Akan tetapi ia mengkhawatirkan keadaan Lai Sek. Biarpun pemuda itu juga bukan orang lemah akan tetapi karena kedua matanya buta tentu saja tidak dapat menjaga dirinya sendiri dengan baik. Ia lalu meloncat pergi tanpa meninggalkan suara, mendatangi kamar Lai Sek dan mengintai dari atas. Ketika ia melihat Lai Sek sedang tidur pulas dan dalam keadaan selamat, baru ia lega dan kembali ke kamarnya.

Melihat hidangan yang masih panas dan ternyata merupakan masakan-masakan yang lezat, ia tersenyum, menyambar sumpit dan makan beberapa potong daging dan sayur, dipilih yang enak-enak sambil kadang-kadang tersenyum mengenangkan sikap Ang Taijin yang dianggapnya seorang badut yang menggelikan dan juga menyebalkan.

Boleh jadi Biauw Eng seorang gadis gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dalam hal pengalaman menghadapi tipu muslihat dan kejahatan hati manusia, ia masih hijau. Ia tidak mengira bahwa hati laki-laki yang sudah tergila-gila pada seorang wanita dapat menelurkan perbuatan-perbuatan maksiat yang amat keji, tidak pantang melakukan perbuatan apa pun untuk mencapai dorongan nafsu berahinya.

Tiga malam berturut-turut setelah kejadian itu, Biauw Eng tidak pernah diganggu dan ia sudah merasa lega, mengira Ang Taijin tentu jerih oleh ancamannya, maka ia pun tidak menyatakan sesuatu kepada Lai Sek untuk mencegah terjadinya keributan.

Akan tetapi pada suatu pagi di hari keempatnya ia terbangun, ia kaget sekali mendengar jerit tangis wanita disusul tangis melolong-lolong. Ia meloncat turun dan tiba-tiba daun pintunya dibuka dari luar oleh pelayan yang biasa melayaninya. Pelayan itu pun menangis dan serta merta menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.

"Celaka, Siocia.....celaka...... ah, mengerikan sekali....!"

"Apa yang terjadi?" Biauw Eng bertanya, masih tenang.

"Sim-kongcu.....dia.....dia membunuh diri di kamarnya....!"

Tiba-tiba tubuh Biauw Eng berkelebat dari tempat itu, dan ketika pelayan itu mengangkat muka, gadis itu telah lenyap. Cepat sekali Biauw Eng tiba di tempat Lai Sek dan di situ ia melihat pelayan wanita yang biasa melayani Lai Sek menangis di atas lantai. Kamar itu penuh orang, ada tiga orang pelayan wanita, dua orang pelayan pria yang dilihat Biauw Eng malam itu, bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang memegang tombak.

Mereka semua memandangnya ketika ia memasuki kamar Lai Sek. Biauw Eng tidak mempedulikan semua orang, langsung ia berlutut di dekat tubuh Lai Sek yang telah menggeletak tanpa nyawa di atas lantai. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pedang, pedang milik Lai Sek, yang kini menembus perutnya sampai ke punggung, sedangkan tangan kiri pemuda itu mencengkeram sehelai kertas.

Dengan muka pucat Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar telah tewas. Ia segera mengambil kertas bertulis dari genggaman tangan kiri Lai Sek, merapikan dan membacanya. Surat itu ditujukan kepadanya dan ia mengenal tulisan Lai Sek.

Eng-moi,

Aku maklum bahwa seorang pemuda tak berharga seperti aku hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan hidupmu. Seorang gadis sepertimu berhak untuk hidup mulia sebagai seorang puteri terhormat, di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu. Maka, aku mengalah dan lebih baik aku pergi selamanya.

Selamat tinggal, Sim Lai Sek

"Ah, Twako....!"

Biauw Eng tidak dapat menahan keharuan dan kedukaan hatinya. Ia menangis dan memeluki tubuh Lai Sek yang telah menjadi mayat itu. Ketika ia menangis dan wajahnya dekat sekali dengan leher pemuda yang telah tewas itu karena ia merebahkan mukanya di dada Lai Sek, pandang matanya tertarik oleh dua titik menghitam di dekat tenggorokan. Ia mengusap air matanya dan mengangkat dagu mayat itu. Jelas kini tampak dua titik menghitam sebesar ujung jari tangan. Ia menyentuhnya dan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Ia tahu bahwa pemuda itu bukan tewas oleh pedang, melainkan tewas atau sedikitnya roboh oleh totokan dua buah jari tangan yang mengandung hawa beracun!

Cepat ia memeriksa luka di perut yang masih tertancap pedang. Tidak terdapat darah pada luka itu. Hal ini hanya berarti bahwa pedang itu ditusukkan ke perut setelah pemuda ini tewas! Karena hatinya masih ragu-ragu, ia membuka surat itu kembali dan membacanya melalui air matanya, membacanya kembali dengan penuh perhatian. Sudah dua tiga kali ia melihat tulisan tangan Lai Sek dan gaya tulisan, bentuk huruf-huruf surat ini memang benar seperti tulisan Lai Sek. Akan tetapi..... tiba-tiba wajahnya berubah. Tulisan yang berbunyi

"di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu" amat menarik perhatiannya.

Lai Sek mengerti bahwa satu-satunya orang yang ia cinta adalah Keng Hong! Dan Keng Hong adalah seorang sebatangkara yang miskin. Mengapa Lai Sek menyatakan bahwa orang yang dicintanya dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya?

"Aduh...., Siauw-moi.... ah, kasihan sekali Lai Sek....! Ah, bagaimana bisa terjadi malapetaka ini...?"

Ucapan yang keluar dari mulut Ang-taijin yang baru tiba ini mengingatkan Biauw Eng akan segala sikap dan ucapan pembesar ini ketika hendak menggodanya beberapa malam yang lalu. Gadis ini menekan kemarahannya dan cepat ia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya, memandang pembesar itu dengan mata basah akan tetapi sambil mengacungkan surat di tangannya ia bertanya cepat,

"Taijin, aku ... Aku tidak mengerti.... apa maksud tulisannya ini? Siapa yang dia maksudkan dan mengapa dia mengalah?"

"Masa engkau tidak mengerti, Siauw-moi? Dia maksudkan aku, dan tentu dia mengalah karena merasa takkan mapu membahagiakan engkau.... maka, sudahlah jangan berduka, Siauw-moi, di sini ada aku yang...."

Tiba-tiba pembesar itu menghentikan kata-katanya ketika melihat wajah yang cantik itu menjadi beringas, sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar seperti berapi.

"Bagaimana engkau bisa mengetahui isi suratnya??" Biauw Eng membentak, suaranya melengking penuh kemarahan meluap-luap.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: