*

*

Ads

FB

Selasa, 06 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 229

Pertempuran di luar sarang itu masih berlangsung dengan hebatnya. Cia Keng Hong berhadapan dengan Thian Hwa Cinjin sedangkan Sie Biauw Eng bertanding melawan Hwa I Lojin.

Kalau saja tidak terdapat begitu banyaknya anggauta Pek-lian-kauw yang mengeroyok, tentu dengan mudahnya suami isteri itu akan dapat mengalahkan dua orang kakek itu. Akan tetapi pengeroyokan belasan orang tokoh Pek-lian-kauw dan puluhan orang anak buahnya membuat suami isteri itu kewalahan juga!

Apalagi karena Keng Hong masih tidak tega untuk menyebar maut diantara mereka, hanya merobohkan mereka tanpa membunuh, tidak seperti Biauw Eng yang tidak mempunyai pantangan lagi saking marahnya, sabuk sutera putihnya dibantu dengan pukulan beracun Ngo-tok-ciang (Pukulan Lima Racun) yang sudah lama tidak dipergunakannya lagi namun masih dilatihnya, menyebar maut diantara para pengeroyoknya.

Nyonya ini tidak peduli bahwa di bawah pengeroyokan ketat itu, dia telah menderita dua kali bacokan golok yang membuat pundak kirinya dan paha kanannya terluka dan berdarah. Bahkan rasa nyeri di kedua tempat ini membuat dia menjadi makin ganas dan mengamuk makin hebat.

“Supek, teecu telah berhasil membebaskan Sumoi dan Lie-toako yang mengamuk dari dalam!”

Munculnya Kun Liong dengan seruannya ini membuat hati suami isteri itu lega sekali, dan Kun Liong tidak dapat bicara lebih banyak lagi karena dia pun sudah harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali anggauta Pek-lian-kauw. Seperti juga Keng Hong, pemuda ini mengamuk sambil menjaga jangan sampai dia sembarangan membunuh orang.

Pertempuran itu tentu akan berlangsung lama sekali kalau saja tidak terjadi hal yang mengejutkan hati Thian Hwa Cinjin dan anak buahnya. Terdengar suara teriakan-teriakan tinggi nyaring dan menyerbulah dua puluh orang wanita yang dipimpin oleh seorang gadis cantik yang gerakannya ganas dan amat lihai!

Mereka ini langsung menyerang para anggauta Pek-lian-kauw sehingga mereka itu terkejut dan kepungan mereka menjadi cerai berai, sedangkan pemimpin rombongan wanita itu sendiri langsung membantu Kun Liong mengamuk!

“Bi Kiok...!” Kun Liong berseru, kaget, heran dan juga girang karena gadis bersama rombongannya ini datang-datang membantunya. “Mengapa kau berada di sini dan siapa mereka itu?”

Bi Kiok tersenyum dan dengan tenang pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat berkelebat tiga kali maka robohlah tiga orang pengeroyok, dengan kepala terpisah dari tubuhnya! Kun Liong bergidik menyaksikan keganasan ini.

“Mereka adalah anak buahku, dan aku sengaja datang untuk menghajar Pek-lian-kauw yang berani menculik seorang anak buahku. Kebetulan kita dapat berjumpa di sini. Ini namanya jodoh!”

Kun Liong bergidik, teringat akan desakan dara ini untuk mengajak hidup bersama. Maka dia tidak banyak cakap lagi dan segera menerjang ke depan, melempar-lemparkan dua orang pengeroyok yang terdekat.

Kini Keng Hong dan Biauw Eng dapat mendesak kedua orang lawannya. Bahkan dengan pekik melengking nyaring, sabuk sutera di tangan Biauw Eng menyambar-nyambar dan sekaligus mengirim serangan totokan ke tujuh belas bagian jalan darah yang terpenting di tubuh Hwa I Lojin.






Kakek ini terkejut, menangkis dengan pedangnya dan berusaha menangkap ujung sabuk dengan tangan kirinya, namun hasilnya sia-sia saja. Setelah kini langsung berhadapan sendiri dengan kakek itu, tanpa ada pengeroyok lain, Biauw Eng dapat mencurahkan perhatiannya sehingga daya serangnya amat hebat.

Terdengar kakek itu memekik keras ketika jalan darah di pinggang terkena totokan ujung sabuk sutera. Dia terhuyung dan pada saat itu, ujung sabuk sutera sudah menyambar lagi.

“Cratttt...!”

Tidak begitu jelas bagaimana caranya ujung sabuk itu menghantam, akan tetapi tahu-tahu Hwa I Lojin roboh terguling dan berkelojotan sekarat. Ternyata bahwa ujung sabuk sutera tadi telah mengenai pelipis kepalanya, membuat bagian kepala yang lemah itu retak dan tentu saja nyawanya melayang tak lama kemudian!

Melihat ini, Thian Hwa Cinjin terkejut dan cepat dia mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba dari ujung tongkatnya keluar asap hitam yang tebal. Keng Hong cepat meloncat ke belakang, maklum betapa licik dan curangnya Ketua Pek-lian-kauw ini.

“Semua berhenti...! Jangan berkelahi...! Aku, Thian Hwa Cinjin memerintahkan kalian! Berhenti berkelahi...!”

Suara ini bergema menyeramkan dan mengandung kekuatan mujijat yang menggetarkan jantung. Keng Hong sendiri tercengang dan sejenak seperti tak mampu bergerak, demikian pula mereka yang sedang bertanding tiba-tiba berhenti dan memandang ke arah kakek itu seperti patung-patung hidup!

“Kalian semua berlututlah...! Berlutut dan taat kepada semua perintahku! Dengarlah baik-baik...!”

Kembali suara ini memaksa banyak orang menekuk lutut di luar kehendak mereka sendiri. Hanya Kun Liong, Keng Hong dan Biauw Eng serta Yo Bi Kiok yang masih belum bertekuk lutut sungguhpun mereka juga terpesona oleh pengaruh mujijat dalam suara Thian Hwa Cinjin yang kini berdiri di dalam selubungan uap hitam itu.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan muncullah seorang kakek aneh yang pakaiannya kedodoran terlalu besar, celananya kotak-kotak bajunya kembang-kembang, kepalanya memakai kopyah bayi! Dia ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, kakek ahli hoat-sut (sihir), guru dari Lie Kong Tek.

“Ha-ha-ha, si tukang sulap, kembali mengeluarkan ilmu hitamnya untuk menyelamatkan diri. Ha-ha-ha, betapa tidak gagahnya, betapa curangnya. Cu-wi sekalian mengapa berlutut? Dia hanya main gertak belaka!”

Suara ketawa dari kakek ini terdengar aneh dan mengandung kekuatan luar biasa pula yang seolah-olah membuyarkan pengaruh ajaib yang ditimbulkan oleh suara Thian Hwa Cinjin tadi.

Semua orang terkejut dan insyaf, lalu meloncat bangun dan mulai menyerang lagi kepada para anggauta Pek-lian-kauw!

“Hong Khi Hoatsu keparat...!”

Ketua Pek-lian-kauw itu membentak marah dan tongkatnya digerakkan secara hebat sambil meloncat ke arah kakek itu, menerjang dengan pukulan maut!

“Trakkk... krekkk!”

Tongkat itu patah menjadi dua bertemu dengan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) di tangan Cia Keng Hong yang sudah sadar dan melindungi Hong Khi Hoatsu.

Thian Hwa Cinjin terkejut sekali, cepat dia meloncat ke belakang dan lari masuk ke dalam sarangnya, dengan niat untuk bersembunyi dan melarikan diri melalui lorong rahasia.

“Sing?singgg...!” Sinar-sinar menyilaukan mata menyambar dan mengejar kakek ini.

“Aduhhhh...!”

Thian Hwa Cinjin tidak berhasil mengelak semua senjata rahasia yang dilontarkan oleh Biauw Eng kepadanya ketika dia lari. Tengkuknya kena dihantam oleh bola putih berduri dan punggungnya menjadi sarang sebatang tusuk konde bunga bwe.

Dia terhuyung namun masih dapat berlari terus meloncat ke ruangan depan dan pada saat itu, dari dalam muncullah Giok Keng dan Lie Kong Tek. Ketika mereka melihat kakek yang amat dibencinya ini hendak lari ke dalam dan sudah terluka dan terhuyung-huyung, mereka segera menubruk ke depan dan menyerang. Giok Keng menusukkan pedangnya dan Kong Tek menghantamkan tongkatnya ke arah kepala kakek itu.

“Trakk! Blesss... aughhhh...!”

Kakek itu dapat menerima hantaman tongkat di kepalanya, membuat tongkat itu terpental bahkan terlepas dari tangan Kong Tek, akan tetapi tusukan pedang yang dilakukan oleh Giok Keng dengan pengerahan tenaga sin-kang, menancap di ulu hatinya dan menembus sampai ke punggungnya.

“Keparat... kau harus mampus...!”

Kakek itu masih dapat memaki dan tangannya diulur ke depan hendak mencengkeram dada Giok Keng.

“Dessss...!”

“Lie-toako...!”

Kiranya melihat kakek itu masih mampu menyerang bahkan mengancam keselamatan Giok Keng, Kong Tek cepat menggunakan lengannya menangkis sehingga lengannya yang kena dicengkeram oleh tangan kakek itu. Biarpun pemuda ini sudah mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tulang lengannya patah dan kakek itu tergelimpang, tewas.

“Ah, lenganmu...!” Giok Keng menghampiri Kong Tek dan memeriksa lengannya yang berlumuran darah.

“Tidak apa-apa... untung engkau selamat.” Kong Tek berkata sambil tersenyum menahan sakit.

“Toako... kau... kau selalu berkorban untukku...”

“Hemmm, sudah semestinya...”

Giok Keng merobek ujung bajunya lalu membalut erat-erat luka di lengan pemuda itu. Ketika ayah bundanya dan Hong Khi Hoatsu menghampiri, dia masih membalut dengan sikap penuh perhatian sehingga diam-diam Hong Khi Hoatsu tertawa dan Cia Keng Hong bertukar pandang dengan isterinya.

Para anggota Pek-lian-kauw buyar dan melarikan diri setelah melihat tewasnya ketua mereka dan para pimpinan mereka. Biauw Eng memeluk puterinya dan Giok Keng yang merasa telah membuat banyak kesusahan kepada orang tuanya itu, menangis dalam pelukan ibunya.

“Ha-ha-ha-ha, pinto sudah melihat semuanya dan kini, di depan puterimu dan isterimu, Cia-taihiap, pinto mengulangi pinangan pinto untuk menjodohkan murid pinto Lie Kong Tek dan puterimu Cia Giok Keng. Bagaimana?”

“Aku menyerahkan keputusannya kepada isteriku,” jawab Keng Hong sambil melirik ke arah isterinya.

“Dan aku menyerahkan jawabannya kepada Keng-ji,” kata Biauw Eng.

“Ha-ha-ha-ha, eh, Kong Tek, bagaimana pendapatmu? Apakah Nona ini sudah setuju?”

“Kami sudah saling setuju, Suhu...”

Kong Tek menjawab singkat sambil menunduk.
“Keng-moi, harap kau suka menjawab agar melegakan hati para orang tua.”

Giok Keng mengangkat mukanya yang merah sekali.
“Aku... aku menyerahkan kepada Ayah dan Ibu saja.”

Keng Hong dan isterinya saling pandang dan sinar kegembiraan terpancar di wajah mereka.

“Bagus, memang sudah semestinya kalau anak selalu berunding dengan orang tua mengenai hari depannya, karena pandangan orang tua tentu lebih mendalam dan luas. Kami sudah setuju sekali mempunyai mantu seperti Lie Kong Tek ini, Keng-ji.” kata Keng Hong. “Marilah kita semua pergi ke Cin-ling-san untuk membicarakan persoalan ini, dan Kong Tek harus pula beristirahat dan berobat. Dan Kun Liong... eh, mana dia...?”

Semua mata menoleh dan mencari. Ternyata Kun Liong sedang berdebat dengan Bi Kiok!

“Kun Liong. Kau tahu bahwa adikmu tidak mau berpisah dari aku, dan dia akan menjadi murid tunggal dan ahli waris semua ilmuku. Kau tahu pula bahwa aku cinta padamu, maka demi kebahagiaan kita bertiga, aku mengulang lagi permintaanku agar kau suka hidup bersama-sama.”

Kun Liong memandang Bi Kiok dengan wajah terharu dan dia menggeleng kepala.
“Bi Kiok, kau maafkanlah aku. Kau terlalu memudahkan urusan jodoh. Jodoh tak mungkin dapat dilaksanakan apabila cinta kasih hanya datang dari sepihak saja. Kalau dipaksakan, kelak hanya akan mendatangkan kekecewaan dan penyesalan belaka. Aku suka kepadamu sebagai sahabat atau saudara, akan tetapi aku telah jatuh cinta kepada seorang wanita lain, Bi Kiok. Aku hanya titip adikku agar kau rawat dan didik baik-baik.”

Bi Kiok menyusut air matanya.
“Baiklah, kalau kau tidak mau menjadi suamiku, ingatlah bahwa engkau akan mempunyai seorang musuh untuk selama hidupmu, yaitu Yo Bi Kiok!”

Setelah berkata demikian, wanita ini menggerakkan pedangnya memberi isyarat kepada dua puluh anak buahnya untuk pergi dari situ.

“Bi Kiok...!”

Kun Liong memanggil akan tetapi gadis itu telah pergi tanpa menoleh lagi, sambil mengusap air matanya.

Mereka menghampiri Kun Liong yang masih berdiri termenung memandang bayangan Bi Kiok.

“Kun Liong, apakah yang telah terjadi? Siapa dia yang membantu kita?”

Kun Liong baru sadar ketika mendengar suara supeknya itu. Mukanya menjadi merah sekali. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan apa yang terjadi, karena semua itu hanya akan membuka rahasianya sebagai seorang pemuda petualang asmara yang ceriwis dan yang mendatangkan banyak akibat yang baru dirasakannya sekarang!

Andaikata dia dahulu tidak suka menggoda wanita, andaikata dia tidak bersikap ceriwis dan menggoda Bi Kiok, tidak mungkin Bi Kiok menjadi jatuh hati kepadanya, dan mengira bahwa dia pun mencinta dara itu!

“Supek, dia adalah bekas murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang sudah bertobat dan menjadi orang baik, dahulu adalah sahabat saya. Bahkan... adik kandung saya, Yap In Hong kini telah menjadi muridnya.”

“Ohhh...!” Biauw Eng berseru kaget.

Mengerti akan kekagetan dan keheranan nyonya ini, Kun Liong berkata,
“Saya telah bertemu dengan Adik In Hong secara kebetulan. Akan tetapi ternyata Adik In Hong lebih suka tinggal bersama gurunya yang telah menolongnya itu. Yo Bi Kiok tadi datang bersama anak buahnya secara kebetulan saja karena dia pun bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang telah berani menculik seorang anak buahnya.”

Setelah bercerita demikian Kun Liong tidak mau membuka mulut lebih lebar lagi tentang diri Bi Kiok, yang berarti akan mengungkapkan semua rahasia pribadinya.

Beramai-ramai mereka semua lalu meninggalkan Pek-lian-kauw, menuju ke Cin-ling-san. Kun Liong merasa lega dan girang sekali mendenrgar bahwa Giok Keng akan berjodoh dengan Kong Tek yang dianggapnya seorang pemuda gagah perkasa yang pantas menjadi menantu Ketua Cin-ling-pai.

Perjodohan yang tadinya diusulkan oleh supeknya dan diputuskan oleh dia dan Giok Keng selalu mengganggu hatinya selama ini, membuatnya tidak enak hati terhadap supeknya. Akan tetapi setelah kini Giok Keng memperoleh jodoh, hal itu tentu saja tidak menjadikan gangguan lagi.

Beberapa bulan kemudian, dilangsungkanlah pernikahan ganda yang dirayakan secara meriah di Cin-ling-san, yaitu pernikahan antara Yap Kun Liong dengan Pek Hong Ing, dan Lie Kong Tek dengan Cia Giok Keng. Perayaan ini disaksikan oleh banyak tamu yang terdiri dari orang-orang ternama di dunia kang-ouw, bahkan Yang Mulia Menteri The Hoo sendiri berkenan menghadiri perayaan pernikahan itu dan memberikan restunya!

Tidak ketinggalan tokoh-tokoh tua terhormat seperti Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai, Tio Hok Gwan pengawal setia dari The Hoo, Kok Beng Lama, Hong Khi Hoatsu, dan para pimpinan partai-partai persilatan besar. Hanya satu hal yang membuat hati Kun Liong agak gelisah dan tidak nyaman yaitu ketidak hadiran adik kandungnya dan gurunya, yaitu Yo Bi Kiok yang bersumpah akan menjadi musuhnya selama hidup!

Sampai di sini pengarang mengakhiri ceritaPetualang Asmara ini dengan harapan mudah-mudahan cerita ini telah dapat memenuhi tugasnya sebagai penghibur Anda di waktu senggang, dan sampai jumpa kembali di dalam tulisan pengarang berikutnya.

Tidak lupa pengarang mengharapkan mudah-mudahan ada bagian-bagian tertentu dalam karangan ini yang membantu Anda dengan membuka kesadaran Anda sehingga kita bersama dapat mempelajari dan melihat keadaan hidup ini sebagaimana adanya dan kenyataannya, hidup yang penuh dengan suka duka, penuh kepalsuan, penuh penderitaan dan kepahitan, penuh kebencian dan iri hati, penuh kesengsaraan yang kesemuanya itu tiada lain adalah hasil darl ulah kita manusia sendiri.

Marilah kita menghayati hidup seperti apa adanya, menerima segala sesuatu dengan mata terbuka tanpa menolak atau menerima, tanpa mencela atau memuji, menerima dengan penuh kesadaran sehingga kita hidup wajar, menikmati hidup saat demi saat karena yang ada hanyalah nikmat dan bahagia apabila kita terbebas dari semua kepalsuan pikiran, terbebas dari cengkeraman si aku dan karenanya hidup kita dipenuhi sinar kasih sayang, sinar cinta kasih yang wajar dan suci. Mudah-mudahan! Teriring salam bahagia dari pengarang.

T A M A T
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: