*

*

Ads

FB

Selasa, 06 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 222

“Desss...! Dukkk! Dukkk!”

Tiga orang pimpinan Lama itu terdorong ke belakang ketika lengan Kok Beng Lama menangkis mereka dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kok Beng Lama menoleh ke arah Kun Liong sambil berseru, “Orang muda, jangan bantu aku. Kau bawalah Hong Ing menyingkir, selamatkan dia, aku serahkan dia kepadamu dengan berkatku!”

Kun Liong mengangguk.
“Hong Ing, mari kita pergi...!” katanya sambil memegang pergelangan tangan kekasihnya.

Hung Ing merenggutkan tangannya terlepas.
“Tidak! Aku tidak mau meninggalkan Ayah dalam bahaya. Aku harus bantu dia! Aku akan menjadi seorang anak tak berbakti yang selamanya akan tersiksa batinku kalau aku meninggalkan ayahku yang sedang terancam bahaya.”

Kun Liong memandang kekasihnya dengan wajah berseri dan dia tersenyum, merangkul dan mencium dahi Hong Ing.

“Bagus! Memang begitulah seharusnya seorang wanita gagah dan berbakti. Aku kagum kepadamu, Hong Ing, aku bangga!”

Kun Liong dan Hong Ing lalu menyerbu dan membantu Kok Beng Lama yang dikeroyok tiga oleh pimpinan Lama Jubah Merah yang sakti itu. Akan tetapi, para Lama menyerbu dan mengepung mereka sehingga terpaksa Kun Liong dan Hong Ing tidak dapat mendekati Kok Beng Lama dan menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta Lama.

Mereka ini juga tidak berani membantu pimpinan mereka karena mereka maklum bahwa mencampuri pertandingan antara pimpinan Lama Jubah Merah amatlah berbahaya, sama dengan mengantar nyawa. Apalagi mereka memang merasa gentar terhadap Kok Beng Lama yang merupakan tokoh tertua di antara mereka, tokoh paling sakti pula.

Terjadilah pertandingan yang hebat sekali. Kok Beng Lama mengamuk dikeroyok oleh tiga orang sutenya, sedangkan Kun Liong bersama Hong Ing mengamuk dikeroyok puluhan orang pendeta Lama.

Sementara itu, api dari panggung menjilat-jilat ke mana-mana dan karena tidak ada yang mengurus, api itu bahkah kini menjilat ke bangunan belakang markas itu!

Betapa pun saktinya Kok Beng Lama, menghadapi pengeroyokan tiga orang sutenya yang penuh kemarahan itu, dia mulai terdesak juga. Demikian pula dengan Kun Liong yang menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta, bahkan masih ada puluhan orang lain yang siap mengeroyoknya menggantikan kawan yang roboh, di samping itu Kun Liong harus selalu melindungi kekasihnya pula. Keadaan mereka makin terdesak dan terancam hebat.

Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai dan kegaduhan luar biasa di sebelah luar markas itu dan biarpun belum dapat melihat dengan mata kepala sendiri, Sin Beng Lama dan dua orang sutenya maklum bahwa pasukan mereka yang berada di luar telah diserbu musuh dan terjadi perang di luar markas. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan Sin Beng Lama berteriak kepada seorang anak buahnya untuk menyelidiki keluar markas.






Sebentar saja ributlah para pendeta Lama ketika terdengar berita bahwa di luar markas, tentara Pemerintah Beng telah menyerbu dan kini sedang berperang melawan pasukan Lama Jubah Merah yang dibantu oleh pasukan Pek-lian-kauw!

Mendengar ini, para pendeta Lama yang tidak memperoleh kesempatan ikut mengeroyok Kun Liong dan Hong Ing, berserabutan lari keluar dari markas untuk membantu teman-teman mereka berperang menghadapi penyerbuan bala tentara Beng.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan pintu gerbang yang tadinya ditutup oleh para pendeta Lama yang menjaga di dalam, bobol dan berbondong-bondong masuklah bala tentara Beng dipimpin oleh dua orang laki-laki dan wanita yang amat gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, pendekar wanita Sie Biauw Eng!

Bagaikan sepasang naga yang marah mengamuk, suami isteri ini menyerbu ke dalam dan setiap lawan yang berani menghadang tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali.

Ketika melihat munculnya suami isteri pendekar ini, Kun Liong merasa girang bukan main karena kini dia merasa yakin bahwa dia, Hong Ing, dan ayah kekasihnya akan tertolong dari bahaya maut.

“Supek... Supekbo...!” teriaknya girang. “Harap Ji-wi suka membantu Kok Beng Lama Locianpwe menghadapi pimpinan mereka yang lihai!”

Mendengar ini dan melihat Kun Liong bersama seorang dara cantik mengamuk menghadapi pengeroyokan banyak pendeta Lama, Keng Hong dan isterinya agak terheran, akan tetapi mereka diikuti oleh beberapa orang pengawal dari Panglima Besar The Hoo yang memimpin pasukan, lalu menyerbu ke tengah di mana Kok Beng Lama bertanding melawan tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang amat lihai.

Melihat kedatangan mereka itu, Sin Beng Lama mendengus marah, mengeluarkan seikat dupa dari sakunya dan sekali tiup, api di ujung lima dupa yang dipegangnya telah membakar semua ujung hio seikat itu, kemudian cepat sekali tangannya bergerak-gerak menyambit-nyambitkan dupa-dupa biting yang sudah membara ujungnya itu ke arah Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan para pengawal.

Tampak sinar-sinar kecil beterbangan ke arah pendatang-pendatang ini.
“Awas...!”

Cia Keng Hong berseru keras. Dia dan isterinya cepat menggerakkan kaki tangannya, kakinya menendangi hio-hio yang beterbangan di bawah, sedangkan jari-jari tangan mereka menyambar dan menjepit hio-hio yang menyambar tubuh atas mereka, lalu melempar benda-benda itu ke atas tanah.

Akan tetapi, di belakang mereka terdengar jeritan-jeritan dan ternyata ada empat orang pengawal yang roboh berkelojotan, terkena hio-hio membara yang menancap di tubuh mereka.

Cia Keng Hong dan isterinya terkejut sekali. Para pengawal itu adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi, namun ternyata tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran hio-hio tadi dan sekali terkena senjata rahasia istimewa itu roboh berkelojotan dalam keadaan sekarat.

Mereka menjadi marah, maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, maka Cia Keng Hong lalu mengeluarkan pedang Siang-bhok-kiam yang sejak tadi tidak pernah dipergunakannya itu. Pedang Kayu Harum ini mengeluarkan cahaya kehijauan ketika dicabut dan dengan mata memandang tajam dia bersama isterinya menerjang ke depan, disambut oleh Hun Beng Lama dah Lak Beng Lama.

“Trakkkk-trakkk!”

“Trangg! Cring...!”

Tasbih di tangan Hun Beng Lama bertemu dengan Siang-bhok-kiam dan Lama itu tergetar hebat, terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Juga tongkat di tangan Lak Beng Lama bertemu dengan Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Sakti Awan Putih) yang berupa sehelai sabuk sutera putih yang dapat digerakkan menjadi kaku seperti baja oleh tangan halus yang penuh tenaga sin-kang sehingga kakek ini juga terkejut dan terhuyung ke belakang.

Sin Beng Lama yang kini harus menghadapi bekas suhengnya sendirian saja, segera terdesak hebat oleh Kok Beng Lama. Dari kedua ujung lengan jubah Kok Beng Lama menyambar-nyambar angin dahsyat dan betapa pun Sin Beng Lama berusaha untuk menyerang dengan dupa-dupa membaranya, percuma saja karena terkena sambaran angin itu dupa-dupanya menjadi padam dan patah-patah.

Terpaksa Sin Beng Lama mencabut sebatang pedang lemas yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang. Sinar terang menyilaukan mata tampak dan disusul suara berdesing tinggi ketika sinar ini menyambar ke arah Kok Beng Lama.

Kakek tinggi besar ini terkejut, mengelak cepat namun tetap saja kulit lehernya robek berdarah. Sambil menyeka darah di lehernya, Kok Beng Lama mendengus dan memandang penuh kemarahan kepada bekas sutenya.

“Manusia munafik!”

Kok Beng Lama membentak dan menggerakkan kedua tangannya menyerang dengan lembut. Sin Beng Lama diam saja, kemudian cepat menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat putih menyilaukan mata itu. Dia tidak dapat menjawab makian bekas suhengnya karena dia tahu bahwa dia telah melanggar sumpah, sumpah kepala Lama Jubah Merah.

Pedang itu adalah pedang pusaka yang selalu menjadi pegangan seorang Kepala Lama Jubah Merah, akan tetapi membunuh merupakan pantangan bagi seorang kepala Lama, apalagi membunuh dengan pedang pusaka ini! Pantangan ini diperkuat dengan sumpah bahwa kalau seorang Kepala Lama melanggarnya, dia akan tewas di ujung pedang pusaka itu sendiri. Dan kini, karena merasa tidak kuat menandingi bekas suhengnya, Sin Beng Lama melanggar sumpahnya sendiri dan mengandalkan pedang pusaka itu untuk memperoleh kemenangan.

Sambil mengeluarkan suara menggereng yang keluar dari dadanya, Kok Beng Lama menghadapi pedang pusaka di tangan Sin Beng Lama itu. Kedua lengan kakek tinggi besar ini mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat sehingga gulungan sinar pedang putih selalu terdorong mundur.

“Robohlah...!”

Sin Beng Lama berteriak, melakukan penyerangan kilat, pedang pusakanya menyusul tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, menusuk dari samping menuju lambung lawan.

Kok Beng Lama maklum akan jurus serangan yang amat berbahaya ini, akan tetapi dia sudah mengambil keputusan nekat untuk membunuh bekas sutenya yang kejam dan hampir membunuh anaknya itu. Apalagi mendengar dari Kun Liong tadi bahwa sutenya ini telah menyelewengkan perkumpulan mereka, bersekutu dengan Pek-lian-kauw untuk merampas Kerajaan Tibet. Sungguh merupakan dosa yang tak dapat diampunkan.

Bagaikan sepasang garuda yang menyambar cepatnya, kedua tangannya bergerak, yang kanan menangkap tangan sutenya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, yang kiri dengan gerakan membalik dari samping, dengan telapak tangan terbuka memukul ke arah pedang yang menusuk lambungnya.

“Desss! Trangggg...!”

Pedang itu terlepas dari pegangan, bahkan tangan kanan Sin Beng Lama sudah tertangkap pula oleh tangan kiri Kok Beng Lama sehingga kini kedua tangan Ketua Lama Jubah Merah telah ditangkap oleh bekas suhengnya! Keduanya saling mengerahkan sin-kang, namun tahulah Sin Beng Lama bahwa dia kalah tenaga dan kedua lengannya sudah menggigil hebat.

“Haaaaiiiikkkk...!”

Tiba-tiba Sin Beng Lama mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat itu dan kepalanya yang gundul menyeruduk seperti seekor kerbau mengamuk ke arah perut Kok Beng Lama. Inilah serangan maut yang amat berbahaya karena kepala gundul yang kini mengeluarkan uap putih itu mengandung pemusatan sin-kang yang amat dahsyat sehingga batu karang sekalipun akan hancur lebur kalau kena diseruduk oleh kepala ini!

“Ceppppp...!”

Kok Beng Lama yang melihat serangan ini, tidak mengelak bahkan memasang perutnya, menerima serudukan, bahkan perutnya yang gendut itu tiba-tiba menjadi lunak sekali, membuat kepala Sin Beng Lama menancap ke dalam rongga perutnya, terus disedot dengan pengerahan sin-kang.

Terdengar suara berkerotokan keras dan tubuh Sin Beng Lama menjadi lemas. Ketika Kok Beng Lama menarik napas panjang dan melembungkan lagi perutnya, tubuh Sin Beng Lama terlempar ke belakang dalam keadaan tak bernyawa lagi karena kepalanya retak-retak dan remuk di sebelah dalamnya. Kok Beng Lama membalikkan tubuh untuk mencari dua orang musuhnya lagi, yaitu Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.

Begitu dia memandang, dia menjadi bengong dan terbelalak. Dua orang pendeta lama itu sedang bertanding melawan seorang laki-laki dan seorang wanita yang memiliki gerakan amat luar biasa hebatnya.

Pada saat itu, sabuk sutera putih di tangan wanita cantik itu melayang seperti seekor naga putih, menyambar-nyambar ke arah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dan ketika kedua orang pendeta Lama ini menggerakkan tasbih dan tongkat untuk menangkis, kedua uJung sabuk itu telah melibat senjata-senjata mereka!

Kedua orang Lama ini mengerahkan tenaga untuk menarik dan membikin putus dan rusak sabuk sutera putih, akan tetapi pada saat itu, berkelebat sinar kehijauan dari Pedang Kayu Harum, dan dua orang pendeta Lama itu mengeluh lalu roboh dan tak dapat bangkit kembali. Sedemikian cepatnya pedang itu menembus dada dan keluar lagi sehingga tidak tampak oleh pandangan mata.

Siasat kerja sama yang dilakukan oleh Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memang hebat. Tadinya, ketika Keng Hong menghadapi Hun Beng Lama dan Biauw Eng melawan Lak Beng Lama, keadaan ramai bukan main.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: