“Plakk!” Mangkuk itu dia letakkan di atas papan dengan tangan masih menutupi mulut mangkok. “Diteruskankah pertaruhan terakhir ini, Ouw-siucai?” tanyanya lagi sebelum membuka tangannya.
Ouw Ciang Houw tersenyum dan mengangguk.
“Tentu saja diteruskan.”
“Dan ini merupakan permainan terakhir, kalau aku menang uang di kantung itu menjadi milikku dan…”
“Dan kalau aku yang menang, aku boleh mengambil satu di antara milikmu.”
“Baik! Nah, kubuka, Ouw-siucai!” Tangan guru silat itu diangkat dan dadu di dalam mangkuk memperlihatkan angka lima! “Ha-ha, engkau yang memaksaku, Ouw-siucai dan sekali ini agaknya engkau terpaksa harus mengembalikan semua uangku!”
Angka lima merupakan angka kedua terbesar, dan dalam permainan dadu, angka ini merupakan angka yang amat baik dan harapan besar untuk menang. Satu-satunya lawan hanya angka terakhir, angka enam, sedangkan angka lima lawan hanya akan berarti sama kuat dan diulang. Angka satu sampai angka empat dari lawan berati dia menang, dengan demikian, harapannya untuk menang dengan kemungkinan kalah adalah empat lawan satu!
Ouw-siucai masih tersenyum tenang dan ketika melirik ke arah wanita itu, Si Wanita kelihatan berseri wajahnya, tanda girang hatinya melihat suaminya mendapatkan angka lima. Melihat ini, senyum Ouw-siucai melebar dan dengan tenang dia mengambil mangkuk, mengocok mangkuk itu sambil berkata,
“Memang angkamu itu baik sekali, Gui-kauwsu,” dan meletakkan mangkuk di atas papan sambil menutup mulut mangkuk dengan tangan “Akan tetapi, yang menentukan adalah peruntungan, dan siapa tahu, bintangku masih terang. Lihat, kubuka, Gui-kauwsu!”
Siucai itu mengangkat tangannya dan Si Guru Silat mengeluh ketika melihat dadu itu memperlihatkan angka enam! Dia kalah lagi! Dengan lemas guru silat itu menjatuhkan diri duduk di atas papan melirik kepada isterinya yang menunduk dengan muka merah. Dia menghela napas panjang lalu berkata,
“Ouw-siucai, ternyata engkau mujur sekali. Nah, ambillah barangku, kau boleh pilih.”
“Ha-ha-ha-ha, benar-benar hari mujur bagiku, Gui-kauwsu, aku memilih milikmu yang ini, bukan kuambil, hanya kupinjam untuk semalam saja!” Dengan berkata demikian, tangan Ouw-siucai memegang pundak isteri guru silat itu!
Mata guru silat itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali, sedangkan wanita itu pun terkejut dan mukanya berubah merah padam. Tak dapat disangkalnya bahwa diam-diam dan menjadi rahasia pribadinya, dia tertarik kepada siucai yang tampan ini, dan agaknya dia akan mengenang wajah tampan itu dalam alam mimpi, menyambut senyum dan pandang mata itu sebagai cumbuan di alam mimpi. Sama sekali tidak disangkanya bahwa siucai itu akan secara terang-terangan dan kurang ajar sekali minta dia sebagai taruhan untuk dipinjam semalam!
“Apa…?? Srattt!”
Guru silat itu telah mencabut pedangnya. Tangannya bergemetar ketika ia memalangkan pedang di depan dada.
“Hemmm… kau… kau…! Jahanam keparat! Manusia rendah! Kalau tidak ingat engkau seorang kutu buku yang lemah, sudah kupenggal kepalamu! Hayo cepat engkau berlutut minta ampun kepada isteriku, kemudian meloncat keluar dari perahu!”
Kun Liong merasa tegang sekali. Tidak disangkanya urusan menjadi begini dan dia pun merasa marah kepada siucai yang kurang ajar itu. Akan tetapi di samping kemarahannya, dia pun heran sekali dan mulai curiga melihat betapa siucai itu sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman itu. Bahkan dia tersenyum, lalu benar-benar dia telah berlutut di depan wanita yang masih duduk itu akan tetapi bukan untuk minta ampun, melainkan tangannya memeluk dan dia terus menciumi! Wanita itu terpekik dan berusaha melepaskan diri.
“Hemm, manis... jangan berpura-pura…” bisik siucai itu.
“Jahanam!”
Gui Tiong menggerakkan pedangnya menusuk ke arah punggung siucai itu. Gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga dan agaknya menurut penglihatan Kun Liong, tentu punggung siucai itu akan tertembus pedang.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tanpa menoleh, masih merangkul leher dan dengan paksa menciumi pipi dan bibir wanita itu, Si Siucai menggunakan sebelah tangan ke belakang, memukul pedang itu dengan telapak tangan dimiringkan dan… pedang itu terlempar, terlepas dari tangan Gui-kauwsu dan lenyap ke dalam air sungai!
Guru silat itu terkejut bukan main, akan tetapi hal ini menambah kemarahannya. Kini dia menggunakan kepalan tangan menghantam ke arah kepala Ouw-siucai. Tiba-tiba siucai itu melompat bangun, membalikkan tubuh dan dia mendahului dengan sodokan jari-jari tangannya ke arah pusar Gui-kauwsu.
“Hukkk…!!”
Tubuh kauwsu itu terjengkang dan dia terengah-engah, sukar bernapas dan dalam keadaan setengah pingsan!
“Kau berani menyerangku, ya? Dasar sudah bosan hidup!”
Siucai itu menyambar tali layar perahu dan menggunakan ujung tali mengikat leher guru silat itu dan menggantung tubuhnya ke atas! Guru silat itu siuman dan meronta, akan tetapi dua kali siucai menotok pundak membuat kedua lengan guru silat itu kaku dan tak dapat bergerak dan tentu saja tali yang mengikat lehernya menjadi makin mencekik erat karena berat tubuhnya. Sebentar saja, mata orang yang digantung ini mendelik dan lidahnya keluar!
“Aughhh... jangan bunuh... jangan bunuh dia... lepaskan suamiku...!”
“Ha-ha-ha, bagus sekali dia, bukan? Seperti penakut burung di tengah sawah!” Si Siucai tertawa dan suara ketawanya seperti suara ketawa orang yang miring otaknya.
“Aihhh... ampunkan suamiku… jangan bunuh dia…!”
Wanita itu meloncat dan hendak lari menghampiri bambu tiang layar, untuk menolong suaminya. Akan tetapi siucai itu mendorongnya sehingga dia jatuh telentang di atas papan.
“Jangan bunuh dia...! Tolonggg...! Ahhh... engkau menginginkan aku, bukan? Nah, ambillah...”
Seperti orang gila wanita itu menanggalkan pakaiannya dengan cepat namun dengan jari-jari tangan gemetar.
“Kau boleh memiliki tubuhku, akan tetapi... bebaskan dia... jangan bunuh suamiku... uhu-hu-huuk...!”
Wanita itu menjadi lemas dan menangis, tubuhnya setengah telanjang, rebah di atas papan.
“Ha-ha-ha, bagus! Engkau bertanggung jawab kalau begitu! Ha-ha-ha! Orang laknat! Engkau telah berani menyerangku, untuk itu sebetulnya kau harus mampus. Akan tetapi, isterimu cantik manis, dan biarlah engkau menyaksikan betapa isterimu melayaniku, ha-ha-ha!”
Siucai gila itu lalu meloncat dan sekali renggut putuslah tali yang menggantung Gui-kauwsu. Tubuh guru silat itu jatuh ke atas lantai perahu. Ketika ikatan lehernya dilepas, lehernya tampak ada guratan merah membiru, akan tetapi dia dapat bernapas lagi, terengah-engah dan kedua lengannya masih kaku tak dapat bergerak, tertotok.
Dengan mata terbelalak, dalam keadaan setengah sadar, Gui-kauwsu melihat betapa siucai itu menubruk isterinya di atas papan perahu. Ia melihat isteriya menggeliat dan mengeluh menangis perlahan seperti merintih.
“Manusia jahat yang gila! Lepaskan dia...!!”
Kun Liong tak dapat menahan diri melihat perbuatan siucai itu dan dia sudah menubruk ke depan sambil menghantamkan tangannya ke arah kepala siucai itu.
“Desss...! Aduhhh...!!”
Siucai itu yang tadinya tanpa menoleh menangkis pukulan Kun Liong, terkejut bukan main karena tangkisannya itu mengenai lengan yang mengandung kekuatan dahsyat dan yang mendatangkan nyeri bukan main pada lengannya, sampai terasa ke dalam dadanya. Hampir dia tidak percaya akan keanehan ini dan dia sudah melompat bangun, menghadapi Kun Liong.
“Eh, engkau bocah gundul, berani engkau menyerangku?”
“Manusia hina ! Aku mempertaruhkan nyawa untuk membasmi manusia macam engkau yang jahat dan gila ini!” Kun Liong berteriak lalu menyerang dengan kenekatan bulat.
Melihat gerakan Kun Liong, tahulah siucai itu bahwa anak gundul ini memang pandai ilmu silat, akan tetapi karena masih kanak-kanak, tentu saja dia memandang rendah gerakan Kun Liong. Hanya dia tahu bahwa secara luar biasa sekali, bocah ini telah memiliki tenaga sin-kang yang mujijat, maka dia tidak berani menangkis, melainkan miringkan tubuhnya dan secepat kilat dia memukul dari samping.
“Desss!!” Lambung Kun Liong terpukul dan tubuhnya terlempar keluar dari perahu.
“Byuuurrr!!”
Air muncrat tinggi dan tubuhnya tenggelam, lenyap dari permukaan air. Siucai itu tertawa bergelak, sejenak memandang ke permukaan air. Setelah yakin bocah gundul itu tidak muncul lagi, Ouw Ciang Houw Si Siucai gila yang lihai itu sambil terkekeh-kekeh kembali kepada isteri guru silat yang masih menangis lirih.
Kebiadaban yang terjadi di perahu itu dilihat dan didengar oleh Gui Tiong, dan karena tubuhnya masih kaku tertotok, dia hanya dapat memejamkan mata, dan hanya pendengaran telinganya saja yang menyiksa hatinya karena dia diharuskan mendengar rintihan isterinya. Senja mendatang, cuaca menjadi gelap seolah-olah hendak menyelubungi peristiwa terkutuk itu agar tidak tampak oleh orang lain.
Kun Liong yang terlempar ke dalam air, cepat dapat menguasai dirinya. Dia berenang ke arah perahu, lalu berpegang pada dasar perahu di mana dia menyembunyikan bokor emas.
Sebelum perahunya memasuki Huang-ho, dia sudah menyembunyikan bokor itu pada bawah perahu sehingga tidak tampak dari luar. Karena dia maklum bahwa bokor itu akan mendatangkan banyak malapetaka kalau terlihat orang, maka dia melakukan hal itu dan sekarang dia dapat berpegang pada tali pengikat bokor itu, tubuhnya tenggelam akan tetapi kepalanya timbul di atas permukaan air, di bawah tubuh perahu. Napasnya agak sesak dan dadanya terasa nyeri sekali oleh pukulan tadi.
Kalau tidak ada tali untuk berpegang, tentu dia akan tewas dan tenggelam karena dia tidak mempunyai tenaga lagi untuk naik ke perahu, apalagi berenang ke tepi sungai yang masih jauh dari situ. Dari bawah perahu, dia tidak tahu apa yang terjadi di atas perahu dan untung bahwa dia terluka sehingga tidak dapat naik ke perahu, karena kalau hal ini terjadi dan dia menyaksikan apa yang terjadi di perahu, tentu dia akan mempertaruhkan nyawanya dan tentu dia akan tewas di tangan Ouw-siucai yang gila namun amat lihai itu.
Setelah malam tiba, perahu bergerak ke pinggir, di bawah perahu berombak tanda banyak ada yang mengemudikan perahu. Setelah dekat dengan tepi, perahu bergoyang dan terdengar suara dari tepi sungai,
“Engkau hebat dan manis sekali, sayang! Selamat tinggal. Eh, terima kasih, Gui-kauwsu ha-ha-ha!”
Tahulah Kun Liong bahwa siucai gila itu tadi meloncat ke darat dan telah pergi, jadi di atas perahu tinggal guru silat Gui dan isterinya. Kun Liong mengerahkan tenaganya, dengan susah payah berusaha naik ke perahu. Jari-jari tangannya berhasil menjangkau pinggiran perahu dan perlahan-lahan, payah sekali, dia menarik tubuhnya ke atas dan akhirnya dengan napas hampir putus dia berhasil naik ke perahu, tiba di ujung perahu dekat kemudi. Bulan purnama bersinar terang sehingga dia dapat melihat permukaan perahu itu dengan jelas.
Isteri guru silat itu dengan pakaian awut-awutan, hanya dipakai untuk menutupi tubuh belaka, kelihatan berlutut dan menangis dekat tubuh suaminya, memeluk tubuh itu dan menangis tanpa dapat mengeluarkan kata-kata yang bisa dimengerti.
Agaknya sudah tiba saatnya Gui-kauwsu terbebas dari totokan. Jalan darahnya dapat mengalir kemball pulih seperti biasa dan sambil mengeluh dia bangkit duduk. Dipandangnya sejenak isterinya yang berlutut dan menangis itu. Ketika tampak olehnya tubuh isterinya setengah telanjang, teringatlah dia dan tiba-tiba dia mendorong tubuh isterinya sehingga terjengkang dan pakaian isterinya terbuka lagi.
“Tidak perlu lagi kau pura-pura menangis! Apa pula yang ditangisi?” bentak Gui-kauwsu.
Wanita itu merangkak bangun, terbelalak dan terisak.
“Mengapa... mengapa… kau marah-marah kepadaku? Mengapa… kau marah kepadaku? Apa salahku...??” Dia menangis tersedu-sedu.
Ouw Ciang Houw tersenyum dan mengangguk.
“Tentu saja diteruskan.”
“Dan ini merupakan permainan terakhir, kalau aku menang uang di kantung itu menjadi milikku dan…”
“Dan kalau aku yang menang, aku boleh mengambil satu di antara milikmu.”
“Baik! Nah, kubuka, Ouw-siucai!” Tangan guru silat itu diangkat dan dadu di dalam mangkuk memperlihatkan angka lima! “Ha-ha, engkau yang memaksaku, Ouw-siucai dan sekali ini agaknya engkau terpaksa harus mengembalikan semua uangku!”
Angka lima merupakan angka kedua terbesar, dan dalam permainan dadu, angka ini merupakan angka yang amat baik dan harapan besar untuk menang. Satu-satunya lawan hanya angka terakhir, angka enam, sedangkan angka lima lawan hanya akan berarti sama kuat dan diulang. Angka satu sampai angka empat dari lawan berati dia menang, dengan demikian, harapannya untuk menang dengan kemungkinan kalah adalah empat lawan satu!
Ouw-siucai masih tersenyum tenang dan ketika melirik ke arah wanita itu, Si Wanita kelihatan berseri wajahnya, tanda girang hatinya melihat suaminya mendapatkan angka lima. Melihat ini, senyum Ouw-siucai melebar dan dengan tenang dia mengambil mangkuk, mengocok mangkuk itu sambil berkata,
“Memang angkamu itu baik sekali, Gui-kauwsu,” dan meletakkan mangkuk di atas papan sambil menutup mulut mangkuk dengan tangan “Akan tetapi, yang menentukan adalah peruntungan, dan siapa tahu, bintangku masih terang. Lihat, kubuka, Gui-kauwsu!”
Siucai itu mengangkat tangannya dan Si Guru Silat mengeluh ketika melihat dadu itu memperlihatkan angka enam! Dia kalah lagi! Dengan lemas guru silat itu menjatuhkan diri duduk di atas papan melirik kepada isterinya yang menunduk dengan muka merah. Dia menghela napas panjang lalu berkata,
“Ouw-siucai, ternyata engkau mujur sekali. Nah, ambillah barangku, kau boleh pilih.”
“Ha-ha-ha-ha, benar-benar hari mujur bagiku, Gui-kauwsu, aku memilih milikmu yang ini, bukan kuambil, hanya kupinjam untuk semalam saja!” Dengan berkata demikian, tangan Ouw-siucai memegang pundak isteri guru silat itu!
Mata guru silat itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali, sedangkan wanita itu pun terkejut dan mukanya berubah merah padam. Tak dapat disangkalnya bahwa diam-diam dan menjadi rahasia pribadinya, dia tertarik kepada siucai yang tampan ini, dan agaknya dia akan mengenang wajah tampan itu dalam alam mimpi, menyambut senyum dan pandang mata itu sebagai cumbuan di alam mimpi. Sama sekali tidak disangkanya bahwa siucai itu akan secara terang-terangan dan kurang ajar sekali minta dia sebagai taruhan untuk dipinjam semalam!
“Apa…?? Srattt!”
Guru silat itu telah mencabut pedangnya. Tangannya bergemetar ketika ia memalangkan pedang di depan dada.
“Hemmm… kau… kau…! Jahanam keparat! Manusia rendah! Kalau tidak ingat engkau seorang kutu buku yang lemah, sudah kupenggal kepalamu! Hayo cepat engkau berlutut minta ampun kepada isteriku, kemudian meloncat keluar dari perahu!”
Kun Liong merasa tegang sekali. Tidak disangkanya urusan menjadi begini dan dia pun merasa marah kepada siucai yang kurang ajar itu. Akan tetapi di samping kemarahannya, dia pun heran sekali dan mulai curiga melihat betapa siucai itu sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman itu. Bahkan dia tersenyum, lalu benar-benar dia telah berlutut di depan wanita yang masih duduk itu akan tetapi bukan untuk minta ampun, melainkan tangannya memeluk dan dia terus menciumi! Wanita itu terpekik dan berusaha melepaskan diri.
“Hemm, manis... jangan berpura-pura…” bisik siucai itu.
“Jahanam!”
Gui Tiong menggerakkan pedangnya menusuk ke arah punggung siucai itu. Gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga dan agaknya menurut penglihatan Kun Liong, tentu punggung siucai itu akan tertembus pedang.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tanpa menoleh, masih merangkul leher dan dengan paksa menciumi pipi dan bibir wanita itu, Si Siucai menggunakan sebelah tangan ke belakang, memukul pedang itu dengan telapak tangan dimiringkan dan… pedang itu terlempar, terlepas dari tangan Gui-kauwsu dan lenyap ke dalam air sungai!
Guru silat itu terkejut bukan main, akan tetapi hal ini menambah kemarahannya. Kini dia menggunakan kepalan tangan menghantam ke arah kepala Ouw-siucai. Tiba-tiba siucai itu melompat bangun, membalikkan tubuh dan dia mendahului dengan sodokan jari-jari tangannya ke arah pusar Gui-kauwsu.
“Hukkk…!!”
Tubuh kauwsu itu terjengkang dan dia terengah-engah, sukar bernapas dan dalam keadaan setengah pingsan!
“Kau berani menyerangku, ya? Dasar sudah bosan hidup!”
Siucai itu menyambar tali layar perahu dan menggunakan ujung tali mengikat leher guru silat itu dan menggantung tubuhnya ke atas! Guru silat itu siuman dan meronta, akan tetapi dua kali siucai menotok pundak membuat kedua lengan guru silat itu kaku dan tak dapat bergerak dan tentu saja tali yang mengikat lehernya menjadi makin mencekik erat karena berat tubuhnya. Sebentar saja, mata orang yang digantung ini mendelik dan lidahnya keluar!
“Aughhh... jangan bunuh... jangan bunuh dia... lepaskan suamiku...!”
“Ha-ha-ha, bagus sekali dia, bukan? Seperti penakut burung di tengah sawah!” Si Siucai tertawa dan suara ketawanya seperti suara ketawa orang yang miring otaknya.
“Aihhh... ampunkan suamiku… jangan bunuh dia…!”
Wanita itu meloncat dan hendak lari menghampiri bambu tiang layar, untuk menolong suaminya. Akan tetapi siucai itu mendorongnya sehingga dia jatuh telentang di atas papan.
“Jangan bunuh dia...! Tolonggg...! Ahhh... engkau menginginkan aku, bukan? Nah, ambillah...”
Seperti orang gila wanita itu menanggalkan pakaiannya dengan cepat namun dengan jari-jari tangan gemetar.
“Kau boleh memiliki tubuhku, akan tetapi... bebaskan dia... jangan bunuh suamiku... uhu-hu-huuk...!”
Wanita itu menjadi lemas dan menangis, tubuhnya setengah telanjang, rebah di atas papan.
“Ha-ha-ha, bagus! Engkau bertanggung jawab kalau begitu! Ha-ha-ha! Orang laknat! Engkau telah berani menyerangku, untuk itu sebetulnya kau harus mampus. Akan tetapi, isterimu cantik manis, dan biarlah engkau menyaksikan betapa isterimu melayaniku, ha-ha-ha!”
Siucai gila itu lalu meloncat dan sekali renggut putuslah tali yang menggantung Gui-kauwsu. Tubuh guru silat itu jatuh ke atas lantai perahu. Ketika ikatan lehernya dilepas, lehernya tampak ada guratan merah membiru, akan tetapi dia dapat bernapas lagi, terengah-engah dan kedua lengannya masih kaku tak dapat bergerak, tertotok.
Dengan mata terbelalak, dalam keadaan setengah sadar, Gui-kauwsu melihat betapa siucai itu menubruk isterinya di atas papan perahu. Ia melihat isteriya menggeliat dan mengeluh menangis perlahan seperti merintih.
“Manusia jahat yang gila! Lepaskan dia...!!”
Kun Liong tak dapat menahan diri melihat perbuatan siucai itu dan dia sudah menubruk ke depan sambil menghantamkan tangannya ke arah kepala siucai itu.
“Desss...! Aduhhh...!!”
Siucai itu yang tadinya tanpa menoleh menangkis pukulan Kun Liong, terkejut bukan main karena tangkisannya itu mengenai lengan yang mengandung kekuatan dahsyat dan yang mendatangkan nyeri bukan main pada lengannya, sampai terasa ke dalam dadanya. Hampir dia tidak percaya akan keanehan ini dan dia sudah melompat bangun, menghadapi Kun Liong.
“Eh, engkau bocah gundul, berani engkau menyerangku?”
“Manusia hina ! Aku mempertaruhkan nyawa untuk membasmi manusia macam engkau yang jahat dan gila ini!” Kun Liong berteriak lalu menyerang dengan kenekatan bulat.
Melihat gerakan Kun Liong, tahulah siucai itu bahwa anak gundul ini memang pandai ilmu silat, akan tetapi karena masih kanak-kanak, tentu saja dia memandang rendah gerakan Kun Liong. Hanya dia tahu bahwa secara luar biasa sekali, bocah ini telah memiliki tenaga sin-kang yang mujijat, maka dia tidak berani menangkis, melainkan miringkan tubuhnya dan secepat kilat dia memukul dari samping.
“Desss!!” Lambung Kun Liong terpukul dan tubuhnya terlempar keluar dari perahu.
“Byuuurrr!!”
Air muncrat tinggi dan tubuhnya tenggelam, lenyap dari permukaan air. Siucai itu tertawa bergelak, sejenak memandang ke permukaan air. Setelah yakin bocah gundul itu tidak muncul lagi, Ouw Ciang Houw Si Siucai gila yang lihai itu sambil terkekeh-kekeh kembali kepada isteri guru silat yang masih menangis lirih.
Kebiadaban yang terjadi di perahu itu dilihat dan didengar oleh Gui Tiong, dan karena tubuhnya masih kaku tertotok, dia hanya dapat memejamkan mata, dan hanya pendengaran telinganya saja yang menyiksa hatinya karena dia diharuskan mendengar rintihan isterinya. Senja mendatang, cuaca menjadi gelap seolah-olah hendak menyelubungi peristiwa terkutuk itu agar tidak tampak oleh orang lain.
Kun Liong yang terlempar ke dalam air, cepat dapat menguasai dirinya. Dia berenang ke arah perahu, lalu berpegang pada dasar perahu di mana dia menyembunyikan bokor emas.
Sebelum perahunya memasuki Huang-ho, dia sudah menyembunyikan bokor itu pada bawah perahu sehingga tidak tampak dari luar. Karena dia maklum bahwa bokor itu akan mendatangkan banyak malapetaka kalau terlihat orang, maka dia melakukan hal itu dan sekarang dia dapat berpegang pada tali pengikat bokor itu, tubuhnya tenggelam akan tetapi kepalanya timbul di atas permukaan air, di bawah tubuh perahu. Napasnya agak sesak dan dadanya terasa nyeri sekali oleh pukulan tadi.
Kalau tidak ada tali untuk berpegang, tentu dia akan tewas dan tenggelam karena dia tidak mempunyai tenaga lagi untuk naik ke perahu, apalagi berenang ke tepi sungai yang masih jauh dari situ. Dari bawah perahu, dia tidak tahu apa yang terjadi di atas perahu dan untung bahwa dia terluka sehingga tidak dapat naik ke perahu, karena kalau hal ini terjadi dan dia menyaksikan apa yang terjadi di perahu, tentu dia akan mempertaruhkan nyawanya dan tentu dia akan tewas di tangan Ouw-siucai yang gila namun amat lihai itu.
Setelah malam tiba, perahu bergerak ke pinggir, di bawah perahu berombak tanda banyak ada yang mengemudikan perahu. Setelah dekat dengan tepi, perahu bergoyang dan terdengar suara dari tepi sungai,
“Engkau hebat dan manis sekali, sayang! Selamat tinggal. Eh, terima kasih, Gui-kauwsu ha-ha-ha!”
Tahulah Kun Liong bahwa siucai gila itu tadi meloncat ke darat dan telah pergi, jadi di atas perahu tinggal guru silat Gui dan isterinya. Kun Liong mengerahkan tenaganya, dengan susah payah berusaha naik ke perahu. Jari-jari tangannya berhasil menjangkau pinggiran perahu dan perlahan-lahan, payah sekali, dia menarik tubuhnya ke atas dan akhirnya dengan napas hampir putus dia berhasil naik ke perahu, tiba di ujung perahu dekat kemudi. Bulan purnama bersinar terang sehingga dia dapat melihat permukaan perahu itu dengan jelas.
Isteri guru silat itu dengan pakaian awut-awutan, hanya dipakai untuk menutupi tubuh belaka, kelihatan berlutut dan menangis dekat tubuh suaminya, memeluk tubuh itu dan menangis tanpa dapat mengeluarkan kata-kata yang bisa dimengerti.
Agaknya sudah tiba saatnya Gui-kauwsu terbebas dari totokan. Jalan darahnya dapat mengalir kemball pulih seperti biasa dan sambil mengeluh dia bangkit duduk. Dipandangnya sejenak isterinya yang berlutut dan menangis itu. Ketika tampak olehnya tubuh isterinya setengah telanjang, teringatlah dia dan tiba-tiba dia mendorong tubuh isterinya sehingga terjengkang dan pakaian isterinya terbuka lagi.
“Tidak perlu lagi kau pura-pura menangis! Apa pula yang ditangisi?” bentak Gui-kauwsu.
Wanita itu merangkak bangun, terbelalak dan terisak.
“Mengapa... mengapa… kau marah-marah kepadaku? Mengapa… kau marah kepadaku? Apa salahku...??” Dia menangis tersedu-sedu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar