*

*

Ads

FB

Selasa, 06 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 223

Keng Hong dapat mendesak Hun Beng Lama, namun, Biauw Eng merasa repot menghadapi serbuan tongkat Lak Beng Lama sehingga sampai lama kedua orang suami isteri perkasa ini belum mampu merobohkan lawan. Tiba-tiba Biauw Eng berseru keras dan ini adalah tanda bagi suaminya akan siasatnya bekerja sama. Dan ternyata berhasil baik karena selagi kedua orang lawan tangguh itu bersitegang untuk menarik kembali senjata dan merusak sabuk sutera, Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong memperoleh kesempatan untuk melakukan serangan kilat yang berhasil baik.

Kok Beng Lama mengeluarkan suara gerengan hebat. Dia kaget dan heran, juga kagum akan tetapi marah sekali. Dia kaget dan heran melihat betapa dua orang sutenya itu sampai kalah, kagum melihat kelihaian suami isteri perkasa itu, akan tetapi dia marah sekali setelah kini melihat betapa para pendeta Lama diserbu oleh musuh dan banyak yang telah roboh dan tewas.

Setelah kini tiga orang sutenya tewas semua, lenyap pulalah semua permusuhan di dalam hatinya terhadap perkumpulan Lama Jubah Merah, bahkan timbul kemarahannya karena dia merasa bahwa golongannya diserbu musuh. Sambil berteriak marah dia menyambar pedang pusaka yang tadi dipergunakan Sin Beng Lama, lalu berlari ke depan menyerang Keng Hong dan Biauw Eng.

“Singgg... trangg-trakkk... singgg...!”

Keng Hong dan Biauw Eng yang sudah menangkis itu terdorong ke belakang dan mereka terkejut. Kiranya pendeta Lama tinggi besar ini bahkan jauh lebih lihai lagi dibandingkan dengan dua orang pendeta Lama yang telah berhasil mereka robohkan! Namun, Keng Hong cepat mendahului isterinya, menggerakkan Siang-bhok-kiam menerjang kakek itu sambil berseru,

“Mundurlah, biarkan aku menghadapinya!”

Biauw Eng mengerti akan peringatan suaminya. Memang suaminya telah melihat betapa lihainya Lama tinggi besar ini sehingga kalau dia maju, akan membahayakan dirinya. Betapapun juga, Biauw Eng siap dengan sabuk sutera di tangannya, siap membantu kalau suaminya sampai terdesak dan terancam keselamatannya.

Serangkaian serangan pertama yang dilakukan Keng Hong terhadap Kok Beng Lama amatlah hebatnya sehingga mengejutkan hati pendeta Lama tinggi besar itu. Sinar kehijauan dari Siang-bhok-kiam diikuti bau yang harum dan halus menyambar-nyambar, mula-mula dari atas dengan gerakan miring membacok ke bawah mengarah leher, ketika dapat ditangkis oleh pedang di tangan kakek tinggi besar itu, pedang Siang-bhok-kiam terus menyeleweng ke samping dan membacok serta menusuk bertubi-tubi mengarah tujuh jalan darah terpenting di tubuh depan lawan, sedangkan tangan kiri pendekar sakti itu mengimbangi gerakan pedang, melakukan pukulan-pukulan tangan kosong dari jurus Thai-kek Sin-kun disertai tenaga mujijat Thi-khi-i-beng!

Kok Beng Lama repot setengah mati menghadapi serangkaian serangan ini, menangkis dengan pedang, dengan lengan kiri, mengelak dan berloncatan ke sana-sini sehingga akhirnya dia mampu lolos dari serangkaian serangan itu, setelah meloncat ke belakang dia lalu menyerbu ke depan dan membalas dengan serangannya yang tak kalah dahsyatnya sehingga kini tiba giliran Keng Hong untuk menghadapi serangan itu dengan kaget namun berhasil pula menyelamatkan diri.

Terjadilah serang-menyerang yang amat seru dan Biauw Eng yang menonton di pinggir harus mengakui bahwa agaknya baru sekarang ini suaminya menghadapi tanding yang amat kuat dan seimbang! Dan biarpun tingkat kepandaiannya sendiri sudah tinggi, namun dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan pendeta Lama tinggi besar ini.






“Supek... harap tahan senjata... Locianpwe ini bukan musuh...!”

“Ayah...! Ayah, jangan melawan, Ayah...!”

Munculnya Kun Liong dan Hong Ing ini membuat Keng Hong dan Kok Beng Lama meloncat mundur. Kun Liong menghampiri Keng Hong yang memandangnya dengan alis berkerut penuh pertanyaan, sedangkan Hong Ing lalu mehubruk ayahnya.

“Ayah, lekas... markas terbakar dan Sute berada di dalam...!”

Kok Beng Lama terbelalak dan cepat membalikkan tubuhnya memandang markas yang benar-benar telah menjadi lautan api itu. Dia menyelipkan pedang pusaka di pinggangnya, kemudian terdengar dia mengeluarkan seruan yang keras sekali seperti gerengan seekor singa.

“Bun Houw...!” Dan tubuhnya yang tinggi besar sudah melesat ke depan.

“Brakkkkk!” Dinding itu diterjangnya saja sampai ambrol.

“Bresss!”

Dinding yang ke dua ambrol lagi dan tampak kakek itu menerjang melalui dinding yang diruntuhkannya memasuki lautan api!

“Ayaaahhh...!” Hong Ing juga lari ke arah lautan api, akan tetapi tiba-tiba pinggangnya dirangkul Kun Liong dari belakang. Dara itu meronta dan menangis. “Biarkan aku menyusul Ayah!”

Namun Kun Liong memperkuat pelukannya.
“Hong Ing... ingatlah, ayahmu sedang berusaha menyelamatkan Bun Houw, tidak ada gunanya engkau membuang nyawa sia-sia di situ.”

Sementara itu, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi pucat mukanya ketika melihat kakek tinggi besar tadi menerjang api dan meneriakkan nama Bun Houw, putera mereka!

“Kun Liong, apa artinya ini? Mana Bun Houw?” Keng Hong bertanya.

“Supek, saya pun baru saja mendengar dari Hong Ing bahwa Adik Bun Houw berada di sini, di dalam markas yang terbakar itu.”

Hong Ing kini menghadapi Cia Keng Hong dan isterinya, tanpa banyak sopan santun lagi karena keadaan sedang tegang seperti itu segera berkata,

“Sute Cia Bun Houw diambil murid oleh Ayah... dan... kini Ayah sedang mencarinya ke dalam sana...”

“Houw-ji (Anak Houw)...!” Sie Biauw Eng menjerit.

“Harap Supek-bo tenang...!”

Kun Liong berkata khawatir melihat keadaan nyonya yang perkasa itu, yang memandang ke arah api dengan mata terbelalak.

“Ayahku lebih tahu akan keadaan di dalam, mudah-mudahan dapat menyelamatkan Sute.” Hong Ing berkata lirih, seperti kepada diri sendiri.

“Aku akan mencarinya!” Biauw Eng hendak meloncat, akan tetapi tangannya disambar suaminya.

“Ucapan Nona ini tepat. Ayahnya lebih mengenal keadaan, kalau kau atau aku yang masuk ke lautan api itu tanpa mengenal keadaan dan tanpa mengetahui persis di mana adanya Bun Houw sama dengan membunuh diri.”

“Aku tidak takut mati untuk membela anakku!” Biauw Eng berteriak marah dan meronta.

Keng Hong terpaksa merangkul dan memeluknya seperti yang dilakukan oleh Kun Liong kepada Hong Ing tadi.

“Siapa takut mati? Aku pun tidak takut, akan tetapi perlukah mati konyol? Bagaimana kalau nanti Bun Houw selamat akan tetapi kita berdua mati terbakar di sana?”

Kata-kata ini dapat diterima oleh Biauw Eng. Dia memandang dengan muka pucat dan menahan napas. Bukan hanya dia, juga Keng Hong, Kun Liong, dan Hong Ing memandang ke arah lautan api dengan muka pucat dan menahan napas, dalam suasana yang amat menegangkan hati.

Sampai lama mereka berdiri tanpa bergerak, seolah-olah mereka lupa keadaan sekeliling dimana masih terdapat pertempuran-pertempuran berat sebelah antara pasukan pemerintah melawan para pendeta Lama yang hanya melakukan perlawanan dengan setengah hati karena selain pasukan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir dan lari bersama pasukan sukarela terdiri dari penduduk dusun, juga pimpinan mereka telah tewas semua.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dari dalam lautan api dan muncullah tubuh tinggi besar dari Kok Beng Lama yang berlari meloncat keluar dari dalam lautan api, kedua tangannya memondong Bun Houw yang diselimuti jubah merahnya.

Ketika Kok Beng Lama tiba di dekat Hong Ing, dia mengeluh dan roboh terguling, akan tetapi Bun Houw tetap berada di dalam pondongannya.

“Houw-ji...!”

“Ibu...!”

Biauw Eng cepat menyambar Bun Houw yang selamat dan hanya menderita sedikit luka-luka ringan, akan tetapi Kok Beng Lama pingsan dengan tubuh hitam semua, mukanya hitam gosong dan tubuhnya penuh luka terbakar!

Keng Hong cepat menolong pendeta Lama itu sedangkan Hong Ing dan Kun Liong lalu membujuk semua pendeta untuk menghentikan perlawanan sehingga perang dapat dihentikan.

Keng Hong sendiri lalu memerintahkan pasukan untuk mundur dan keluar dari tempat itu, sedangkan Hong Ing, dibantu oleh Kun Liong dan para pembantu Lama, membawa Kok Beng Lama ke dalam bangunan samping yang belum terbakar, lalu merawat kakek ini penuh ketekunan.

Sebulan kemudian tampak betapa bangunan Lama Jubah Merah yang terbakar lebih dari separuhnya itu mulai diperbaiki oleh sisa-sisa anggauta Lama yang sudah insyaf dan diampuni oleh Pemerintah Tibet. Kini, atas saran dan tanggungan dari pendekar Cia Keng Hong, Kok Beng Lama ditunjuk oleh Pemerintah Tibet untuk menjadi ketua baru dari Lama Jubah Merah.

Dan pendeta tinggi besar yang kini mukanya berubah hitam itu memimpin sendiri pembangunan itu dengan wajah yang berseri. Dia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk memperbaiki nama Lama Jubah Merah ygng telah dicemarkan dan diselewengkan oleh Sin Beng Lama bertiga.

Tak jauh dari tempat itu, di lereng gunung yang sunyi, Kun Liong dan Hong Ing duduk berdua di atas rumput hijau sambil bercakap-cakap. Wajah mereka berseri dan segar tanda bahwa hati mereka bergembira, terutama sekali Hong Ing yang telah mengalami perubahan yang amat hebat dalam hidupnya.

Tadinya, dia menghadapi ancaman hebat, terpisah dari Kun Liong yang dicintanya, dan ayah kandungnya juga menjadi orang hukuman yang tidak berdaya. Kini, ayah kandungnya sudah sembuh dan bahkan menjadi Ketua Lama Jubah Merah, dan terutama sekali Kun Liong yang dicintanya berada di sampingnya!

“Hong Ing...”

“Hemmm... ?”

Di dalam panggilan dan jawabannya yang memecah kesunyian tempat itu terkandung kemesraan dan cinta kasih yang tak perlu dinyatakan lagi dalam kata-kata karena di dalam nada suara yang singkat itu terkandung getaran penuh kasih sayang yang terasa sampai di lubuk hati masing-masing.

Demikian hebat pengaruh getaran ini sehingga Kun Liong menjadi terharu dan terpesona, membuatnya sukar untuk melanjutkan kata-katanya. Hong Ing mendesaknya dengan pertanyaan melalui pandang matanya.

Kun Liong menarik napas panjang tiga kali, barulah dia dapat menenangkan gelora hatinya yang dibangkitkan oleh getaran cinta kasihnya kemudian berkata,

“Hong Ing, setelah keadaan telah menjadi baik kembali, ayahmu telah sembuh sama sekali, kini aku... aku... terus terang meminangmu untuk menjadi isteriku, Hong Ing.”

Sejenak mereka berpandangan, kemudian kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan mukanya ditundukkan. Mereka sudah saling menyatakan cinta tanpa sungkan dan malu-malu lagi, akan tetapi mendengar pinangan untuk menjadi isteri pemuda yang dikasihinya ini, Hong Ing menjadi canggung dan malu juga.

“Bagaimana jawabanmu, Hong Ing?”

“Kun Liong, kenapa... kenapa engkau memilih aku menjadi... isterimu?”

“Kenapa? Ah, tentu saja karena aku cinta padamu, Hong Ing.”

Hong Ing mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar memandang dan dia bertanya lagi,

“Mengapa engkau cinta padaku? Kun Liong, berhari-hari sudah aku menahan pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu ini. Sekaranglah saatnya. Kenapa engkau cinta kepadaku. Kun Liong? Kenapa?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: