*

*

Ads

FB

Selasa, 06 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 221

Kok Beng Lama termenung, kemudian membuka mata dan menunduk, menatap wajah muridnya yang masih kecil itu, yang kini memandang kepadanya dengan pipi basah air mata. Dia tersenyum lebar.

“Bun Houw, engkau muridku penuh semangat, akan tetapi engkau masih kanak-kanak. Engkau tidak tahu bahwa hidup ini baru berharga kalau kita menjaga kehormatan, dan kehormatan baru terjaga kalau kita selalu menyatukan kata-kata dan perbuatan. Pinceng (aku) telah berjanji tidak akan memberontak, mana mungkin engkau minta pinceng mencampuri urusan para suteku itu?”

“Tapi, Suhu...”

“Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Pergilah dan latih pelajaranmu,” kakek itu menghardik.

Tiba-tiba Bun Houw yang mengusap air matanya itu berkata, suaranya penuh kemarahan,

“Aku malu menjadi muridmu!”

Kata-kata ini mengejutkan Kok Beng Lama dan kakek ini membuka lagi matanya, memandang wajah yang kini merah dan penuh kemarahan, sepasang mata kecil yang berapi-api ditujukan kepadanya itu.

“Apa... apa katamu?” tanyanya penuh keheranan karena selama ini Bun Houw memperlihatkan sikap hormat, penuh sayang, dan penurut kepadanya.

“Aku bilang bahwa aku malu menjadi muridmu! Suhu mengecewakan hati, Suhu bukan seorang laki-laki gagah seperti yang kuduga! Suhu pengecut!”

Kalau saja tidak ingat bahwa yang bicara adalah seorang anak kecil yang sudah diambil sebagai muridnya, tentu sekali menggerakkan tangan Kok Beng Lama akan membunuh orang yang memakinya pengecut itu! Matanya terbelalak lebar dan telinganya mendengarkan kata-kata anak kecil itu yang terus menyerangnya!

“Suhu lebih percaya kepada para Susiok yang jahat itu daripada kepadaku! Suhu bilang memegang janji, akan tetapi apakah mereka juga memegang janji? Tahukah Suhu bahwa sekarang ini, seperti yang kuintai tadi, Suci sedang menghadapi ancaman maut, akan dibakar hidup-hidup? Akan tetapi Suhu tidak mau menolong. Suhu takut dan pengecut...!”

Bun Houw tidak menangis lagi, dan kini sudah bangkit berdiri, telunjuk kanannya menuding-nuding ke arah muka kakek itu.

“Kau bohong...!”

Kok Beng Lama membentak ketika mendengar cerita Bun Houw bahwa puterinya hendak dibakar hidup-hidup!

“Suhu lihat sendiri! Kalau saya bohong masib belum terlambat untuk menghukum saya. Suhu boleh bunuh saya.” Anak itu menjawab tegas.

Pada saat itu, terdengarlah suara hiruk pikuk di bagian belakang markas, seperti kegaduhan orang-orang yang bertempur, dan di antara suara hiruk pikuk itu pendengaran Kok Beng Lama yang amat tajam menangkap jeritan suara puterinya! Dia mendengus, dan tubuhnya yang tadinya duduk bersila itu, tiba-tiba berkelebat dan seperti terbang cepatnya dia sudah melompat keluar dari kamar itu dan terus berlari ke belakang!






Apa yang disaksikannya di halaman belakang markas itu membuat dia terkejut bukan main! Puterinya, dengan pakaian yang biasa dipakai gadis-gadis yang menjadi mempelai dewa, telah berdiri di panggung dengan tubuh berbelit-belit rangkaian bunga dan api di bawah panggung sudah mulai dinyalakan oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama! Dia melihat puterinya itu memandang ke kanan kiri dan menjerit-jerit,

“Kun Liong...! Jangan melawan... oh, Kun Liong!”

Kok Beng Lama terheran-heran. Melihat sikapnya dan keadaan di situ, agaknya puterinya itu tidak dipaksa, melainkan dengan suka rela ingin mengorbankan diri kepada dewa. Maka dia menjadi ragu-ragu dan bingung. Untuk merampas puterinya, menolong puterinya seperti yang telah dilakukan dahulu ketika dia menolong dan menyembunyikan Pek Cu Sian, dia tidak berani. Bukan tidak berani kepada para Lama, melainkan tidak berani melanggar janji, dan tidak berani lagi melakukan dosa terhadap dewa yang dimuliakannya.

Ketika menoleh ke kiri, dia melihat seorang pemuda sedang mengamuk. Pemuda itu masih terbelenggu kedua tangannya di depan tubuh, dengan belenggu bulu biruang hitam, akan tetapi biarpun kedua tangannya terbelenggu, dengan tangan terangkap dan dengan kedua kakinya, pemuda itu telah merobohkan setiap orang Lama yang berani menghadangnya dan mengeroyoknya! Inilah yang menimbulkan kegaduhan dan kini para pendeta Lama sedang marah dan mulai menggunakan senjata untuk mengeroyok pemuda yang memberontak dan mengamuk itu.

“Kalian orang-orang kejam! Akan kubunuh semua kalau Hong Ing tidak dibebaskan!”

Kun Liong berteriak-teriak dan beberapa orang pendeta Lama terlempar jauh tersambar tendangan kakinya yang dilakukan dengan kemarahan meluap-luap tercampur rasa gelisah yang hebat melihat betapa kekasihnya akan dibakar hidup-hidup!

“Manusia lancang! Dia dengan suka rela hendak mengorbankan diri menjadi mempelai dewa, ada sangkut-pautnya apa denganmu!” bentak seorang Lama dengan marah.

Mendengar ini, Kok Beng Lama makin bingung. Dia sudah berjanji tidak akan memberontak, dan tentu saja dia merasa bahwa dia bersalah kalau sampai dia mencegah puterinya yang hendak melakukan pengorbanan diri, suatu hal yang amat dimuliakan di dalam tradisi mereka.

Akan tetapi, tentu saja dia pun tidak akan dapat membiarkan puterinya tewas begitu saja dan melihat sepak-terjang pemuda itu yang amat hebat, dia mendapat akal. Sambil mengeluarkan suara gerengan hebat dia menyerbu ke depan, mendorong semua Lama ke pinggir kemudian dia menyerang Kun Liong dengan hebatnya!

Melihat munculnya Kok Beng Lama, semua Lama, termasuk tiga orang pimpinan Lama, menjadi terkejut sekali. Akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika melihat betapa Kok Beng Lama menyerang Kun Liong.

Diam-diam Sin Beng Lama tersenyum girang melihat suhengnya telah benar-benar bertobat dan hendak menebus dosa terhadap dewa itu. Dengan adanya suhengnya itu yang membantu, tentu perjuangan mereka akan lebih mantap lagi.

Sementara itu, Kun Liong sudah mengenal kakek tinggi besar yang muncul ini, kakek yang bernama Kok Beng Lama dan yang dulu pernah menolong dia dan Hong Ing, yang kemudian dia ketahui adalah ayah kandung dara itu.

“Lociapwe, saya hendak menolong Hong Ing!” katanya ketika kakek itu menerjangnya.

Namun terlambat, serangan telah tiba dan hebat bukan main serangan kake itu. Pukulan yang dahsyat, mendatangkan hawa pukulan seperti halilintar menyambar, menuju ke arah dadanya. Kun Liong mengangkat kedua lengannya yang masih terbelenggu, mengerahkan sin-kangnya menangkis dari kiri ke kanan.

“Dess... belenggu itu kalah oleh api...!”

Tubuh Kun Liong terpental ke belakang sedangkan Kok Beng Lama juga terhuyung-huyung. Hal ini amat mengejutkan Kok Beng Lama karena pertemuan tenaga tadi membuktikan bahwa tenaga sin-kang pemuda itu amat kuatnya, tidak kalah kuat olehnya sendiri, bahkan mungkin lebih kuat atau setidaknya berimbang.

Akan tetapi, Kun Liong juga terkejut dan girang karena pada saat lengan mereka bertemu tadi, dia mendengar bisikan kakek itu. Tahulah bahwa ayah kandung Hong Ing itu membantunya secara diam-diam dan dia tahu pula bahwa belenggu yang amat kuat itu, lebih kuat dari besi yang akan dapat dia patahkan, kiranya ada rahasia kelemahannya, yaitu api!

“Haiiiihhhh!”

Lengking yang nyaring keluar dari dalam dada Kun Liong ketika tubuhnya melayang ke arah panggung yang mulai terbakar! Dia meloncat tinggi melewati kepala para pengeroyoknya dan ketika dia turun di dekat panggung, cepat dia merobohkan empat orang yang lari menerjangnya. Kemudian dia membalik, mengulur kedua tangannya ke api yang sudah menyala di bawah panggung.

Betapa girang rasa hatinya ketika melihat lidah api menjilat belenggunya dan seperti daun kering saja, bulu-bulu hitam itu dimakan api dan dalam sekejap mata dia telah bebas! Berkat sin-kangnya yang tinggi, dia dapat menjaga kulit pergelangan tangannya sehingga tidak hangus oleh bakaran api yang tidak terlalu lama itu.

Kembali beberapa orang pendeta Lama mengeroyoknya dan kembali dia merobohkan empat orang. Akan tetapi dia melihat Kok Beng Lama juga lari mengejarnya, tepat pada saat Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama tiba di situ. Dan kini Kok Beng Lama berdiri melindunginya, bahkan menghadapi tiga orang sutenya sambil bertolak pinggang!

“Pengkhianat, kau berani membuat dosa lagi?” Sin Beng Lama membentak. “Kau tidak malu untuk melanggar janji?”

“Sin Beng Lama, pikir dulu baik-baik sebelum membuka mulut!” bentak Kok Beng Lama dengan mata melotot. “Siapa yang melanggar janji? Siapa yang membuat dosa? Tidak ada buktinya bahwa aku memberontak, maka aku tidak melanggar janji. Sebaliknya, kalian berjanji takkan mengganggu anakku buktinya kalian hendak mengorbankan dia!”

Tiga orang pimpinan Lama itu khawatir sekali melihat betapa Kun Liong sudah meloncat naik ke atas panggung dan bergegas membebaskan kekasihnya dari tiang yang sudah dihampiri oleh lidah api itu, kemudian menarik dara itu menjauhi api.

“Kun Liong...!”

“Hong Ing...!”

Mereka berpelukan, berdekapan, berciuman tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling mereka.

“Kun Liong... hu-huhhh... Kun Liong...!”

Berkali-kali Hong Ing menyebut nama kekasihnya dengan mesra, akan tetapi dengan suara merintih dan menangis.

Kun Liong mengusap rambut kekasihnya penuh kemesraan, diangkatnya muka dara itu dan dipandangnya sampai lama dengan mata basah.

“Hong Ing... kekasihku, pujaan hatiku... syukur aku tidak terlambat, semua ini berkat pertolongan ayahmu...”

“Ayah...?”

Hong Ing yang masih berpelukan dengan kekasihnya itu menoleh ke bawah panggung. Juga Kun Liong kini teringat bahwa mereka masih belum bebas dari ancaman bahaya, masih terkepung oleh banyak lawan, maka cepat dia memandang ke bawah panggung.

Kok Beng Lama masih berhadapan dengan tiga orang sutenya, dan kini kakek itu berkata lantang,

“Apa? Kau bilang bahwa anakku secara suka rela hendak mengorbankan dirinya? Benarkah itu? Mana buktinya? Itu dia, aku akan bertanya. Heiii, Hong Ing, benarkah kau dengan suka rela hendak mengorbankan dirimu menjadi mempelai dewa yang mulia?”

“Tidak, Ayah! Mereka memaksaku karena mereka menangkap Kun Liong dengan cara yang curang! Mereka mengancam hendak membunuhku sehingga Kun Liong menyerahkan diri dan untuk menolong agar Kun Liong tidak dibunuh, aku mau dibakar asal Kun Liong tidak diganggu. Mereka itu pendeta-pendeta yang berhati palsu!”

“Locianpwe, mereka adalah pemberontak-pemberontak yang bersekutu dengan Pek-lian-kauw untuk merampas Kerajaan Tibet dan Kerajaan Beng!” Kun Liong juga berteriak.

“Pengkhianat dan manusia rendah!”

Sin Beng Lama sudah membentak marah sekali karena rahasianya dibongkar. Biarpun dia maklum akan kelihaian bekas suhengnya ini dan juga betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, namun dengan bantuan banyak anak buahnya, juga pasukan-pasukannya bersama pasukan Pek-lian-kauw berada di luar markas, tentu saja dia tidak takut.

“Serbuuu...! Bunuh mereka manusia-manusia berdosa ini!”

Teriaknya nyaring dan dia sendiri bersama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama sudah menerjang Kok Beng Lama.

“Locianpwe, jangan khawatir, saya akan membantu!”

Kun Liong berteriak sambil membawa Hong Ing meloncat turun dari panggung yang sudah terbakar.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: