*

*

Ads

FB

Minggu, 04 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 214

“Kalau boleh aku bertanya, tugas penyelidikan apakah itu, Toako?”

“Menyelidiki ke Tibet.”

Jawaban ini mengejutkan hati Kun Liong karena dia sendiri pun akan ke Tibet.
“Ada terjadi apakah di Tibet?”

“Panglima The menugaskan Suhu untuk menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang kabarnya mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw dan kedua perkumpulan ini merencanakan pemberontakan kepada Kerajaan Tibet dan juga Kerajaan Beng.”

Kun Liong mengangguk-angguk dan berpikir keras. Mengapa ada hal begini kebetulan? Kalau terjadi huru-hara di Tibet, dia makin mengkhawatirkan keselamatan Hong Ing. Apakah sangkut-pautnya penculikan atas diri Hong Ing dengan pemberontakan ini?

“Memang Tok-jiauw Lo-mo seorang tokoh sesat yang berbahaya. Aku ingin sekali dapat berhadapan dengan dia, karena dahulu pernah aku ditangkap oleh kakek itu bersama teman-temannya.”

Poa Su It menghela napas.
“Itulah yang menggelisahkan hatiku, Yap-enghiong. Suhu berpesan bahwa kalau Tok-jiauw Lo-mo datang, beliau sendiri yang hendak menghadapinya karena di antara mereka terdapat urusan pribadi, demikian kata Suhu.”

“Urusan pribadi?”

“Ya, dan aku sendiri tidak tahu urusan apakah itu. Kata Suhu, aku hanya boleh menghadapi kaki tangan kakek itu kalau memang ada, sedangkan kakek itu sendiri akan dihadapi Suhu, padahal Suhu sudah tua dan kesehatannya kurang baik, aku khawatir sekali.”

“Hemm, seorang gagah perkasa seperti suhumu itu, tidak perlu dikhawatirkan karena apa pun yang dilakukannya, tentulah berdasarkan kegagahan dan beralasan. Dan agaknya kakek iblis itu tidak akan datang sendiri. Orang seperti dia itu, apalagi menghadapi lawan berat seperti suhumu, tentu tidak akan datang sendiri dan hendak mengandalkan jumlah banyak untuk memperoleh kemenangan. Maka kalau dia datang dengan banyak teman, berarti engkau sendiri sudah sibuk menghadapi kaki tangannya, Toako.”

“Benar, dan sungguh untung bagiku engkau datang berkunjung, Yap-enghiong, karena dengan adanya bantuanmu disini, hatiku menjadi lebih lega dan tenteram.”

Mereka bercakap-cakap sambil berjaga-jaga dan makin larut hari, makin besar rasa kagum dan suka di hati Kun Liong terhadap murid tertua dari pendekar Secuan itu. Selain luas pengalamannya, juga laki-laki yang tidak pernah menikah selamanya ini memiliki dasar watak pendekar tulen.

Karena itu, Kun Liong juga menjadi terbuka sikapnya, dan dia dengan terus terang menceritakan niat perjalanannya, yaitu menuju ke Tibet karena kekasihnya diculik oleh tiga orang Lama Jubah Merah. Mendengar ini, Poa Su It terkejut sekali.

“Kalau tidak salah dugaanku, tiga orang Lama Jubah Merah yang kau ceritakan itu adalah pucuk pimpinan dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itu! Sungguh berbahaya sekali! Aku mendengar bahwa ilmu kepandaian mereka bertiga itu seperti iblis, amat sakti. Karena itu, Suhu juga memberi peringatan kepada Sute dan Sumoi yang menyelidik ke sana agar berhati-hati dan menghindarkan bentrokan, menyamar sebagai penduduk biasa, yang hendak bersembahyang dan minta berkah.”






Hari berganti malam dan yang mereka tunggu-tunggu pun datanglah! Mula-mula terdengar teriakan dari jauh sekali, teriakan yang dibawa angin dan yang datang karena pengerahan khi-kang yang cukup kuat,

“Tua bangka she Gak! Aku datang memenuhi janji!”

Mendengar suara ini, Poa Su It dan Kun Liong meloncat bangun dan cepat lari keluar pondok, menanti dengan hati tegang di depan pondok. Sejak tadi Poa Su It memang sudah siap dan menggantung lampu-lampu sehingga di depan pondok pun cukup terang. Sebatang pedang tergantung di pinggang murid tertua dari Gak Liong ini.

Bagaikan segerombolan setan, muncullah bayangan-bayangan dari dalam gelap, makin dekat makin teranglah bayangan itu, tersorot sinar lampu yang bergantungan di depan pondok.

Di depan sendiri tampak Tok-jiauw Lo-mo yang sudah dikenal oleh Kun Liong. Biarpun kakek ini sudah lebih tua, namun tidak berbeda dengan dahulu. Tinggi kurus, kepala botak dan bentuknya seperti kura-kura, membawa sebatang tongkat pendek yang ujungnya berbentuk cakar setan, punggungnya agak melengkung dan matanya dari muka yang menunduk karena bongkoknya itu selalu melirik dari bawah, amat tajam.

Mata itu memandang bergantian kepada Poa Su It dan Kun Liong, tidak pedulian, dan melirik ke kanan kiri mencari-cari. Memang sukarlah mengenal kembali Kun Liong yang dulu gundul kelimis itu dan yang sekarang memiliki rambut yang aneh, pendek tidak panjang pun belum.

Terkejut dan ngeri juga hati Poa Su It melihat kakek ini, akan tetapi sama sekali hati pendekar ini tidak merasa takut. Dia memandang lagi dengan penuh perhatian kepada orang-orang lain yang ikut datang bersama kakek itu.

Ada sepuluh orang banyaknya dan melihat pakaian mereka seperti pendeta berwama kuning dengan lukisan teratai putih di bagian dada, Poa Su It tidak merasa heran dan mengertilah dia bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Pendekar yang sudah banyak pengalaman ini lalu menarik kesimpulan bahwa kedatangan Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun) ini bukanlah semata-mata karena dia adalah musuh gurunya, melainkan tentu ada hubungannya dengan persekutuan Pek-lian-kauw dengan Lama Jubah Merah, dan ada hubungannya pula dengan perintah susiok-kongnya, Panglima The Hoo.

Tentu Pek-lian-kauw dan kakek ini maklum bahwa gurunya adalah murid keponakan The Hoo dan seorang pembantu yang aktip dari panglima itu. Agaknya gurunya yang tinggal di Secuan akan merupakan penghalang bagi kelancaran persekutuan antara Pek-lian-kauw dan Lama Jubah Merah, maka mereka memusuhi gurunya.

Dugaan Poa Su It ini memang tepat. Antara Tok-jiauw Lo-mo dan Gak Liong memang terdapat permusuhan pribadi yang dimulai di waktu mereka masih muda dahulu. Tok-jiauw Lo-mo di waktu mudanya adalah penculik gadis-gadis muda yang kemudian dijualnya di sarang-sarang pelacuran di kota-kota besar.

Pada suatu hari, ketika dia menculik seorang gadis, muncullah pendekar Gak Liong yang menghajarnya sampai setengah mati. Gadis itu kemudian menjadi isteri Gak Liong, akan tetapi beberapa bulan kemudian, selagi Gak Liong tidak berada di rumah, Tok-jiauw Lo-mo datang dan membunuh wanita itu!

Gak Liong menjadi marah dan sakit hati, mencarinya dan kembali menghajar Tok-jiauw Lo-mo sampai menjadi cacad, kepalanya botak tak berambut, punggungnya membungkuk, akan tetapi dia berhasil melarikan diri.

Demikianlah, antara kedua orang ini timbul permusuhan dan entah sudah berapa belas kali mereka bentrok dan bertanding, akan tetapi selalu pihak Tok-jiauw Lo-mo yang kalah dan selalu dapat melarikan diri. Tok-jiauw Lo-mo terus menggembleng dirinya dan demikian pula Gak Liong. Setelah menjadi murid keponakan The Hoo, Gak Liong menghentikan permusuhan itu dan mengundurkan diri, akan tetapi tentu saja selalu siap menghadapi kalau Tok-jiauw Lo-mo mencarinya.

Ketika Pek-lian-kauw mengadakan hubungan dengan Lama Jubah Merah, Tok-jiauw Lo-mo telah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw. Maka, mendengar bahwa demi kelancaran persekutuan dengan Lama Jubah Merah pendekar Secuan harus dienyahkan dulu, apalagi mengingat bahwa pendekar itu adalah pembantu The Hoo, serta merta Tok-jiauw Lo-mo mengajukan dirinya sebagai petugas yang akan membasmi pendekar Secuan. Tentu saja sekali ini dia tidak mau gagal dan minta dibantu oleh sepuluh orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup tinggi kepandaiannya.

“Manusia she Gak, kenapa kau sembunyi saja? Keluarlah menerima kematian!”

Tok-jiauw Lo-mo berseru dengan lagak sombong. Sekali ini dia yakin akan dapat mengenyahkan musuh besar itu karena dia dibantu oleh sepuluh orang Pek-lian-kauw yang tangguh.

Poa Su It hendak melangkah maju, akan tetapi dia didahului oleh Kun Liong yang sudah meloncat ke depan kakek itu sambil berkata,

“Tok-jiauw Lo-mo, sejak dahulu kau selalu membikin kacau dan melakukan kejahatan saja!”

Melihat seorang pemuda remaja bersikap kurang ajar dan berani menegurnya, kakek itu menjadi marah sekali.

“Kau mampuslah!”

Tongkatnya menyambar dan cakar setan yang mengandung racun amat berbahaya itu menyambar ke arah muka Kun Liong. Memang kakek itu tidak main-main dan bukan hanya menggertak sambal belaka. Sikap dan teguran Kun Liong itu baginya sudah menjadi alasan cukup untuk membunuh pemuda ini!

“Plak! Plak!”

“Uughhhh...!”

Tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan dengan mata terbelalak dia memandang pemuda yang berdiri dengan tersenyum itu. Hampir dia tak dapat mempercayai kalau tidak mengalaminya sendiri. Pemuda yang masih remaja itu bukan saja berani menangkis tongkatnya yang ampuh itu, bahkan menangkis dua kali dan membuat dia terhuyung-huyung karena tongkatnya itu membalik bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!

“Kau... kau siapakah?” bentaknya, mukanya berubah karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat.

“Hemm, Tok-jiauw Lo-mo! Pernah kau bersama Marcus dan pasukan pemerintah yang kau bohongi menangkap aku untuk memperebutkan bokor pusaka!”

Kakek itu melongo, masih tidak mengenal Kun Liong.

“Ketika itu kepalaku tidak berambut...”

“Ahaiiii! Kau Si Gundul keparat itu!”

Kakek itu makin kaget dan kembali tongkatnya sudah diangkat.

“Tahan...!”

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang kakek lain yang berpakaian sederhana seperti petani, tubuhnya kurus dan wajahnya agak pucat, namun sikapnya gagah dan berdiri tegak.

“Suhu...!” Poa Su It berkata. “Biarlah teecu dan Yap-enghiong yang menghadapi penjahat-penjahat ini! Silakan Suhu beristirahat!”

Gak Liong, kakek itu, menoleh kepada muridnya.
“Su It, kau mundurlah.” Kemudian dia menghadapi Yap Kun Liong sambil berkata, “Yap-sicu, namamu sudah banyak kudengar, terutama dari tiga muridku. Terima kasih atas bantuanmu, akan tetapi, untuk menghadapi Tok-jiauw Lo-mo ini, terpaksa harus aku sendiri yang menghadapinya. Antara dia dan aku terdapat urusan lama, urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain.”

Kun Liong membungkuk dan berkata hormat,
“Saya mengerti, Locianpwe. Dan saya tidak akan berani lancang mencampuri, hanya akan membantu Poa-toako kalau iblis tua ini berlaku curang dan mengerahkan kaki tangannya mengeroyok.”

“Heh-heh-heh, Gak Liong! Engkau sudah berpenyakitan mau mampus masih berlagak sombong.”

“Lo-mo, kita sama-sama tua dan marilah kila selesaikan urusan lama tanpa membawa-bawa yang muda. Kalau para anggauta Pek-lian-kauw di belakangmu itu mencampuri urusan kita, terpaksa aku membiarkan Yap-sicu dan muridku untuk turun tangan pula.”

“Heh-heh-heh, siapa yang mau curang? Aku akan menghadapi sendiri, satu lawan satu sampai seorang di antara kita mampus. Tentu aku percaya bahwa pendekar Secuan yang terkenal gagah itu tidak akan mengandalkan orang muda untuk mengeroyok aku orang tua!”

Kata Tok-jiauw Lo-mo sambil melirik ke arah Kun Liong. Kakek ini memang cerdik. Begitu bentrok dengan Kun Liong dia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan yang paling berat, maka dia sengaja memancing dengan kata-kata ini.

“Aku bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusan kita. Mari kita selesaikan sampai mati urusan pribadi kita sebelum usia tua merenggut nyawa kita.”

“Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus, Gak Liong!” Tok-jiauw Lo-mo berteriak dan dia sudah menyerang ke depan.

“Tranggg! Trakkk!”

Pendekar dari Secuan itu telah menggerakkan tongkatnya pula dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian.

**** 214 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: