*

*

Ads

FB

Sabtu, 16 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 067

Baru sekarang dia mengerti bahwa kesaktian gurunya sebagian besar disempurnakan oleh isi kitab ini dan dia dapat menduga mengapa gurunya tidak menurunkan ilmu ini kepadanya. Tiada lain adalah karena gurunya merasa tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai maka tidaklah berhak untuk menurunkan ilmu itu kepada orang lain. Diam-diam dia kagum sekali kepada gurunya yang biarpun merupakan seorang petualangan, namun sesungguhnya memiliki jiwa gagah perkasa yang tidak sudi melanggar janji tak tertulis tak terucapkan antara dia dan Thai Kek Couwsu!

"Teecu pun bersumpah takkan memperlihatkan kitab ini atau memberitahukan isinya kepada orang lain kecuali ketua Kun-lun-pai," demikian bisik hati Keng Hong dan mulailah dia membaca kitab itu penuh perhatian.

Mulailah dia berlatih dengan tekun sekali dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa semua yang telah dipelajarinya, baik dari mendiang suhunya maupun tambahan-tambahan yang dia dapat dari pelbagai kitab pusaka peninggalan gurunya yang dia bacakan kepada Cui Im, inti sarinya termuat dalam kitab ini, maka semua ilmu itu dapat disempurnakan.

Lebih gembira lagi hatinya ketika mendapatkan petunjuk tentang cara untuk menguasai tenaga sinkang dan di bagian akhir kitab itu dia menemukan cara untuk menguasai tenaga sedot dari sinkangnya! Tanpa disengaja karena terciptanya tenaga sedot di tubuhnya memang merupakan suatu kebetulan yang tidak disengaja oleh gurunya maupun olehnya sendiri, kini Keng Hong telah menguasai ilmu yang dianggap sudah musnah dari dunia kang-ouw, yaitu ilmu mujijat Thi-khi-I-beng !

Lam-hai sin-ni yang mempelajari ilmu ini sampai belasan, bahkan puluhan tahun hanya dapat mengusai kulitnya saja, hanya berhasil menggunakan tenaga mujijat ini sepersepuluh bagian saja! Akan tetapi Keng Hong, dengan petunjuk kitab pusaka Thai-kek Sin-kun, dapat mengusai seluruhnya. Bagi orang yang tidak memiliki sinkang yang menciptakan daya sedot, betapapun saktinya orang itu seperti Sin-jiu Kiam-ong sekalipun, tidak dapat memiliki Thi-khi-I-beng biarpun telah membaca kitab peninggalan Thai Kek Couwsu ini.

Setahun lamanya Keng Hong melatih diri menurut petunjuk kitab itu dan kini di luar kesadarannya sendiri, dia telah memperoleh kemajuan yang jauh melampaui yang diperoleh Cui Im selama berlatih empat tahun! Setelah dia mempelajai kitab sampai habis dalam waktu setahun, mulailah dia merenung dan sering kali dia duduk di tepi jurang, memandang jarak yang didudukinya dan tepi jurang di seberang yang kini amat sunyi, tidak lagi terdengar suara ketawa Cui Im, tidak lagi tampak berkelebatnya bayangan merah pakaian gadis cantik dan genit itu. Ia mengerutkan keningnya kalau membayangkan betapa kini semua pusaka dibawa lari Cui Im, terutama sekali kalau membayangkan betapa gadis itu tentu akan melakukan perbuatan-perbuatan yang luar biasa sehingga menggegerkan dunia kang-ouw.

Betapa mungkin keluar dari tempat ini? Menyeberang ke sana tanpa jembatan, merupakan hal yang amat sukar.

Sukar? Bukankah suhunya dahulu sering mengatakan bahwa tidak ada hal yang sukar didunia ini? Ataukah dia yang bodoh? Juga gurunya pernah mengatakan bahwa tidak ada manusia pintar atau bodoh di dunia ini.






Keng Hong memejamkan matanya, mengingat-ingat. Apapun yang dikatakan gurunya dahulu tentang sukar dan mudah, tentang bodoh dan pintar? Ia ingat betapa dahulu dia membantah, kemudian betapa dia dapat menangkap inti sari wejangan itu dan dapat membenarkannya. Ah, dia ingat sekarang.

"Di dunia ini tidak ada hal yang sukar maupun yang mudah, muridku. Juga tidak ada atau tidak tepatlah kalau disebut seseorang itu bodoh atau pun pintar. Biasanya, orang berpendapat sukar adalah pendapat orang bodoh dan mudah itu pendapat orang pintar. Sebetulnya tidak demikian. Tidak ada sukar, tidak ada mudah, tidak ada bodoh tidak ada pintar. Yang ada hanya MENGERTI dan BELUM MENGERTI. Yang mengerti tentu bisa dan kalau sudah bisa menjadi mudah. Yang belum mengerti tentu tidak bisa dan kalau belum bisa menjadi sukar. Jadi, tidak ada hal sukar di dunia ini selama orang mau belajar agar mengerti dan bisa. Kalau belum mengerti, carilah, pergunakan akal budi yang dianugerahkan kepadamu sebagai manusia. Segala hal pasti akan dapat diatasi!"

Demikianlah wejangan gurunya yang kini terngiang di telinganya. Cari, cari caranya! Tentu akan dia dapatkan! Biar dia terhalang jurang begini lebar, biarpun tampaknya amat sukar dan tidak ada jalan keluar, hal ini hanya karena dia BELUM MENGERTI jalannya maka harus dia cari sampai dapat!

Dengan landasan wejangan gururnya ini, sejak saat itu Keng Hong memutar otak, mencari akal bagaimana dia akan dapat keluar dari tempat itu. Menggunakan ilmu kepandaiannya melompati jurang, tidak akan mungkin. Hal seperti ini tentu hanya dapat dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam dongeng seperti Sun Go Kong atau Kauw cee Thian si raja kera putih dalam dongeng See-yu saja!

Dapatkah gurunya melompati jurang selebar ini? Kiranya tidak mungkin. Dan bagaimana dengan Thai kek Couwsu? Dapatkah kakek yang dikatakan berkepandaian seperti dewa itu dapat melompati jurang ini? Kalau dapat bukan melompat namanya, melainkan terbang! Tidak masuk akal! Dia hanya mencari jalan, menggunakan akalnya. Manusia berakal budi, tidak seperti binatang yang telanjang. Manusia berpakaian...ah, pakaian..!

Keng Hong memandang pakaian yang menutupi tubuhnya. Pakaian warna putih dari sutera yang dia ambil dari dalam peti. Agaknya peninggalan Thai kek Couwsu. Pakaian putih dari sutera halus dan amat kuat, lagi ulet dan kuat! Benar! Pakaian-pakaian sutera, sutera ulet itulah!

Keng Hong berlari-lari memasuki kamar, membuka peti dan mengeluarkan semua pakaian sutera putih. Ia mengukur-ukur, kemudian merobek-robek semua pakaian itu, menjadi robekan-robekan kecil panjang, kemudian memilinnya menyambung-nyambung sehingga menjadi tali sutera yang panjang sekali, hanya sebesar kelingking akan tetapi amat ulet dan kuat!

Disambungnya terus sampai habis semua pakaian sutera putih yang kini berubah menjadi tali yang amat panjang. Disambungnya tali sutera ini dengan tambang yang masih setengah jarak jurang itu. Kemudian, dengan jantung berdebar dan hati berdoa kepada Thian, dia melontarkan ujung tambang yang ada kaitannya ke seberang setelah mengikatkan ujung tali sutera pada batu karang.

Tenaga lontarannya amat kuat dan baja kaitan itu melayang ke seberang, tepat mengait pada batu di seberang. Tali sutera itu ternyata cukup panjang! Terbentanglah kini "jembatan" terbuat dari tambang disambung tali sutera!

Keng Hong hampir berteriak-teriak saking girang hatinya. Akan tetapi dia menekan kegirangannya. Dia tidak mabuk kemenangan. Bahaya masih harus ditempuhnya. Sebelum sampai ke seberang, dia harus menyeberang melalui "jembatan' ini dan hal itu tidaklah semudah kalau menyeberang tambang seperti setahun yang lalu. Tapi sutera itu amat kecil lagi licin dan dia masih harus mempertaruhkan nyawanya karena kalau tali itu kurang kuat dan putus...!

Akan tetapi tidak ada jalan lagi dan soalnya hidup selamanya di tempat itu, sampai mati sebagai seorang kakek tua renta dan kurus kering, mati kesunyian. Kalau dia menyeberang, andaikata gagalpun hanya akan menemui kematian. Akan tetapi kalau berhasil..!

Keng Hong menyelipkan Siang-bhok-kiam di ikat pinggangnya, menyembunyikan pedang itu di balik bajunya yang kebesaran, baju sutera putih, satu-satunya yang tidak dia robek-robek untuk dijadikan tali penyeberang. Kitab Thai-kek Sin-kun dia masukkan dalam saku baju.

Setelah berdiri mengheningkan cipta di tepi jurang, menengadah dan di dalam hati mohon perlindungan Thian dan mohon bantuan arwah Thai-kek Couwsu dan Sin-jiu kiam-ong, Keng Hong lalu mengerahkan ginkangnya dan mulai melangkah menginjak tali sutera yang melintang jurang didepannya.

Setelah kedua kakinya menginjak tali sutera dan merasa yakin bahwa tali itu cukup kuat, tidak bergoyang dan tubuhnya dapat berdiri tegak lurus, dia lalu mulai melangkah maju perlahan-lahan .Menurutkan hasrat hatinya yang ingin cepat-cepat sampai di seberang, ingin dia berlari cepat.

Akan tetapi dia menyabarkan hatinya dan tetap menjaga keseimbangan tubuhnya tetap tegak sehingga jembatan itu tidak terlalu bergoyang dan tidak terlalu berat tubuhnya membebani tali sutera. Bahkan bernapas pun dia tahan sehingga napasnya panjang-panjang dan lambat. Seolah-olah jarak yang setahun lalu setiap hari ditempuhnya itu kini menjadi lima kali lebih panjang dari biasa! Seolah-olah tidak akan pernah sampai di seberang. Akan tetapi kakinya kini tidak menginjak tali sutera lagi, melainkan menginjak tambang, tanda bahwa jarak setengahnya telah dilalui.

Kini dia mempercepat langkahnya dan tak lama kemudian dia melompat ke tepi jurang di mana dahulu Cui Im berdiri mentertawakannya! Keng Hong menjatuhkan diri berlutut ke arah tempat dimana tadi dia mulai menyeberang, seakan-akan tadi dia hendak menghaturkan terima kasih atas bantuan arwah Thai Kek Couwsu dan Sin-jiu Kiam-ong.

Memang sesungguhnyalah bahwa dia menerima bantuan kedua orang sakti itu, yaitu dengan mempelajari ilmu-ilmu dari kedua orang sakti itu. Kalau dia tidak memiliki sinkang yang hebat dan kalau ilmunya tidak diperdalam setahun lagi menurut petunjuk kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, terutama sekali kalau dia tidak menerima peninggalan pakaian sutera putih dari pendiri Kun-lun-pai itu, agaknya tidaklah secepat itu dia akan dapat menyeberangi jurang!

Dari pengalaman Keng Hong ini ternyatalah bahwa berharga atau tidaknya sebuah warisan.lebih luas lagi, berharga atau tidaknya sebuah benda, tergantung daripada pengetrapan penggunaannya. Kadang-kadang, benda yang biasanya dianggap tidak berharga, sekali waktu pada saatnya yang tepat amatlah dibutuhkan dan berubah menjadi benda yang amat berharga.

Sebaliknya, benda yang biasa dianggap amat berharga, jika tidak diperlukan akan menjadi benda yang sama sekali tidak ada harganya! Apa artinya segunung emas di padang pasir yang kering tiada airnya? Manusia yang hampir mati kehausan di situ akan dengan rela dan senang hati menukar setiap bongkah emas dengan seteguk air! Dalam halnya Keng Hong, setumpuk pakaian tua itu ternyata jauh lebih berharga daripada segala macam pusaka yang diperebutkan oleh tokoh kang-ouw di seluruh dunia!

Keng Hong segera berlari memasuki lorong dan memeriksa semua ruangan. Tepat sekali yang dia duga, Cui Im lenyap dan demikian pula semua kitab peninggalan suhunya berikut tiga batang pedang pusaka dan sebagian besar perhiasan-perhiasan yang paling indah. Wanita itu benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan unuk memuaskan nafsu ketamakannya!

Biarpun senjata-senjata pusaka di situ masih banyak dan juga barang-barang berharga tersebut daripada emas perak dan permata, namun Keng Hong tidak ada sedikitpun niat di hatinya untuk membawa benda-benda pusaka itu. Ia hanya membawa pedang Siang-bhok-kiam dan kitab Thai-kek Sin-kun, kemudian dia terus keluar dari tempat itu melalui lorong atau terowongan kecil sambil merangkak, seperti ketika dia datang dahulu.

Masih teringat dia betapa Cui Im yang merangkak di belakangnya ketakutan, kadang-kadang memegang lengannya, kadang-kadang mendorong pinggulnya Keng Hong tersenyum. Betapapun marah dan bencinya kepada Cui Im, kalau teringat akan kelakukan gadis itu geli juga hatinya kadang-kadang.

Di ujung lorong, dia melihat batu-batu bertumpuk dan dia dapat menduga bahwa pintu yang menutup terowongan itu hancur kena gempuran batu-batu dari atas. Tadinya dia memikirkan bagaimana Cui Im akan dapat keluar dari tempat itu tanpa bantuan pedang Siang-bhok-kiam sebagai kunci. Akan tetapi ternyata bahwa batu yang menutupi lubang itu pecah-pecah, agaknya tertimpa batu dari atas dan tentu ketika keluar dari tempat ini, Cui Im telah membongkar batu-batu itu.

Melihat banyaknya batu-batu itu, Keng Hong dapat membayangkan betapa sukarnya pekerjaan itu. Tentu makan waktu berhari-hari! Diam-dia dia tersenyum memikirkan betapa Cui Im dengan susah payah membongkar batu-batu yang menimbuni mulut terowongan, dan betapa pekerjaan susah payah itu tanpa disangka-sangka kini dipergunakan oleh Keng Hong yang dapat keluar tanpa bekerja sedikit pun!

Setelah keluar dari lubang dan berada dilereng batu pedang, Keng Hong menarik napas dalam. Angin gunung meniup mukanya dan dia memicingkan matanya terhadap sinar matahari. Hatinya terharu. Ia merasa seolah-olah hidup kembali ! Lima tahun lamanya dia berada di sebelah dalam batu pedang, seolah-olah telah terkubur di situ.

Dan setahun lamanya dia merasa telah terjebak tanpa ada jalan keluar. Kini dia telah berada di lereng batu pedang! Keng Hong mengangkat sebuah batu besar, sebesar kerbau sehingga lubang itu tertutup oleh tumpukan batu-batu besar. Kemudian dia mulai merayap turun dengan hati penuh kegembiraan dan dengan semangat tinggi.

Tugas penting terbentang luas di depannya. Andaikata tidak ada Cui Im yang mengganggu, tentu sekarang dia telah membawa kitab-kitab dan pusaka-pusaka untuk dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Akan tetapi, semua pusaka itu telah dirampas oleh Cui Im, maka tugas utama dan pertama baginya adalah mencari Cui Im untuk merampas kembali benda-benda itu. Nama besar suhunya tetap akan tercemar dan tetap akan dimusuhi dunia kang-ouw sebelum benda-benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak.

Akan tetapi sebelum mencari Cui Im dia akan pergi lebih dulu mengunjungi Kun-lun-pai untuk menyerahkan Thai-kek Sin-kun peninggalan pendiri Kun-lun-pai dan sekalian minta maaf atas segala kesalahannya yang lalu. Ia percaya bahwa fihak Kun-lun-pai, terutama sekali kiang Tojin, akan dapat memaafkannya dan andaikata tidak, dia pun tidak gentar dan dia percaya bahwa tingkat kepandaiannya yang sekarang, dia akan dapat dengan mudah menyelamatkan diri!

Dengan gembira Keng Hong lalu bersenandung, melagukan lagu ciptaannya ketika dia dahulu sering kali bermain suling sambil duduk di punggung kerbaunya, ketika dia masih menjadi kacung Kun-lun-pai.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: