*

*

Ads

FB

Minggu, 04 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 213

Bermacam perasaan mengaduk hati Kun Liong ketika dia berpisah dari Yo Bi Kiok dan adik kandungnya, Yap In Hong. Tentu saja dia merasa berduka dan kecewa, bahwa adiknya, satu-satunya keluarganya di dunia ini, menolak untuk pergi bersamanya. Akan tetapi di samping rasa kecewa dan duka ini, terdapat juga rasa lega dan girang karena hatinya boleh merasa tenteram mengingat bahwa adik kandungnya ternyata masih hidup dan aman berada di dalam perlindungan Yo Bi Kiok yang telah menjadi seorang wanita sakti karena mewarisi pusaka yang seharusnya tersimpan di dalam bokor emas.

Dalam perlindungan Bi Kiok, adiknya tentu akan aman sentausa dan bahkan memperoleh pendidikan ilmu yang tinggi. Juga, andaikata adiknya itu memilih dia dan ikut bersamanya, tentu dia tidak akan dapat leluasa mencari Hong Ing! Andaikata demikian, agaknya dia pun akan terpaksa menitipkan In Hong kepada orang lain, tentu saja paling tepat menitipkannya ke Cin-ling-san, karena dia tidak mau membawa adik kandungnya yang masih kecil itu ke Tibet dan menempuh perjalanan yang penuh bahaya.

Di sepanjang perjalanan ke barat, yang terbayang di depan matanya hanyalah wajah Hong Ing dan adik kandungnya itu. Hanya dua orang itulah yang kini menjadi tangkai hidupnya, yang memberi dorongan semangat kepadanya.

“Hong Ing... semoga Tuhan melindungimu...”

Dia menghela napas teringat akan kekasihnya itu dan dia mempercepat langkahnya. Kini baru terasa olehnya betapa mendalam cinta kasihnya terhadap dara itu. Kini baru terbayang seluruh pengalamannya di waktu dahulu, ketika dia memandang rendah cinta kasih, ketika dia bersikap sebagai seorang pemuda ugal-ugalan yang mempermainkan cinta kasih wanita terhadap dirinya.

Teringat akan itu semua, dia merasa berduka. Terutama sekali mengingat akan dua orang wanita, yaitu Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengingat Hwi Sian, terbayang hubungannya dengan gadis itu, perjinaan mereka di dalam kuil tua, dia merasa malu dan menyesal bukan main. Baru terasa olehnya betapa besar pengorbanan Hwi Sian, betapa dara itu telah menjadi korban cinta yang tidak dibalasnya. Betapa ganas dan kejinya dia, mau saja menerima tubuh dan kehormatan dara itu tanpa cinta kasih di hatinya! Betapa rendahnya dia, betapa kotor dan keji!

“Hwi Sian... kau maafkanlah aku...”

Berkali-kali dia berbisik di dalam hatinya setiap kali dia teringat akan itu semua. Dan Bi Kiok, gadis yang berwajah dingin itu pun cinta padanya. Sukar mengukur isi hati Bi Kiok, namun dia merasa bahwa cinta gadis itu tentu mendalam dan berbahaya. Bahkan Bi Kiok sudah mengeluarkan ancaman akan membunuh setiap orang wanita yang mencintanya, yang dipilihnya! Timbul kekhawatirannya apakah kelak hidupnya tidak akan selalu menghadapi kesulitan dari gadis bersikap dingin ini.

Kemudian Pek Hong Ing! Wajahnya berseri-seri dan matanya bersinar-sinar setiap kali dia teringat kepada Hong Ing, akan tetapi segera menyuram kalau dia teringat akan kebodohannya sendiri. Betapa dia sudah banyak merongrong hati dara yang halus budi itu.

Terbayanglah kembali semua pengalamannya bersama Hong Ing semenjak pertemuannya dengan “nikouw” itu sampai perpisahan mereka di pulau kosong. Betapa sekarang tampak jelas olehnya cinta kasih dara itu terhadap dirinya yang tiada taranya!

Dan dia, si tolol, si canggung dan dungu, selalu menyakiti hati dara itu dengan ketololannya dengan perantaraan kata-katanya, sikapnya! Bahkan dalam saat terakhir sebelum mereka berpisah, dia sudah menikam ulu hati kekasihnya itu dengan ujung pedang beracun yang amat menyakitkan, yang berupa kata-kata setolol-tololnya! Ingin dia menampar kepalanya sendiri, kepala yang kini sudah berambut panjang, hitam dan lebat itu, kalau dia teringat akan semua itu.






Bagaimanakah nasib Hong Ing? Dia tidak dapat mengira-ngira karena dia tidak tahu betul apakah dua orang pendeta Lama itu bermaksud buruk terhadap kekasihnya ataukah tidak. Betapapun juga, kalau dua orang pendeta itu mempunyai niat buruk, keselamatan kekasihnya terancam bahaya hebat. Dua orang pendeta Lama itu amat lihai.

Akan tetapi, kalau benar mereka itu adalah para susiok Hong Ing, tentu tidak akan terjadi sesuatu atas diri kekasihnya itu. Apa pun yang akan terjadi, dia harus menemukan gadis itu dan melihat dengan mata sendiri bahwa Hong Ing berada dalam keadaan selamat. Hatinya agak lega kalau dia mengingat bahwa besar kemungkinan dua orang pendeta itu tidak ingin mengganggu Hong Ing, karena kalau berniat buruk, mengapa susah payah mengajak dara itu pergi? Siapa yang akan dapat mencegah mereka kalau mereka itu berniat buruk terhadap Hong Ing, ketika mereka tiba di pulau kosong dahulu itu dan setelah dia sendiri dirobohkan oleh mereka? Tidak, mereka pasti tidak akan berbuat buruk terhadap Hong Ing.

Kelegaan hatinya ini hanya sebentar saja membuat wajahnya berseri karena kembali dia teringat kepada Hwi Sian! Dia akan melewati Secuan, apa salahnya kalau dia singgah di tempat tinggal Hwi Sian? Kabarnya gadis itu bersama dua orang suhengnya tinggal bersama guru mereka, Pendekar Gak Liong yang terkenal sekali di Secuan. Mengapa tidak? Kalau belum bertemu dengan Hwi Sian dan melihat keadaan gadis itu baik-baik saja dan mendengar sendiri dari mulut gadis itu bahwa kesalahannya telah diampuni, tentu Hwi Sian akan merupakan pengganggu ketenangan hatinya di masa depan.

Karena kini merasa yakin bahwa Hong Ing pasti tidak akan dicelakakan oleh para pendeta Lama yang lihai itu, Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari Hwi Sian di Secuan, karena perjalanannya memang melewati tempat itu jadi bukan berarti pembuangan waktu yang terlalu banyak.

Memang benar seperti dugaannya, tidaklah sukar mencari tempat tinggal Gak Liong di Secuan karena hampir semua orang mengenal, siapakah Gak-taihiap (Pendekar Besar Gak) yang telah banyak berjasa di Secuan, sejak dia membantu paman gurunya, yaitu Panglima The Hoo untuk membasmi para pemberontak dan para penjahat sehingga daerah itu menjadi aman dan penghuninya hidup makmur.

Dia memperoleh keterangan bahwa Gak-taihiap tinggal di tepi sungai yang menjadi anak sungai Yang-ce-kiang di luar kota Mian-ning. Ternyata tempat itu sunyi sekali dan memang Gak Liong sekarang setelah tua tidak mencampuri lagi urusan dunia ramai sehingga setiap urusan selalu diselesaikan oleh tiga orang muridnya, bahkan jarang sekali pendekar tua ini menemui tamu. Tempat tinggalnya di tepi sungai itu hanya merupakan sebuah bangunan kayu yang sederhana namun suasananya di situ hening dan menyenangkan.

Setelah memperoleh keterangan jelas, pagi hari itu berangkatlah Kun Liong ke tempat yang ditunjukkan orang dan menjelang tengah hari tibalah dia di tepi sungai dan sudah tampaklah bangunan tempat tinggal Gak Liong itu.

Tempat yang amat sunyi namun menyenangkan karena selalu terdengar bunyi percik air sungai dan kicau burung di pohon-pohon sepanjang sungai. Berdebar juga hati Kun Liong kalau membayangkan betapa dia akan bertemu dengan Hwi Sian yang tinggal di rumah itu. Sudahkah gadis itu menikah dengan suhengnya, Tan Swi Bu? Apakah bersama suheng yang kini menjadi suaminya itu tetap tinggal di situ? Ataukah sudah pindah? Dia hanya ingin melihat Hwi Sian sekali lagi, melihat betapa keadannya selamat dan baik-baik saja, dan melihat sinar mata yang telah memaafkannya. Barulah hatinya akan lega dan dia akan dapat melanjutkan perjalanannya ke Tibet mencari Hong Ing dengan hati tenang.

Akan tetapi sunyi sekali di luar pondok itu. Kun Liong yang berada di seberang sungai melihat sebuah jembatan kecil yang terbuat daripada bambu di sambung-sambung. Tidak semua orang akan berani melewati jembatan macam itu, karena sekali terpeleset, akan terjungkal ke dalam sungai yang permukaannya amat dalam, merupakan tebing yang curam dan banyak batu-batu yang runcing tajam mengerikan.

Kun Liong tidak ragu-ragu lagi, segera melintasi jembatan penyeberangan itu dengan langkah ringan tanpa berpegang kepada bambu melintang di atas jembatan itu.

Begitu dia tiba di seberang, di depan rumah yang menghadap ke tebing sungai itu, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari belakang sebatang pohon dan sinar pedang yang menyilaukan menyambar ke arah lehernya!

“Singggg... ehhhh...!”

Kun Liong cepat mengelak dan meloncat ke belakang, memandang kepada penyerangnya yang memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Orang itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sikapnya gagah, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya bersinar tajam.

“Iblis dari Pek-lian-kauw, sudah lama aku menanti kedatanganmu! Suruh Tok-jiauw Lo-mo keluar, tidak usah dengan Suhu, cukup dengan aku...”

“Heiii, bukankah Toako adalah Poa Su It, Twa-suheng dari Hwi Sian?” Tiba-tiba Kun Liong memotong kata-kata penuh tantangan dari orang itu.

Orang itu memandang terbelalak, akan tetapi karena dia tidak mengenal Kun Liong, dia menjawab dengan kaku,

“Benar! Aku Poa Su It, mewakili Suhu untuk menghadapi manusia-manusia jahat macam...”

“Nanti dulu, Poa-toako! Aku sama sekali bukan iblis Pek-lian-kauw, apalagi teman Tok-jiauw Lo-mo!”

Orang itu menarik kembali pedangnya yang sudah bergerak hendak menusuk Kun Liong, melangkah mundur tiga kali dan memandang penuh perhatian, matanya masih menyorotkan keraguan dan kecurigaan. Melihat sikap Kun Liong bukan seperti seorang musuh, dia menjadi heran lalu bertanya,

“Siapakah engkau...?”

Kun Liong mengelus rambut di atas telinga kanannya, tersenyum.
“Poa-toako, beberapa tahun yang lalu, kepalaku gundul dan aku pernah bertemu dengan Toa-ko, sutemu Han Swi Bu dan sumoimu Liem Hwi Sian. Aku Yap Kun Liong.”

“Aihhh...!” Poa Su It teringat dan menghela napas panjang sambil menyarungkan pedangnya, lalu menjura, “Maafkan aku, Yap-enghiong (Orang Gagah she Yap)! ”Biarpun baru satu kali bertemu, aku sudah banyak mendengar tentang engkau dari kedua adik seperguruanku.”

“Tidak mengapa, Toako. Karena lupa, maka Toako menyangka aku musuh. Akan tetapi, mengapakah di tempat yang damai dan aman ini Toako agaknya menanti datangnya musuh?”

Orang tinggi kurus itu kembali menarik napas panjang,
“Mari kita masuk ke dalam, Yap-enghiong, dan akan kuceritakan apa yang telah terjadi.”

Karena memang dia hendak mencari Hwi Sian, Kun Liong mengangguk dan mengikuti twa-suheng (kakak seperguruan pertama) dari Hwi Sian itu memasuki pondok yang kelihatan amat sunyi itu. Setelah mempersilakan Kun Liong duduk, Poa Su It lalu bercerita,

“Memang tidak keliru dugaanmu tadi, Yap-enghiong. Aku menyangka engkau adalah seorang di antara musuh-musuh yang sudah mengancam akan menyerbu tempat ini. Beberapa hari yang lalu, selagi Suhu bersamadhi seperti biasa, lapat-lapat aku mendengar suara orang yang diteriakkan dari jauh mempergunakan tenaga khi-kang sehingga terdengar jelas dari tempat ini. Suara itu mengaku suara Tok-jiauw Lo-mo yang mengancam Suhu, akan datang membunuh Suhu dalam beberapa hari ini. Nah, ketika engkau muncul, tentu saja aku mengira bahwa engkau adalah musuh itu.”

“Dan bagaimana keputusan Gak-locianpwe tentang ancaman itu?”

Poa Su It menghela napas panjang,
“Suhu tenang-tenang saja bahkan menjawab dengan sabar, mempersilakan musuh itu datang. Suhu hanya berpesan kepadaku agar aku menjaga datangnya musuh dan melaporkan kepada Suhu kalau musuh itu datang. Tentu saja aku tidak bisa bersabar seperti Suhu menghadapi musuh yang mengancam nyawa Suhu.”

“Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo memang bukan orang baik-baik,” kata Kun Liong.

“Yap-enghiong pernah bertemu dengan dia?”

Kun Liong mengangguk dan berkata lagi,
“Kalau dia datang bersama kawan-kawannya, tentu berniat buruk sekali. Oleh karena itu, setelah mendengar ini, aku akan membantumu, Poa-toako. Aku akan ikut menanti mereka dan membantumu menghadapi mereka.”

Wajah Poa Su It yang tadinya muram itu kini berseri dan dia memegang lengan Kun Liong.

“Aku memang amat mengharapkan bantuanmu! Yap-enghiong! Terima kasih!”

Kun Liong menoleh ke kanan kiri karena merasa heran mengapa pondok itu demikian sunyi, dan mengapa pula Tan Swi Bu, terutama Liem Hwi Sian, tidak muncul.

“Kenapa Toako berjaga seorang diri? Di manakah Sute dan Sumoimu?”

“Suami istri itu pergi ke barat mewakili Suhu yang sekarang sudah tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Dahulu Suhu terkenal sekali di Secuan ketika Suhu masih membantu Susiok-kong (Paman Kakek Guru) Panglima The Hoo membasmi para pemberontak dan penjahat di daerah Secuan ini. Akan tetapi sekarang Suhu sudah mengundurkan diri, maka ketika datang perintah dari Susiok-kong yang minta bantuannya menyelidiki ke barat, Suhu mewakilkan tugas itu kepada Sute dan Sumoi”

Lega rasa hati Kun Liong. Inilah yang ingin didengarnya, jadi ternyata Hwi Sian telah menikah dengan ji-suhengnya (kakak seperguruan ke dua), Tan Swi Bu seperti yang dia dengar dari Hwi Sian dahulu. Bagus, kalau demikian keadaan Hwi Sian baik-baik saja dan dia yakin bahwa gadis yang pernah menyerahkan tubuhnya kepadanya itu tentu telah memaafkannya. Sayangnya dia tidak dapat bertemu sendiri dan melihat sinar pengampunan itu dari mata gadis itu sendiri.

**** 213 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: