*

*

Ads

FB

Jumat, 02 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 208

“In-moi (Dinda In)...! Tunggu...!”

Teriakan ini keluar dari mulut Ouwyang Bouw yang mengejar Lauw Kim In yang berlari-lari. Namun Kim In tidak menjawabnya, juga tidak menengok, melainkan berlari terus sambil kadang-kadang mengusap air matanya.

Biasanya, wanita yang berhati keras dan dingin seperti baja ini pantang menangis, akan tetapi ucapan yang keluar dari mulut Kun Liong menikam ulu hatinya dan menyentuh perasaan hatinya yang memang selalu tertekan. Dia sama sekali tidak cinta kepada Ouwyang Bouw dan menyerahkan tubuhnya kepada pemuda setan itu secara terpaksa. Hanya dia seorang yang merasakan betapa tersiksa dan menderita hatinya setiap kali dia harus menyerahkan tububnya kepada Ouwyang Bouw yang menganggapnya isterinya itu.

Makin lama dekat dengan Ouwyang Bouw, makin sadarlah dia bahwa “suaminya” itu adalah seorang yang tidak waras otaknya, agak miring otaknya dan di balik ketidak-wajarannya itu terdapat watak yang luar biasa kejam dan jahatnya!

Seperti diketahui, dahulu dia menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw karena terpaksa, yaitu untuk menyelamatkan sumoinya, Pek Hong Ing, dan dirinya sendiri karena mereka berdua kalah melawan Ouwyang Bouw, dan kedua kalinya karena dia hendak mempergunakan kelihaian orang muda gila ini untuk dapat membalas dendamnya terhadap musuh besar yang dahulu membunuh tunangannya, yaitu Thian-ong Lo-mo.

Dan dia berhasil menyelamatkan Pek Hong Ing, bahkan berhasil pula membunuh Thian-ong Lo-mo di samping berhasil meningkatkan ilmu kepandaiannya dengan petunjuk “suaminya”. Akan tetapi, setiap kali apabila teringat akan keadaan dirinya, apalagi setiap kali harus melayani cumbu rayu dan permainan cinta suaminya yang kadang-kadang tidak lumrah dan mengerikan itu, batinnya makin tertekan.

Ucapan-ucapan Kun Liong seperti ujung pedang runcing menikam jantungnya. Dia diumpamakan setangkai mawar indah dari Go-bi yang berlumur noda dan lumpur kehinaan. Betapa tepatnya ucapan itu dan dia merasa jantungnya tertikam dan sakit sekali.

Memang kalau dia pikir, hidupnya sekarang tidak ada artinya sama sekali, hanya menjadi permainan dan bahan penghinaan seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw saja! Menjadi barang permainan karena dia pun tahu betapa anehnya cinta kasih Ouwyang Bouw kepadanya yang lebih condong kepada sebuah benda permainan yang tak pernah membosankan hati pemuda gila itu. Ouwyang Bouw yang menganggap dia isterinya itu kadang-kadang bermain gila dengan wanita, baik secara suka rela di pihak wanita itu atau memaksa dan memperkosanya, dilakukan begitu saja di depan matanya tanpa rasa malu sedikit pun!

Ouwyang Bouw tidak mengenal apa artinya kesetiaan suami isteri. Bahkan gilanya, pernah Ouwyang Bouw menganjurkan agar dia bermain cinta dengan pria lain di depan mata suami gila itu! Ditangkapnya seorang pemuda tampan dan dengan ancaman maut Ouwyang Bouw memaksa pemuda itu agar bermain cinta dengan isterinya! Ouwyang Bouw membujuk-bujuk agar dia suka melakukan hal yang tidak senonoh itu di depan matanya. Tentu saja dia tidak sudi dan hal itu membuat Ouwyang Bouw marah-marah dan membunuh pemuda yang tidak berdosa itu! Teringat akan semua ini, hancurlah perasaan hati Kim In ketika mendengar celaan dan sindiran Kun Liong.

“Isteriku... yang manis...! Dinda Lauw Kim In... tunggulah..., larimu begitu cepat seperti kuda! Ha-ha-ha!” kembali terdengar suara suaminya itu, kini sudah dekat di belakangnya.






Lauw Kim In mempercepat larinya, mengerahkan seluruh gin-kangnya yang sudah memperoleh banyak kemajuan setelah dia dilatih oleh suami gila itu.

“Wah-wah, larimu makin kencang! Ha-ha, lucu dan manis sekali dari belakang! Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita menjadi dua ekor kuda yang berkejaran, kau kuda betina dan aku kuda jantan. Kalau dapat terpegang, kau harus memberi hadiah kepadaku, ha-ha-ha!”

Lauw Kim In bergidik, mengerti bahwa suaminya itu “kumat” lagi gilanya, gila berahi yang kadang-kadang penyalurannya membuat dia ngeri dan jijik. Maka makin cepatlah dia berlari dengan tekad kalau dapat akan membebaskan diri dari manusia itu. Akan tetapi, betapa pun cepat dia lari, naik turun gunung dan keluar masuk hutan, akhirnya dia tersusul juga.

“Ha-ha-ha, kau kalah!” Ouwyang Bouw menubruknya dari belakang sehingga Lauw Kim In terguling di atas rumput. Ouwyang Bouw terus menggelutnya dan memaksanya sambil terkekeh-kekeh, “Kita memang sepasang kuda...heh-heh, sepasang kuda bermain cinta...”

Dapat dibayangkan betapa tersiksanya hati wanita itu, namun terpaksa dia harus mandah saja diperlakukan sesuka hati pria yang memiliki tingkat kepandaian tinggi ini. Dia tahu bahwa kalau dia melawan dengan kekerasan, berarti bunuh diri dan dia tidak mau bunuh diri dengan sia-sia. Tubuhnya telah tercemar, telah kotor, maka ditambah dengan penderitaan beberapa kali lagi sebelum ada kesempatan baik, tidak mengapalah.

“Isteriku yang manis... kau hebat...”

Omyang Bouw merangkul dan mencium mulut Lauw Kim In yang rebah kelelahan dan mukanya agak pucat itu. Ouwyang Bouw Ialu tergelimpang dan rebah pula terlentang di dekat Kim In, juga kelelahan dan dengan mulut tersenyum kepuasan.

Perlahan-lahan Kim In membereskan kembali pakaiannya. Dia bangkit duduk dan melirik ke arah “suaminya” yang masih terlentang dengan mata terpejam itu. Laki-laki itu tidur dengan tubuh setengah telanjang, dan harus diakuinya bahwa tubuh Ouwyang Bouw tegap dan gagah.

Andaikata wataknya tidak gila seperti itu, melihat ketampanan wajah dan ketegapan tubuhnya, kiranya tidaklah terlalu sukar baginya untuk belajar membalas cinta laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini. Akan tetapi laki-laki ini gila! Kegilaan yang menjemukan, terutama sekali kegilaannya dalam bermain cinta. Teringat akan apa yang baru saja dialaminya tadi, dia diperlakukan sebagai seekor kuda betina, hampir sama dengan diperkosa di luar kehendaknya, kemarahannya meluap.

“Wuuuuuttt!”

Dengan jari-jari terbuka, tangan kanan Lauw Kim In menerkam dengan serangan maut ke arah dada dari suaminya.

“Plakkk...! Haiiiii, kau kenapa...?”

Biarpun kelihatannya tadi memejamkan matanya, namun Ouwyang Bouw dapat menangkis dan meloncat berdiri sambil berteriak kaget.

Lauw Kim In juga kecewa dan kaget. Suaminya ini memang lihai sekali dan kalau dia tidak menggunakan akal, tentu dia akan mati konyol.

“Aku mengapa? Mengapa lagi kalau bukan mengajak kau berlatih silat?” jawab Lauw Kim In dengan suara biasa dan terus saja dia melancarkan pukulan bertubi-tubi, mengeluarkari jurus-jurus yang paling ampuh.

Sambil meloncat ke kanan kiri dan mengikatkan ikat pinggangnya yang kedodoran, Ouwyang Bouw tertawa,

“Ha-ha-ha, bagus! Baru saja selesai bertempur, sudah mengajak bertanding lagi. Nah, awas, aku membalas seranganmu!”

Bertandinglah kedua orang itu, atau bagi Ouwyang Bouw tentu saja hanya berlatih, dia tidak tahu bahwa “isterinya” itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Setelah lewat lima puluh jurus, mengertilah Lauw Kim In bahwa tidak mungkin dia dapat mengalahkan suaminya yang benar-benar amat lihai ini.

“Sratttt!” Dia mencabut pedangnya. “Lihat pedang!” bentaknya karena biarpun di lubuk hatinya dia ingin membunuh orang ini, namun dengan cerdik dia memperingatkan agar suaminya tidak curiga dan mengira dia tetap mengajak berlatih, kini dengan silat pedang.

“Bagus! Memang dalam silat pedang engkau sudah memperoleh lebih banyak kemajuan daripada bertangan kosong, isteriku manis!”

Ouwyang Bouw juga mencabut pedangnya dan tampaklah dua gulungan sinar pedang berkelebatan.

“Wah-wah, apakah engkau tidak lelah? Aku lelah sekali...! Sudahlah, aku ingin mengaso!”

Ouwyang Bouw berteriak setelah mereka bertanding selama lima puluh jurus dan pedang mereka berkali-kali saling bertemu.

Diam-diam Lauw Kim In menjadi jengkel dan kecewa sekali. Dengan tangan kosong dia tidak mampu menang, dengan pedang pun tidak akan mampu membunuh suaminya ini, biarpun tingkat mereka tidak berselisih banyak. Dia menyarungkan pedangnya, lalu duduk membelakangi suaminya dengan wajah cemberut.

Ouwyang Bouw merangkulnya, mengusap keringat dari lehernya dan tangannya terus membelai ke bawah leher. Lauw Kim In merenggut tangan itu dan makin cemberut.

“Aihh, Manis! Kau kenapa? Mengapa marah-marah?”

Ouwyang Bouw malah menggoda dan merangkul, terus menciumi dengan nafsu baru yang bangkil kembali.

“Engkau menipuku!” Lauw Kim In berkata.

“Heh? Aku...? Menipumu...?”

“Dulu kau berjanji akan menurunkan semua ilmu silatmu kepadaku, ternyata kau hanya menipuku saja.”

“Bukankah setiap kali kau minta, aku selalu melatihmu?”

“Huh! Yang kau ajarkan hanyalah jurus-jurus tidak berguna saja. Buktinya, sampai sekarang pun aku belum mampu mengalahkan engkau!”

“Ha-ha-ha-ha! Hendak mengalahkan aku tidak mudah, isteriku. Ilmu kepandaianku sudah terlatih matang. Engkau hanya akan mampu mengalahkan aku dalam bermain cinta, kalau dalam ilmu silat, kiranya tidak mungkin biarpun aku mengajarkan seluruh ilmuku kepadamu.”

Lauw Kim In termenung. Benar juga apa yang diucapkan orang gila ini. Dia kalah latihan, juga kalah tenaga dan keuletan, mungkin kalah bakat. Habis, bagaimana dia akan dapat mengenyahkan laki-laki yang menjemukan hatinya ini? Dia harus bersabar dan menanti datangnya kesempatan baik. Maka dengan manis dia lalu menurut saja ketika suaminya mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw.

Akan tetapi memang watak Ouwyang Bouw aneh, dia tidak langsung mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw, melainkan di sepanjang jalan dia berhenti dan di setiap tempat yang indah dia merayu isterinya dan mengajarkan jurus-jurus baru, sikapnya demikian mesra seperti pengantin baru saja, tidak tahu betapa limpahan cinta kasih yang luar biasa ini bahkan makin memuakkan hati Lauw Kim In. Karena perjalanan yang lambat ini, mereka sampai bermalam selama dua malam di dalam hutan, dan semua kehendaknya terpaksa dilayani oleh Lauw Kim In yang merasa seperti dijadikan boneka hidup!

Pada hari ke tiga, barulah mereka langsung menuju ke Pek-lian-kauw. Agaknya sudah lewat pula kumatnya penyakit Ouwyang Bow. Ada kalanya dia bersikap seperti pengantin baru selama beberapa hari, ada pula kalanya dia bersikap acuh tak acuh terhadap Lauw Kim In sampai berpekan-pekan!

Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba Omyang Bouw menarik tangan Lauw Kim In dan menyeretnya ke dalam semak-semak.

“Aku sudah lelah, jangan main gila kau! Besok saja...”

Kim In menolak karena mengira bahwa suaminya itu kumat lagi, akan tetapi Ouwyang Bouw mendekap mulutnya dan menuding ke depan.

Lauw Kim In memandang dan dia terkejut melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda. Dia mengenal gadis cantik itu, karena gadis itu bukan lain adalah pengantin yang dirayakan pernikahannya di Pek-lian-kauw, gadis yang kabarnya bernama Cia Giok Keng puteri Ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda tinggi besar dan bersikap gagah yang berjalan di sebelah gadis itu.

Siapakah pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu? Dia bukan lain adalah Lie Kong Tek! Seperti kita ketahui, Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk mencari Cia Giok Keng yang telah dipinangnya langsung dari ayah gadis itu. Gurunya menghendaki dia menyusul dan kalau perlu melindungi gadis itu dan memaksakan perpisahan antara mereka dengan janji setahun kemudian bertemu di Cin-ling-san.

Demikianlah, Lie Kong Tek lalu melakukan perjalanan seorang diri dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Cia Giok Keng, maka dia lalu mengambil arah yang ditempuh oleh Giok Keng ketika gadis itu tadi melakukan pengejaran terhadap Liong Bu Kong. Tentu saja dia kehilangan jejak gadis itu dan selama dua hari dia berkeliaran di sekitar daerah itu, mencari-cari tanpa hasil.

Baru pagi tadi, ketika dia sudah hampir hilang harapan untuk bertemu dengan Cia Giok Keng, tiba-tiba dia melihat gadis itu muncul keluar dari sebuah hutan, berjalan dengan arah menuju ke sarang Pek-lian-kauw.

“Cia-siocia (Nona Cia)...!” Dia memanggil sambil berlari mengejar.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: