*

*

Ads

FB

Minggu, 06 November 2016

Petualang Asmara Jilid 116

Wajahnya yang cantik kelihatan agak pucat seperti menderita sakit. Namun sepasang matanya yang jernih dan tajam itu masih bersinar-sinar penuh semangat perlawanan, sungguhpun keadaannya amat mengkhawatirkan.

Dengan sikap gagah dan sama sekali tidak membayangkan tanda-tanda menyerah atau takut, Souw Li Hwa yang dibelenggu tubuhnya pada sebuah tihang di ruangan batu itu memandang kepada pemuda yang berdiri di depannya.

Ouwyang Bouw hampir kehilangan kesabaran menghadapi tawanan wanita yang dicintanya ini. Terhadap Li Hwa, dia tidak mau menggunakan pemaksaan, tidak mau menggunakan kekerasan untuk menggagahinya. Dia benar-benar jatuh hati kepada dara ini dan mengharapkan Li Hwa suka menjadi isterinya dengan suka rela.

Namun, setelah berhari-hari dia membujuk dengan halus dan kasar, tetap saja Li Hwa tidak mengacuhkan, bahkan setiap kali membuka mulut tentu menghinanya dan menantang minta dibunuh. Hal ini membuat hati Ouwyang Bouw marah, penasaran, juga duka sekali sehingga beberapa hari dia tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan tubuhnya menjadi kurus, matanya makin liar dan terhadap orang lain dia mudah marah-marah.

“Li Hwa, mengapa engkau begini keras kepala? Biarpun engkau murid Panglima Besar The Hoo, akan tetapi aku pun bukan pemuda sembarangan. Aku putera dan sekaligus murid Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang dahulu juga pernah menjabat kedudukan tinggi di Mongolia. Engkau tidak turun derajat jika menjadi isteriku dan aku bersumpah bahwa aku akan menjadi suami yang baik dan penurut, sayangku!”

“Phuih! Laki-laki rendah budi tak mengenal malu. Sudah berapa ribu kali kukatakan bahwa aku tidak sudi menjadi isterimu, dan kalau menggunakan paksaan memperkosaku, kemudian aku akan membunuh diri dan rohku akan menjadi setan yang selalu akan mengejar dan mengganggumu sampai kau mampus!”

Wajah tampan yang tadinya menyeringai itu kini berubah beringas. Matanya yang memang liar itu berputaran menakutkan. Dia sudah bangkit dari duduknya, tangannya sudah gemetar hendak membunuh saja dara yang membuatnya sengsara ini.

“Kalau begitu, engkau akan kubunuh!”

“Terima kasih, memang aku suka mati daripada melihat mukamu lebih lama lagi!”

“Keparat, engkau tidak akan mati begitu enak!”

Dia mengeluarkan sebatang suling, suling biasa tidak seperti terompetnya, kemudian dia meniup suling itu dengan suara meliuk-liuk yang sifatnya liar. Li Hwa dapat menduga bahwa Putera Raja Ular ini tentu sedang memanggil ular. Di dalam hatinya, tentu saja sebagai wanita dia jijik dan takut melihat ular, akan tetapi menghadapi bujukan pemuda gila ini, dia sanggup menghadapi siksaan apa saja dan lebih baik mati daripada harus menyerahkan diri secara suka rela.

Tepat dugaan Li Hwa. Tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan muncullah seekor ular merayap cepat memasuki ruangan itu. Li Hwa membelalakkan matanya melihat ular itu besar sekali, sebesar pahanya dan panjangnya luar biasa. Dia tidak dapat menahan kengerian hatinya dan memejamkan matanya.






Ular itu mendekati Ouwyang Bouw dan Si Pemuda menggunakan tangan kiri mengusap kepala ular itu seperti orang mengelus kepala seekor anjing kesayangannya, tiupan sulingnya dihentikan dan dia tertawa melibat Li Hwa memejamkan mata.

“Nah, kau melihatnya, bukan? Li Hwa, jangan kau memaksa aku menyuruh dia membelit-belit tubuhmu yang indah itu, kemudian mengganyang dagingnya sedikit demi sedikit.”

Biarpun tadinya dia merasa ngeri, jijik dan takut, akan tetapi mendengar suara Ouwyang Bouw semua rasa takut lenyap seketika terganti rasa marah dan kebencian hebat. Dia membuka mata, tidak peduli lagi kepada ular itu, matanya mendelik memandang Ouwyang Bouw sambil membentak,

“Mau bunuh, bunuhlah dengan jalan apa pun terserah, aku tidak takut!”

Habislah kesabaran Ouwyang Bouw. Dia melangkah maju, kedua tangannya menjangkau dan mencengkeram.

“Bret-brett-brettt!”

Pakaian yang melekat di tubuh Li Hwa cabik-cabik sehingga sebagian besar tubuh dara itu telanjang. Li Hwa meludah sambil mengerahkan tenaganya. Air ludah itu dapat dijadikan senjata untuk menyerang lawan, akan tetapi Ouwyang Bouw yang lihai dapat mengelak, kemudian meniup lagi sulingnya.

Ular besar yang berwarna hitam berbelang hijau dan merah itu mengangkat kepala agak tinggi, matanya bersinar-sinar menoleh ke arah Li Hwa, lidahnya yang panjang dan berwarna itu menjilat-jilat keluar, kemudian dengan lambat karena tubuhnya yang besar membuat gerakannya lamban, ular itu merayap menghampiri Li Hwa!

Li Hwa mencoba untuk bersikap tabah membuka mata lebar-lebar memandang binatang itu, menekan rasa jijiknya dan mencari akal bagaimana dia akan dapat melepaskan diri dari bahaya maut ini. Namun dia tidak dapat menemukan jalan itu, dan agaknya terpaksa dia harus menerima kematian oleh ular itu.

Biarpun dia berusaha bersikap tabah, akan tetapi ketika ular itu mulai menyentuh kakinya, naik ke betis dan pahanya yang telanjang, merasakan tubuh ular yang dingin menggeliat-geliat, dia tidak kuat menahan dan memejamkan kedua matanya rapat-rapat dan berusaha melakukan samadhi mematikan rasa.

Namun hal ini sukar sekali, karena kini ular itu merayap naik terus, menjilati seluruh tubuhnya dan seolah-olah ular itu sedang memaksanya bermain cinta! Dia hampir pingsan akan tetapi masih mendengar suara Ouw-yang Bouw,

“Li Hwa, katakanlah engkau suka menjadi isteriku dan aku akan membebaskanmu.”

Biarpun kedua matanya masih terpejam dan alisnya berkerut-merut menahan kegelian dan kejijikannya Li Hwa masih mampu menggeleng kepala kuat-kuat dan baru berhenti ketika ular itu juga membelit leher, kemudian melepaskannya lagi, membelit bagian tubuh yang lain dari kaki sampai ke leher, menyelusuri tubuh itu dan belum menggigitnya, seolah-olah hendak main-main dulu sampai puas dengan calon bangsa yang bertubuh putih mulus, halus dan hangat itu.

Kegelian dan kejijikan itu akhirnya dapat diatasi Li Hwa. Dia membuka-mata dan melihat kepala ular itu dengan moncong terbuka lebar berada di depan mukanya seperti hendak menelan kepalanya sekaligus! Tak dapat dia menaham kengerian itu dan dia memejamkan mata, tubuhnya lemas dan dia pingsan!

Ular itu sudah menarik kepala ke belakang, siap untuk mematuk dan menggigit, akan tetapi tiba-tiba Owyang Bouw meniup sulingnya keras-keras. Ular itu terkejut, menoleh ke arah majikannya, lehernya bergoyang-goyang seperti dalam keadaan ragu-ragu, akan tetapi suara suling makin hebat, penuh ancaman kepadanya. Ular yang sudah terlatih ini, lalu mengendurkan libatan, perlahan-lahan merayap turun dan meninggalkan ruangan itu.

Dengan mata merah saking marah dan kecewanya, Ouwyang Bouw menanti sampai Li Hwa mengeluh dan membuka mata. Dara itu, terheran akan tetapi jelas merasa lega karena dia menarik napas panjang ketika melihat dia masih terbelenggu dan ular mengerikan itu telah tidak ada lagi. Mimpikah dia tadi? Mimpi menyeramkan dan sekarang baru bangun dari tidur? Akan tetapi Ouwyang Bouw masih berdiri di depannya.

“Li Hwa, aku tidak tega membunuhmu. Celaka! Keparat benar! Aku tidak mau membunuhmu. Aku harus membebaskanmu demi cintaku. Akan tetapi, kalau aku tidak boleh memiliki hatimu, aku harus memiliki tubuhmu. Aku akan memperkosamu!”

“Cih, laki-laki pengecut, rendah dan tak tahu malu!” Li Hwa mendesak.

Ouwyang Bouw tidak mempedulikan makian dara itu, tubuhnya bergerak ke depan, kedua tangannya menyambar empat kali dan Li Hwa telah tertotok, totokan yang membuat kedua lengan dan kedua kakinya lumpuh!

Pemuda itu lalu membuka belenggu kaki tangan, memondong tubuh Li Hwa dan membawanya pergi ke dalam kamamya sendiri. Dia sudah melempar tubuh Li Hwa ke atas pembaringannya dan mulai membuka bajunya sendiri ketika tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kentungan gencar dari luar. Tanda bahaya! Segencar itu kentungan dipukul, bukan hanya satu melainkan banyak sekali, tanda bahwa bahaya yang mengancam Pulau Ular bukanlah main-main!

Dia mengancingkan lagi bajunya dan menoleh kepada Li Hwa.
“Kau tunggu sebentar, manis, aku hendak melihat apa yang terjadi di luar.”

Dia lalu meloncat keluar, maklum bahwa totokannya yang membuat dara itu lumpuh akan bertahan sampai beberapa jam lamanya.

Li Hwa tak dapat bergerak, atau lebih tepat tidak dapat menggerakkan kedua kaki tangannya, hanya lehernya saja yang dapat digerakkan. Dia rebah telentang, pakaiannya setengah telanjang, robek-robek tidak karuan dan dia mendengar suara di luar dengan teliti dan penuh harapan. Apakah pertolongan datang? Gurunya? Pasukan gurunya? Atau panglima Tio Hok Gwan? Bahkan mungkin juga Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

Akan tetapi terdengar suara ledakan-ledakan senjata dan dia makin heran. Biasanya yang menggunakan senjata api hanyalah orang-orang asing! Yuan! Jantungnya berdebar-debar penuh harapan, bukan hanya harapan tertolong, akan tetapi harapan berjumpa dengan Yuan de Gama. Baru sekarang dia sadar dengan hati kaget sekali bahwa dia mencinta pemuda asing itu! Tak terasa lagi air mata bertitik turun di atas pipinya.

Akan tetapi dia khawatir lagi melihat yang berkelebat masuk adalah Ouw-yang Bouw. Muka pemuda itu agak pucat dan tanpa berkata-kata pemuda itu kembali membelenggu kaki dan tangan Li Hwa, kemudian menyambar pedang ular yang tergantung di atas dinding kamarnya itu, menyambar pula kantung jarum merahnya yang amat berbahaya, dan meloncat keluar dari kamar itu setelah menutup dan mengunci pintu kamar itu dari luar.

Li Hwa menarik napas panjang. Dia benar-benar kecewa dan menyesal. Siapa kira pemuda gila itu ingat untuk membuat dia makin tidak berdaya. Kalau tidak terbelenggu, mungkin perlahan-lahan dia dapat membuyarkan totokan dan dapat bebas, akan tetapi sekarang, andaikata totokannya buyar sekalipun, dia tetap saja masih terbelenggu dan tidak dapat bebas! Namun dia masih penuh harapan dan di hatinya bertanya-tanya, apakah yang sedang terjadi di luar?

**** 116 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: