*

*

Ads

FB

Jumat, 02 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 207

Elakan-elakan kakek itu membuat Biauw Eng maklum akan kebenaran dugaannya bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, melainkan sudah menerjangnya dengan serangan-serangan dahsyat, mainkan ilmu silatnya yang amat cepat dan mengerahkan pukulan-pukulan berdasarkan sin-kang yang amat ditakuti orang ketika dia masih malang-melintang di dunia kang-ouw dahulu, yaitu Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun).

Pukulan ini amat hebat, jangankan sampai telapak tangan nyonya cantik itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan tangguh! Mengapa isteri seorang pendekar sakti seperti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai sampai memiliki ilmu pukulan beracun sekeji itu? Hal ini tidaklah aneh bagi yang telah membaca cerita Pedang Kayu Harum, karena memang di waktu mudanya Sie Biauw Eng adalah puteri dan murid tokoh atau datuk kaum sesat! Bahkan dia sendiri dijuluki orang Song-bun-kwi (Wanita Cantik Berkabung) karena pakaiannya selalu putih.

Dahulu di waktu masih gadis saja Sie Biauw Eng telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, apalagi setelah dia menjadi isteri Pendekar Sakti Keng Hong dia memperoleh petunjuk suaminya, maka dapat dibayangkan betapa lihai adanya wanita ini.

“Trik-trrriiiikkk...!”

Tasbih di tangan Hun Beng Lama mengeluarkan bunyi nyaring dan senjata itu menyambar ke arah tubuh lawan dengan tenaga mujijat dan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

“Wuuuttt... wirrr... tar-tar-tar...!”

“Hebat...!”

Hun Beng Lama memuji lagi dengan kagetnya ketika serangan tasbihnya itu tiba-tiba dihadang oleh selembar cahaya putih halus yang bukan saja menangkis sambaran tasbihnya malah cahaya yang ternyata hanyalah sehelai sabuk sutera tipis itu membalas dengan sambaran dahsyat dan ujung sabuk itu mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar menyambar.

Inilah senjata istimewa nyonya itu yang hanya mengeluarkannya apabila dia menghadapi lawan tangguh yang sukar dikalahkannya dengan tangan kosong. Sabuk sutera itu terkenal di dunia kang-ouw dengan nama Pek-in-sin-pian (Cambuk Sakti Awan Putih) karena kalau dimainkan oleh Sie Biauw Eng bentuk sabuk sutera itu lenyap sama sekali, yang tampak hanyalah cahaya bergulung-gulung seperti awan putih, namun dari awan itu menyambar-nyambar sinar kilat yang dapat membawa maut!

Melihat betapa nyonya yang lihai itu dapat menandingi suhengnya, Lak Beng Lama lalu meloncat ke arah Kwee Kin Ta yang menggandeng tangan Cia Bun Houw dan melindungi putera subonya ini. Melihat gerakan ini, Kwee Kin Ci, adik dari Kwee Kin Ta dan sembilan orang murid kepala lainnya menerjang maju sambil berteriak marah.

Terdengar suara senjata berkerontangan disusul robohnya lima enam orang murid kepala Cin-ling-pai yang terlempar ke kanan kiri kena disapu oleh tongkat di tangan Lak Beng Lama yang amat lihai! Kwee Kin Ci membacokkan pedangnya dari samping kiri, sedangkan para sutenya yang lain kembali sudah menyerang dari segala jurusan.






“Plakkk...!”

Tubuh Kwee Kin Ci tersungkur dan pedangnya patah setelah ditangkis oleh tangan kiri kakek itu! Dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian Lak Beng Lama dibandingkan dengan para anak murid Cin-ling-pai itu ketika dengan tangan kosong saja dia mampu mematahkan pedang dan bahkan terus merobohkan pemiliknya dengan hantaman hawa pukulan telapak tangannya.

Melihat adiknya roboh dan kakek itu jelas hendak merampas Cia Bun Houw, Kwee Kin Ta sebagai murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya menusuk ke arah dada kakek itu, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka membuat gerakan menusuk ke arah perut.

“Ceppp! Cepppp!”

Dua tusukan pedang dan jari tangan itu terhenti ketika dengan dua jari telunjuk dan tengah kiri Lak Beng Lama menjepit pedang yang menusuk dadanya, sedangkan tangan kiri Kwee Kin Ta itu dibiarkan memasuki perutnya!

“Augghhhhh...!”

Kwee Kin Ta menjerit ketika merasa betapa tangan yang memasuki rongga perut sedalam pergelangan itu tak dapat dicabutnya kembali dan terasa panas seperti dibakar!

“Wirrrr... siuuuuut... tar-tarrr...!”

“Omitohud...!”

Lak Beng Lama berseru kaget dan terpaksa dia melepaskan jepitan tangan dengan perutnya, membuat Kwee Kin Ta terhuyung ke belakang dengan muka pucat. Sambaran cahaya putih tadi benar-benar amat berbahaya dan begitu dia mengelak terhadap ledakan yang menyambar ke arah pelipis kepala sebelah kiri dan ubun-ubunnya, ujung sabuk sutera putih itu masih mampu melecut pundaknya, membuat jubah di pundaknya pecah dan kulit pundaknya terasa panas dan perih!

Dalam keadaan bertanding menghadapi Hun Beng Lama yang lihai masih mampu menolong Kwee Kin Ta dan menghalangi Lak Beng Lama menangkap puteranya, benar-benar kehebatan nyonya Ketua Cin-ling-pai itu mengejutkan hati kedua orang Lama itu.

Teringatlah mereka akan kelihaian Kun Liong dan tahulah mereka bahwa mereka berada di guha harimau yang amat berbahaya. Baru nyonyanya sudah begini lihai, apalagi Ketua Cin-ling-pai itu sendiri! Andaikata Ketua Cin-ling-pai berada di situ, dan Kun Liong juga, agaknya mereka akan terjebak dan akan celaka!

Lak Beng Lama yang cerdik pada saat itu sudah dapat menduga bahwa mungkin ini adalah siasat dari Pek Hong Ing! Maka dia cepat berseru,

“Suheng, harap desak dia...!”

Mendengar ini, Hun Beng Lama segera mengeluarkan suara menggereng yang aneh. Tidak keras namun suara itu terdengar memenuhi udara dan berbareng dengan gerengannya itu, tiba-tiba tasbihnya bergerak lebih hebat dan kuat. Kadang-kadang tasbih itu melayang di udara, menyambar ke arah kepala Biauw Eng seperti benda hidup, disusul oleh kedua tangan kakek itu yang menyerang ganas dan bertubi-tubi, kadang-kadang malah dibantu pula oleh serangan kedua kakinya.

Didesak sedemikian rupa oleh kakek yang amat lihai ini, terpaksa Biauw Eng harus mencurahkan seluruh tenaganya sehingga dia tidak lagi dapat mencegah perhatiannya ke arah Lak Beng Lama yang sedang dikeroyok oleh para anak murid Cin-ling-pai.

Tiba-tiba terdengar teriakan Bun Houw,
“Ibuuu...! Bebaskan aku...!”

Kagetlah hati Biauw Eng dan ketika dia meloncat ke belakang memandang, ternyata anaknya itu telah berada di dalam pondongan Lak Beng Lama! Tentu saja mudah sekali bagi pendeta lihai ini untuk merampas Bun Houw dari dalam perlindungan para anak murid Cin-ling-pai dan begitu berhasil memondong Bun Houw, dia lalu berkata,

“Toanio, hentikan perlawananmu kalau kau ingin melihat puteramu selamat!”

Menggigil seluruh tubuh Biauw Eng dan kedua tangannya meremas-remas sabuk sutera putihnya dalam usahanya mencegah kedua tangannya bergerak menyerang Lak Beng Lama. Maklumlah dia bahwa setelah puteranya tertawan, dia tidak boleh secara sembarangan saja turun tangan karena hal ini akan membahayakan nyawa puteranya. Dia memandang dengan bernyala dan gigi berkerot,

“Manusia iblis...! Kalau kau mencelakakan puteraku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!”

Ucapannya yang penuh kesungguhan hati ini membuat kedua orang Lama itu bergidik karena mereka maklum bahwa seorang wanita sehebat itu tentu akan memenuhi ancamannya.

“Omitohud...! Toanio gagah perkasa dan hebat luar biasa! Terimalah rasa hormat dan kagum dari pinceng.”

Hun Beng Lama menjura dengan penuh kagum karena harus dia akui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang wanita sebagai lawan yang sedemikian hebatnya.

Sie Biauw Eng sejak dahulu bukan hanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat lihai dan penuh keberanian tidak pernah mengenal rasa takut, juga dia terkenal amat cerdik. Baru sekarang, melihat puteranya berada di tangan musuh, dia merasa takut sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya, lalu berkata kepada Bun Houw,

“Houw-ji, seorang calon pendekar pantang menangis dan menghadapi segala bahaya dengan tenang, yang penting bukan mati atau hidup, melainkan benar dan salah!”

Mendengar ini, Bun Houw mengangguk dan tidak meronta lagi dalam pondongan Lak Beng Lama karena dia mengerti bahwa melawan dan meronta pun tidak ada gunanya sama sekali.

“Hun Beng Lama, sikap dan pakaianmu saja seperti seorang pendeta Lama yang suci, akan tetapi perbuatanmu curang seperti penjahat kecil yang hina. Kenapa kau membawa-bawa anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Kalau memang gagah dan berani, bebaskan anakku dan majulah kalian pendeta-pendeta palsu berdua, kita bertanding sampai salah satu pihak mati!” Dengan suara lantang dan gagah Biauw Eng menantang.

“Omitohud...! Toanio memang hebat! Kami sama sekali tidak suka bermusuhan dengan orang-orang gagah seperti Toanio. Kami terpaksa menangkap puteramu justeru karena kami tidak suka bermusuhan. Kami tidak akan mencelakakan putera Toanio ini, hanya akan kami ajak ke Tibet untuk bermain-main dan pesiar. Kelak, kalau Toanio atau suami Toanio datang mengantarkan Kun Liong kepada kami, tentu putera Toanio akan kami serahkan kembali disertai permohonan maaf kami sekalian. Kami tidak suka bermusuh dan bertanding melawan Toanio dan jalan satu-satunya hanyalah menahan putera Toanio. Nah, selamat tinggal sampai jumpa pula di Tibet dimana Toanio akan dapat mengajak pulang putera Toanio. Mudah-mudahan waktu itu tidaklah terlalu lama.”

Maka pergilah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama meninggalkan puncak itu. Kwee Kin Ta yang patah-patah tulang tangan kirinya itu membuat gerakan untuk menyerbu, demikian pula para anak murid Cin-ling-pai, akan tetapi Biauw Eng menggerakkan tangan mencegah mereka.

Wanita ini hanya berdiri memandang, matanya bernyala dan alisnya berkerut, kedua tangannya mengepal akan tetapi tidak berani membuat gerakan sesuatu. Setelah bayangan kedua orang pendeta itu lenyap, barulah dia mengeluarkan suara mengeluh panjang dan tubuhnya terguling roboh. Pingsan!

**** 207 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: