*

*

Ads

FB

Minggu, 27 November 2016

Petualang Asmara Jilid 190

Phoa Lee It melangkah maju, mukanya merah sekali. Karena penghinaan atas dirinya sebagai utusan Go-bi-pai merupakan penghinaan yang dilontarkan pula kepada Go-bi-pai, maka dia berkata lantang,

“Hwa I Lojin, engkau adalah seorang tua yang tidak patut dihormat oleh yang lebih muda! Aku tahu mengapa engkau berlagak seperti sekarang ini. Karena engkau pemah dikalahkan oleh suhuku, dan karena tidak berani membalas kepada Suhu, maka kini engkau hendak menebus rasa malu itu dengan berlagak di depanku. Akan tetapi jangan disangka aku takut menghadapi lagakmu!”

Muka kakek itu berubah menjadi merah sekali. Dia merasa terpukul dan karena apa yang diucapkan oleh Phoa Lee It itu memang kenyataan, dia tidak mampu membantah. Memang, setahun yang lalu dia telah roboh dalam pertandingan melawan Kauw Kong Hwesio, guru jago Go-bi-pai itu.

Sebetulnya, mengingat bahwa Kauw Kong Hwesio adalah tokoh ke dua di Go-bi-pai, kekalahan itu tidaklah amat memalukan. Akan tetapi dasar watak Hwa I Lojin amat tinggi hati, kekalahannya itu membuat hatinya penasaran dan mendendam. Diam-diam dia memperdalam ilmu pedangnya, dan diam-diam dia mempelajari ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut untuk mencari tahu kelemahan ilmu pedang ini.

Namun, karena maklum akan kelihaian Kauw Kong Hwesio, dia tidak berani sembrono membalas dendamnya dan kini, di Pek-lian-kauw, bertemu dengan murid-murid musuhnya itu, tentu saja dia memperoleh kesempatan untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya dan membalas kekalahannya.

Dapat dibayangkan betapa marahnya ketika ternyata Phoa Lee It telah tahu akan kekalahannya itu dan menghinanya di depan orang banyak.

“Phoa Lee It, manusia sombong!” Bentaknya dan tangan kanannya bergerak cepat meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan dia sudah mencabut pedangnya. “Majulah dan aku akan membuktikan bahwa ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut hanyalah kosong belaka. Lihat, dengan pedangku ini aku akan melucutimu tanpa melukaimu, jangan kau takut kalau terluka, ha-ha!”

Phoa Lee It yang masih memegang pedangnya itu sudah melangkah maju.
“Orang Go-bi-pai tidak pernah takut mati atau terluka. Kalau kau menantang, majulah, Hwa I Lojin!”

“Ha-ha, seranglah. Majulah dan jaga baik-baik. Aku akan merampas pedangmu dan mematahkannya seperti sebatang lidi!” kakek itu mengejek.

Phoa Lee It maklum bahwa biarpun sombong, Kakek Baju Kembang ini memiliki ilmu pedang yang lihai, maka dia tidak mau bersikap sungkan lagi, terus saja dia menerjang dengan dahsyat, menggunakan jurus pilihan. Hwa I Lojin menyambut sambil tertawa.

“Ha-ha, inikah jurusmu yang terlihai? Aih, tidak seberapa!”

Kakek itu menggerakkan pedangnya menangkis dan begitu dua batang pedang bertemu dia membuat gerakan memutar sambil mengerahkan sin-kangnya. Phoa Lee It terkejut bukan main karena pedangnya melekat dan terbawa oleh putaran pedang lawan. Betapa pun dia mempertahankan, dia kalah tenaga dan pedangnya terus berputar sampai akhirnya dengan bentakan nyaring, kakek itu membuat gerakan membetot secara mendadak dan Phoa Lee It berteriak kaget, pedangnya terlempar ke atas! Hwa I Lojin menyambar pedang lawan itu dengan tangan kirinya, sambil tertawa ha-ha-he-he menekuk pedang itu di lututnya.

“Pletakkkk!”

Pedang patah menjadi dua dan tiba-tiba menyambitkan patahan pedang ke arah Phoa Lee It.






Pada saat itu, tampak dua sinar kecil menyambar dan dua batang patahan pedang disambar runtuh. Sebelum Hwa I Lojin dapat mencari siapa penolong lawannya ini, tahu-tahu dari rombongan tamu keluar dua orang pemuda, keduanya memegang sebatang kayu kurang lebih satu meter panjangnya dan mereka seperti berkejaran menghadang di antara Phoa Lee It dan Hwa I Lojin.

Phoa Lee It maklum bahwa ada dua orang yang diam-diam menolongnya, menghela napas panjang mengingat akan kelihaian Hwa I Lojin, lalu melangkah mundur mendekati para sutenya. Sementara itu, semua orang tertarik memandang dua orang pemuda yang berkejaran itu. Mereka ini bukan lain adalah Kun Liong dan Kong Tek.

Tadi ketika Lie Kong Tek berani membela pengantin wanita dari kemarahan ayahnya, pemuda tinggi besar dan gagah ini sudah menarik perhatian banyak orang. Kini melihat dia muncul lagi dan mengejar-ngejar seorang pemuda tampan lain yang cukup aneh, pemuda yang rambut kepalanya pendek dan awut-awutan, tentu saja semua tamu menjadi terheran-heran dan semua mata memandang penuh perhatian. Yang menarik hati mereka adalah sikap pemuda rambut pendek yang dikejar-kejar, karena sikapnya mengejek dan jelas sekali meniru lagak Hwa I Lojin!

“Ha-ha, majulah dan aku akan membuktikan bahwa ilmu pedangmu hanya kosong belaka. Lihat, dengan pedangku ini aku akan melucutimu tanpa melukaimu, jangan kau takut kalau terluka, ha-ha!” kata Kun Liong sambil berdiri dengan lagak persis seperti lagak Hwa I Lojin ketika menantang Phoa Lee It tadi!

Kong Tek yang sudah dibisiki oleh Kun Liong untuk melakukan sandiwara mengejek Hwa I Lojin dan memancing perhatian orang agar Hong Khi Hoatsu dapat bekerja dengan leluasa di sebelah dalam, segera menanggapi dan menjawab,

“Seorang gagah tidak takut mati, tidak seperti engkau!”

“Aku sih bukan orang gagah, kalau untuk mati nanti dulu, akan tetapi ilmu pedangku tiada bandingannya di kolong langit. Majulah!” Dengan lagak dibuat-buat Kun Liong menantang.

“Awas... haiiiittt!” Kong Tek menyerang dengan pedang kayunya, persis lagak seorang badut.

“Hyaaaahhhh, lihat ilmu pedangku Monyet Tua Mabuk Madat!”

Kun Liong berteriak sambil menangkis, lagaknya persis seperti yang dilakukan Hwa I Lojin tadi. Melihat ini, banyak tamu tertawa terpingkal-pingkal, apalagi ketika dua orang pemuda itu sudah “bertanding” dengan lagak dibuat-buat.

Siapa tidak akan tertawa melihat Kong Tek menyerang dengan gerakan lambat sekali sehingga tentu saja amat mudah dielakkan, kemudian melihat Kun Liong membalas dengan gerakan pedang kayu itu perlahan-lahan “menempel” pedang lawan, lalu sambil berteriak nyaring dia memutar-mutar kayu di tangannya.

Kong Tek membiarkan ranting di tangannya ikut berputar-putar, kemudian melepaskan ranting yang terlempar ke atas. Kun Liong meniru gerakan Hwa I Lojin tadi, menyambar kayu itu, lalu mematahkannya di atas lututnya!

“Pletakkkk!”

Kayu itu patah menjadi dua dan seperti gerakan Hwa I Lojin tadi, Kun Liong melemparkan patahan kayu. Seperti dua batang anak panah, dua potong kayu itu meluncur ke arah... meja sembahyang dan tosu Pek-lian-kauw yang baru saja menyalakan lilin melongo terkejut karena tiba-tiba dua batang lilin yang dinyalakannya itu padam dan patah-patah!

Keadaan menjadi gaduh dan kacau. Liong Bu Kong dan Cia Giok Keng yang tadinya dibujuk oleh Thian Hwa Cinjin untuk melakukan upacara sembahyang, kini bangkit berdiri dan memandang ke arah Kun Liong dan Kong Tek.

Akan tetapi mereka tidak dapat mengenal Kun Liong yang kini sudah berambut kepalanya dan sepasang calon mempelai itu memandang marah karena mengangap bahwa dua orang pemuda itu sengaja hendak mengacau pesta pernikahan mereka. Juga Ketua Pek-lian-kauw memandang penuh curiga, alisnya berkerut dan sepasang matanya yang mengeluarkan sinar aneh berpengaruh itu memandang penuh selidik.

Banyak para tamu yang tertawa geli menyaksikan lagak Kun Liong dan diam-diam mereka merasa puas bahwa Hwa I Lojin yang bersikap sombong dan tidak mereka suka itu sekali ini dipermainkan orang, sungguhpun mereka merasa khawatir juga bahwa tentu kakek itu akan turun tangan dan akan celakalah dua orang pemuda yang main-main itu.

Dan memang Hwa I Lojin sudah memandang dengan muka merah dan mata mendelik ke arah Kun Liong. Tadinya, ketika melihat dua orang muda itu muncul dan berlagak, dia mundur dan berdiri di pinggir sambil ikut menonton, mengira bahwa mereka memang hendak bertanding silat dan sengaja hendak menggembirakan pesta pernikahan.

Akan tetapi ketika melihat lagak Kun Liong yang jelas dibuat-buat, sengaja meniru gerakan-gerakannya tadi, mukanya menjadi pucat saking marahnya dan kini dia memandang dengan mata mendelik seolah-olah hendak menelan pemuda itu bulat-bulat! Melihat betapa semua tamu, juga Ketua Pek-lian-kauw dan sepasang mempelai memperhatikan, Hwa I Lojin merasa makin malu dan terhina. Tahulah dia bahwa dua orang pemuda itu sengaja mempermainkannya.

“Jahanam keparat!” gerutunya sambil melangkah maju.

Kun Liong pura-pura tidak melihat kakek ini dan dengan memutar-mutar pedang kayunya seperti lagak Hwa I Lojin setelah tadi menang bertanding, dia melintangkan pedang itu dengan gerakan aksi di depan dada sambil membusungkan dadanya dan berkata,

“Siapa bilang aku si tua bangka tidak hebat? Siapa bilang aku pernah dikalahkan seorang ketua? Ha-ha, selain lihai, akulah si manusia sombong, tua bangka yang suka berlagak, ha-ha-ha!”

“Mampuslah!”

Kun Liong cepat miringkan tubuhnya ketika ada hawa hangat menyambar dari samping, dan pukulan Hwa I Lojin meleset, mengenai angin.

“Tokk!” Pedang di tangan Kun Liong sudah menyambar keras dan dari samping sudah memukul tulang lengan Hwa I Lojin. Kakek itu menggigit bibir menahan seruan kesakitan, menggosok-gosok lengan yang terpukul, lalu menyerang lagi sambit membentak, “Bangsat keparat!”

Kun Liong pura-pura kaget dan seperti baru melihat bahwa ada orang mengamuk dan menyerangnya. Dia cepat meloncat ke belakang dan berseru,

“Eih-eihhh...! Kenapa kau tua bangka marah-marah?”

Semua orang menahan senyum. Biarpun mereka merasa khawatir sekali, mereka juga merasa geli menyaksikan sikap pemuda tampan itu yang jelas sengaja mempermainkan kakek pesolek itu. Betapa beraninya pemuda ini, pikir mereka. Hwa I Lojin makin marah. Tadinya dia ingin memaksa pemuda itu mengaku nama dan mengapa memusuhinya, akan tetapi kemarahan membuat dia tidak sabar lagi dan ingin lekas-lekas merobohkan pemuda kurang ajar ini. Dia menerjang lagi dengan tangan kosong, menghantam bertubi-tubi dengan kedua tangannya sambil mengerahkan sin-kangnya.

“Wuuut-wuuuttt... wirrr... takkkk! Dess...!”

Orang-orang bersorak gembira. Memang lucu sekali. Kun Liong yang diserang kalang kabut itu kelihatan terdesak, lari sana-sini, meloncat kacau ke kanan kiri, tongkatnya atau pedang kayunya bergerak tidak karuan, akan tetapi akibatnya, dahi Hwa I Lojin kena pukul sampal menjendol dan punggungnya kena gebuk satu kali, cukup keras sehingga debu mengebul dari punggung baju!

“Kun-hoat (ilmu silat tangan kosong) bagus! Kun-hoat bagus.”

Kun Liong berseru memuji-muji. Jelas bahwa pujian ini merupakan ejekan. Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan Hwa I Lojin sama sekali tidak berhasil memukulnya, bahkan dalam segebrakan saja kakek itu telah dihadiahi kemplangan di kepala satu kali dan gebukan pada punggung satu kali, mana bisa disebut kun-hoat bagus?

Dalam kemarahannya yang meluap-luap, Hwa I Lojin juga terkejut. Pemuda itu biarpun gerakannya kacau balau seperti seekor monyet menari, namun sudah jelas semua pukulannya meleset, bahkan secara aneh dia telah dihajar dengan tongkat!

Sesungguhnya tidaklah mengherankan kalau kakek itu dengan mudah dihajar oleh Kun Liong. Memang harus diakui bahwa Hwa I Lojin telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti halnya dalam ilmu ketangkasan apapun juga, jika berhadapan dengan lawan yang tingkatnya lebih tinggi, maka semua ilmunya menjadi tidak ada artinya karena dia kalah cepat, kalah tenaga, dan kalah lihai. Kun Liong sekarang telah menjadi seorang yang sukar diukur sampai di mana tingginya tingkat ilmu kepandaiannya, maka dengan mudah dia mempermainkan Hwa I Lojin.

“Srattt... singgg...!”

Hwa I Lojin yang marah sekali kini telah mencabut pedangnya dan tanpa membuang waktu lagi dia telah menggerakkan pedang menyerang Kun Liong dengan ganas sekali. Terdengar suara berdesing-desing dan pedang di tangannya berubah menjadi segulung sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Kun Liong.

Kun Liong melihat datangnya serangan pedang, cepat menghindarkan diri dengan mengelak cepat ke kanan kiri, meloncat ke depan belakang, menangkis dengan rantingnya sambil berseru,

“Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus...! Kiam-hoat bagus...!”

Akan tetapi seruannya ini bernada mengejek dan tiba-tiba dia menggetarkan kayu di tangannya, menangkis pedang sambil mengerahkan sin-kang istimewa yang dahulu dia latih dari Bun Hwat Tosu sehingga pedang lawan itu melekat pada rantingnya dan tak dapat dilepaskan kembali. Selagi lawannya terkejut, dia telah menggerakkan ranting itu, diputar-putar seperti gerakan Hwa I Lojin ketika merampas pedang di tangan Phoa Lee It tadi.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa Hwa I Lojin ketika tanpa dapat dia tahan lagi, pedangnya ikut terbawa oleh putaran ranting, makin lama makin cepat. Dia telah mencoba untuk mempertahankan pedangnya dengan mengerahkan sin-kang pada tangan kanan, namun makin lama gerakan memutar itu makin kuat sehingga dia maklum bahwa tidak mungkin lagi dia mempertahankan pedangnya.

Terkejutlah kakek ini dan kini maklumlah dia bahwa ternyata pemuda ugal-ugalan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Untuk menjaga gengsinya, dia tidak mau menyerah kalah begitu saja dan tiba-tiba tangan kirinya dengan jari terbuka menotok ke arah lambung lawan.

“Dukkk!”

Hwa I Lojin makin kaget. Totokannya bertemu dengan daging kenyal yang ulet dan kuat seperti karet! Dan pada saat itu, tangan kiri pemuda yang menjadi lawannya juga bergerak cepat dua kali dan Hwa I Lojin merasa betapa kaki dan tangannya tak dapat digerakkannya lagi. Dia telah tertotok lumpuh! Pada saat yang sama, pedangnya telah terampas, terlepas dari pegangannya dan menghunjam ke atas tanah, kemudian tiba-tiba pemuda itu menendang dan... tubuhnya yang sudah tak mampu bergerak itu terlempar jauh ke belakang.

“Jadilah kau toapek-kong di meja sembahyang itu!”

Kun Liong berseru sambil menendang dan tubuh kakek itu mencelat ke arah meja sembahyang di mana atas anjuran Ketua Pek-lian-kauw, sepasang mempelai sudah berlutut dan hendak melakukan upacara sembahyang tanpa mempedulikan pertempuran!

“Bresss...! Braaakkkk...!”

Meja sembahyang ringsek dan tubuh Hwa I Lojin terbanting di atas meja, terlentang dan mukanya berlepotan kuwah masakan, matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar. Biarpun ilmu kepandaian Kun Liong amat mengejutkan orang, namun peristiwa itu kelihatan lucu sehingga terdengar suara ketawa di sana-sini mentertawakan Hwa I Lojin.

Karena untuk beberapa kali meja sembahyang terganggu, Liong Bu Kong dan Cia Ciok Keng menjadi marah sekali. Terutama sekali Liong Bu Kong yang merasa bahwa upacara sembahyang yang akan mengesahkan pernikahannya dengan Giok Keng selalu terhalang. Sambil berseru keras tubuhnya mencelat ke arah Kun Liong dan tanpa banyak cakap lagi tangannya menampar ke arah pelipis Kun Liong. Sebuah tamparan yang amat keras dan mengandung tenaga sin-kang yang akan dapat membikin pecah kepala orang yang ditampar.

“Plak-plak-plak!”

Tiga kali Kun Liong menangkis pukulan bertubi-tubi itu dan yang ketiga kalinya dia sengaja mengerahkan tenaga sehingga Bu Kong hampir terpelanting. Bu Kong terkejut sekali. Tak disangkanya pengacau muda ini lihai bukan main. Namun dia tidak menjadi takut dan sudah menerjang lagi dengan pukulan yang lebih dahsyat lagi.

“Orang jahat, berani engkau mengganggu kami?”

Bentakan ini keluar dari mulut Giok Keng yang sudah ikut menerjang maju dan menyerang Kun Liong. Melihat Giok Keng menyerangnya, Kun Liong yang sedang menghadapi Bu Kong terkejut. Pundaknya terpukul dan dia terpelanting, namun dapat meloncat bangun kembali. Kakinya menyambar ujung kaki menotok lutut Bu Kong dan selagi Bu Kong hampir roboh, dia sudah mendorong dengan telapak tangannya, membuat Bu Kong terlempar dan terbanting ke atas tanah.

“Giok Keng...!”

Kun Liong menegur, suaranya memperingatkan. Namun Giok Keng yang berada dalam pengaruh obat, tidak mengenalnya dan menganggap bahwa pemanggilan namanya itu merupakan kekurang ajaran. Apalagi melihat betapa Bu Kong terpukul sampai terjengkang, dia menjadi makin marah. Sambil berseru keras Giok Keng memukul lagi. Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menangkap kedua pergelangan tangan dara itu sambil berbisik,

“Giok Keng...!”

Pada saat itu, lima orang tosu Pek-lian-kauw sudah datang dan menerjang Kun Liong dengan senjata tongkat di tangan. Mereka adalah pembantu-pembantu yang disuruh oleh Ketua Pek-lian-kauw untuk turun tangan menangkap pemuda pengacau itu.

Lie Kong Tek berteriak keras, meloncat dan menyambut mereka dengan pukulan dan tendangan. Melihat ini, pihak tamu menjadi ribut dan mereka terpecah menjadi dua bagian, ada yang menentang dan ada pula yang membantu Pek-lian-kauw sehingga tempat pesta itu segera berubah menjadi medan pertempuran yang kacau balau!

Kesempatan ini tentu saja dipergunakan oleh mereka yang memang sudah saling bermusuhan dan saling mendendam, untuk melampiaskan kebencian mereka dan untuk saling serang. Akan tetapi sebagian besar dari para tamu, tidak mau mencampuri pertempuran itu, hanya mundur dan menonton di pinggiran, bahkan yang tidak mau terlibat, diam-diam telah meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, di sebelah dalam bangunan juga terjadi hal yang luar biasa. Ketika Pendekar Sakti Cia Keng Hong dalam keadaan pingsan digotong ke dalam, para tosu Pek-lian-kauw lalu merebahkannya di atas pembaringan. Mereka telah menerima tugas dari ketua mereka dan tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap pendekar yang berbahaya itu.

Maka begitu merebahkan tubuh Cia Keng Hong di atas pembaringan, seorang siap untuk menotok jalan darah membuat lumpuh, ada yang siap dengan belenggu, dan ada pula yang sudah mengeluarkan obat cair untuk dicekokkan kepada pendekar itu, yaitu obat racun perampas ingatan.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari luar.
“Tahan dulu...!”

Empat orang tosu tua itu terkejut dan menengok. Ketika mereka melihat seorang kakek yang pakaiannya kedodoran, celananya kotak-kotak, bajunya kembang, kepalanya ditutup kopyah bayi, mereka terkejut dan siap untuk menyerang. Akan tetapi, kakek itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan terdengar suaranya penuh wibawa,

“Tolol, apa kalian tidak mengenal ketua kalian sendiri? Aku adalah Thian Hwa Cinjin...!”

Sungguh aneh sekali. Tiba-tiba saja penglihatan empat orang tosu tua itu berubah dan cepat mereka menjura kepada kakek itu yang kini kelihatan seperti ketua mereka! Padahal kakek itu sebenarnya adalah Hong Khi Hoatsu yang telah mempergunakan hoat-sut yang amat kuat untuk mempengaruhi orang-orang Pek-lian-kauw dan menolong Cia Keng Hong.

“Keluarlah kalian berempat biarkan aku berdua dengan Cia-taihiap,” kembali Hong Khi Hoatsu berkata keren.

Empat orang tosu itu mengangguk, tanpa berkata sesuatu seperti dalam mimpi mereka lalu melangkah keluar dari dalam kamar.

**** 190 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: