*

*

Ads

FB

Minggu, 27 November 2016

Petualang Asmara Jilid 189

Keadaan makin berisik ketika para tamu saling mengeluarkan pendapat masing-masing dan terjadi perbantahan kecil di antara mereka. Di dalam hatinya, Thian Hwa Cinjin marah sekali, akan tetapi karena menghadapi banyak tamu dan dasar tujuannya adalah untuk menarik sebanyak mungkin orang kang-ouw agar bersahabat dengan Pek-lian-kauw, dia menahan sabar, lalu mengangkat tangan sebagai isyarat agar para tamu suka tenang. Kemudian dia membalik dan menghadapi Phoa Lee It sambil tersenyum.

“Phoa-sicu, kami mengerti akan maksud hati Sicu yang baik. Akan tetapi hendaknya Sicu mengetahui bahwa Pek-lian-kauw melaksanakan upacara pernikahan ini atas permintaan sepasang calon suami isteri yang baru ini menjadi pengantin. Urusan keluarga mereka adalah urusan pribadi, kami sendiri tidak mencampurinya dan tugas kami hanyalah melaksanakan upacara pernikahan. Dan tugas ini akan kami laksanakan juga, apa pun yang terjadi dan kami tidak menghendaki campur tangan pihak luar.”

“Kalau begitu, aku tidak berani mewakili Go-bi-pai menjadi tamu!”

Phoa Lee It berseru marah karena dia merasa curiga sekali. Mana mungkin pengantin ditemukan dan dilakukan upacara sembahyang pengantin tanpa persetujuan ayah pengantin wanita?

Tanpa diketahui orang lain, Ketua Pek-lian-kauw sudah memberi isyarat kepada seorang pembantunya. Yang ditunjuknya untuk menanggulangi halangan ini adalah seorang pendeta tua yang tadi hadir di sebelah dalam, tidak tampak dari ruangan tamu. Dia merupakan seorang utusan dari Pek-lian-kauw pusat dan termasuk rombongan para tokoh Pek-lian-kauw yang dipersiapkan untuk menghadapi segala rintangan yang timbul.

Pendeta yang diberi isyarat oleh Thian Hwa Cinjin itu usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana, tangannya memegang sebatang tongkat pendek terbuat dari bambu, gerakannya lambat dan seperti tidak memiliki tenaga, akan tetapi begitu kakinya bergerak, tubuhnya melayang dan sudah menghadang di depan Phoa Lee It dan tongkatnya yang tiga kaki panjangnya itu melintang di depan dada.

Melihat munculnya pendeta ini, para tamu yang mengenalnya menjadi kaget. Pendeta itu adalah seorang tosu yang murtad dan masuk menjadi anggauta Pek-lian-kauw, bahkan merupakan seorang tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal kejam terhadap musuh-musuh Pek-lian-kauw, juga terkenal sebagai seorang tosu yang memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia dijuluki sebagai algojo Pek-lian-kauw karena sudah biasa membunuh orang-orang yang menentang Pek-lian-kauw tanpa mengenal kasihan. Dia bukan lain adalah Loan Khi Tosu!

Di bagian depan cerita ini sudah dituturkan tentang Loan Khi Tosu. Dia adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw kawakan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Biarpun dia sudah tua, dan matanya yang kelihatan putih itu lamur semenjak muda, namun tosu tua ini amat lihai dan juga hatinya kejam sekali terhadap musuh-musuh Pek-lian-kauw.

Selain lihai ilmu silatnya, juga dia adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang yaitu ilmu menggereng seperti singa yang disertai tenaga khi-kang. Penggunaan Sai-cu Ho-kang itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat sin-kangnya. Selain itu, juga dia amat terkenal dengan ilmu pukulan atau ilmu totokan jari tangan beracun yang disebut Pek-tok-ci (Ilmu Jari Tangan Racun Putih), semacam ilmu menotok yang dilakukan oleh jari tangan yang mengandung racun!

Tosu ini sudah menghadang di depan Phoa Lee It tokoh Go-bi-pai, menjura dan berkata sambil tersenyum,

“Phoa Sicu dari Go-bi-pai sungguh memandang rendah Pek-lian-kauw! Sebagai tamu, semestinya Sicu tunduk terhadap tuan rumah. Apakah setelah minum arak pengantin Sicu akan dapat menghina kami begitu saja? Kalau begitu, Sicu benar-benar tidak memandang sebelah mata kepada Pek-lian-kauw.”






Phoa Lee It yang sudah merasa penasaran itu menegakkan kepala dan membusungkan dadanya. Dengan tangannya dia memberi isyarat kepada empat orang pengikutnya, yaitu para sutenya, murid-murid Go-bi-pai yang menyertainya, untuk minggir agar dia dapat menghadapi tosu Pek-lian-kauw itu sendiri.

“Memandang rendah atau tidak hanyalah soal penilaian. Kami dari Go-bi-pai tidak memandang rendah siapa pun, akan tetapi juga tidak menghendaki kebebasan kami ada yang menghalanginya.”

“Siancai...! Omongan Phoa-sicu sungguh keras! Kalau memang Go-bi-pai tidak memandang persahabatan dengan Pek-lian-kauw, mengapa Sicu sekalian suka datang menghadiri undangan kami?”

“Karena tadinya Go-bi-pai menganggap bahwa Pek-lian-kauw benar-benar hendak berkeluarga dan bersahabat dengan Cin-ling-pai, maka kami berlima mewakili Go-bi-pai untuk hadir. Akan tetapi, melihat betapa keadaan sesungguhnya tidak demikian yang baru kami ketahui setelah Ketua Cin-ling-pai muncul, kami tidak lagi mau mencampuri urusan ini. Kiranya para tamu yang berpikiran waras pun akan sependirian dengan kami.”

“Ho-ho, Sicu benar-benar bicara besar. Pendeknya, kami sebagai tuan rumah berhak menentukan semua peraturan dan para tamu sudah sepatutnya tunduk kepada peraturan kami. Silakan Sicu berlima duduk kembali dan jangan menimbulkan keributan.”

Berkata demikian, Loan Khi Tosu melintangkan tongkatnya seolah-olah hendak menghadang dan mencegah lima orang tokoh Go-bi-pai itu meninggalkan ruangan pesta.

Kini marahlah Phoa Lee It. Dia mengerti akan pendirian para pimpinan Go-bi-pai, yaitu tidak hendak mencampuri urusan Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan pemberontak. Kalau tidak sangat terpaksa, tentu dia tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw. Akan tetapi sekarang, melihat betapa dia dan empat orang sutenya hendak diikat kebebasannya, betapa Pek-lian-kauw hendak menghina Go-bi-pai, maka hal ini tentu saja akan ditentangnya mati-matian.

“Loan Khi Tosu, aku mengenal siapa engkau! Akan tetapi, jangan dikira bahwa aku takut kepadamu. Hanya karena kami menjadi utusan Go-bi-pai, kami masih menahan sabar dan tidak hendak mengikatkan Go-bi-pai dengan Pek-lian-kauw. Minggirlah dan biarkan kami pergi.”

“Ha-ha, tidak semudah itu, Phoa Lee It. Pinto juga mengenalmu, dan kebetulan sekali bertemu di sini, pinto sudah lama ingin sekali mencoba betapa lihainya ilmu pedangmu yang membuat kau dijuluki orang Go-bi Kiam-hiap (Pendekar Pedang dari Go-bi).”

“Bagus! Kau menantang? Secara pribadi ataukah atas nama perkumpulan? Kalau atas nama perkumpulan, aku tidak sudi melayani, akan tetapi kalau tantanganmu mengenai pribadi, tentu saja tidak akan kutolak!” jawab Phoa Lee It dengan sikap gagah.

Semua tamu menjadi tegang hatinya. Dua orang itu, Loan Khi Tosu dan Phoa Lee It keduanya sudah terkenal sebagai tokoh besar dalam dunia persilatan dan sebagai orang-orang yang amat lihai. Kini mereka saling menantang. Tentu saja hal ini amat menarik hati dan menegangkan.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari tempat para tamu dan seorang kakek yang sudah ompong mulutnya tertawa-tawa, kemudian mendengus dan dengan suara sombong sekali berkata,

“Totiang, mengapa banyak cakap menghadapi dia ini? Aku mendengar bahwa makin besar julukannya, makin rendahlah kepandaiannya. Kurasa Go-bi Kiam-hiap ini belum tentu benar-benar mampu mainkan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut. Heh-heh-heh!”

Kakek itu mengurut-urut kumisnya dan semua orang memandang dengan alis berkerut. Mereka itu sebagian besar mengenal kakek ini, seorang tokoh dunia hitam yang tentu saja sejak lama menjadi sahabat Pek-lian-kauw. Dia berjuluk Hwa I Lojin (Kakek Baju Kembang) karena memang pakaiannya selalu rapi dan terbuat dari kain berkembang.

Kakek yang usianya enam puluh tahun ini pesolek sekali selain pakaiannya rapi dan baru dengan kembang-kembang berwarna mencolok, juga kumis dan jenggotnya terpelihara rapi dan rambutnya selalu mengkilap oleh minyak! Kiranya kakek yang tua badannya ini masih muda hatinya! Karena kakek ini selalu berlagak sombong, biarpun dia terkenal lihai sebagai seorang ahli pedang yang jarang bertemu tanding, maka para tamu memandangnya dengan hati tak senang. Akan tetapi karena maklum akan kelihaiannya, tidak ada yang berani memperlihatkan ketidak senangan hatinya secara berterang.

Phoa Lee It tahu siapa kakek yang menghinanya itu, akan tetapi karena yang berhadapan dengan dia adalah Loan Khi Tosu, dia tidak mempedulikan dan berkata lagi kepada Loan Khi Tosu,

“Kalau tantanganmu bersifat pribadi, nah, aku telah siap!”

Berkata demikian, orang gagah ini mengisyaratkan para sutenya untuk mundur sedangkan dia sendiri berdiri tegak dengan jari-jari tangan meraba gagang pedangnya yang tergantung di punggung.

“Bagus! Majulah dan tantangan pinto ini biarpun ada hubungannya dengan peraturan Pek-lian-kauw sebagai tuan rumah, biarlah kutujukan sebagai tantangan pribadi, disaksikan oleh para tamu yang hadir sebagai pi-bu (adu silat) yang adil.”

“Singgg...!” Phoa Lee It sudah mencabut pedangnya dan gerakannya memang tangkas sekali. Pedang itu berkilauan dan sedikit pun tidak bergerak berada di tangannya yang tetap kuat. “Jaga seranganku, Totiang!”

“Wirrr... takkk... tringgg...!”

Dua orang itu masing-masing meloncat mundur dan memeriksa senjata masing-masing. Pertentuan tongkat dengan pedang tadi membuat telapak tangan mereka terasa panas dan tergetar, tanda bahwa kekuatan mereka berimbang. Mereka saling pandang, menggeser kaki lalu keduanya menerjang maju.

Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Bentakan-bentakan mereka diseling suara bertemunya tongkat dan pedang. Setelah lewat lima puluh jurus, diam-diam Loan Khi Tosu harus mengakui kehebatan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut yang dimainkan oleh Phoa Lee It. Ilmu pedang itu memiliki dasar pertahanan yang amat kuat, membuat tongkatnya sama sekali tidak mampu mendekati tubuh lawan, bahkan kadang-kadang sinar pedang mencuat dan nyawanya terancam.

“Hyaaaaahhhh...!”

Tiba-tiba tosu itu memekik, menangkis pedang dan mengerahkan sin-kang untuk membuat pedang melekat kepada tongkatnya, kemudian tangan kirinya melancarkan totokan ke tubuh lawan dengan Ilmu Totok Pek-tok-ci!

“Heiiittt...!”

Phoa Lee It juga memekik, pedangnya diputar sehingga terlepas dari lekatan, tubuhnya miring mengelak dari totokan dan sekali pedangnya berkelebat, sinar pedang menyambar ke arah lengan kiri lawan.

“Aahhhh...!” Loan Khi Tosu meloncat mundur dan memutar tongkatnya.

“Trang-trang...!”

Keduanya meloncat mundur lagi karena pertemuan tongkat dengan pedang sedemikian hebatnya, membuat keduanya terhuyung. Akan tetapi Loan Khi Tosu sudah menempelkan ujung tongkat bambu ke mulut dan melihat ini Phoa Lee It memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung melindungi seluruh tubuhnya.

Belasan batang jarum yang ditiupkan melalui tongkat bambu yang dipergunakan sebagai tulup (senjata peniup) itu terpukul runtuh oleh sinar pedang, dan Phoa Lee It sudah menyerbu kepada lawannya. Pedangnya digerakkan makin gencar dan kecepatannya tidak dapat diatasi oleh lawan yang terdesak dan terus mundur-mundur.

“Tranggg... krekk!”

Loan Khi Tosu berseru kaget dan meloncat jauh ke belakang. Tongkatnya tinggal sejengkal saja di tangannya karena sudah patah, dan lengan bajunya yang sebelah kanan robek, tampak kulitnya berdarah sedikit karena kulit itu sudah tercium pedang!

Biarpun tidak roboh, jelas sudah disaksikan oleh para tamu bahwa dalam pi-bu itu, Loan Khi Tosu telah dikalahkan oleh Phoa Lee It, jago dari Go-bi-pai itu. Empat orang sute dari Phoa Lee It bertepuk tangan dan bersorak, dan perbuatan ini segera diikuti oleh sebagian dari para tamu yang diam-diam berpihak kepada Go-bi-pai.

“Ha-ha-ha, Loan Khi Tosu benar-benar tidak dapat meninggalkan watak pendeta yang selalu mengalah!” Tiba-tiba Hwa I Lojin meloncat ke depan, mengebut-ngebutkan baju kembangnya dengan lagak angkuh. “Kalau Loan Khi Tosu tadi tidak mengalah, tentu saja dengan mudah dapat menjatuhkan Phoa Lee It karena ternyata bocah ini sama sekali belum becus mainkan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut, hanya ngawur saja!”

Ucapan ini takabur dan menghina bukan main sehingga empat orang sute dari Phoa Lee It sudah mencabut pedang masing-masing dan meloncat maju hendak menyerang.

“Sute mundur...!”

Phoa Lee It membentak empat orang itu yang terpaksa mundur lagi sambil menyimpan pedang masing-masing.

“Ha-ha-ha-ha, mengapa mundur? Phoa Lee It, coba kau pamerkan ilmu pedangmu yang rendah itu, boleh kau dibantu oleh empat orang sutemu, biar agak seimbang. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja. Ilmu pedangmu masih kosong, tanpa isi, kalau tadi Loan Khi Tosu tidak mengalah, dalam beberapa jurus saja kau tentu kalah!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: