*

*

Ads

FB

Selasa, 29 November 2016

Petualang Asmara Jilid 191

Memang hebat sekali kekuatan sihir dari Ketua Pek-lian-kauw ini. Suaranya mengandung getaran yang amat kuat sehingga otomatis semua tamu, termasuk Phoa Lee It dan para sutenya, menahan senjata dan melompat mundur, tidak kuat melawan perintah yang terkandung dalam ucapan yang menyusul lengking nyaring itu. Bahkan para tokoh Go-bi-pai itu dan para tamu lain, juga Kun Liong dan Kong Tek, selain menahan gerakan pertempuran, juga sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah kakek yang bertongkat hitam itu!

Sambil tertawa Thian Hwa Cinjin sekarang berjalan menghampiri Kun Liong dan Kong Tek, sepasang matanya mengeluarkan sinar buas. Hatinya marah sekali karena dianggapnya dua orang muda inilah yang menimbulkan kekacauan, yang menjadi biang keladi pertempuran yang merubah suasana pesta pernikahan menjadi gelanggang pertempuran itu.

“Orang-orang muda yang bosan hidup!” bentaknya setelah dia berada di depan dua orang pemuda yang masih berlutut itu. “Kalian telah melakukan dosa besar terhadap Pek-lian-kauw, karena itu terimalah hukuman dari kami!”

Sambil berkata demikian, kakek ini sudah mengangkat tongkat hitamnya ke atas, siap untuk dihantamkan ke arah kepala dua orang pemuda itu. Tentu saja hantaman seorang yang lihai seperti Thian Hwa Cinjin, dengan tongkat yang diarahkan ke kepala, akan menimbulkan maut.

Tiba-tiba kedua orang pemuda itu bergerak. Mula-mula Lie Kong Tek yang bergerak dan dari bawah, pemuda tinggi besar ini sudah menggerakkan kakinya menendang ke arah kedua lutut kaki Thian Hwa Cinjin! Adapun Kun Liong sambil tertawa juga bangkit dan tangannya mencengkeram ke arah tenggorokan Ketua Pek-lian-kauw itu.

Tentu saja Thian Hwa Cinjin menjadi kaget bukan main. Mereka berdua itu, seperti semua tamu, telah dipengaruhi kekuatan sihirnya, mengapa mereka berdua tahu-tahu dapat melawan? Sesungguhnya tidaklah demikian, sebelum meninggalkan kedua orang pemuda itu, Hong Khi Hoatsu telah meninggalkan “bekal” kepada mereka, yaitu cara-cara menolak pengaruh sihir sehingga ketika tadi Thian Hwa Cinjin mengeluarkan suara melengking nyaring, Kong Tek dan Kun Liong sudah “menutup” perhatian mereka dan menggunakan sin-kang untuk menolak seperti yang diajarkan oleh Hong Khi Hoatsu.

Akan tetapi, untuk mengelabuhi mata Thian Hwa Cinjin, mereka berdua ikut-ikut berlutut seperti orang lain. Ketika melihat kakek itu mendekati mereka dan jelas hendak melakukan serangan maut, mereka tentu saja segera bergerak dan mendahului menyerang kakek itu.

Thian Hwa Cinjin selain lihai ilmu sihirnya, juga memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi tingkatnya. Tentu saja diserang oleh Kong Tek seperti itu, dia dengan mudah dapat meloncat dan menghindarkan tendangan dahsyat itu. Yang membuat dia terkejut adalah gerakan Kun Liong. Tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu dapat menyerang dengan gerakan secepat itu. Dia sudah mengelak dengan menarik tubuh atasnya ke belakang, namun sungguh di luar dugaannya, jari-jari tangan pemuda itu masih berhasil mencengkeram ujung jenggotnya yang panjang dan dipelihara baik-baik itu. Dia berteriak kesakitan ketika ujung jenggot itu dibetot dan putus!

Sementara itu, Giok Keng yang dipeluk ayahnya ternyata sudah sadar dan tiba-tiba dia merenggutkan diri dari pelukan ayahnya dan bertanya,

“Mana dia? Mana si jahanam keparat Liong Bu Kong itu?”

Tentu saja Cia Keng Hong terkejut dan girang melihat sikap puterinya yang tiba-tiba membalik dan memaki pemuda yang tak disukanya itu.






“Apa maksudmu?” tanyanya.

“Ayah, dia si keparat laknat itu, dia telah menipuku! Aku harus membunuhnya! Ayah bagaimana aku bisa memakai pakaian keparat ini?” Dia merenggutkan hiasan kepala dan jubah pengantinnya, mencabut pedangnya dan begitu dia melihat Liong Bu Kong lalu dia meloncat dan memaki, “Bangsat hina dina, hari ini engkau mampus di tanganku!”

Melihat puterinya menyerang kalang kabut kepada pemuda yang masih berpakaian pengantin itu, Keng Hong terbelalak. Hatinya bersukur bahwa akhirnya puterinya terbuka matanya dan dapat melihat bahwa pilihan hatinya itu adalah keliru sama sekali, dapat melihat bahwa pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu bukanlah manusia baik-baik seperti yang telah diketahuinya.

Karena dia merasa yakin bahwa puterinya akan dapat menandingi pemuda itu, Keng Hong lalu mencari-cari dengan pandang matanya. Dan pada saat itu dia melihat orang yang dicarinya, yang dianggap menjadi biang keladi sehingga hampir saja puterinya menikah di bawah pengaruh sihir dengan Liong Bu Kong, yaitu Ketua Pek-lian-kauw, Thian Hwa Cinjin!

Pada saat itu, dia melihat betapa seorang pemuda berambut pendek yang dia segera kenal sebagai Yap Kun Liong yang dahulu gundul itu, telah menyerang Thian Hwa Cinjin dan berhasil menarik putus sebagian jenggotnya. Akan tetapi kagetlah hati Keng Hong ketika tiba-tiba kakek itu mendorongkan kedua tangannya ke depan dan membentak,

“Orang muda, berlututlah engkau! Berlutut...!”

Bagaikan lumpuh seketika kedua kakinya, Kun Liong berlutut! Biarpun dia telah memperoleh “bekal” dari Hong Khi Hoatsu untuk menolak pengaruh sihir, namun kekuatan sihir yang langsung diterimanya dan menyerang dirinya melalui gerakan kedua telapak tangan, suara dan pandang mata Ketua Pek-lian-kauw itu terlalu berat bagi Kun Liong sehingga dia tidak dapat mempertahankan dirinya dan sudah jatuh berlutut tanpa daya sama sekali.

Lie Kong Tek yang tidak langsung terserang ilmu sihir itu, hanya terbelalak memandang karena dia melihat kakek itu berubah menjadi seorang raksasa yang tiga kali manusia biasa besar dan tingginya! Namun, ketabahan pemuda ini memang amat luar biasa. Biarpun ada rasa ngeri di hatinya, namun melihat temannya berlutut dan tidak berdaya, dia sudah menerjang ke depan dengan pukulan kanannya mengarah pusar Ketua Pek-lian-kauw yang di dalam pandang matanya berubah menjadi raksasa itu.

“Plakkk... dess!”

Tubuh Kong Tek terlempar dan terguling-guling ketika sebuah tendangan kilat menyambutnya. Dadanya yang terkena tendangan terasa sesak dan untuk beberapa lama pemuda itu tidak mampu bangkit berdiri, hanya bangun duduk dan mengelus dadanya sambil mengatur pernapasan.

“Wuuuuttt... bukkk!”

Thian Hwa Cinjin sudah berusaha mengelak, namun tetap saja ujung kaki Cia Keng Hong menyentuh pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Serangan Keng Hong yang dahsyat ini, yang dilakukan dengan tubuh melayang dari jauh, telah menyelamatkan Kun Liong karena pada saat itu, Thian Hwa Cinjin sudah mengangkat tongkatnya hendak memukul kepala Kun Liong.

Melihat majunya pendekar sakti ini, terkejutlah Thian Hwa Cinjin. Dia sudah lama mendengar akan kelihaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, maka cepat dia mengerahkan ilmu sihirnya, mengangkat tongkatnya dan berseru,

“Cia Keng Hong, berani kau melawan? Hadapilah ular saktiku ini!”

Keng Hong meloncat ke belakang, matanya terbelalak ketika melihat betapa tongkat hitam di tangan kakek itu berubah menjadi seekor ular hitam yang amat besar, panjang dan mengerikan. Dia meraba punggungnya dan tampaklah sinar hijau berkelebat ketika sebatang pedang berada di tangan pendekar ini. Sebatang pedang yang biasa saja, bahkan bukan pedang logam melainkan sebatang pedang kayu!

Akan tetapi itulah pedang Siang-bhok-kiam. Pedang Kayu Harum yang dahulu pernah menggegerkan dunia persilatan! Betapapun juga, kini menghadapi seorang yang menggunakan ilmu sihir, merupakan pengalaman baru bagi Cia Keng Hong, maka dia bersikap waspada dan amat hati-hati, hanya menanti dengan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan lawan.

“Ha-ha-ha, Thian Hwa Cinjin! Tidak ada gunanya semua ilmu sulapmu ini! Tongkat tetap tongkat, mana mungkin menjadi ular? Asal tanah kembali menjadi tanah asal kayu kembali menjadi kayu! Cia Tai-hiap, jangan mau dikelabui ilmu sulap murahan!”

Thian Hwa Cinjin terkejut dan Cia Keng Hong girang sekali karena kini ular mengerikan di tangan lawan itu lenyap dan yang tampak hanya tongkat biasa kembali.

Thian Hwa Cinjin membentak dan tangan kirinya digerakkan ke atas, dan... terdengar ledakan keras lalu muncul gumpalan asap yang membentuk diri menjadi manusia berkepala singa yang amat menyeramkan! Ujud setan ini dengan buasnya lalu melayang dan menerkam ke arah Keng Hong!

Pendekar ini adalah seorang yang sakti dan tidak mengenal takut, namun menyaksikan ujud yang aneh itu dia terkejut bukan main dan cepat dia sudah melempar tubuh ke belakang, bergulingan sampai jauh sambil memutar Siang-bhok-kiam melindungi tubuhnya. Ketika dia meloncat bangun dengan sigapnya, dia melihat gumpalan asap itu masih mengejarnya!

Kembali Hong Khi Hoatsu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, lihat baik-baik, Cia Tai-hiap. Asap itu hanyalah jadi-jadian yang tercipta oleh tukang sulap itu, bukan apa-apa dan hanya gertak sambal saja!” Hong Khi Hoatsu bertepuk tangan tiga kali dan... setan asap itu pun lenyap.

Bukan main marahnya hati Thian Hwa Cinjin. Dengan tongkat hitamnya dia menuding ke arah Cia Keng Hong dan Hong Khi Hoatsu sambil membentak,

“Jadi kalian telah bersekutu untuk datang memusuhi Pek-lian-kauw? Cia Keng Hong, mengapa engkau begini tak tahu malu? Puterimu dan calon suaminya datang dan mereka memohon kepada kami agar suka merayakan pernikahan mereka karena engkau tidak menyetujui pernikahan itu. Melihat namamu dan nama Cin-ling-pai, kami telah berbaik hati untuk menolongnya dan bersusah payah merayakan pernikahan mereka. Siapa tahu engkau, ayahnya sendiri, malah datang mengacau dan memusuhi kami. Aturan mana ini? Apakah budi kebaikan kami hendak kau balas dengan permusuhan?”

Cia Keng Hong mengerutkan alisnya, menengok ke kiri dan melihat betapa puterinya mendesak Liong Bu Kong dengan serangan-serangan maut, kemudian betapa pemuda itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan melarikan diri, dikejar oleh Giok Keng. Dia merasa khawatir sekali lalu berteriak, “Keng-ji, jangan kejar dia! Kembalilah ke sini!”

Akan tetapi Giok Keng yang sudah amat marah kepada Liong Bu Kong, mana mau melepaskan pemuda yang kini amat dibencinya itu? Dia mengejar terus, bahkan membentak nyaring,

“Jahanam keparat, lari ke neraka pun akan kukejar kau sampai dapat!”

Melihat ini, Yap Kun Liong yang sudah berhasil merobohkan para pengeroyoknya lalu berseru.

“Cia-supek, jangan khawatir, biar teecu yang menyusul Sumoi dan membantunya!”

Tanpa menanti jawaban, pemuda itu lalu melesat pergi dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga Keng Hong sendiri bengong dan kagum dibuatnya. Hatinya lega mellhat Kun Liong melindungi puterinya, maka dia lalu menghadapi Thian Hwa Cinjin dengan tenang, lalu menjawab kata-katanya tadi dengan suara lantang,

“Thian Hwa Cinjin, bukankah engkau yang memutar balik omongan? Puteriku melaksanakan upacara pernikahan yang telah kau atur, bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan karena dia berada di bawah pengaruh sihirmu yang keji!”

Thian Hwa Cinjin terkejut dan semua tamu yang tadinya saling serang kini telah menghentikan pertempuran mereka karena melihat bahwa orang-orang yang mereka bela kini sedang bertengkar. Mereka kini datang mendekat dan mendengarkan penuh perhatian, sedangkan para anak buah Pek-lian-kauw hanya mengurung tempat itu karena sebelum menerima perintah dari ketuanya, mereka pun tidak berani sembarangan turun tangan.

Para tamu yang tadi tidak mau mencampuri keributan dan tidak ikut bertempur, hanya memandang dari jauh, kini diam-diam meninggalkan tempat itu karena tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan. Hanya ada dua puluh lebih saja orang-orang kang-ouw yang berpihak kepada Cia Keng Hong termasuk tokoh-tokoh Go-bi-pai, sedangkan selebihnya, lebih lima puluh orang kang-ouw, adalah teman-teman Pek-lian-kauw.

“Ketua Cin-ling-pai membohong!” Thian Hwa Cinjin yang sudah dapat menenteramkan hatinya membantah dengan teriakan keras, kemudian dia menengok ke arah semua tamu yang masih berada di situ. “Cu-wi sekalian para tamu yang terhormat menjadi saksi! Apakah ada permainan paksaan dalam upacara pernikahan tadi? Apakah ada yang memaksa pengantin wanita melakukan upacara sembahyang?”

“Tidak ada! Tidak ada!”

Serentak terdengar jawaban puluhan buah mulut para tamu, sedangkan mereka yang pro kepada Cia Keng Hong tidak ada yang dapat menjawab karena mereka itu diam-diam harus mengakui bahwa tadi tidak ada pemaksaan terhadap pengantin wanita.

Cia Keng Hong tersenyum mengejek, menghadapi para tamu dan berkata, suaranya lantang,

“Cu-wi sekalian mana tahu akan kelicikan pendeta hitam ini? Puteriku tadi berada dalam keadaan tidak sadar, berada di bawah pengaruh sihir dan obat perampas ingatan! Semua telah diatur oleh Thian Hwa Cinjin. Bahkan ketika aku datang, diam-diam dia menggunakan ilmu sihir yang membuat aku tidak sadar! Kalau saja tidak Hong Khi Hoatsu yang menolong, tentu aku pun telah dicelakakannya tanpa ada seorang pun tamu yang menduga dan mengetahuinya.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: