*

*

Ads

FB

Kamis, 24 November 2016

Petualang Asmara Jilid 179

Perahu kecil yang amat sederhana ini dengan susah payah didayung oleh Kun Liong melawan ombak yang kembali dari pantai. Ketika perahu tiba di bagian dimana air dari tengah laut bertemu dengan air yang kembali dari pantai sehingga air memecah dan membuih, mengeluarkan suara berdebur keras, perahu kecil itu terangkat dan terombang-ambing, hampir terbalik.

Kun Liong cepat mengerahkan tenaga dan mendayung perahunya, meluncur hampir seperti ikan meloncat, melalui buih ombak dan meluncur terus ke pantai. Setelah dayungnya dapat menyentuh pasir, dia sudah tidak sabar lagi, meloncat dari atas perahu mendarat dan meninggalkan perahu buatannya sendiri yang amat sederhana itu, membiarkannya terbawa ombak, sebentar ke tengah sebentar ke pinggir.

Karena dia meninggalkan pulau kosong itu tanpa mengenal jalan, hanya mengarahkan perahunya ke barat selalu, maka dia tersesat jalan dan tidak tahu bahwa perahunya mendarat di bagian paling utara, yaitu di sebelah utara Tembok Besar di sebelah selatan kota Cin-sian. Oleh karena itu, begitu mendarat dan melakukan perjalanan cepat menuju ke barat dimana menurut perkiraannya tentu terdapat Tibet, dia telah bertemu dengan pegunungan yang sambung-menyambung dan kadang-kadang diselingi padang pasir yang luas!

Kun Liong sama sekali tidak mengira bahwa dia berada di luar Tembok Besar, yaitu berada di perbatasan antara daerah Mongolia Dalam dan daerah Mancuria yang kesemuanya tentu saja berada dalam kekuasaan Pemerintah Ceng pada waktu itu. Maka dia sendiri menjadi terheran-heran dan bingung juga ketika selama berhari-hari melakukan perjalanan, dia tidak pernah bertemu dengan dusun, tak pernah berjumpa manusia dan perjalanan yang ditempuhnya amat sukar karena selain harus melalui pegunungan yang tinggi dan hutan-hutan yang liar, juga kadang-kadang dia harus melalui padang pasir yang amat luas sehingga sampai dua tiga hari belum juga habis pasir yang dilaluinya!

Pada suatu pagi, setelah bermalam di sebuah guha di kaki bukit dia melanjutkan perjalanan, memasuki sebuah hutan yang amat lebat. Namun dia kelihatan girang dan wajahnya selalu berseri. Memang baginya tentu saja jauh lebih baik melakukan perjalanan melalui hutan-hutan liar daripada melalui padang pasir yang mengerikan itu.

Pernah dia hampir mati kelaparan dan kehausan ketika melalui padang pasir selama tiga hari tiga malam. Dimana-mana pasir melulu! Kalau di dalam hutan, dia tidak akan kekurangan air, tidak akan kekurangan makan dan minum. Andaikata tidak ada binatang hutan, dia dapat saja makan daun-daun muda, buah-buahan atau akar. Dia sudah biasa akan penghidupan sederhana seperti itu! Akan tetapi pasir!

Selama berhari-hari ketika dia meninggalkan pulau, hatinya terhimpit kedukaan karena memikirkan Hong Ing. Hatinya penuh kerinduan sehingga hampir setiap dia tidur, dia bermimpi dan bertemu dengan dara yang dikasihinya itu. Hampir gila dia merindukan dara itu. Akan tetapi lambat laun dia dapat menekan hatinya, dapat menenangkan perasaannya dan dia percaya bahwa kalau memang dia berjodoh dengan Hong Ing, pasti pada suatu hari dia akan bertemu dengan dara pujaan hatinya itu.

Sambil berjalan memasuki hutan, Kun Liong mengenangkan semua pengalamannya. Tampak nyata dalam ingatannya betapa bodohnya dia dahulu. Betapa sombongnya dia dahulu terhadap cinta kasih! Betapa dia meremehkan cinta kasih yang dianggapnya hanyalah cinta yang mengandung nafsu berahi belaka! Betapa dia tidak percaya akan cinta kasih yang sesungguhnya, cinta kasih yang dapat menciptakan sorga maupun neraka bagi orang yang dihinggapinya, seperti yang dia rasakan sekarang!






Dan mengingat ini semua, seringkali dia termenung dengan muka pucat, mengingat akan dara-dara yang pernah dikenalnya selama petualangannya dalam dunia ini. Terutama sekali dia merasa terharu dan berduka, merasa menyesal sekali kalau dia teringat kepada Hwi Sian. Satu-satunya gadis yang telah menyerahkan tubuhnya, menyerahkan kehormatannya kepadanya! Satu-satunya gadis yang telah membuktikan cintanya melalui pengorbanan yang paling hebat bagi seorang wanita.

Dan dia telah tega meninggalkan gadis itu! Seperti seekor kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah menikmati madu kembang itu, setelah dihisapnya habis. Dia merasa menyesal sekarang. Dia tidak mencinta Hwi Sian, hanya suka, mengapa dia mau melakukan hubungan badan dan tentu akan membuat dara itu makin rusak hatinya? Hwi Sian yang mengaku akan menikah dengan suhengnya, telah sengaja menyerahkan diri kepadanya, untuk membuktikan cinta kasihnya. Akan tetapi dia yang tidak mencinta, mengapa mau menerimanya?

“Bodoh kau!”

Dia menampar kepalanya sendiri, akan tetapi telapak tangannya itu tinggal di kepalanya karena baru teringat sekarang bahwa kepalanya sudah berambut! Dia tersenyum geli. Mengapa sekarang jalan pikirannya berubah setelah kepalanya ada rambutnya? Apakah dahulu itu semua ketololannya adalah akibat dari kepalanya yang tidak terlindung rambut sehingga mudah sekali dimasuki angin jahat? Dia menggosok-gosok kepalanya.

Rambutnya sudah mulai panjang, ada sejari panjangnya dan tumbuh dengan subur. Akan tetapi karena baru sejari rambut itu masih kaku dan kacau tumbuhnya, mencuat ke sana-sini tidak teratur. Dan pakaiannya! Merah mukanya ketika dia menunduk dan memandang pakaiannya. Lebih pantas seorang jembel kotor! Atau seorang manusia liar yang belum mengenal peradaban, seorang manusia biadab!

Betapa mungkin dia dapat menjumpai orang di kota atau dusun dalam pakaian seperti ini? Tentu dia akan dianggap seorang jembel yang sudah terlantar, atau mungkin akan dicurigai orang. Ah, dia tidak khawatir, di sakunya terdapat emas dan permata, dia akan membeli pakaian begitu ada kesempatan.

Tiba-tiba Kun Liong menghentikan langkah kakinya. Di sebelah kanannya terbentang jurang yang dalam dan luas. Dia mendengar suara dari bawah, dari bawah jurang! Suara orang berteriak minta tolong atau semacam itu karena suara itu hanya terdengar gemanya saja, tidak begitu jelas.

Dua macam perasaan mengaduk hati Kun Liong. Girang dan cemas. Girang karena dia mendengar suara orang, dan cemas karena dari suara itu, biarpun tidak jelas, dia menangkap ketakutan hebat seolah-olah orang itu terancam bahaya besar.

Cepat dia menuruni jurang yang curam itu. Dia harus berhati-hati karena sekali terpeleset, atau sekali pegangannya terlepas, tubuhnya tentu akan melayang ke bawah dan dia taksir bahwa tebing itu dalamnya tidak kurang dari seribu kaki! Tubuhnya tentu akan hancur, atau setidaknya akan robek-robek kulitnya kalau dia sampai terguling-guling ke bawah sana!

Kembali dia mendengar suara teriakan. Benar-benar teriakan minta tolong! Dia mempercepat gerakannya merayap turun, bergantungan pada akar-akar dan batu-batu di sepanjang tebing dan akhirnya tibalah dia di bawah. Ternyata di bawah tebing itu pun terdapat sebuah hutan dan suara tadi keluar dari hutan itulah.

Dengan gerakan yang cepat sekali Kun Liong berlari memasuki hutan. Hatinya berdebar ketika dia melihat belasan orang mengeroyok seorang laki-laki asing!

Seorang laki-laki sebangsa Yuan de Gama yang memegang sebatang golok dan membela diri mati-matian terhadap pengeroyokan tiga orang itu! Akan tetapi, orang asing itu sudah terluka parah, pakaiannya penuh darah dan tubuhnya sudah lemah, gerakannya tidak leluasa lagi sehingga ketika Kun Liong tiba di situ, sekaligus orang asing itu menerima bacokan-bacokan yang membuatnya roboh.

“Heiii, jangan bunuh orang...!”

Kun Liong berteriak sambil meloncat ke depan. Tiga belas orang itu menengok dan mereka segera mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh Kun Liong. Sebelum Kun Liong dapat mencegahnya, tiga belas orang laki-laki bertubuh tegap kuat dan bersenjata golok dan pedang itu telah lari menyerbunya sambil mengeluarkan teriakan-teriakan liar!

Kun Liong terkejut sekali, maklum bahwa dia berhadapan dengan suku bangsa yang berbeda bahasanya, segerombolan orang-orang kasar dan liar, maka dia mengerti bahwa bicara pun tidak akan ada gunanya. Maka dia mempergunakan kepandaiannya, ketika mereka datang menyerbu, dia mengerahkan gin-kangnya melompat melewati atas kepala mereka dan berlutut memeriksa orang asing yang sudah rebah dan mengerang kesakitan itu.

“Aduhhh... mati aku... tolong aku...!”

Orang asing itu, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, merintih dan dengan suara kaku minta tolong kepada Kun Liong. Logat bicaranya mengingatkan Kun Liong kepada Yuan de Gama, maka dia berkata menghibur,

“Jangan khawatir, aku akan mencegah mereka menyerangmu...!”

Akan tetapi di dalam hatinya, Kun Liong maklum bahwa orang ini tidak dapat ditolong lagi. Luka-lukanya terlalu parah, bahkan leher kanannya yang pecah mengucurkan darah yang takkan dapat dibendung lagi.

Tiga belas orang Mongol itu terkejut ketika melihat lawan mereka berkelebat dan “terbang” di atas kepala mereka. Cepat mereka membalikkan tubuh dan kini mereka menyerbu sambil berlari dan mengeluarkan pekik dahsyat.

Kun Liong menoleh, tangan kanannya mencengkeram tanah dan batu pasir, kemudian dia menyambit sambil mengerahkan sin-kangnya.

“Siuuuttt... aughhh! Ahh! Aduhhh!”

Empat orang Mongol yang berlari paling depan jatuh bergelimpangan, menjerit-jerit sambil memegangi kaki mereka yang terasa perih, pedih, dan ngilu karena tanah dan pasir itu menembus kulit memasuki daging sampai ke tulang kering kaki mereka!

Melihat empat orang kawannya roboh, sembilan orang Mongol yang lainnya terkejut sekali dan menghentikan gerakan kaki mereka, memandang dengan mata terbelalak seolah-olah tidak percaya bahwa pemuda berambut pendek itu dapat merobohkan kawan-kawan mereka dari jarak jauh, hanya sambil berlutut dan menyambitkan tanah!

Pemimpin mereka, seorang tinggi besar bermata sipit sekali, agaknya merasa penasaran. Dia adalah seorang jago silat bangsa Han, sungguhpun pakaiannya seorang jembel, dia melangkah maju dan berkata dalam bahasa Han yang kaku sekali,

“Engkau jagoan, ya? Hayo kau lawan aku, tanpa menggunakan senjata rahasia! Tanpa menggunakan ilmu setan!”

Kun Liong maklum bahwa berhadapan dengan orang-orang kasar seperti ini, dia hanya dapat mengandalkan kepandaian silatnya untuk menundukkan mereka. Maka dia segera bangkit berdiri menghadapi raksasa bermata sipit itu.

“Hemm, aku menggunakan pasir kau cela, akan tetapi engkau menggunakan senjata tajam, dan mengandalkan jumiah banyak mengeroyok orang!”

Mulut raksasa itu cemberut, dan dia melempar goloknya kepada seorang teman.
“Lihat, aku hanya mengandalkan tangan dan kaki. Beranikah kau melawanku?”

Kun Liong bangkit berdiri, menghampiri dan berkata,
“Tentu saja aku berani, majulah!”

Raksasa Mongol itu menerjang maju, memukul dengan kedua tangannya. Seperti dua buah cakar biruang raksasa, kedua tangan itu menyambar dari kanan kiri. Kun Liong mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya menangkis.

“Plak! Plak!”

Raksasa Mongol itu telah memegang kedua lengan Kun Liong yang terlalu kecil bagi jari-jari tangannya yang panjang dan besar! Tahu-tahu, Kun Liong merasa tubuhnya terangkat ke atas.

Akan tetapi, ketika raksasa itu berusaha melontarkan tubuh Kun Liong, pemuda ini sudah memegang pula lengan lawan sehingga mereka saling berpegangan dan tubuh Kun Liong tidak dapat terlempar!

Bahkan ketika raksasa itu mengerahkan seluruh tenaga dan untuk kesekian kalinya melontarkan, Kun Liong meminjam tenaganya, ditambah tenaga sendiri sambil memperberat tubuhnya dan... kini tubuh raksasa itulah yang melayang ke atas begitu kaki Kun Liong menyentuh tanah dan tubuh yang tinggi besar itu terlempar dan terbanting keras ke atas tanah.

“Brukkkk!!”

Debu mengebul tinggi dan raksasa sipit itu merangkak bangun, menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir kepeningan, lalu bangkit berdiri lagi dan berjalan maju setengah berbongkok seperti seekor biruang besar hendak menerkam!

Kun Liong menanti dengan tenang. Dia tahu bahwa lawannya ini hanyalah mengandalkan tenaga luar saja, bukan merupakan lawan berbahaya. Akan tetapi dia pun harus meyakinkan mereka semua akan kepandaiannya, karena dengan demikian barulah mereka itu akan mundur.

“Haarrrggghhh...!”

Raksasa sipit itu menggereng dan tubuhnya sudah meloncat dan menubruk ke arah Kun Liong.

“Duk! Duk! Dessss!”

Orang-orang Mongol itu hanya melihat tubuh pemimpin mereka terjengkang lalu roboh tak berkutik lagi! Mereka tidak tahu bahwa Kun Liong tadi memapaki lawan dengan dua kali totokan yang melumpuhkan kaki tangan orang itu, kemudian menampar keras membuat lawannya pingsan.

“Bawa dia pergi!” Bentak Kun Liong kepada mereka.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: