*

*

Ads

FB

Kamis, 24 November 2016

Petualang Asmara Jilid 180

Dengan muka membayangkan rasa takut, orang-orang Mongol itu lalu menolong pemimpin dan teman-teman yang kakinya terluka, kemudian berlari-lari meninggalkan tempat itu.

Setelah melihat orang-orang Mongol itu pergi jauh, Kun Liong kembali berlutut di dekat orang asing yang kini hanya mengerang lemah sekali karena kehabisan darah. Sekali lagi Kun Liong meneliti, akan tetapi hanya mendapat keyakinan bahwa orang itu tidak akan dapat tertolong lagi nyawanya. Mukanya sudah mulai memucat karena kekurangan darah. Dia tidak dapat menolong lagi, maka dia hanya dapat bertanya,

“Apakah yang terjadi, Tuan?”

Orang itu membuka matanya, bibirnya menggumam,
“...terima kasih... terima kasih... mereka adalah gerombolan Mongol yang membenci kami orang-orang kulit putih... aku... aku utusan... Dewa Panah...”

“Dewa Panah? Siapakah dia? Dan diutus kemana?”

Dengan susah payah orang itu mencoba menjawab, akan tetapi yang terdengar oleh Kun Liong hanyalah bisikan lemah,

“...Pek-lian-kauw... di muara Sungai Huai... pantai Laut Kuning...” sampai di situ habislah napas orang asing itu, meninggalkan Kun Liong termangu-mangu karena tidak mengerti apa yang dimaksudkan.

Setelah menghela napas panjang berulang-ulang, menyesal bahwa perjumpaannya yang pertama dengan manusia ternyata begini tidak menyenangkan dan tiada gunanya baginya, Kun Liong lalu menggali tanah membuat lubang untuk mengubur jenazah orang itu.

Setelah lubang yang digalinya cukup dan dia hendak mengangkat tubuh orang itu, tiba-tiba dia teringat akan pakaiannya, Kun Liong mengerutkan alisnya. Berdosakah dia kalau dia mengambil pakaian orang ini? Sesosok mayat tidak membutuhkan pakaian luar, akan tetapi dia amat membutuhkan karena pakaiannya sudah tidak karuan macamnya. Ah, kiranya tidak berdosa, dan si mati tentu akan memaafkannya. Setidaknya, dia telah menguburkan jenazahnya!

Mulailah Kun Liong menanggalkan pakaian orang itu, pakaian luarnya dan hal ini masih mudah dilakukannya karena mayat itu masih belum kaku. Setelah dia melepaskan baju kemeja lengan panjang dan celana, sepatu boot dan kain leher orang itu sehingga yang masih menempel di tubuh mayat itu hanya pakaian dalam, Kun Liong berkata,

“Terima kasih dan maafkan aku, Tuan!”

Kemudian dia mengubur jenazah itu dan mengenakan pakaian model barat. Untung baginya, tubuh orang asing itu kecil, tidak berbeda banyak dengan tubuhnya, maka pakaiannya itu pas sekali, hanya lengannya lebih panjang sehingga terpaksa digulungnya sampai ke siku.

Tak lama kemudian, pemuda itu tertawa-tawa seorang diri dengan hati geli ketika dia bercermin di atas air jernih di dalam hutan. Mula-mula dia terkejut ketika menjenguk ke air dan melihat mukanya sendiri. Tak disangkanya mukanya seperti itu! Sudah lama dia tidak bercermin, dan sekali bercermin, melihat kepala yang biasanya gundul sehingga dia sudah terbiasa itu kini berambut, melihat seorang pemuda berambut pendek berpakaian aneh, dia kelihatan seperti seorang “sinyo” yang asing!






Dua hari kemudian, Kun Liong tak dapat tertawa-tawa lagi. Dia berada di tengah padang pasir yang tidak kelihatan tepinya. Yang tampak hanyalah pasir dan gunung pasir, batu-batu kering dan tanah tandus! Tidak ada setetes pun air kecuali peluhnya sendiri yang bercucuran karena panasnya. Tidak ada tempat berteduh dan kerongkongannya terasa kering dan haus sekali!

“Celaka...!” pikirnya.

Tak disangkanya bahwa padang pasir itu seluas itu. Untuk kembali dia enggan. Dia harus melanjutkan perjalanannya ke barat, harus cepat mencari Hong Ing di Tibet. Akan tetapi kalau dilanjutkan, berapa lama dia akan dapat melewati padang pasir itu?

Dua hari kemudian, sudah empat hari empat malam Kun Liong melalui padang pasir. Hari itu panasnya bukan main, tubuhnya sudah mulai lemah, kerongkongannya kering dan haus dan perutnya lapar.

“Uh-uh... masih berapa jauhnya?” dia menggumam, berhenti di dekat batu besar untuk berteduh di bayangan batu itu, menghapus keringatnya dengan kain leher yang sudah basah.

Tubuhnya gemetar dan matanya setengah terpejam karena silau oleh pasir yang berkilauan tertimpa panas terik matahari!

Kun Liong menjatuhkan diri duduk di atas pasir yang panas. Dikeluarkannya bungkusan emas permata dari sakunya.

“Sialan!” gerutunya memandang bungkusan itu dan mengantonginya kembali. “Aku akan senang sekali menukar bungkusan ini dengan semangkok bubur dan sepoci air jernih!”

Teringatlah dia betapa nilai sesuatu benda ditentukan oleh kebutuhan. Pada saat seperti itu, dalam keadaan kehausan dan kelaparan, semangkok bubur dan sepoci air jernih lebih berharga daripada emas permata! Betapa tololnya manusia di tempat ramai, untuk memperebutkan emas permata mereka tidak segan-segan untuk saling bunuh! Padahal, dalam keadaannya sekarang ini, semua harta benda tidak ada gunanya, tidak lebih berharga daripada semangkok bubur sepoci air.

Dia bangkit lagi. Makin lama dia beristirahat, makin berbahayalah keadaannya. Dia harus cepat-cepat keluar dari gurun pasir itu, kalau tidak, besar kemungkinannya dia akan mati konyol di tempat ini. Di depan sudah nampak pegunungan dan di balik pegunungan pasir ini, tampak samar-samar puncak sebuah gunung menghijau, akan tetapi masih amat jauh. Dia harus cepat-cepat mencapai gunung menghijau itu sebelum dia roboh dan mati di atas pasir.

Makin tinggi matahari naik, makin panaslah sinarnya menimpa pasir sehingga Kun Liong merasa makin tersiksa karena dia diserang hawa panas dari atas dan bawah. Pasir yang tertimpa sinar matahari menjadi panas dan hawa dari dalam bumi keluar membuat Kun Liong merasa seperti dipanggang tubuhnya. Peluhnya bercucuran dan pandang matanya berkunang-kunang.

“Celaka...!” keluhnya ketika dia terpaksa menjatuhkan tubuhnya yang kehabisan tenaga karena terlalu banyak berkeringat itu ke atas pasir.

Sejenak dia merebahkan dirinya di belakang batu besar yang agak teduh, rebah miring, pipinya menyentuh pasir hangat. Betapa nikmatnya! Betapa nikmatnya melepaskan lelah di tempat itu, tidak bangkit lagi, rebah di dalam pelukan bayangan batu, ditilami pasir yang lembut dan hangat. Dia memejamkan matanya, tubuhnya terasa nikmat, mengendur dan lepas semua urat tubuhnya.

“Eh, apakah aku harus mati dalam keadaan begini?” Tiba-tiba terbayang wajah Hong Ing dan cepat dia membuka mata dan bangkit duduk.

“Tidak! Aku tidak boleh mati seperti ini!” hardiknya di dalam hati kepada dirinya sendiri.

Dia meloncat berdiri akan tetapi terguling lagi karena matanya berkunang dan kepalanya pening sekali.

“Aku harus keluar dari neraka ini! Aku harus mencari Hong Ing!”

Ketekadan hati ini membuat Kun Liong merangkak-rangkak meninggalkan tempat itu. Kepalanya pening, dia tidak dapat berdiri dan berjalan, maka merangkak pun jadilah asal dia dapat melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat berbahaya itu, menuju ke gunung menghijau di depan itu.

Akan tetapi, pasir tertimpa matahari yang membuat matanya silau, kembali memaksa dia menghentikan usahanya merangkak. Dia rebah lagi dan memejamkan matanya. Terlampau nikmat rebah begini, dan terlampau sengsara melanjutkan perjalanan!

Tiba-tiba dia terkejut. Telinganya yang menempel di atas pasir mendengar suara bergemuruh. Dia mengangkat tubuhnya dan terdengarlah lapat-lapat suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian, dari sebelah depan muncullah sepasukan orang, sebagian kecil berkuda, menuju ke tempat itu!

Di depan sendiri tampak seorang laki-laki bangsa asing dengan rambut putih kekuningan membalapkan kudanya. Ketika tiba di tempat dimana Kun Liong masih berlutut dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan seperti orang merangkak, laki-laki itu berseru keras, meloncat turun dari kuda dan menghampiri.

Dia berkata dalam bahasa asing yang tak dimengerti oleh Kun Liong. Ketika Kun Liong menoleh, orang itu memaki,

“Keparat! Tentu dia merampok anak buahku. membunuh dan merampas pakaiannya!”

Dengan gerakan cepat, orang itu mencabut beberapa batang anak panah yang tergantung di punggung, memasangnya di busur.

“Wir-wir-wir... cuat-cuat-cuatt!”

Bukan main cepatnya orang itu mainkan anak panah dengan busur. Kun Liong yang masih pening itu hanya melihat sinar-sinar kilat berkelebat dan anak-anak panah menyambar dan menancap di sekeliling tempat dia berlutut! Dia telah dikurung pagar anak panah. Bukan main pandainya orang asing itu menggunakan busur dan anak panah dan teringatlah dia akan pesan orang yang ditolongnya beberapa hari yang lalu. Dewa Panah! Agaknya orang inilah yang dijuluki Dewa Panah, dan memang ilmu panahnya hebat!

Kemudian orang yang memegang anak panah itu meloncat dan hanya dengan dua kali loncatan saja dia sudah berdiri di depan Kun Liong yang kini sudah berhasil bangkit berdiri dalam pagar anak panah yang menancap di atas pasir di sekelilingnya itu. Loncatan orang itu pun membuktikan bahwa selain lihai ilmu panahnya, orang asing yang masih muda itu juga memiliki kepandaian yang tinggi.

Akan tetapi hal ini tidak menarik hati Kun Liong yang tentu saja menganggap kepandaian seperti itu tidak ada artinya. Yang menarik hati Kun Liong adalah ketika dia mengenal orang asing yang bukan lain adalah Marcus, bekas kekasih Kim Seng Siocia!

Dugaannya ini memang tidak keliru. Orang itu adalah Marcus, pemuda bangsa Portugis bekas anak buah Legaspi yang tadinya menjadi kekasih Kim Seng Siocia kemudian ketika Kim Seng Siocia tewas, dia berhasil melarikan diri membawa kitab-kitab pusaka dan barang berharga dari nona gemuk itu. Dan di antara ilmu kepandaiannya Kim Seng Siocia yang dapat dia warisi, di antaranya adalah ilmu panah yang lihai!

Marcus berhasil pula menghimpun beberapa orang bekas rekannya sehingga terkumpul lima orang Portugis yang masih berkeliaran, kemudian dia bersama lima orang anak buahnya itu menggabungkan diri dengan golongan orang Mongol yang berniat memberontak dan menyerbu ke selatan.

Gerombolan pemberontak ini terdiri dari ribuan orang dan merupakan pasukan yang kuat, dan sudah siap untuk bergerak ke selatan. Dalam usaha pemberontakan ini, gerombolan orang Mongol yang dinamakan Pasukan Tombak Maut mengadakan kontak dan persekutuan dengan kaum Pek-lian-kauw!

Berkat ilmu silat dan ilmu panahnya yang cukup lihai, Marcus memperoleh kedudukan terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut dan sebentar saja dia terkenal sebagai Dewa Panah karena ilmu panahnya memang hebat dan dikagumi oleh semua orang Mongol.

Pada hari itu, Marcus mengiringkan komandannya bersama sepasukan orang Mongol berjumlah dua puluh orang lebih dan pasukan ini secara kebetulan melalui gurun pasir di antara pegunungan itu dan bertemu dengan Kun Liong yang sudah terancam bahaya maut karena lelah, lapar dan terutama sekali haus.

Melihat Kun Liong mengenakan pakaian seorang anak buahnya, dia menjadi curiga dan segera mengancam Kun Liong dengan anak panahnya. Kini dia menghadapi Kun Liong dan di belakangnya, duduk di atas kuda sambil memandang tajam, Sang Komandan Pasukan Tombak Maut menyaksikan tanpa membuka suara. Komandan ini masih muda, tampan dan gagah, matanya tajam dan gerakan biji matanya liar.

Kun Liong masih nanar dan pening, pandang matanya masih berkunang sehingga ketika dia memandang kepada Marcus dan kepada komandan itu, hatinya terkejut dan dia mengira berada dalam mimpi. Dia mengenal pula komandan itu. Tentu saja dia tidak akan pemah dapat melupakan wajah Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok Si Raja Ular!

“Hemm, dia tentu mata-mata dari selatan yang menyamar. Tangkap saja dia, kita periksa di markas!” bentak Ouwyang Bouw tanpa turun dari kudanya.

Agaknya baik dia maupun Marcus tidak mengenal Kun Liong, bukan hanya karena pakaiannya yang aneh akan tetapi terutama sekali karena Kun Liong yang dahulunya gundul pelontos itu kini telah memiliki rambut hitam lebat.

Ketika beberapa orang anggauta Pasukan Tombak Maut, yaitu orang-orang Mongol anak buah Ouwyang Bouw, berhasil menghampiri dan mentaati perintah Ouwyang Bouw untuk menangkapnya, Kun Liong sama sekali tidak mau melawan. Dia maklum bahwa andaikata dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk melawan, tak mungkin dia yang kelaparan dan kehausan itu mampu mengalahkan Ouwyang Bouw yang dia tahu amat lihai.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: