*

*

Ads

FB

Kamis, 24 November 2016

Petualang Asmara Jilid 178

Tiba-tiba Bong Khi Tosu mengeluarkan pekik yang amat dahsyat. Pekik melengking tinggi menimbulkan getaran hebat yang langsung menyerang jantung di dalam dada Giok Keng.

Dara perkasa ini terkejut sekali, dan sebagai puteri pendekar sakti tentu saja dia segera mengenal pekik ini. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang (Pekik Auman Singa) yang dikeluarkan dengan khi-kang kuat untuk menggetarkan jantung lawan dan merobohkannya. Maka cepat dia mengerahkan sin-kangnya disalurkan melindungi isi dada, kemudian dia membentak dengan suara melengking tinggi.

“Pendeta palsu, majulah!”

Bong Khi Tosu terkejut sekali ketika suara dara itu mengandung khi-kang yang tak kalah kuatnya, menyerangnya seperti pisau runcing menusuk ulu hatinya. Maklum bahwa dia tidak akan dapat mengalahkan dara itu dengan Ilmu Sai-cu Ho-kang, dia lalu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka, dan tangan kanannya sudah menggerakkan tongkatnya untuk menyerang tubuh Giok Keng. Dara ini melihat betapa ujung tongkat lawan tergetar dan seperti berubah menjadi banyak, kemudian ujung tongkat itu meluncur melakukan serangan totokan ke arah tujuh jalan darah di sebelah depan tubuhnya!

“Haiittt... trang-cring-cring-tranggg...!”

Bertubi-tubi datangnya serangan totokan yang dapat melumpuhkan lawan itu, namun dengan baiknya Giok Keng dapat menangkis semua totokan tongkat itu dan bukan hanya menangkis, bahkan dara ini dapat membalas secara kontan keras dengan serangan-serangannya yang dahsyat.

Pertandingan berlangsung seru dan hebat. Pedang dan tongkat lenyap bentuknya dan yang tampak hanya gulungan sinar perak dari pedang Gin-hwa-kiam, dan sinar hitam dari tongkat di tangan tosu itu. Namun segera tampak nyata betapa gulungan sinar perak itu makin lama menjadi meluas dan membesar, sedangkan sinar hitam menjadi makin memyempit. Ini menandakan bahwa gerakan tongkat itu menjadi terbatas dan hanya dapat menangkis saja karena terdesak dan terhimpit oleh pedang di tangan Cia Giok Keng.

Memang segera ternyata bahwa Bong Khi Tosu bukanlah lawan Giok Keng. Tosu ini lihai sekali, merupakan pembantu atau murid yang pilihan dari Thian Hwa Cinjin, akan tetapi menghadapi puteri pendekar sakti Ketua Cin-ling-pai ini dia “mati kutu” dan selalu terdesak. Apalagi dia tidak berani melanggar perintah ketuanya, yaitu agar dia menangkap hidup-hidup gadis ini. Kalau dia diperbolehkan merobohkannya atau membunuh, masih mending, sungguhpun hal itu tidak dapat memastikan apakah dia akan menang. Kini, dia hanya menggunakan tongkatnya untuk merobohkan lawan tanpa membunuh, sebaliknya, pedang Gin-hwa-kiam menyambar-nyambar seperti seekor naga yang haus darah!

“Aaaahhhh!”

Tiba-tiba tosu yang selalu terdesak itu mengeluarkan bentakan nyaring, suara khi-kang dari dalam perutnya yang menggetarkan semua orang yang mendengarnya, tongkatnya meluncur ke depan dengan serangan dahsyat ke arah ulu hati Giok Keng.

Dara ini melihat datangnya serangan, tidak mau menangkis melainkan mengelak dengan loncatan ringan ke kiri, membiarkan tongkat lewat untuk kemudian membalas dengan sabetan pedang dari samping. Akan tetapi tiba-tiba ujung tongkat itu membalik, terdengar suara “Wuuuttt!” dan jarum-jarum hitam menyambar dari ujung tongkat mengarah kedua kaki Giok Keng!

Inilah kelihaian tongkat para tokoh Pek-lian-kauw. Kiranya tongkat di tangan Bong Khi Tosu itu yang terbuat dari bambu, berlubang di dalamnya dan kini oleh tosu itu dipergunakan sebagai sebatang sumpit yang pelurunya terdiri dari jarum-jarum hitam beracun! Hanya, mengingat akan perintah ketuanya, tosu ini menujukan jarum-jarumnya ke arah kedua kaki Giok Keng!






“Hyaaahhhh!”

Giok Keng mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung walet, berjungkir balik beberapa kali dan tubuh itu melayang turun sambil menyerang dengan pedangnya ke arah ubun-ubun Bong Khi Tosu!

“Hayaaa...!”

Bong Khi Tosu terkejut bukan main. Tak disangkanya dara itu akan dapat bergerak secepat itu. Bukan hanya menghindarkan diri dari jarum-jarumnya, bahkan loncatan itu merupakan serangan yang amat cepat dan tak terduga-duga. Dia menangkis dan mencoba untuk mengelak.

“Srattt...! Aduhhhh...!”

Tubuh Bong Khi Tosu terjungkal karena biarpun dia sudah mengelak dan menangkis, tetap saja ujung pedang Gin-hwa-kiam merobek baju di punggungnya berikut kulit punggung dan sedikit daging!

“Trangggg...!”

Untung bagi Bong Khi Tosu bahwa pada saat itu sebatang tongkat hitam yang panjang telah menangkis pedang Gin-hwa-kiam yang sudah meluncur untuk mengirim tusukan maut kepadanya.

Giok Keng meloncat mundur dengan kaget. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat oleh tangkisan itu dan ternyata bahwa yang menangkisnya adalah Thian Hwa Cinjin sendiri! Tangkisan itu saja sudah menunjukkan bahwa kakek itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Namun tentu saja Giok Keng tidak menjadi gentar.

Dara perkasa ini sejak kecil digembleng oleh ayah bundanya sehingga dia menjadi seorang dara yang selain berkepandaian tinggi, juga berwatak berani dan gagah, tidak mengenal artinya takut.

“Thian Hwa Cinjin!” Dia membentak sambil menudingkan pedangnya ke arah muka kakek itu. “Aku Cia Giok Keng tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Pek-lian-kauw, dan aku hanya ingin membunuh si jahanam laknat Liong Bu Kong! Aku minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan antara kami! Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa aku takut kepada Pek-lian-kauw. Mundurlah, dan biarkan aku berhadapan dengan anjing busuk Liong Bu Kong!”

Thian Hwa Cirijin tertawa, suara ketawanya terdengar halus dan menggetarkan hati Giok Keng. Sambil memutar-mutar tongkatnya, kakek itu berkata,

“Cia Giok Keng, engkau seorang wanita muda yang cantik, mengapa menggunakan kekerasan seperti itu? Dan engkau berhadapan dengan pinto, Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki tingkat jauh lebih tinggi darimu, baik dipandang dari kedudukan, usia, maupun kepandaian, mengapa kau tidak menaruh hormat? Hayo kau lekas berlutut! Kuperintahkan engkau untuk berlutut, Cia Giok Keng...!”

Suara itu demikian penuh wibawa yang amat kuat dan sepasang mata itu seperti melumpuhkan semangat Giok Keng sehingga dara ini, di luar kehendaknya sendiri, tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.

Begitu lututnya menyentuh lantai, Giok Keng terkejut dan sadar. Pernah dia mendengar penuturan ayahnya tentang kekuatan sin-kang yang amat hebat, yang disalurkan melalui pandangan mata dan suara, sehingga pandang mata dan suara itu dapat mempengaruhi hati dan pikiran lawan dan dengan mudah dapat mengalahkan lawan tanpa menggerakkan tangan. Ilmu ini adalah ilmu sihir yang oleh ayahnya disebut ilmu Ihun-to-hoat (semacam Hypnotism), yaitu ilmu menguasai hati dan pikiran orang.

Dia menjadi sadar, mengerahkan sin-kangnya dari pusar dan dengan hawa murni di tubuhnya dia mengerahkan kemauannya melawan kekuasaan yang mencekamnya itu, dan sambil memekik nyaring seperti orang baru sadar dari mimpi, Giok Keng meloncat bangkit berdiri dan membentak,

“Tosu siluman, aku tidak takut kepadamu!” lalu tanpa banyak cakap lagi dara pendekar ini telah menyerang Thian Hwa Cinjin dengan pedang peraknya!

“Aahhh...!”

Kakek itu berseru kagum melihat betapa dara itu dapat membebaskan diri dari pengaruh sihirnya. Terpaksa dia mengangkat tongkatnya menangkis sambil mengerahkan sin-kang untuk membuat pedang lawan terlepas dari pegangan.

Akan tetapi, betapa kaget dan kagumnya melihat pedang itu sudah berubah gerakannya dan menyerang ke arah perutnya dari bawah. Hati Ketua Pek-lian-kauw ini menjadi gembira sekali. Dia mengelak dengan loncatan ke belakang sambil tertawa dan berkata,

“Ha-ha, aku ingin sekali melihat sampai dimana hebatnya ilmu silat dari Cin-ling-pai!”

Giok Keng maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun tidak mau berlaku sungkan lagi, begitu pedangnya digerakkan, dia telah menyerang dengan ilmu simpanannya, yaitu ilmu Silat Thai-kek Sin-kun!

“Wuuuttt... sing-sing-sing...!”

“Heiii...! Hayaaaa...”

Thian Hwa Cinjin berteriak-teriak saking kaget dan kagumnya menghadapi gerakan pedang yang demikian cepat dan aneh. Gerakannya kelihatan lambat, namun daya serangnya lebih cepat daripada ilmu pedang yang pernah dikenalnya. Dia tadinya hendak mengelak saja sambil memperhatikan ilmu pedang lawan karena dia sudah mendengar bahwa Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan tokoh pertama di dunia persilatan pada waktu itu dan kabarnya memiliki ilmu silat yang luar biasa.

Kini dia bertemu dengan puterinya, maka maksud hati kakek ini ingin menyaksikan kehebatan ilmu silat Cin-ling-pai untuk sekedar mempelajari dasarnya sehingga kelak dapat berguna kalau dia sampai bertemu dan bertanding melawan Ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, baru belasan jurus saja dia menjadi kaget setengah mati karena dia maklum bahwa kalau hanya mengandalkan pengelakan saja, besar kemungkinan dia akan roboh oleh pedang yang digerakkan secara ajaib itu! Terpaksa dia mulai mainkan tongkatnya dan dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah bertanding dengan hebatnya!

Dapat dibayangkan kagetnya hati Thian Hwa Cinjin ketika mendapat kenyataan bahwa dia sama sekali tidak dapat mendesak lawan! Ilmu silat yang dimainkan dara itu terlalu hebat, terlalu aneh sehingga dia sendiri harus berhati-hati agar jangan sampai “dicium” ujung pedang.

Sementara itu, para tokoh Pek-lian-kauw yang menyaksikan kelihaian nona muda itu, memandang kagum dan juga terheran-heran. Hanya Liong Bu Kong yang memandang dengan sinar mata biasa saja karena dia memang maklum akan kelihaian Giok Keng yang harus diakuinya memiliki ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya daripada dia.

Dia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa dia menuruti nafsu berahinya, bermain gila dengan dua orang pendeta wanita itu di tempat di mana Giok Keng bermalam sehingga ketahuan oleh kekasihnya itu. Kini, semua telah terlanjur dan dia tahu akan kekerasan hati Giok Keng, maklum bahwa tidak mungkin dia mendapatkan maaf, tidak mungkin hubungannya dengan dara itu menjadi baik kembali seperti yang sudah-sudah.

Sekarang, satu-satunya kemungkinan baginya untuk tetap mendapatkan dan menguasai dara cantik jelita, yang membuatnya tergila-gila itu, hanyalah dengan bantuan Ketua Pek-lian-kau. Kini melihat pertandingan yang amat hebat itu, timbul kekhawatirannya kalau-kalau Thian Hwa Cinjin akan membunuh dara yang dicintanya itu.

“Locianpwe, harap jangan kesalahan tangan membunuh dia!” teriaknya dengan hati khawatir.

Tadinya, Thian Hwa Cinjin memang merasa penasaran sekali karena dia tidak dapat mendesak Giok Keng. Masa dia, Ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, seorang yang terkenal memiliki kepandaian hebat, sekarang tidak mampu merobohkan seorang gadis remaja? Hal ini dianggapnya amat memalukan dan tadi dia sudah mengambil keputusan untuk merobohkan Giok Keng dan membunuhnya kalau perlu!

Sekarang, begitu mendengar suara Bu Kong, timbul kembali kecerdikannya dan perhatiannya akan cita-citanya meraih kedudukan tinggi melalui Pek-lian-kauw. Dia harus mengesampingkan rasa penasaran pribadinya. Memang dara ini tidak boleh dibunuh. Pertama, untuk menarik tenaga Liong Bu Kong dan sisa perkumpulan Kwi-eng-pang agar membantu Pek-lian-kauw, ke dua dia akan dapat mempergunakan dara ini sebagai sandera kelak untuk melumpuhkan Cia Keng Hong apabila pendekar sakti itu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw.

Setelah mendapatkan pikiran ini, tiba-tiba Thian Hwa Cinjin berteriak nyaring dan tongkatnya menusuk ke depan. Giok Keng yang sudah tahu akan tenaga sin-kang lawan yang amat kuat, seperti telah dilakukannya sejak mereka bertanding hebat, tidak mau menangkis melainkan mengelak dan siap untuk melanjutkan pengelakannya dengan serangan balasan dari sudut yang tidak terduga-duga oleh lawan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara mendesis dan dari ujung tongkat lawan itu meluncur asap hitam!

Setelah tadi mengalami penyerangan gelap dari ujung tongkat Bong Khi Tosu, Giok Keng sudah berlaku hati-hati karena dia memang sudah menyangka bahwa tentu di ujung tongkat Ketua Pek-lian-kauw ini pun terdapat senjata rahasia yang amat berbahaya.

Akan tetapi tidak disangkanya sama sekali bahwa yang meluncur keluar hanyalah asap hitam! Dia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, bergulingan menjauh kemudian meloncat bangun sambil memutar pedangnya melindungi dirinya. Asap itu tertiup angin dan membuyar, sedangkan Giok Keng yang cerdik tadi sudah menutup pernapasannya sehingga dia tidak sampai menyedot asap beracun itu.

Thian Hwa Cinjin berteriak marah dan meloncat maju mengejar sambil menyerang dengan tongkatnya. Hebat bukan main serangan ini sehingga terpaksa Giok Keng menangkis dengan pedang.

“Cringgg....!”

Kedua senjata bertemu dan tiba-tiba Giok Keng menjerit kaget. Hidungnya mencium bau amat harum yang mencurigakan. Biarpun dia cepat menahan napas, namun dia telah menyedot asap yang tidak tampak, dan inilah kelihaian Ketua Pek-lian-kauw itu.

Tadi, asap hitam yang pertama kali keluar dari ujung tongkatnya, hanyalah asap biasa yang tidak berbahaya, dan itu dikeluarkan hanya untuk menipu lawan. Setelah asap hitam keluar, maka tentu saja Giok Keng tidak begitu memperhatikan dan ketika pedangnya menangkis tongkat, asap putih tipis yang keluar dari tongkat itu tentu saja tidak diperhatikan olehnya dan dia telah menyedot asap yang harum beracun ini!

Racun asap putih itu tidaklah mematikan orang, hanya mengandung pengaruh memabokkan. Giok Keng hanya merasa mengantuk, akan tetapi dara yang cerdik ini maklum bahwa dia telah terkena hawa beracun, maka dia tidak mau menuruti rasa kantuk ini dan gerakan pedangnya lebih cepat lagi melindungi tubuhnya.

“Ha-ha-ha, Cia Giok Keng, kau bertanding dengan siapa? Aku tidak ada lagi di depanmu!”

Giok Keng terkejut sekali. Dia memandang ke depan dan melihat betapa tubuh lawannya itu berubah menjadi asap dan menghilang! Namun dia masih menggerakkan pedangnya, menyerang ke depan dan melindungi tubuhnya sendiri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung.

“Ha-ha-ha, kau lihatlah padaku, Cia Giok Keng, lihatlah!”

Giok Keng menjadi bingung, apalagi ketika dia melihat bahwa sebagai ganti tubuh kakek itu, kini yang tampak hanyalah sepasang mata yang seolah-olah tergantung di udara tanpa kepala tanpa badan! Dia terheran-heran dan sekali perhatiannya tertarik, dia sudah tercengkeram ke dalam kekuasaan gaib dari sinar mata yang luar biasa itu.

“Cia Giok Keng, kita adalah keluarga sendiri... keluarga sendiri... keluarga sendiri...”

Suara itu bergema dengan aneh, seolah-olah keluar dari dalam tanah dan membuat seluruh tubuh Giok Keng tergetar. Dia berdiri bingung, kedua tangannya tergantung dan sama sekali tidak menggerakkan pedangnya lagi, memandang ke arah sepasang mata itu dan bibirnya berkomat-kamit,

“Keluarga sendiri...? Ya, kita adalah keluarga sendiri... keluarga sendiri...” Dia berbisik-bisik menirukan suara yang amat berwibawa itu.

“Ha-ha-ha, bagus, Cia Giok Keng. Engkau harus menurut... harus menurut... harus menurut...”

“Aku harus menurut... harus menurut...” bibir Cia Giok Keng berbisik-bisik.

“Lemparkan pedangmu, kita keluarga sendiri, tidak ada yang memusuhimu, tenanglah dan lemparkan pedangmu...!”

Giok Keng melemparkan pedang dan sarung pedangnya ke atas tanah tanpa membantah sedikitpun juga. Matanya terbelalak memandang ke depan, ke arah mata Thian Hwa Cinjin yang sebenarnya masih berdiri di depannya, akan tetapi yang hanya tampak matanya saja oleh dara yang telah dikuasai dengan sihir oleh kakek itu.

“Engkau lelah, Cia Giok Keng, engkau mengantuk, tidurlah... tidurlah dengan nikmat... tidak ada apa-apa lagi, kau lelah dan mengantuk tidurlah...!”

Sepasang mata Cia Giok Keng yang tadi terbelalak, kini perlahan-lahan terpejam dan tubuhnya bergoyang-goyang, lalu dia roboh tergelimpang dalam keadaan tidur nyenyak! Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai, Bu Kong sudah melangkah maju dan memeluknya.

“Ha-ha-ha-ha!” Thian Hwa Cinjin tertawa girang. “Sekarang bawalah pengantinmu itu ke dalam kamar, Liong-sicu. Akan tetapi, akan merepotkan sekali kalau pinto selalu harus menguasai dengan sihir. Pinto masih mempunyai banyak urusan, maka sebaiknya menjinakkan dia dengan obat ini. Berilah satu sendok teh setiap hari, dicampurkan ke dalam minumannya, tentu dia akan selalu menurut kehendak Sicu.”

Liong Bu Kong menerima bungkusan obat dari kakek itu lalu berkata,
“Terima kasih banyak atas bantuan Locianpwe. Akan tetapi, bagaimana dengan pernikahan kami...?”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Pinto akan laksanakan, dan sekarang juga kita akan menyebar undangan. Ha-ha-ha, Pek-lian-kauw berbesan dengan Cin-ling-pai, sungguh merupakan berita paling hebat di dunia kang-ouw! Ingin aku melihat bagaimana wajah Kaisar dan Panglima The Hoo mendengar berita ini! Dan semua tokoh kang-ouw akan menyaksikan pernikahan ini, pernikahan tanpa paksaan, ha-ha-ha!”

Liong Bu Kong menjadi girang sekali.
“Kapankah hari baik itu diadakan, Locianpwe?”

“Untuk menyebar undangan membutuhkan waktu. Kita tentukan harinya nanti, kira-kira sebulan lagi. Nah, bawalah nona ini ke kamarnya, Sicu. Engkau beruntung sekali mendapatkan dara seperti ini, hemmm... dia akan menjadi seorang isteri yang takkan pernah membosankan, ha-ha-ha!”

Liong Bu Kong memondong tubuh Giok Keng yang tidur pulas secara tidak wajar itu ke kamarnya. Hatinya girang sekali, akan tetapi juga timbul kekecewaan besar di hatinya. Dia ingin mendapatkan diri dara ini secara sukarela, tidak hanya ingin memperoleh dan menguasai tubuhnya, melainkan juga hatinya, cinta kasihnya.

Sekarang terpaksa dia hanya akan mendapatkan tubuhnya saja, dan dia merasa seolah-olah tubuh dara yang telentang pulas di atas pembaringan itu bukan lagi Cia Giok Keng, melainkan boneka hidup!

Obat bubuk yang diberikan kepada Giok Keng oleh Bu Kong, benar-benar amat manjur. Obat itu membuat Cia Giok Keng seperti seorang yang hilang ingatan dan tidak mempunyai semangat sama sekali! Dia hanya menurut dan mengangguk, disuruh makan dia makan, disuruh tidur dia tidur, tak pernah membantah. Akan tetapi, ketika Bu Kong berusaha untuk bermain cinta dengannya, dara itu menolak dan menggelengkan kepala. Bahkan dapat berkata,

“Kita belum menikah.”

Hal ini menggirangkan hati Bu Kong. Ternyata bahwa naluri gadis itu amat kuat sehingga biarpun berada dalam keadaan mabuk, dara itu masih menolak hubungan badan sebelum menikah dengan resmi! Kiranya gadis itu sudah lupa sama sekali akan peristiwa malam itu! Timbul pula harapan di hati Bu Kong. Siapa tahu, kelak kalau sudah menikah dengan resmi, Giok Keng akan benar-benar dapat mencintanya kembali, melupakan pengalaman malam itu, dan tidak perlu lagi menggunakan obat perampas ingatan!

Harapan ini membuat Bu Kong dengan tekun dan sabar melayani Giok Keng dan tidak lagi menurutkan nafsu berahinya, tidak lagi mencoba untuk menggagahi gadis yang dicintanya itu. Sebulan tidaklah lama, pikirnya, dan betapa akan manisnya kalau Giok Keng menyerahkan diri secara sukarela, sebagai isterinya yang syah! Membayangkan kenikmatan saat seperti itu membuat Bu Kong menjadi sabar, bahkan dia menahan diri tidak mau melayani godaan para pendeta wanita yang haus lelaki itu!

**** 178 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: