*

*

Ads

FB

Senin, 21 November 2016

Petualang Asmara Jilid 170

Bun Ong adalah seorang Kaisar yang maha besar dan amat bijaksana. Kebijaksanaannya amat terkenal semenjak sejarah berkembang, bahkan kebijaksanaan Kaisar Bun Ong ini dipuji-puji dan dijadikan contoh oleh Nabi Khong Hu Cu!

Kaisar Bun Ong adalah Kaisar pertama dari Kerajaan Cou (tahun 1050 sebelum Masehi), lima ratusan tahun sebelum Nabi Khong Hu Cu, seorang Kaisar yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa, bahkan terkenal sebagal Thian-cu (Utusan Tuhan) yang bijaksana dan amat pandai!

Juga puteranya, Kaisar Bu Ong, amat terkenal sebagai pengganti dan penerus kebijaksanaan ayahnya. Maka, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi Kun Liong yang secara kebetulan bisa menemukan sebuah kitab peninggalan Kaisar itu!

Kitab itu berisi petunjuk-petunjuk tentang hidup, tentang kebatinan dan tentang perbintangan. Makin terbuka mata hati Kun Liong ketika membaca kitab kuno ini, makin mendalam pengertiannya tentang kekuasaan yang disebut Tao. Hanya sebutannya saja yang berbeda, namun pada hakekatnya, Tao dapat juga disebut Tuhan, Kebenaran, Cinta Kasih, dan sebagainya.

Cinta Kasih tak dapat juga diraba, tak dapat dikejar. tak dapat dimiliki atau digenggam, tak dapat dilatih atau dipelihara. Cinta Kasih tidak mempunyai sasaran seperti benci, duka, marah, iri dan lain-lain. Cinta Kasih yang sudah mempunyai sasaran bukanlah cinta kasih lagi namanya. Sasaran (obyect) timbul karena adanya aku, dan “aku” tak mungkin mencinta, karena kalau ada aku yang mencinta, cinta itu hanya menjadi alat untuk mencapai sesuatu demi keuntungan lahir maupun batin dari si aku ini. Cinta Kasih, Tao, Tuhan, Kebenaran dan sebagainya sudah ada, akan tetapi menjadi tidak ada atau tidak dimengerti karena terselubung oleh asap nafsu keinginan yang dibuat oleh si aku, asap yang membuat mata kita menjadi buta.

Dalam keadaan seperti buta itu hendak mencari dan mengerti Tao, mengerti Cinta Kasih, mengerti Tuhan, tentu saja tidak mungkin. Segala macam asap itu yang berupa kebencian, kemarahan, kekerasan, kekejaman, iri hati, kedukaan, keinginan, semua ini harus lenyap dulu, barulah mata akan menjadi terang untuk dapat melihat Cinta Kasih. Barulah Cahaya itu akan cemerlang dan tampak.

Segala macam bentuk nafsu tidak dapat dilenyapkan dengan paksaan, dengan kemauan, karena hal itu akan sama halnya dengan api dalam sekam, memang tidak bernyala lagi, namun masih ada membara dan sewaktu-waktu akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakarnya! Untuk bebas dari itu semua, kita harus menghadapinya langsung, mengenalnya, memperhatikannya dari awal sampai akhir, mengenal sampai ke akar-akarnya segala nafsu itu, berarti kita harus MENGENAL DIRI SENDIRI berikut segala macam nafsu yang bukan lain adalah si aku atau si pikiran.

Setiap hari Kun Liong tenggelam ke dalam isi kitab ini, dan biarpun itu terlalu dalam, bahkan kadang-kadang membuat dia termangu-mangu, merasa mengerti akan tetapi juga masih merasa bingung dan ruwet, namun dia sadar bahwa isi kitab itu penting bukan main dan bahwa kitab itu merupakan peninggalan yang amat berharga, ribuan kali lebih berharga daripada sepeti emas permata yang disimpan oleh Hong Ing itu. Maka mulailah timbul kekhawatirannya kalau-kalau kitab itu akan terampas oleh orang lain dan mulailah dia mencarikan tempat penyimpanan yang tersembunyi dan rahasia di atas pulau itu.

Pada suatu pagi, Kun Liong bangun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa, selama dua bulan ini, semenjak dia menemukan kitab dan harta pusaka, kepalanya selalu terasa gatal kalau dia bangun tidur di waktu pagi. Sudah beberapa kali dia memeriksanya, akan tetapi tidak ada perubahan sesuatu pada kepalanya, masih tetap licin dan halus, tidak ada tanda luka atau bintik yang menimbulkan gatal-gatal.






Dia menggaruk kepalanya dan perutnya berkeruyuk. Hemm, sepagi itu, seperti biasanya, setelah dia mandi, tentu dia akan menghadapi sarapan yang sudah dibuat oleh Hong Ing. Teringat akan ini, dia tersenyum. Sudah terbayang dia akan melihat dara yang makin lama makin cantik jelita itu, makin panjang rambutnya, dengan pakaian yang sederhana, tampak bentuk dan lekuk lengkung tubuhnya yang makin matang sehingga seringkali membuat Kun Liong terpesona dan memaksanya menelan ludah. Namun anehnya, tidak seperti ketika menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Hong Ing dia tidak pernah berani menggodanya, bahkan selalu berjaga-jaga agar bersikap sopan!

Dia meloncat turun, lari melalui pintu belakang ke sumber air yang berada di tengah pulau di dalam hutan kecil, menanggalkan pakaiannya dan sebelum terjun ke air, lebih dulu ia berjongkok di pinggir kolam air yang jernih, memandangi bayangan mukanya sendiri. Kemarin sore dia melihat dari jauh, secara sembunyi, betapa Hong Ing juga berjongkok seperti itu, bercermin di permukaan air sambil mengatur-atur rambutnya.

Seraut wajah yang kurus menyambutnya di air. Yang mula-mula menarik adalah sepasang mata bayangan itu. Mata yang seperti mata setan, celanya di dalam hatinya. Mata yang hitamnya terlalu hitam dan putihnya terlalu putih, seperti mata penyelidik. Tentu mendatangkan rasa tidak senang, terutama sekali Hong Ing, jika dipandang oleh mata semacam ini!

Muka yang dagunya agak meruncing dan terlalu halus untuk seorang pria! Lebih-lebih kepala itu. Menjijikkan! Tidak dicukur akan tetapi kelimis. Lalat pun akan terpeleset hinggap di atasnya! Tentu menjijikkan, apalagi dalam hati seorang dara seperti Hong Ing. Akan tetapi sikap Hong Ing kadang-kadang manis sekali, terlalu manis kepadanya!

Mungkinkah wajah yang begini dapat menarik hati seorang dara sejelita Hong Ing! Tak mungkin! Tentu hanya karena kasihan. Phuhhh, dia tidak membutuhkan rasa iba dari siapapun juga. Biar dari Hong Ing sekalipun, dia tidak mau seperti seorang pengemis mengulurkan tangan mohon kasihan!

“Hah! Sialan...!”

Dia membenamkan kepalanya ke dalam air, dalam-dalam dan lama-lama, sampai dia gelagapan dan mengangkat lagi kepalanya dari dalam air untuk bernapas. Air kembali diam setelah tadi berombak keras dimasuki kepalanya dan kembali dia memandang ke bawah. Muka itu kini basah kuyup, air menetes-netes dari hidung, dan muka itu agak kemerahan, mata itu menjadi agak merah, dan mulut itu mengejek. Huh, makin buruk!

“Biarlah si buruk rupa tinggal dalam keburukannya!”

Dia berkata keras-keras dan kembali dia membenamkan kepalanya, kini bahkan sambil meloncat ke depan. Air muncrat dan Kun Liong mandi, menggosok-gosok keras seluruh tubuhnya dengan penuh semangat, seolah-olah dia hendak melampiaskan kegemasannya kepada daki yang dia bersihkan dari kulit tubuhnya.

Seperti biasa, ketika dia sudah mengeringkan tubuh dan pakaiannya yang tadi dicuci dan kembali ke pondok, Hong Ing sudah siap dengan sarapan pagi yang terdiri dari masakan sayur dan ubi-ubian yang didapatkan di hutan, panggang daging ikan sisa kemarin malam, dan air matang dengan “teh” yang terbuat dari daun-daun yang harum.

“Duduklah dan mari kita sarapan. Mengapa begitu lama engkau di sumber air? Sampai lelah aku menanti!” Hong Ing berkata.

Kun Liong duduk bersila menghadapi meja rendah dimana telah terhidang sarapan pagi itu.

“Aku mencuci pakaianku,” cuping hidungnya bergerak-gerak. “Hemm, sedap! Kau masak daun apa ini?”

“Daun merah sudah keluar daun mudanya. Makanlah.”

Mereka makan dan Kun Liong tidak tahu betapa sepasang mata dara itu memandangnya dengan sayu, agaknya terharu menyaksikan dia makan dengan lahapnya. Selesai makan dan minum air teh istimewa itu, Kun Liong menghela napas lega.

“Nikmat dan lezat...” katanya. Biasanya pujiannya yang jujur ini menggirangkan hati Hong Ing, akan tetapi sekali ini Hong Ing mengerutkan alisnya dan berkata, suaranya lirih dan penuh duka, “Ah, aku ingin menangis kalau melihat kau makan, Kun Liong.”

“Eh, kenapa? Begitu menyedihkankah caraku makan?”

“Minuman hanya dari air dan daun, bukan teh aseli...” suara itu mengeluh.

“Harum dan sedap melebihi teh yang paling baik!”

“Dan daging ikan yang itu-itu juga, dipanggang, hanya digarami air laut...” suara itu makin merintih.

“Enak dan gurih sekali, melebihi masakan termahal di restoran!”

“Dan nasinya... tak pernah ada nasi... hanya ubi dan kentang hutan, dan sayurnya... aihh... Kun Liong... hanya daun-daun yang biasanya kerbau pun tidak sudi memakannya...” suara itu bercampur sedu-sedan.

Kun Liong tertawa membesarkan hatinya.
“Hem, enak sekali! Mengenyangkan perut dan menyehatkan badan!”

“Aihhh, Kun Liong, mengapa kau tidak pernah sungguh-sungguh? Tak perlu kau menghiburku dengan kepura-puraan ini. Kau tentu menderita sekali...”

“Siapa bilang? Aku senang sekali! Makanku enak, minum pun sedap! Hemm, apakah kau merasa sedih karena makan minum seadanya ini, Hong Ing?”

“Tidak, bagi seorang wanita, makan minum tidaklah begitu penting. Lebih penting lagi menghidangkan makan-minum untuk pria, dan melihat kau makan minum seperti ini... ahhh, hati siapa tidak akan sedih?”

“Sungguh, Hong Ing. Tak perlu berduka. Aku tidak membohong, bukannya hiburan kosong. Aku sudah senang, aku merasa bahagia sekali!”

“Apa? Di tempat seperti ini? Apakah selamanya kita akan berada di tempat ini, terasing dari dunia ramai? Dan kau bilang kau bahagia?”

“Demi Tuhan! Aku berbahagia sekali! Aku tidak mau menukar kehidupan di sini seperti ini dengan kehidupan seorang kaisar di istana yang mewah!”

Hong Ing menunduk. Kun Liong memandang dan karena muka itu tidak dapat tampak olehnya, dia menurunkan pandangan matanya, menatap dada yang jelas membayang lekuk lengkungnya di balik kain itu, dada yang turun naik dengan keras seolah-olah gelombang lautan yang sedang mengamuk. Tiba-tiba muka itu diangkat dan Kun Liong merasa seperti dibanting dari tempat tinggi, cepat-cepat dia membanting pula pandang matanya ke samping!

“Kun Liong, kau tadi mengatakan bahwa kau berbahagia. Benarkah”

“Mengapa tidak? Aku tidak berbohong. Aku berbahagia sekali! Dunia begini indah, lautan begitu cantik, pulau kita ini begini menyenangkan, dan cahaya matahari pagi itu... lihat... begitu cemerlang dan hangat....”

“Itukah yang membuatmu bahagia?”

“Ya...”

“Tidak ada lain lagi?”

“Lain lagi? Masih banyak! Aku dan kau sehat-sehat saja, makan minum cukup, aku ada kitab dan kau ada perhiasan-perhiasan itu... dan kita tidak dikejar-kejar orang...”

“Hanya itu?”

“Ya...” Kun Liong meragu. “Apa lagi?”

Kembali Hon Ing menunduk, menghela napas panjang kemudian berkata tanpa mengangkat muka,

“Dahulu... kalau diingat sudah lama sekali, akan tetapi sesungguhnya baru beberapa puluh hari yang lalu... kau mengatakan bahwa kau tidak tahu apa artinya behagia itu... akan tetapi sekarang kau berbahagia. Apakah... apakah...” Hong Ing meragu.

“Apa yang hendak kau katakan?”

“Apakah engkau sudah bertemu dengan wanita idamanmu dahulu itu maka engkau merasa berbahagia?”

Wajah itu menengadah dan mata yang indah itu memandangnya setengah terpejam. Aneh sekali! Mata itu seperti mau menangis, akan tetapi bibir itu mengandung senyum!

“Aaahhh! Mengapa kau menanyakan itu, Hong Ing? Aku... aku... tidak memikirkan tentang wanita, dan tentu saja aku belum bertemu dengan wanita idamanku itu.”

Mata itu tiba-tiba terbelalak, dan muka yang manis itu mendadak menjadi merah padam.

“Apa... apa maksudmu?”

“Mana mungkin aku dapat bertemu dengan wanita idamanku itu?”

“Kau... kau maksudkan... wanita itu masih ada dalam alam khayalmu, masih kau harapkan kelak akan bertemu?”

“Aihh, sudahlah, Hong Ing. Mengapa kita bicara tentang hal yang bukan-bukan itu? Adalah lebih baik kita bicara tentang kita.”

“Hemmm, apa yang hendak kau bicarakan tentang aku?”

“Misalnya, bahwa agaknya kau tidak betah tinggal di sini.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: