*

*

Ads

FB

Senin, 20 Juni 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 002

"Aiiihhh.....!"

Kiu-bwe Toania menjerit dan hampir saja ia melepaskan cambuknya karena tiga buah ekor cambuk yang terkena sentilan kuku jari tangan kakek itu secara tiba-tiba membalik dan menerjangnya di tiga buah tempat, yaitu ke arah buah dada dan pusar. Selain ini, juga senjata itu keras sekali, membuat telapak tangannya yang memegang gagang cambuk terasa panas dan pedas. Dengan loncatan ke belakang sambil memutar cambuknya, nenek ini berhasil menyelamatkan diri. Wajahnya menjadi merah sekali dan ia memaki sambil menudingkan cambuknya.

"Sie Cun Hong, dasar engkau tua-tua keladi makin tua makin...cabul!"

Kakek itu hanya tertawa-tawa, akan tetapi ketawanya berhenti ketika dari sebelah kiri terdengar suara yang menggetar penuh tenaga.

"Omitohud....!"

Ketika melihat bahwa yang maju kini adalah dua orang hwesio gundul yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kakek itu memandang dengan sikap tenang tetapi penuh pertanyaan karena sesungguhnya dia tidak mengenal dua orang pendeta ini.

"Locianpwe benar-benar telah membuktikan betapa julukan Sin-jiu Kiam-ong(Raja Pedang Tangan Sakti) adalah tepat karena tangan Locinpwe benar sakti!" kata seorang di antara dua orang pendeta yang alisnya putih dan tubuhnya kecil kurus.

Hwesio ke dua yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar hanya merangkap kedua tangan didepan dada sambil berulang-ulang memuji,

"Omitohud...!

Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong masih duduk bersila dan kini dia pun merangkap kedua telapak tangan di depan dada, sebagai pemberian hormat. Menghadapi dua orang pendeta yang begitu lemah lembut, yang bersikap merendahkan diri sehingga menyebutnya locianpwe sebagai sebutan terhadap golongan tua tingkat atas, dia menjadi waspada dan hati-hati.

Orang yang sombong takabur tak perlu dikhawatirkan atau ditakuti, akan tetapi terhadap orang-orang yang lemah-lembut dan sikapnya halus, haruslah hati-hati karena orang-orang yang kelihatannya lemah sesungguhnya merupakan lawan yang berat.

"Ah, berat sekali menerima pujian jiwi (tuan berdua) yang sesungguhnya kosong penuh angin. Aku yang tua menjadi sadar akan usiaku yang sudah terlalu tua, karena biasanya kedatangan para hwesio seperti ji-wi adalah untuk menyembahyangi orang yang sudah mau mati atau orang yang sudah mati agar nyawanya dapat diterima di tempat yang baik. Siapakah gerangan ji-wi dan apa artinya kehadiran ji-wi ini di Kiam-kok-san?"





"Omitohud...! Kami berdua adalah hwesio-hwesio kecil tak berarti yang menjadi utusan Siauw-lim-pai untuk menemui Locianpwe."

"Ah, kiranya dari perguruan tinggi Siauw-lim-pai...! Sungguh merupakan kehormatan besar sekali!" Kakek itu berkata tercengang.

"Pinceng Thian Ti Hwesio dan ini adalah Sute (adik seperguruan) Thian Kek Hwesio, mewakili suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai untuk mohon kepada Locianpwe agar suka menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada kami. Suhu mohon agar Locianpwe ingat betapa Siauw-lim-pai telah bersikap sabar dan tidak menuntut ketika Locianpwe pada tiga puluh tahun yang lalu mencuri kitab-kitab Seng-to-ci-keng (Kitab Perjalanan Bintang) dan I-kiong-hoan-hiat (Kitab Pelajaran Memindahkan Jalan Darah). Mengingat akan itu suhu percaya bahwa Locianpwe kini dalam saat terakhir akan membalas kebaikan Siauw-lim-pai dan menyerahkan Siang-bhok-kiam agar semua ilmu yang tersimpan di dalamnya tidak akan terjatuh ke tangan yang sesat dan dipergunakan untuk mengacau dunia!"

"Aha, kiranya ji-wi adalah murid-murid Tiong Pek Hosiang? Kalau begitu ji-wi adalah tokoh-tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai! Kehormatan besar sekali bagiku. Guru ji-wi memang sejak dahulu halus dan sopan santun, namun cerdik sekali. Memang aku telah mengambil dua buah kitab yang ji-wi maksudkan, hal itu kulakukan karena Tiong Pek Hosiang terlalu pelit untuk meminjamkannya kepadaku. Siauw-lim-pai agaknya lupa bahwa ketika mendiang Tat Mo Couwsu yang bijaksana menyalin dan memperbaiki kitab-kitab dari barat, adalah dengan niat agar kitab-kitab itu dapat dipelajari semua manusia sehingga umat manusia dapat menjadi kuat lahir batinnya.

Akan tetapi oleh Siauw-lim-pai ilmu-ilmu itu dipendam, disembunyikan dan hanya diturunkan kepada murid-murid sebagian daripada ilmu-ilmu yang dimiliki oleh guru. Dengan demikian, bukankah ilmu-ilmu yang itu makin lama makin berkurang dan menjadi rendah nilainya? Biarpun dua buah kitabnya kuambil, namun Siauw-lim-pai telah memiliki ilmunya. Kitabnya hanya merupakan catatan saja, dan dengan pindahnya kitab ketanganku, sesungguhnya Siauw-lim-pai tidak kehilangan apa-apa. Ilmu kepandaian dapat dibagi-bagikan sampai kepada selaksa orang manusia tanpa mengurangi sumbernya. Mengapa begitu pelit dan ji-wi menuntut tentang dua buah kitab pelajaran? Tidak, aku tidak dapat memberikan Siang-bhok-kiam, kecuali kepada dia yang berjodoh.”

"Omitohud!"

Hwesio tinggi besar hitam Thian kek Hwesio, melangkah maju dan membentak keras. Kini hwesio itu membelalakkan matanya memandang Sin-jiu Kiam-ong, dan ternyata sepasang matanya lebar sekali, wajahnya membayangkan kekasaran dan kejujuran seperti wajah Thio Hwie, tokoh pahlawan dalam cerita Sam Kok.

"Locianpwe agaknya menghendaki kami menggunakan cara Locianpwe sendiri. Meminjam kitab-kitab tidak boleh lalu menggunakan kepandaian mendapatkan kitab-kitab itu. Kini kami minta baik-baik tidak Locinpwe berikan, apakah berarti bahwa kami harus menggunakan kepandaian untuk mendapatkan pedang Siang-bhok-kiam itu?"

Sin-jiu Kiam-ong memandang hwesio itu sambil tersenyum, pandang matanya bersinar gembira. Orang yang keras dan jujur selalu mendapatkan rasa suka di hatinya, karena orang yang demikian itu lebih mudah dihadapi. Ia mengangguk dan menjawab.

"Kalau seperti itu wawasanmu, maka benarlah demikian agaknya."

"Hemmm, bagus! Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebagai ahli pedang ahli lweekang namun pinceng sedikit-sedikit juga telah berlatih selama puluhan tahun!"

Setelah berkata demikian, Thian kek Hwesio membalikkan tubuhnya dan dengan gerakan kokoh kuat, lengan kanannya yang besar itu mendorong dengan pukulan ke depan, ke arah sebatang pohon yang jaraknya ada tiga meter dari tempat dia berdiri.

Sambaran angin pukulan yang dahsyat membuat batang pohon tergetar, daun-daunnya seperti dilanda angin topan, dan berhamburanlah daun-daun yang rontok ke atas tanah seperti hujan! Andaikata manusia diserang dengan pukulan jarak jauh seperti ini, pasti akan remuk tulang-tulangnya, dan rontok isi dadanya!

Namun Sin-jiu Kiam-ong tersenyum lebar menyambut demonstrasi tenaga sinkang yang mencapai tingkat tinggi itu.

"Ha-ha-ha! Membangun itu amat sukar, merusak amatlah mudahnya. Manusia adalah perusak terbesar diantara segala mahluk! Thian Kek Hwesio, untuk merusak dan merobohkan pohon itu sampai ke akar-akarnya adalah hal yang dapat dilakukan semua orang, akan tetapi dapatkah engkau membuat sehelai daun saja? Hemmm, biarlah kucoba mengembalikan daun-daun itu ke tempatnya, sungguhpun tak mungkin dapat kembali seperti asalnya karena kekuasaan itu hanya dimiliki Thian!"

Sin-jiu Kiam-ong yang masih duduk bersila itu menggerakkan kedua tangannya ke depan, ke arah daun-daun yang jatuh berhamburan ke atas tanah tadi dan...bagaikan ada angin puyuh, secara tiba-tiba semua daun itu bergerak, berputar-putar dan terbang naik ke atas pohon menempel sejadinya pada cabang-cabang dan ranting-ranting, ada yang gagangnya menancap, ada yang melekat pada batang pohon, akan tetapi tidak ada yang rontok lagi ke bawah!

Melihat ini, Thian Kek Hwesio, menjadi agak pucat wajahnya dan maklumlah dia bahwa tingkat kekuatan sinkang kakek tua renta itu jauh lebih tinggi daripadanya. Ia melangkah mundur sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada dan menggumam,

"Omitohud...!"

"Maaf, suteku dan pinceng melupakan kebodohan sendiri!" kata Thian Ti Hwesio dan si hwesio kurus ini sekarang menggerakkan kedua tangan ke depan, ke arah pedang kayu yang terletak di depan kaki Sin-jiu Kiam-ong dan...pedang itu tiba-tiba melayang naik seperti tersedot besi sembrani lalu terbang ke arah kedua tangan tokoh Siauw-lim-pai itu.

Semua tokoh yang berada di situ tahu belaka bahwa kekuatan sinkang hwesio alis putih ini jauh lebih tinggi daripada kekuatan sutenya. Sin-jiu Kiam-ong mengeluarkan suara memuji,

"Bagus! Siang-bhok-kiam, sebelum kuijinkan, kamu tidak boleh berganti majikan. Kembalilah!"

Ia menggapaikan tangan kirinya dan... pedang kayu yang sudah terbang ke arah kedua tangan Thian Ti Hwesio itu tiba-tiba berputaran lalu membalik, melayang ke arah Sin-jiu Kiam-ong!

Thian Ti Hwe-sio menjadi penasaran sekali. Ia manambah kekuatan pada kedua lengannya, bahkan tubuhnya agak merendah ketika dia menggerakkan kedua tangan ke arah pedang. Siang-bhok-kiam kembali berputaran di udara seolah-olah bimbang hendak terbang kemana, akan tetapi akhirnya terbang kembali ke Sin-jiu Kiam-ong dan jatuh ke depan kakek itu ditempatnya yang tadi. Thian Ti Hwesio mengusap peluh di keningnya, lalu menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada.

"Sin-jiu Kiam-ong makin tua makin gagah, tepat seperti apa yang telah diperingatkan suhu kami. Siancai....siancai....!"

"Thian Ti Hwesio terlalu memuji," kata Sin-jiu Kiam-ong.

"Orang she Sie! Kalau lain orang menghormatimu, aku Sin-to Gi-hiap tidak! Aku sudah mengenal isi perutmu! Aku seorang dari golongan pendekar, termasuk kaum benar dan bersih, bagaimana aku dapat berdiri sederajat dengan engkau seorang tokoh sesat dan kotor? Aku bilang bukan untuk minta-minta diberi Siang-bhok-kiam, melainkan untuk memenggal kepalamu dan merampas pedangmu!"

Sin-jiu Kiam-ong memandang orang yang bicara dengan suara keras itu. Dia adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih berdiri tegak dan tegap, wajahnya membayangkan kegagahan dan ketampanan, sebatang golok telanjang berada di tangan kanan mengeluarkan cahaya berkeredepan, pakaiannya ringkas dan sederhana, berwarna kuning bersih.

"Eh, kiranya Sin-to Gi-hiap (Pendekar Budiman Bergolok Sakti) yang datang? Bagiku, tidak ada permusuhan dengan seorang pendekar budiman seperti engkau. Mengapa engkau datang-datang memaki orang?"

"Lidah ular! Isteriku telah meninggal dunia, namun dendamnya dan dendamku kepadamu takkan lenyap sebelum golokku berhasil memenggal lehermu! Biarlah disaksikan oleh para orang gagah disini mendengarkan pengakuanku, karena aku bukan seorang pengecut. Lima puluh tahun yang lalu, dengan kepandaianmu merayu engkau telah mengganggu isteriku, memaksanya melakukan hubungan perjinaan denganmu. Lima puluh tahun yang lalu aku kalah terhadapmu, akan tetapi coba-coba kita buktikan sekarang! Bangkitlah dan lawan golokku!"

Sin-jiu Kiam-ong menudingkan telunjuknya ke arah hidung pendekar yang kini sudah tua itu.

"Sin-to Gi-hiap, sebelum memaki orang mengapa tidak meraba hidungmu lebih dahulu? Aku memang melakukan hubungan cinta gelap dengan isterimu, akan tetapi apa salahnya itu kalau dia sendiri menghendakinya? Dan ketahuilah, aku sampai hati melakukan hal itu karena mengingat betapa engkau mendapatkan isterimu yang cantik jelita itu dengan jalan merampas dan memaksa!

Engkau mendapatkan dengan membunuh suaminya si perampok tunggal di Taibu, kemudian merampas isterinya yang cantik. Apakah kau kira aku tidak tahu bahwa engkau membunuh perampok itu bukan sekali-kali terdorong jiwa pendekarmu, melainkan terdorong nafsu birahimu melihat isterinya yang cantik? Engkau merampas wanita dengan kekerasan, aku merampas cintanya dengan cara halus. Apa bedanya? Setidaknya, aku lebih berhasil mendapatkan cintanya!"

"Keparat? Penjahat cabul engkau, jai-hwa-cat (Pemetik bunga) yang tak tahu malu. Sebentar lagi engkau tentu mampus disini dan biarlah kubuatkan arca seorang jai-hwa-cat untuk ditaruh diatas makammu agar setiap orang dapat meludahinya!"

Setelah berkata demikian, Sin-to Gi-hiap lalu meloncat ke arah sebuah batu gunung sebesar manusia, goloknya mendahuluinya merupakan sinar putih cemerlang, berkelebatan dan menggulung-gulung di sekitar batu itu dan terdengar suara keras dan bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata. Setelah gulungan sinar berkilauan lenyap dan semua orang memandang ke arah batu diantara debu itu, kini tampaklah bahwa batu itu telah menjadi arca yang menggambarkan kepala Sin-jiu Kiam-ong! Biarpun kasar akan tetapi jelas tampak bahwa itu adalah arca si kakek tua renta yang kini duduk bersila sambil memandang arca itu dan tersenyum!

"Wah, makin hebat saja kepandaianmu, Si Golok Sakti! Akan tetapi bukan ilmu goloknya yang kumaksudkan, melainkan ilmu ukirannya! Sayang begitu kasar! Tidak dapatkah diperhalus lagi? Biar kubantu engkau."

Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong mengambil Siang-bhok-kiam yang masih menggeletak di depan kakinya, dan sekali dia memutar pedang kayu itu terdengar suara bercuit nyaring.






Tidak ada komentar: