*

*

Ads

FB

Senin, 21 November 2016

Petualang Asmara Jilid 169

Judul itu hanya terdiri dari empat huruf yang berbunyi KENG LUN TAI PUN. Baru membaca judul ini saja, Kun Liong sudah harus memutar otaknya, alisnya berkerut dan dia berusaha untuk memecahkan artinya. Huruf-huruf ini memiliki arti yang kalau dipecahkan banyak sekali, akan tetapi dia mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan Keng Lun adalah mengurai dan mengumpulkan yang dapat diartikan dengan menyelidiki atau menyusun setelah mengerti benar. Adapun Tai Pun adalah pokok dasar atau aselinya!

Mulailah dia membuka-buka dan membalik-balik lembaran kitab itu dan betapa kaget dan girangnya ketika mendapatkan keterangan di sebelah delamnya bahwa kitab itu adalah kitab ilmu peninggalan dari Raja Bun Ong yang sakti dan bijaksana! Tepat seperti yang dikatakan oleh Hong Ing, segera Kun Liong lupa akan segala sesuatu dan “tenggelam” di dalam kitab kuno itu!

Karena maklum akan kesukaan Kun Liong membaca kitab, yang diketahui dari percakapan-percakapan dengan pemuda itu. Hong Ing tidak mau mengganggunya. Setelah menaruh kembali benda-benda berharga dalam peti dan menyimpan peti itu dalam kamarnya, tanpa berkata apa-apa Hong Ing lalu merebus sepuluh butir telur untuk Kun Liong.

Setelah telur-telur itu masak, disuguhkannya kepada Kun Liong tanpa berkata apa-apa karena dia tidak mau mengganggu. Akan tetapi Kun Liong menurunkan kitab itu dan memandang, tersenyum, dan berkata,

“Aihh... sudah kau rebus matang? Engkau juga harus makan telur, Hong Ing, baik untuk kesehatan.”

Hong Ing tersenyum.
“Tidak, aku tidak lapar, dan aku masih ingin menikmati dan mengagumi benda-benda pusaka tadi. Kau teruskanlah membaca kitab. Kitab apa sih itu?”

“Kitab kuno yang sukar sekali dimengerti isinya. Akan tetapi makin sukar dimengerti, makin menarik. Kitab kuno mempunyai sifat seperti wanita...” Kun Liong tertegun dan berhenti bicara, merasa telah kelepasan kata-kata.

“Hemmm, pendapatmu selalu aneh-aneh. Jadi kau anggap wanita itu sama dengan kitab kuno, makin sukar dimengerti makin menarik? Apakah aku sukar dimengerti, Kun Liong?”

Kun Liong tertawa.
“Maaf, aku tidak bermaksud menyindir dirimu, Hong Ing. Wah, sedap baunya telur ini. Benarkah kau tidak mau mencicipi?” Kun Liong mengupas kulit telur yang masih panas itu.

Hong Ing menggerakkan pundaknya.
“Ihhh, aku selalu merasa tidak enak kalau menghadapi telur, apalagi harus dimakan. Dan telur ini... mengapa agak lonjong dan ada bintik-bintiknya? Bukankah telur kura-kura bulat bentuknya? Jangan-jangan telur ular...”

“Ha-ha, telur apa pun sama saja, sama enaknya. Asal jangan telur manusia!”






“Ihh! Jorok kau...!”

Hong Ing mendengus lalu lari ke pondok, mengeluarkan perhiasan dari dalam peti dan mengaguminya di bawah sinar bulan.

Kun Liong tertawa-tawa, melanjutkan makan telur yang terasa enak sekali sampai tahu-tahu sepuluh butir telur telah habis, pindah semua ke dalam perutnya!

Tengah malam telah lewat. Sinar bulan tinggal remang-remang karena tertutup awan. Akan tetapi Kun Liong masih belum memasuki pondok. Sudah sejak tadi Hong Ing rebah di atas dipan, tidak lagi mengagumi benda-benda berharga. Dia merasa heran mengapa Kun Liong belum juga memasuki pondok. Untuk membaca kitab di luar tak mungkin lagi karena sinar bulan terlalu suram. Dia lalu turun dari pembaringannya dan membuka pintu kamar, keluar pondok.

“Ahhh, benar-benar kutu buku.” pikirnya ketika melihat Kun Liong rebah terlentang di atas pasir.

Dia cepat menghampiri dan betapa herannya melihat Kun Liong tidak lagi membaca kitab, melainkan rebah terlentang, tertidur dengan kitab itu terletak di atas dadanya yang telanjang.

“Hemm, tertidur di sini, angin begini keras bertiup. Bisa masuk angin engkau! Kun Liong, bangunlah!”

Akan tetapi Kun Liong yang biasanya amat peka itu kini sama sekali tidak bergerak.

“Kun Liong...!”

Tetap saja pemuda itu tidak menjawab, bergerak pun tidak.

“Kun Liong..., bangunlah!”

Hong Ing menyentuh lengan pemuda itu, dan dia terkejut bukan main. Lengan pemuda itu panas sekali! Celaka, pikirnya, tentu dia sakit, masuk angin dan terserang demam.

“Kun Liong...!”

Dia memanggil dengan suara nyaring, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak sadar, biarpun telah diguncang-guncang tubuhnya.

“Wah, dia pingsan...!”

Hong Ing menjadi gelisah sekali. Diamblinya kitab itu, diselipkan di dadanya di balik kain, kemudian dia mengerahkan tenaga dan memondong tubuh Kun Liong yang sama sekali tidak bergerak, tubuhnya panas dan mukanya merah seperti orang mabuk kebanyakan minum arak!

Semalam itu Kun Liong tidak sadar. Tidak tahu betapa Hong Ing menjaga dan duduk di sebelahnya dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Hampir gadis ini menangis saking bingungnya. Diguncang-guncangnya tubuh Kun Liong, dipanggilnya nama Kun Liong berkali-kali, dibasahinya muka pemuda itu dengan air, namun semalam suntuk Kun Liong tidak sadar, tenggelam ke dalam kepulasan yang amat dalam.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, barulah Kun Liong siuman. Dia membuka mata dan tiba-tiba mengeluh,

“Aduhhh... gatalnya.. bukan main...!”

Bermacam perasaan mengaduk hati Hong Ing. Lega karena melihat pemuda itu siuman, mendongkol karena dia sampai harus menderita kekhawatiran semalam suntuk, dan juga geli mendengar keluh yang aneh itu!

Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya dengan sepuluh kuku jari tangannya sampai terdengar suara “kroook-krookk!” seolah-olah kuku jari tangannya akan mengupas kulit kepalanya!

Akan tetapi tiba-tiba dia meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepada Hong Ing dengan mata terbelalak.

“Aihhh...! Kau... kenapa berada di kamarku? Eh, dan aku kenapa di sini, tidak di luar pondok?”

Dia masih menggaruk-garuk kepalanya yang gatal-gatal akan tetapi matanya memandang Hong Ing penuh selidik.

Dara itu cemberut!
“Hemm, kau tidak merasakan susah payahnya orang lain! Aku melihat kau pingsan di luar sana, terpaksa kupondong kau ke dalam kamarmu dan aku tak dapat tidur semalam suntuk, gara-gara engkau yang seperti orang mati! Seluruh tubuhmu panas-panas dan kau sama sekali tidak dapat dibangunkan. Apa sih yang terjadi?”

Kun Liong melongo.
“Eh, mana kitabku?”

“Kitab...?”

Tiba-tiba Hong Ing teringat dan dengan muka merah dia mengeluarkan kitab yang saking gelisahnya, semalam suntuk kitab itu masih menyelip di balik kainnya, menempel di dadanya!

Kun Liong menerima kitab itu, merasakan betapa kitab itu hangat, maka mukanya pun menjadi merah, akan tetapi dia segera berkata,

“Sungguh aneh. Aku sendiri tidak ingat. Ketika aku membaca kitab sambil makan telur, tiba-tiba aku merasa kepalaku pening dan mataku mengantuk. Tak tertahankan lagi kantuknya maka aku rebah di pasir dan... tidak tahu apa-apa lagi sampai sekarang ini, tahu-tahu sudah berada di sini. Jadi aku pingsan...?”

“Hemm, tentu ada sesuatu dalam kitab itu!” Hong Ing berkata.

Kun Liong membalik-balik lembaran kitab dan menggeleng kepala.
“Kurasa tidak ada apa-apanya yang aneh, sungguhpun kitab ini adalah sebuah kitab yang mujijat! Kitab yang mengandung pelajaran tentang hidup, tentang perbintangan, dan latihan gerakan kaki tangan untuk membuat tubuh sehat dan panjang umur. Juga ada latihan pernapasan akan tetapi tidak mungkin membacanya membuat aku pusing dan mengantuk.”

“Wah, jangan-jangan telur-telur itu...!”

Kun Liong teringat dan mengangguk-angguk.
“Hemm, mungkin saja, siapa tahu, tapi... tubuhku terasa enak, hanya kepalaku ini, wah... gatalnya!” Dia menggaruk-garuk lagi.

“Biar kubuang saja telur-telur itu! Mungkin telur ular yang kulihat kemarin dulu.”

“Eh, jangan! Jangan dibuang, Hong Ing. Buktinya aku tidak apa-apa. Telur itu enak sekali, menyehatkan badan.”

“Kau benar-benar tidak apa-apa? Tidak panas lagi tubuhmu?”

“Tidak, aku merasa sehat segar.”

“Hemm... syukurlah, aku lelah dan mengantuk, mau tidur...” Hong Ing lalu meninggalkan kamar itu.

“Hong Ing...!” Kun Liong melangkah maju dan memegang lengannya.

“Ada apa?” Dara itu mengerutkan alisnya dan memandang lengannya yang dipegang

Kun Liong melepaskan pegangannya.
“Harap jangan marah, aku berterima kasih sekali kepadamu, Hong Ing. Maafkanlah aku, aku tidak tahu bahwa engkau telah bersusah payah menjagaku. Kau baik sekali dan...”

“Sudahlah, aku senang bahwa kau tidak apa-apa. Aku mau tidur, kau boleh membaca kitabmu sepuas hatimu.”

Kun Liong yang ditinggal pergi menjatuhkan diri duduk di atas dipannya. Alisnya berkerut dan dia membolak-balik kitab di tangannya. Benar-benar ada persamaannya antara kitab ini dengan wanita!

Mengapa Hong Ing kelihatan tidak senang setelah melihat dia sehat dan tidak apa-apa, padahal gadis itu semalam suntuk mengkhawatirkan keadaannya? Tentu saja dia tidak tahu! Memang wanita itu mempunyai sifat yang aneh. Ingin sekali wanita itu merasakan bahwa dia dibutuhkan, bahwa dia diperlukan dan ingin dia lihat bahwa tanpa dia, pria akan kehilangan dan tak berdaya!

Tanpa disadarinya sendiri, perasaan demikian itu ada pula dalam lubuk hati Hong Ing. Melihat Kun Liong pingsan dan tidak berdaya, dia khawatir sekali, akan tetapi dalam melakukan pertolongan itu, dia merasa betapa pemuda itu amat membutuhkan dia. Kini, biarpun hatinya lega bahwa Kun Liong tidak sakit, namun ada juga perasaan kecewa karena kini dia tidak dibutuhkan lagi! Memang aneh, namun demikian kenyataannya.

Dua bulan lewat dengan cepatnya. Semua telur yang ditemukan itu telah habis dimakan Kun Liong, dan dia makin tekun membaca kitab kuno peninggalan Kaisar Bun Ong. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika dia mulai melatih diri dengan ilmu pernapasan dan gerakan kaki tangan yang terdapat dalam kitab, dia merasa tubuhnya makin segar dan kuat, penglihatannya terang dan semangatnya tinggi, membuat wajahnya selanjutnya selalu berseri dan matanya bersinar-sinar, memandang dunia ini sebagai tempat yang amat indah.

Beberapa kali dia membujuk Hong Ing untuk mempelajari isi kitab, akan tetapi dara itu tidak mau, apalagi mendengar penuturan Kun Liong tentang isi kitab yang hanya mengajarkan urusan kebatinan dan latihan pernapasan. Bahkan gerakan kaki tangan itupun bukanlah gerakan ilmu silat, hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh seperti yang dimaksudkan oleh kitab itu.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: