*

*

Ads

FB

Minggu, 06 November 2016

Petualang Asmara Jilid 113

“Jadi engkau seorang yang biasa disebut pendekar-pendekar itu?” tanya wanita itu dengan suara kaku namun suaranya yang basah agak parau mendatangkan sesuatu yang memikat, juga menyeramkan bagi Kun Liong.

Dia tidak menjawab, hanya membalas pandang mata itu dengan waspada, karena dia tidak tahu apakah wanita cantik ini tidak berbahaya pula seperti Legaspi Selado. Kakek itu memanggil,

“Nina...!” dan wanita itu meninggalkan Kun Liong. Kemudian, Legaspi Selado, Nina, dan Hendrik pergi memasuki kamar kapal dengan sikap tidak puas.

Yuan dan Yuanita menghampiri Kun Liong.
“Kun Liong, untung Ayah dapat menekan kemarahan Tuan Selado,” kata Yuanita. “Dan terutama sekali Yuan sebagai kapten Kapal Kuda Terbang berkuasa penuh untuk menanggungmu sebagai seorang tamu yang tak boleh diganggu.”

“Terima kasih, Yuan. Engkau baik sekali. Akan tetapi, bukankah dia itu gurumu? Bagaimana engkau dapat menantang gurumu sendiri?”

“Biarpun dia guruku, akan tetapi sebagai kapten kapal, akulah yang menjadi orang pertama yang berkuasa menentukan segala yang terjadi di atas kapal ini. Aku memberitahukan guruku bahwa permusuhan antara dia dan kau terjadi ketika kami masih bekerja sama dengan para pemberontak di Ceng-to. Karena kita semua berada di kapal, tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah pemberontakan di darat, maka saat itu engkau tidak boleh dianggap musuh. Mari kita masuk ke kamarku dan kita berunding bagaimana baiknya.”

Kun Liong mengikuti Yuan, Yuanita dan Richardo de Gama memasuki kamar Yuan yang cukup luas dan mereka duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap. Dari Yuan, mereka semua mendengar penuturan tentang pemberontakan yang gagal dan tentang usaha pendekatan para pedagang asing itu terhadap pembesar pemerintah.

“Kaisar telah bersikap baik sekali kepada kami,” Yuan menutup penuturannya dan menarik napas panjang.

“Setelah keributan mereda, kami masih diperkenankan untuk mendarat dan berdagang di sekitar pantai Teluk Pohai. Karena itu, maka aku tadinya mengambil keputusan untuk kembali ke barat dan mengabarkan kepada para pedagang yang berniat membawa barang dagangan ke timur. Akan tetapi yang masih memusingkan adalah sikap guruku, Tuan Legaspi Selado dan teman-temannya. Mereka itu tidak merasa puas dengan keputusan dan kebijaksanaan Kaisar. Mereka menganggap bahwa perdagangan di tempat terbatas, yaitu di pantai itu, tidak akan mendatangkan cukup keuntungan, tidak seperti kalau kita dapat mendarat sampai ke pedalaman dan langsung membeli rempa-rempa dari para penduduk pribumi, juga dengan langsung menjual barang-barang kepada mereka, tidak melalui perantara-perantara yang akan memeras di pantai. Karena itu, aku khawatir sekali akan timbul hal-hal tidak menyenangkan seperti pemberontakan kedua dan sebagainya...”

“Apa pun yang akan mereka lakukan asal engkau tidak mencampurinya, Yuan. Lebih baik engkau membentuk kelompok sendiri dari pedagang-pedagang yang jujur dan yang memang beritikad baik, semata-mata untuk berdagang dan tidak hendak mencampuri urusan pemerintah dan pemberontakan,” kata Kun Liong.

“Apa yang dikatakan Yap-taihiap benar, Yuan,” kata Richardo de Gama. “Semenjak dahulu, kita bukanlah keluarga pemberontak dan petualang. Kita adalah keluarga pedagang.”






Yuan mengangguk-angguk.
“Aku pun tidak suka terseret ke dalam pemberontakan pribumi terhadap kaisar mereka. Akan tetapi sayang hal itu telah terjadi dan tentu kami telah mendapat kesan buruk dari Kaisar. Andaikata tidak pernah terjadi persekutuan dengan pemberontak terkutuk itu, agaknya pihak pemerintah akan lebih longgar terhadap kita, apalagi mengingat akan hubungan pemerintah yang makin luas dengan luar negeri berkat pelayaran-pelayaran Laksamana The Hoo yang bijaksana...”

“Ahhhh... ada jalan untuk berjasa kepada Panglima Beser The Hoo!” Tiba--tiba Kun Liong berkata, teringat akan bokor emas di Pulau Ular. “Bokor emas pusaka milik Panglima The Hoo yang hilang itu terampas orang dan berada tak jauh dari tempat ini. Kalau saja engkau berhasil mengembalikan bokor itu, dan menyerahkannya kembali kepada Panglima The Hoo, agaknya engkau akan berjasa besar dan soal ijin perdagangan ke pedalaman tentu akan ditinjau kembali.”

“Ha-ha-ha! Pendapat yang bagus sekali! Aku setuju seratus prosen. Di mana bokor itu?” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tubuh gendut Legaspi Selado memasuki kamar itu.

Yuan bangkit berdiri.
“Tuan, terpaksa saya menyatakan tidak setuju kalau Tuan hendak membawa kita memperebutkan bokor emas yang menghebohkan itu, yang bukan menjadi hak kita!”

Legaspi Selado menggerakkan tangannya mencela.
“Aihh, Yuan. Mengapa begitu bodoh? Siapa yang ingin merampas bokor? Segala yang telah kita lakukan, dari memperebutkan bokor sampai ikut pemberontak, tiada lain hanya untuk memperoleh kesempatan berdagang sebaiknya. Semua usaha kita gagal, sekarang sahabat muda ini telah menunjukkan jalan yang amat baik. Kita usahakan agar bokor emas itu dapat kita peroleh, kemudian kita haturkan kepada Panglima The Hoo, tentu kita mendapat jasa dan tentang perdagangan akan mudah saja. Ha-ha-ha! Sahabat Yap Kun Liong yang baik, di manakah bokor itu?”

Kun Liong adalah seorang muda yang cerdik. Dia sudah terlanjur bicara, kalau merahasiakan, kakek aneh yang sakti ini tentu akan menjadi penghalang dan musuh, dan amat tidak enak kalau terjadi perpecahan di kapal itu. Kakek itu lihai, baik sekali kalau diajak bersama-sama merampas bokor karena Pulau Ular merupakan tempat yang berbahaya. Apalagi dua orang datuk itu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya, Ouwyang Bouw, dibantu lagi oleh Toat-beng Hoat-su dan semua anak buah mereka, bukan merupakan lawan ringan.

“Memang kita harus bekerja sama,” akhirnya dia berkata setelah semua duduk. “Bokor emas itu berada di tangan dua orang datuk kaum sesat. Ouwyang Kok yang berjuluk Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su. Mereka bersama anak buah mereka bersembunyi di Pulau Ular, tidak jauh dari sini, di sebelah selatan Teluk Pohai.”

Legaspi Selado bangkit berdiri,
“Yuan de Gama! Kalau begitu kita menunggu apalagi? Kita putar haluan, ke selatan mencari Pulau Ular!”

Kun Liong menyambut pandang mata penuh pertanyaan dari Yuan itu dengan anggukan kepala, maka Yuan lalu meneriakkan perintah melalui corong agar kapal itu diputar dan digerakkan ke selatan sedangkan Perahu Ikan Duyung mengikuti dari betakang. Setelah Legaspi Selado yang kelihatan gembira dan bertemangat itu meninggalkan kamar, Yuan de Gama berkata lirih.

“Kun Liong, kenapa engkau membuka rahasia itu kepada guruku?”

“Sst... dia dapat merupakan pembantu yang amat kuat, Yuan. Ketahuilah, bukan hanya bokor emas itu yang penting. Kita memang harus menyerbu ke Pulau Ular dan disana terdapat dua orang datuk yang sakti bersama anak buah mereka yang kuat.”

“Aku tidak inginkan bokor emas!”

“Hussshhh, engkau tidak menginginkannya, akan tetapi kalau kau dapat mengembalikan kepada Panglima Besar The Hoo, besar sekali jasamu. Selain kau, engkau tidak tahu bahwa kita harus menolong Nona Souw Li Hwa...”

Wajah Yuan de Gama berubah dan dia memegang lengan Kun Liong, mencengkeramya erat-erat.

“Apa katamu? Dia... dia... kenapa?”

Yuanita membelalakkan mata.
“Yuan! Siapakah nona itu?”

“Dia sahabat baikku. Dia seorang panglima wanita yang hebat. Kun Liong, lekas katakan apa yang terjadi dengan dia?”

“Aku sendiri tidak tahu, akan tetapi yang jelas, Nona Souw Li Hwa telah melakukan penyelidikan sendiri ke Pulau Ular yang berbahaya itu sehingga aku khawatir sekali dia akan menghadapi malapetaka di sana. Karena itu, bukankah tepat sekali kalau kita pergi ke sana, selain untuk membantu mendapatkan kembali pusaka Panglima The Hoo, juga untuk melindungi Nona Souw Li Hwa?”

“Kalau begitu kita harus cepat ke sana!”

Yuan de Gama kembali menyambar corong untuk memerintahkan anak buahnya agar melakukan pelayaran secepatnya. Richardo de Gama menghela napas panjang, mendekati Kun Liong dan berbisik,

“Apakah dia telah jatuh cinta kepada panglima wanita itu?”

Kun Liong hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian setelah minta diri, dia mundur dan memasuki kamarnya yang sudah dipersiapkan untuk dia.

Kun Liong meniup padam lilin di atas meja kamar kecil itu, lalu menanggalkan pakaian luarnya dan sepatunya. Setelah ia merebahkan diri di atas pembaringan, dia termenung. Sungguh banyak pengalaman yang dialaminya selama ini, pengalaman yang aneh-aneh, terutama sekali pengalaman dengan wanita-wanita cantik.

Masih terasa olehnya cumbu rayu yang saling ditukarnya dengan Yuanita. Di dalam kegelapan kamarnya itu, terbayanglah wajah Yuanita yang cantik, terdengar bisikan halus menggetar yang suaranya asing itu. Akan tetapi tak lama kemudian, wajah wanita yang dibayangkannya ini sudah berganti rupa, berubah menjadi wajah Yo Bi Kiok, kemudian berubah lagi menjadi wajah Souw Li Hwa, wajah Cia Giok Keng, dan akhirnya berubah menjadi wajah Lim Hwi Sian yang takkan pernah dilupakannya!

Diam-diam Kun Liong menghela napas panjang. Mengapa hidupnya terisi oleh pertemuan-pertemuan yang mengesankan dengan berbagai gadis cantik itu? Dan mengapa setiap kali bertemu dengan dara jelita, dia merasa tertarik dan suka? Apakah ini yang disebut mata keranjang? Apakah dia mata keranjang? Adakah di dunia ini seorang pemuda yang tidak suka melihat dara jelita? Apakah hanya dia yang selalu merasa tertarik, ingin bercakap-cakap dengan mereka, ingin bersahabat dengan mereka dan ingin... mencium bibir yang segar kemerahan itu? Kotorkah pikiran seperti ini? Dia tidak dapat menjawab dan kembali dia menarik napas panjang.

Kau mata keranjang, tolol, dan anak durhaka! Dia memaki diri sendiri. Sampai selama ini, dia masih belum berhasil mendengar berita tentang ayah bundanya. Dan tidak ada sebuah pun di antara tugas-tugasnya yang dapat dia selesaikan dengan baik!

Mencari orang tua belum ada hasilnya. Urusan bokor emas yang telah berada di tangannya malah berlarut-larut menjadi makin sulit diperoleh. Usaha mengembalikan pusaka Siauw-lim-pai dan minta pusaka itu kembali dari Kwi-eng-pang juga belum berhasil. Sekarang ditambah lagi dengan tugas membantu dan menyelamatkan Souw Li Hwa!

Sekali ini dia harus berhasil. Biarpun Pulau Ular kabarnya berbabaya, akan tetapi Kapal Kuda Terbang itu besar dan kuat, diperlengkapi dengan senjata meriam. Juga ia memperoleh bantuan orang-orang pandai seperti Legaspi Selado, Hendrik, Yuan dan semua anak buah mereka. Kalau dia berhasil membantu Li Hwa, apalagi berhasil merampas kembali bokor emas, berarti tidak sia-sia semua jerih payahnya. Dia harus cepat menyelesaikan urusan ini, kemudian dia harus mencari orang tuanya. Dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya untuk mencari jejak orang tuanya.

Urusan pribadi ini sebetulnya paling penting dan jantungnya berdebar agak tegang penuh kekhawatiran kalau dia teringat akan ucapan Pendekar Sakti Cia Ken Hong. Bukan hanya kekhawatiran kosong yang diucapkan supeknya itu. Kalau memang ayah bundanya masih hidup di dunia ini, mengapa sekian lamanya mereka diam saja dan tidak ada kabar beritanya? Orang-orang gagah perkasa seperti ayah bundanya, tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut akan sesuatu!

Malam mulai larut dan Kun Liong yang tenggelam timbul dalam lamunan, mulai berselubung rasa kantuk. Dia sudah memperoleh pegangan atau rencana masa mendatang, yaitu setelah selesai dengan urusan Pulau Ular, dia akan meninggalkan semua urusan untuk mencurahkan perhatian seluruhnya dalam mencari orang tuanya.

Rencana yang menjadi pegangan ini melegakan hatinya dan dia hampir tertidur pulas ketika tiba-tiba pintu biliknya dibuka orang dari luar. Mula-mula, sesuai dengan ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya, dalam saat itu juga semua urat syarafnya menegang dalam kesiap-siagaan menghadapi suatu ancaman bahaya.

Namun ketika melihat bayangan tubuh yang tersorot penerangan dari luar kamar, ketegangannya meningkat akan tetapi berubah, bahkan tegang karena khawatir, melainkan karena heran. Jelas tampak sosok bayangan tubuh yang berpinggang ramping, tubuh seorang wanita! Yuanita? Dadanya berdebar keras. Benarkah Yuanita yang masuk? Betapa beraninya memasuki kamarnya yang gelap.

Akan terulang lagikah peristiwa yang memabokkan itu? Sekarang amat berbahaya karena mereka berada di dalam kamamya, kamar yang gelap! Timbul kekhawatiran di dalam hati Kun Liong. Dia ingin melompat, ingin menyalakan lampunya, ingin membujuk agar Yuanita tidak melanjutkan niatnya, agar dara itu keluar dari kamar, meninggalkannya. Akan tetapi semua keinginannya itu tertunda ketika dia mendengar suara lirih, suara wanita yang basah merdu,

“Tuan... kekasihku...” Suara yang basah parau namun lunak merdu, suara Nina!

Kun Liong terpesona dan bagaikan seekor kelinci mencium bau harimau, dia bangkit duduk, kemudian mengambil keputusan untuk cepat meninggalkan kamar itu karena keadaannya amat “berbahaya”. Tanpa berkata apa-apa dia lalu meloncat dan lari dari kamarnya, akan tetapi baru saja keluar dari pintu, dia sudah diserbu wanita itu, dirangkul dan ditarik kembali ke dalam kamar yang gelap!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: