*

*

Ads

FB

Minggu, 06 November 2016

Petualang Asmara Jilid 114

Wanita itu melempar daun pintu tertutup, kemudian terdengar langkahnya mendekatinya, membuat Kun Liong menggigil dan duduk di atas pembaringannya, tak dapat mengeluarkan suara sedikit pun.

“Yuan... gelap amat...” wanita itu berbisik lagi akan tetapi kini dua buah tangan meraba pundak Kun Liong.

Dua buah lengan merangkul dan sebuah tubuh yang lunak hangat mendekapnya, sepasang bibir yang basah terengah-engah menjelajahi mukanya untuk kemudian berhenti mengecup mulutnya dalam sebuah ciuman yang membuat Kun Liong hampir pingsan!

Tak pernah dia dapat membayangkan akan ada ciuman seperti itu! Yuanita sudah merupakan pengalaman luar biasa ketika menciumnya, akan tetapi dibandingkan dengan ini, Yuanita bukan apa-apa! Ciuman wanita ini seolah-olah menembus jantungnya, terasa sampai di tulang sumsum dan membuat seluruh tubuh Kun Liong panas dingin, kaki tangannya menggigil, kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang!

“Haiii...!” Tiba-tiba Nina berteriak lirih, tangan wanita yang halus itu membelai, meraba muka dan kepala yang gundul, kemudian terdengar wanita itu menahan tawa, terkekeh genit. “Kaukah ini...? Kau... pemuda yang katanya seorang pendekar yang sakti? Ahh, aku mendengar bahwa pendekar memiliki kekuatan yang luar biasa... aku kagum padamu...”

Kun Liong gelagapan ketika wanita itu merayunya, membelainya, memeluk dan menciumnya. Ucapan Nina dalam bahasa daerah bercampur bahasa asing membuatnya bingung. Bau minyak wangi yang aneh memabokkannya, dan terutama sekali tubuh wanita yang hidup mendekapnya itu membuat Kun Liong kehilangan akal.

“Jangan... Nyonya... jangan... maafkan aku, harap suka tinggalkan aku, aku... aku takut kalau ketahuan orang...” katanya gagap.

“Hi-hik, beginikah pendekar? Mengapa penakut? Tidak sukakah kau kepadaku? Tidak senangkah kau kucium seperti ini?”

Nina kembali menciuminya, mencium kepalanya, mukanya, bibirnya dan kedua lengannya merangkul ketat sehingga tubuh Kun Liong menjadi panas dingin dibuatnya.

Kun Liong hanyalah seorang manusia biasa seorang pria muda yang tentu saja berdarah panas. Menghadapi rayuan yang amat luar biasa itu, hampir dia tidak dapat menahan dirinya. Tubuhnya panas dingin dan gemetar, dan seperti seorang yang mabok, pandang matanya berkunang. Tubuh wanita yang masak itu kelihatan luar biasa menariknya tersorot cahaya remang-remang dari sinar lampu yang memasuki kamar itu melalui celah-celah jendela dan pintu.

Akan tetapi dia masih teringat bahwa wanita ini adalah isteri Legaspi Selado, bahwa merupakan perbuatan terkutuk untuk berjina dengan isteri orang lain! Ingatan ini mengeraskan hatinya dan dia mendorong tubuh wanita itu dengan halus.

“Nyonya, jangan lakukan ini! Jangan lanjutkan perbuatan gila ini!” katanya lirih.

“Ahhh... berani engkau menolak aku? Engkau yang sudah menggigil penuh nafsu ini... hi-hik, orang muda yang kuat, jangan kau berpura-pura alim...”






Mereka seperti bergulat. Kun Liong mencegah dan wanita itu hendak menggelutinya. Pada saat itu terdengar suara Yuan,

“Kun Liong, dengan siapakah kau di dalam?”

Kun Liong terkejut bukan main. Apalagi pintu kamar itu terbuka dari luar dan Yuan de Gama masuk membawa sebuah lampu! Kun Liong cepat meloncat menjauhi Nina dan membetulkan kancing bajunya yang hampir terlepas semua. Wanita itu hanya tersenyum dengan mulut agak terengah, matanya seperti mata seekor singa kelaparan!

“Yuan... dia... dia ini...” Kun Liong berkata gagap.

Yuan mengangguk.
“Aku tahu, Kun Liong. Karena itu aku masuk kesini untuk menolong dan membebaskanmu dari harimau betina kelaparan!”

Lega rasa hati Kun Liong. Dia memandang kepada sahabatnya itu penuh terima kasih, kemudian tanpa berkata apa-apa dia meloncat keluar dari kamar, langsung menuju ke dek kapal untuk mencari “hawa segar”.

“Nina, sungguh kau terlalu sekali! Dia adalah penolong dan tamu terhormat, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk...”

Yuan de Gama menegur wanita muda yang kini duduk di pembaringan Kun Liong dengan baju atas setengah terbuka membayangkan dada yang membusung penuh, yang tersenyum dengan muka kemerahan dan mata mengerling basah ke arah Yuan, senyum yang penuh ejekan dan tantangan!

“Yuan, kau tidak tahu. Semua ini gara-gara engkaulah! Betapa rinduku kepadamu hampir tak dapat aku menguasai diriku lagi, dan kau selalu berpura-pura, selalu menjauhkan diri setelah dahulu...”

“Cukup, Nina! Satu kali saja sudah cukup. Aku pernah gila, akan tetapi semua adalah karena bujuk rayumu. Aku tidak akan mengulanginya lagi perbuatan terkutuk kita itu!”

“Hi-hik, Yuan! Ketahuilah, aku tidak sengaja masuk ke kamar ini. Siapa sudi bercumbu dengan Si Gundul itu kalau ada engkau disini? Kukira ini kamarmu, aku lupa bahwa kau memberikan kamar ini kepada Si Gundul. Aku kesalahan masuk, dan karena sudah terlanjur, untuk menutupi maluku, aku... hemm... dia pun...”

“Sudahlah, Nina. Tak perlu berpura-pura. Aku mengenal pemuda seperti Kun Liong, seorang pendekar sakti, seorang jantan sejati yang tak mungkin akan sudi mengganggu seorang wanita kalau tidak kau bujuk rayu. Keluarlah dari kamar ini sebelum Tuan Selado mengetahuinya sehingga terjadi hal yang memalukan.”

Akan tetapi Nina malah bangkit, dengan melenggang-lenggok menggairahkan menghampiri Yuan de Gama, merangkulnya dan berkata dengan sikap dan suara manja.

“Yuan, tidak kasihankah kau kepadaku? Aku rindu kepadamu, aku cinta kepadamu...”

“Diam!” Yuan merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan wanita itu. “Orang seperti engkau tidak patut bicara tentang cinta! Dan aku tidak cinta kepadamu! Ketahuilah, hanya ada seorang wanita saja di dunia ini yang benar-benar patut kucinta, yang kucinta sepenuh nyawaku. Dia adalah Souw Li Hwa!”

Kun Liong yang sudah kembali dan mendengarkan dari luar, terkejut dan menyelinap pergi, akan tetapi dia tidak mengira bahwa pemuda asing itu akan terang-terangan mengaku di depan Nina bahwa dia hanya mencinta Li Hwa seorang. Diam-diam Kun Liong merasa terharu dan kasihan kepada Yuan de Gama. Li Hwa adalah seorang gadis gagah perkasa dan keras hati, murid tunggal Pendekar Sakti The Hoo yang berkedudukan tinggi. Mungkinkah seorang dara seperti Li Hwa akan dapat membalas cinta seorang pemuda asing seperti Yuan de Gama?

Terjadi kegaduhan di kamar itu karena dengan berkeras Yuan menolak bujuk rayu Nina. Akhirnya tampak oleh Kun Liong yang menyelinap bersembunyi betapa Nina berlari keluar dari kamar itu sambil terisak menangis.

Diam-diam Kun Liong merasa kasihan juga kepada wanita itu, maka dia menyelinap dan membayangi dari jauh untuk melihat apa yang akan terjadi dengan wanita yang dianggapnya bernasib malang itu. Biarpun dia sendiri belum berpengalaman, namun dia dapat merasakan bahwa wanita itu tersiksa oleh nafsunya sendiri, nafsu yang mendesak-desaknya membutuhkan penyaluran, akan tetapi celaka bagi wanita itu, dua orang pria muda yang ditemuinya, dia sendiri dan Yuan de Gama, tidak bersedia melayaninya.

Nina berlari menuju ke sebuah kamar di sudut depan, akan tetapi sebelum dia mengetuk pintu kamar itu, pintu kamar dibuka orang dan keluarlah Legaspi Selado! Kakek botak itu membawa sebuah botol yang tinggal sedikit isinya, mukanya merah dan begitu melihat Nina, dia mengayun tangan kirinya menampar,

“Plakkk!!”

“Aughhh...!”

Nina menjerit lirih dan mengelus pipinya yang membengkak merah, matanya terbelalak memandang suaminya. Melihat ini, Kun Liong merasa tangannya gatal dan hatinya panas. Kalau dia tidak ingat bahwa yang menampar adalah suami sedangkan yang ditampar adalah isterinya tentu dia sudah keluar menegur kakek botak itu!

“Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu!”

Legapsi Selado memaki lalu menenggak minuman keras yang masih tinggal sedikit di dalam botol, setelah itu sekali mengayun tangan, botol yang sudah kosong itu melayang jauh sekali keluar dari kapal menuju ke laut gelap.

Kun Liong mendengar betapa Nina bicara dengan penuh semangat, agaknya wanita itu marah-marah, mengata-ngatainya dengan gerakan tangan dan sambil bercucuran air mata. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan wanita itu, akan tetapi dia melihat betapa Nina kelihatan berduka, penasaran, dan marah sekali sedangkan Legaspi Selado hanya menunduk, kemudian kakek itu menggerakkan pundak dengan acuh tak acuh dan pergi meninggalkan Nina.

Wanita itu membanting-banting kaki, berteriak-teriak dan menangis. Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda yang bukan lain adalah Hendrik Selado, putera Legapsi Selado. Melihat pemuda ini, Nina menubruk dan merangkulnya, bergantung pada pundak pemuda itu, dan menangis terisak-isak. Hendrik mengeluarkan kata-kata menghibur, bahkan mencium pipi ibu tirinya, kemudian dia menarik tubuh ibu tirinya, diajak memasuki kamar dan lenyaplah kedua orang itu di balik pintu kamar yang tertutup.

Kun Liong berdiri tertegun. Semua pengalaman tadi merupakan hal yang baru dan aneh sekali. Kelakuan Nina benar-benar mengejutkan hatinya. Tiba-tiba terdengar suara tarikan napas panjang di belakangnya. Dia cepat menengok dan melihat bahwa Yunita telah berdiri tak jauh dari situ.

“Keluarga yang luar biasa...” Yuanita berkata lirih, “Kotor dan mengerikan sekali...”

Kun Liong menghampiri.
“Apa maksudmu, Yuanita? Aku tidak mengerti.”

“Mereka itu...” Yuanita mengangkat muka ke arah pintu kamar dimana ibu tiri dan pemuda itu tadi lenyap. “Sungguh mengerikan! Tentu engkau tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Nina tadi kepada suaminya.”

Kun Liong menggeleng kepalanya dan memandeng wajah dara itu penuh perhatian. Wajah yang cantik sekali, agak pucat tertimpa sinar bulan, agaknya dara itu terkejut menyaksikan adegan yang menegangkan tadi antara Nina, suaminya dan putera tirinya.

“Dia menegur dan menyalahkan suaminya. Dia berkata bahwa dia tidak pernah mendapat kepuasan batiniah dari suaminya. Dia mengatakan bahwa suaminya hanya namanya saja suami, akan tetapi tidak pernah mencintanya, tidak pernah memperlakukannya sebagai isteri, tidak pernah tidur dengannya. Dia bilang... suaminya yang terkenal sebagai seorang sakti dan kuat itu hanyalah seorang yang mati kejantanannya, tidak mampu lagi melakukan kewajiban seorang suami terhadap isterinya. Nina menuntut dan mengatakan bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda, yang membutuhkan cinta kasih seorang pria. Dia tidak mau disiksa lebih lama lagi dan katanya kalau dia mencari pria lain yang suka melayani kebutuhan tubuhnya sebagai seorang wanita muda, bukan semata-mata karena dia serong dan suka berjina, melainkan karena kesalahan suaminya yang tak pernah dapat melayani nafsu berahinya...”

“Sudahlah, Yuanita... sudah cukup...” kata Kun Liong yang menjadi merah sekali mukanya sampai kepalanya.

Dia merasa heran sekali akan kebebasan sikap dan kata-kata orang wanita barat ini. Begitu bebas bicara tentang urusan yang bagi bangsanya merupakan pelanggaran susila yang memalukan! Sungguhpun dia sendiri tidak melihat sebabnya mengapa urusan manusia ini dianggap pantang untuk dibicarakan!

Yuanita memegang lengan Kun Liong dan tanpa berkata-kata kedua orang muda ini berjalan bergandeng tangan menuju ke ujung kapal yang sunyi.

“Kasihan sekali Nina” kata Yuanita. “Dia hanya dipermainkan oleh nafsu berahi, dan tidak mengenal cinta kasih. Aku merasa jauh lebih berbahagia karena aku mengenal cinta. Kun Liong, engkau tahu siapa yang kumaksudkan. Tadinya sebelum berjumpa denganmu, aku pun hanya melamunkan cinta, tak pernah aku mengenalnya. Akan tetapi, begitu bertemu denganmu, tahulah aku apa yang disebut cinta itu, Kun Liong, dan setelah mengenal cinta, nafsu berahi sama sekali bukan hal yang terpenting.”

Mereka duduk di atas dek di ujung kapal yang sunyi dan agak gelap karena terselimut bayangan tihang-tihang layar dan tidak tampak dari tempat penjagaan di atas. Duduk berdampingan dan sejenak mereka tidak bicara, hanya saling pandang dengan bantuan sinar bulan yang menimpa di atas wajah masing-masing. Kemudian Kun Liong menarik napas panjang dan berkata,

“Tetap saja aku harus mengecewakan hatimu, Yuanita. Aku tidak dapat membalas cinta kasihmu yang demikian murni, bahkan agaknya aku tidak akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang manapun juga.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: