*

*

Ads

FB

Minggu, 06 November 2016

Petualang Asmara Jilid 112

Ketika dia mencium bibir Hwi Sian dahulu itu, terdapat kecanggungan dan biarpun dia senang melakukannya dengan Hwi Sian, namun karena dara itu sendiri pun takut dan tidak tahu caranya, maka perbuatan mereka itu jauh sekali bedanya kalau dibandingkan dengan apa yang dia alami sekarang.

Ciuman Yuanita ini seolah-olah merupakan pertemuan lebih mendalam, antara kedua hati dan kalbunya, seolah-olah dia merasa dilebur menjadi satu dengan dara ini, seolah-olah tiada pemisah lagi antara kedua tubuh mereka. Seperti naik sedu-sedan dari dada Kun Liong, kedua lengannya mendekap tubuh itu, seluruh tubuhnya menggigil dan dia tidak dapat menguasai lagi kedua kakinya yang gemetar dan lemas, membuatnya terhuyung dan akhirnya dia jatuh berlutut sambil memeluk Yuanita.

“Hemmm... Kun Liong...”

Yuanita berbisik, hanya untuk bernapas dan mereka sudah berciuman pula, kini Kun Liong duduk di atas papan perahu dan dara itu dipangkunya.

Entah apa yang akan terjadi dengan dua orang muda yang dilanda perasaan mesra yang biasanya tentu akan membangkitkan berahi itu kalau dibiarkan terlalu lama dalam keadaan seperti itu. Bagi Kun Liong, Yuanita merupakan seorang dara yang panas, segar dan berani, seperti gelora air laut di luar perahu itu, merupakan seorang mahluk aneh yang mempunyai kekuatan luar biasa sehingga membawanya terseret, hanyut dan tenggelam.

Kun Liong sudah tak dapat menguasai hati dan pikirannya sendiri, yang terasa sepenuhnya hanyalah kelembutan bibir yang mengecup bibirnya, kepanasan hawa dari mulut yang memabokkan, kehangatan dan kepadatan tubuh yang merapat dengan tubuhnya, dan dia pun mabuk dibuai alunan nafsu berahi yang belum pernah menyerangnya sehebat itu!

Nafsu berahi memang seperti api menjalar, begitu bertemu dengan bahan bakarnya, makin dibiarkan makin menjadi, makin diberi makin menuntut dan takkan pernah mau berhenti, takkan mau sudah kalau belum sampai titik terakhir.

Bagi Yuanita sendiri Kun Liong merupakan seorang pemuda yang asing dan aneh karenanya mendatangkan daya tarik yang luar biasa. Sebagai seorang dara berbangsa Portugis yang jauh lebih bebas dalam pergaulan antara pria dan wanita, sudah tentu saja dia pernah berkenalan dengan teman pria dan ciuman bukan merupakan hal baru dan aneh baginya.

Namun, belum pernah Yuanita mengalami guncangan perasaan seperti saat itu. Hal ini terdorong oleh rasa terima kasihnya, rasa kagumnya terhadap Kun Liong, ditambah keadaan Kun Liong yang asing dan aneh yang membuat pemuda itu merupakan seorang pemuda atau pria yang lain daripada yang telah dikenalnya sebelum itu. Maka dia pun terhanyut oleh gelombang peraaaannya sendiri sehingga bersama Kun Liong dia pun hampir lupa segalanya, hampir tidak mempedulikan lagi segala hal yang terjadi di luar mereka, dan yang ada hanyalah membiarkan diri terseret oleh nafsu berahi yang membuai dan melayangkan mereka ke tengah-tengah awan kenikmatan.

“Tuuuttt... tuuuut... tuuutttt...!”

Suara bunyi tanda peluit dari tempat penjagaan di atas ini mengejutkan kedua orang muda itu dan serentak Kun Liong melepaskan pelukannya. Sejenak mereka saling pandang, seperti baru sadar dari sebuah mimpi muluk dan pertukaran pandang ini cukup menyadarkan mereka benar-benar.

“Ahh... Yuanita... maafkan aku...”






“Bukan salahmu... Kun Liong... aku pun membiarkan diriku terseret...”

“Untung kita sadar, Yuanita. Hampir saja...!”

Kun Liong cepat merapikan pakaiannya sendiri dan membantu merapikan pakaian dara itu yang dia sendiri tidak ingat lagi bagaimana bisa menjadi tidak karuan dan setengah terbuka seperti itu!

Yuanita membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ke atas. Mereka berdiri dan berpandangan. Yuanita memegang kedua tangan Kun Liong.

“Memang... hampir saja, Kun Liong. Akan tetapi... andaikata terjadi, aku.. aku akan merasa bahagia dan bangga, kalau... kalau... engkau menjadi pria pertama...”

“Husss...! Bagaimana kau bisa bilang begitu, Yuanita? Kita bukan suami isteri, kita tidak saling mencinta... betapa besar dosaku kalau sampai terjadi.. engkau tentu akan menyesal seumur hidup, dan aku... aku... selamanya akan merasa berdosa kepadamu.”

“Mungkin. Akan tetapi, kurasa tidak akan sukar bagiku untuk belajar mencintamu, Kun Liong.”

Kun Liong memandang bingung. Segala ucapan dara asing ini mendatangkan perasaan aneh dan membingungkan.

“Aku tidak tahu... apakah mungkin cinta dipelajari? Betapapun juga, maafkan aku, Yuanita, aku tadi lupa diri... dan percayalah, selama bidupku aku takkan melupakan engkau. Engkau akan selalu kukenang sebagai seorang perempuan yang amat baik, ramah, lembut dan cantik jelita, seorang sahabatku yang luar biasa...”

“Tuut... tuut... tuuuutttt!”

Mereka menengok ke atas kiri dan melihat penjaga di atas tali-temali layar meniupkan terompetnya yang panjang.

“Ada apakah?” Kun Liong tertanya, tidak mengerti apa artinya itu.

“Tentu penjaga itu melihat sesuatu,” kata Yuanita.

Terdengar derap langkah sepatu ke luar dari dalam dan muncullah Richardo de Gama dan orang-orang lain. Kakek ini memandang kepada puterinya, kemudian kepada Kun Liong sejenak, lalu bertanya,

“Apa yang terjadi? Mengapa terompet ditiup? Haiii! Ada apa?” Teriaknya ke atas dalam bahasanya sendiri.

Penjaga di atas menjawab dengan teriakan parau,
“Ada kapal di sebelah kiri!”

“Lekas nyalakan lampu sorot!”

Richardo de Gama memerintah. Terjadi kesibukan di situ dan tak lama kemudian kapal besar itu tampak bayangannya, seperti seorang raksasa muncul dari dalam malam gelap di tengah lautan. Mula-mula terjadilah pertukaran isyarat melalui gerakan lampu kemudian setelah makin mendekat, antara kedua kendaraan air itu terjadi kontak dengan penggunaan corong dan teriakan mulut.

Terdengar sorak-sorai di kedua pihak dan semua orang di perahu yang ditumpangi Kun Liong bergembira ria.

“Apakah yang terjadi, Yuanita?” tanya Kun Liong kepada dara yang berdiri di dekatnya.

Yuanita juga berseri wajahnya ketika menjawab,
“Kapal itu adalah Kuda Terbang!”

Tentu saja Kun Liong terkejut dan juga gembira mendengar ini.
“Dan aku akan dapat berjumpa dengan Yuan di sana?” Dia menuding ke arah bayang-bayang hitam besar itu.

Yuanita mengangguk manis
“Bukan hanya Yuan kakakku, juga di sana ada pula Legaspi Selado dan isteri mudanya yang bernama Nina, dan puteranya bernama Hendrik, dan masih banyak lagi karena semua bangsa kami yang berada di sini telah berkumpul di kapal itu.”

Terjadi kesibukan luar biasa ketika perahu besar dan kapal itu mepet. Sebuah anak tangga dipasang dan Richardo de Gama mengajak Kun Liong dan Yuanita untuk menyeberang ke Kapal Kuda Terbang yang jauh lebih besar dan lebih lengkap itu.

Kung Liong ikut bergembira melihat Yuan de Gama yang menyambut ayahnya dan adik perempuannya. Dia terharu melihat Yuanita berpelukan dengan kakaknya, terkenang betapa beberapa saat yang lalu dara yang cantik itu telah berpelukan dan berciuman dengan dia! Ketika Yuanita membisiki sesuatu kepada kakaknya dan menoleh, Yuan mengangkat muka memandang.

“Halooo...! Bukankah kau Yap Kun Liong-taihiap?” serunya, melepaskan adiknya dan melangkah lebar menghampiri Kun Liong dan mengulur lengan kanannya.

Kun Liong tidak kaget lagi melihat ini. Dia sudah tahu sekarang bahwa cara pemberian hormat, atau bersalaman dari orang-orang asing ini adalah dengan jalan berjabat tangan dan mengguncang-guncangnya. Maka dia menyambut sodoran tangan itu dan mereka berjabat tangan.

“Tuan Yuan de Gama, sungguh tak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” kata Kun Liong gembira.

Yuanita telah mendekat dan dengan sibuk menceritakan dalam bahasanya sendiri kepada kakaknya tentang pertolongan yang diberikan oleh Kun Liong kepada anak buah Perahu Ikan Duyung, yaitu perahu ayahnya itu, ketika Perahu Ikan Duyung diserbu penjahat.

“Ahhh, terima kasih banyak, Yap-taihiap...”

“Jangan menyebutnya tai-hiap, dia bisa marah. Namanya Kun Liong!” Yuanita mencela kakaknya.

“Dia benar, Yuan. Kita adalah sahabat, sebut saja namaku,” kata Kun Liong.

Yuan memandang kepada adiknya, kemudian kepada Kun Liong, lalu tersenyum lebar.
“Apa pula ini? Eihhh, jangan main-main kau, Yuanita. Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menjatuhkan hatimu di depan kaki pendekar perkasa ini?” Dia tertawa bergelak.

“Andaikata benar demikian, apakah kau tidak setuju?” Yuanita juga berkata sambil tertawa.

“Tentu saja!”

Kun Liong benar-benar terkejut bukan main. Kelakar kakak beradik itu dianggapnya keterlaluan dan luar biasa sekali sampai muka dan kepalanya menjadi merah semua. Mengapa mereka bicara bebas, seolah-olah urusan cinta merupakan hal yang boleh dianggap main-main?

Mereka menghentikan sendau-gurau ketika melihat Legaspi Selado dan seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang amat cantik dan yang berpakaian mewah, sedangkan Hendrik Selado berjalan di sebelah wanita ini, mata pemuda itu memandang kepada Kun Liong dengan penuh perhatian. Kun Liong tidak mempedulikah yang lain, hanya dia menatap tajam ke arah Legaspi Selado, kakek botak gendut yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.

“Heiii! Bukankah ini penjahat itu...?”

Tiba-tiba Hendrik berseru ketika dia sudah datang dekat dan telunjuknya menuding ke arah muka Kun Liong.

“Tidak salah lagi, inilah dia Si Gundul yang dahulu menolong dan melarikan mata-mata wanita di Ceng-to!”

Ucapan itu dikeluarkan dalam bahasa asing sehingga Kun Liong tidak mengerti maksudnya, akan tetapi karena sejak tadi pemuda ini memperhatikan Legaspi Selado maka dia dapat melihat ketika kakek itu menggerakkan tangan yang memegang cambuk kuda.

“Tar-tar-tarrr...!”

Kun Liong sudah mengelak cepat sehingga tiga kali serangan itu luput.

“Tuan Selado, engkau tidak boleh menyerang dia!”

Tiba-tiba Yuanita lari ke depan, menghadang di depan kakek yang memegang cambuk itu dengan sikap menantang dan membusungkan dadanya yang sudah membusung penuh itu.

Yuan meloncat ke depan dan berteriak.
“Hendrik, jangan...!” Pemuda itu sudah memegang tangan Hendrik yang telah mencabut pistolnya. “Jangan ganggu dia, dia telah menyelamatkan Perahu Ikan Duyung, menyelamatkan ayahku dan adikku!”

Menyaksikan keributan ini, Richardo sudah melangkah maju dan segera terjadi percakapan dan perbantahan antara orang-orang asing itu, ditonton dan didengarkan oleh Kun Liong yang tidak mengerti artinya, namun dia dapat menduga dengan mudah, bahwa terjadi perbantahan antara pihak Legaspi dan Hendrik melawan pihak Richardo dan dua orang anaknya yang membela dia! Terutama sekali yang amat mengharukan hatinya adalah sikap Yuanita yang seperti telah menjadi seekor harimau betina, sepasang mata biru itu menyinarkan api, rambutnya terkena angin laut berkibar-kibar, sikapnya penuh semangat.

Ketika terjadi percekcokan itu, nyonya muda cantik yang tadi datang bersama Legaspi Selado dan Hendrik, mendekati Kun Liong dan menatap wajah pemuda ini dengan penuh perhatian. Kun Liong dapat menduga tentu inilah yang bernama Nina Selado, isteri muda Si Kakek Botak itu. Hem, seorang wanita yang cantik dan sikapnya berani dan masak, pikirnya.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: