*

*

Ads

FB

Senin, 31 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 105

Li Hwa melihat betapa Ouwyang Bouw telah menyerang Sanghida dari jauh, dengan gerakan jari tangan dan tampak sinar merah kecil menyambar ke arah orang Nepal tinggi besar itu sehingga dia terhuyung dan terkena bacokan golok Rajid.

Tahulah Li Hwa bahwa memang Ouwyang Bouw sengaja hendak membunuh Sanghida dan mungkin sekali karena dia tidak suka mendengar rahasianya dibocorkan. Li Hwa menjadi penonton tak diundang ini segera dapat menyimpulkan peristiwa itu. Jelas baginya bahwa memang agaknya semua ini sudah diatur oleh pemuda iblis itu.

Mungkin benar tuduhan Madhula yang cantik bahwa berkali-kali Ouwyang Bouw membujuk rayunya, akan tetapi selalu ditolak oleh isteri Rajid itu. Hal ini membuat Ouwyang Bouw menjadi sakit hati dan dengan curangnya pemuda itu menaruh racun perangsang ke dalam makanan atau minuman Sanghida dan Madhula sehingga terjadilah perjinaan di antara mereka, perjinaan di luar kesadaran mereka yang terpengaruh racun, pada saat Rajid disuruh berjaga oleh Ouwyang Bouw. Tentu saja pemuda iblis ini sudah mengatur perangkapnya dan begitu kedua orang mabok itu melakukan perjinaan, dia menangkap basah mereka!

Semua orang yang menonton kelihatan puas dengan pertunjukan kekejaman ini, dan melihat waiah mereka yang seolah-olah haus darah dan kini semua mata ditujukan kepada tubuh telanjang Madhula seperti serombongan srigala kelaparan, Li Hwa bergidik.

Dia berhadapan dengan orang-orang yang telah mati perasaan kemanusiaan mereka, manusia-manusia yang haus darah dan yang menganggap kekejaman seperti sebuah kesenangan yang mengasyikkan. Maka timbullah perasaan kasihan kepada wanita yang bernasib malang itu.

Li Hwa adalah seorang yang masih amat muda, maka tentu saja perasaannya amat halus dan mudah tersinggung. Melihat peristiwa ini di depan mata, dia sudah melupakan tugasnya, tugas sebagai seorang penyelidik yang ingin menyelidiki tentang bokor emas. Kini baginya yang terpenting hanyalah urusan yang terjadi di depan matanya, yaitu menolong Madhula!

Kelemahannya sebagai seorang muda inilah yang mengkhawatirkan hati Panglima The Hoo dan Pendekar Cia Keng Hong ketika mendengar bahwa dara itu melakukan penyelidikan seorang diri, sungguhpun mereka tahu bahwa ilmu kepandaian dara itu sudah cukup tinggi untuk bekal penyelidikan berbahaya itu.

Madhula roboh telentang menyaksikan kematian Sanghida yang demikian menyedihkan. Dia tidak mencinta laki-laki tinggi besar itu. Dia mencinta suaminya, dan karena cintanya ini pula maka tidak seperti kaum wanita lainnya di pulau itu yang bahkan mengharapkan rayuan Ouw-yang-kongcu, dia menolak godaan pemuda itu. Akan tetapi dia pun tahu kini bahwa Sanghida mencintanya. Sahabat baik suaminya dan dia itu sesungguhnya mencintanya, dan kini menjadi korban karena kelicikan Ouwyang Bouw. Semua mata para penonton kini dapat berpesta pora dan melahap tubuh wanita cantik yang telentang polos itu, tidak terlindung lagi oleh kedua lengannya.

“Perempuan hina ini pun harus mampus!”

Rajid yang seperti kemasukan setan karena dendam dan cemburu, mengangkat goloknya membacok ke arah tubuh isterinya yang biasanya merupakan sebuah benda hidup yang paling disayangnya di dunia ini.

“Singg... tringggg!”






Golok itu terlempar ketika terbentur oleh sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh tangan Ouw-yang Bouw. Melihat ini, Li Hwa menjadi kagum dan maklumlah dia bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tak lemah!

“Ehhh... Ouwyang-kongcu... mengapa...?” Rajid memandang pemuda itu dengan mata penuh penasaran.

“He-heh, sabarlah, Rajid. Memang dia harus dihukum, akan tetapi hukuman seperti yang hendak kau lakukan itu kurang menarik. Pokoknya kau menghendaki dia mati, bukan? Nah, biarlah dia dihukum dengan caraku dan panggil semua wanita ke sini agar mereka menyaksikan pula betapa berat hukuman bagi mereka yang berani melanggar hukum kami di sini!”

Rajid mengangguk-angguk dan beberapa orang laki-laki sudah berlari memanggil semua wanita yang berada di pulau itu. Hanya ada dua puluh orang wanita tua muda yang datang ke situ dengan muka pucat. Para suami girang, dengan hal ini, mengharap isteri-isteri mereka takut dan tidak berani berjina dengan laki-laki lain. Akan tetapi, para wanita yang memandang dengan muka pucat itu mempunyai pengertian lain ketika mendengar kata-kata Ouwyang-kongcu.

“Kalian lihatlah. Begini nasib wanita yang berani melanggar hukum kami di sini!” kata Ouwyang-kongcu setelah menyuruh Rajid mengikat tubuh telanjang Madhula kepada sebuah tiang, diikat kaki dan tangannya pada tiang itu sehingga tubuh bagian depannya tampak nyata, sedikit pun tidak terlindung, kecuali rambut hitam panjang terurai yang sebagian menggantung ke depan.

Para wanita itu mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Ouwyang-kongcu, hukuman ini akan jatuh menimpa wanita yang berani menolak majikan muda itu!

Ouwyang Bouw yang agak miring otaknya itu memang mempunyai kegemaran yang aneh dan mengerikan. Dia sudah tergila-gila oleh wanita cantik maupun tidak cantik. Bahkan pernah dia tergila-gila oleh seorang wanita nenek-nenek, dan pernah pula tergila-gila kepada seorang anak perempuan yang masih kecil! Dan mereka semua harus menyerahkan diri kepadanya! Dia sama sekali tidak pemah memperkosa, dia tidak mau memperkosa wanita.

Akan tetapi dia mempunyai cara lain untuk membuat setiap orang wanita tunduk kepadanya dan mau menyerahkan diri, yaitu dengan ancaman dan bayangan penyiksaan yang mengerikan. Hampir semua wanita, besar kecil, tua muda yang menyerah kepadanya tentu didorong oleh rasa takut dan ngeri, bukan karena sukarela karena sikap pemuda ini, biarpun wajahnya tampan dan tubuhnya menarik, jelas menunjukkan gejala otak miring yang mendatangkan rasa ngeri dan menjijikkan!

Madhula masih pingsan ketika Ouwyang-kongcu mengeluarkan sebatang suling kecil yang panjangnya hanya dua jengkal. Mulailah pemuda itu menyuling. Suara suling yang melengking dengan nada tinggi membuat Li Hwa terkejut karena dia maklum bahwa suara melengking yang menggetar itu mengandung tenaga khi-kang yang kuat sekali.

Dia melihat betapa semua penonton kini berkumpul di belakang Ouwyang-kongcu, seolah-olah menanti sesuatu dengan penuh ketegangan. Adapun tubuh Madhula yang diikat pada tiang itu pun menghadap kepada mereka, sedangkan mayat Sanghida yang berlumuran darah menggeletak tak jauh diri kaki Madhula.

Sebelum ular itu tiba, Li Hwa sudah dapat menduga dengan hati diliputi penuh kengerian bahwa suara suling dari pemuda iblis itu tentulah merupakan tanda panggilan kepada ular-ularnya. Hal ini mudah saja diduga karena pertama, pemuda itu adalah putera Si Raja Ular! Ke dua, mereka berada di Pulau Ular, dan memang biasanya para ahli ular mengundang ular-ular mereka dengan suara melengking tinggi, biasanya suara suling.

Memang tepat dugaan Li Hwa. Akan tetapi ketika ular-ular itu datang, biarpun dia sudah menduganya, dia menjadi kaget bukan main karena tidak menyangka bahwa yang datang demikian banyaknya!

Rombongan demi rombongan ular berdatangan dari empat penjuru, dan warna kulit mereka pun berbeda-beda, ada yang hijau, ada yang hitam kemerah-merahan, kuning, dan ada yang belang-belang. Biarpun Li Hwa tidak mengenal banyak ular, namun dia dapat menduga bahwa ular-ular itu tentulah ular berbisa yang amat berbahaya.

Ular-ular yang lewat di dekat Ouwyang-kongcu dan anak buahnya, seperti takut menghadapi api, dan binatang yang merayap dekat cepat menyingkir dan mengambil jalan memutar. Setelah ular-ular itu tiba di tempat itu, Li Hwa hampir tidak kuat melihat lebih lama lagi.

Ular-ular yang mendesis-desis itu kini berebutan menyerang mayat Sanghida, melahap dan merobek-robek mayat itu sehingga mayat itu seperti hidup kembali karena bergerak-gerak ke sana-sini, seperti berkelojotan. Dalam waktu sebentar saja, habislah semua kulit, daging dan isi perut mayat itu, tinggal rangka yang kering, tidak ada setetes pun darah yang tampak karena semua telah dijilat habis!

Kini ular-ular itu mulai merayap, ke arah Madhula dan wanita ini pun baru siuman dari pingsannya. Dengan mata terbelalak ia tadi melihat betapa potongan-potongan daging terakhir dari Sanghida dibuat perebutan ular-ular itu. Dia maklum akan nasibnya, akan tetapi betapapun dia berusaha untuk memejamkan kedua matanya menerima maut, kedua mata itu malah selalu terbelalak kembali memandang ke arah ular-ular yang merayap-rayap di sekelilingnya.

Ular-ular itu adalah ular-ular kecil, paling besar dua kaki panjangnya dan jumiahnya ada empat puluh ekor lebih, menggeliat-geliat seperti sekumpulan cacing, akan tetapi tidak ada yang berani menyerang Madhula, agaknya menanti “perintah” suara suling yang masih terus melengking sejak tadi.

Memang benar demikian. Ular-ular itu seolah-olah bergerak menurut getaran suara suling dan tiba-tiba suara suling itu berubah merendah. Ular-ular itu kelihatan gelisah, kemudiah seekor demi seekor, ular-ular itu meninggalkan tempat itu, membuat semua penonton menjadi heran.

“Mengapa dia tidak dihukum?” Rajid membanting kaki dan memandang penasaran.

Ouwyang Bouw sudah melepas sulingnya dan sambil memandang ke arah tubuh Madhula dia berkata,

“Kurang menarik, kalau disuruh mengeroyok ular-ular kecil yang sudah kenyang itu. Dia yang sudah mau berjina dengan Sanghida, tentu tidak puas dengan ular-ular kecil itu. Kau lihatlah saja.”

Sambil berkata dia lalu menempelkan lubang suling di depan bibirnya dan kini terdengarlah lengking suara suling yang berbeda dari tadi. Suaranya naik turun dengan nada rendah, namun mengandung getaran yang amat kuat sehingga para penonton ada yang kelihatan menggigil kedua kakinya.

Tak lama kemudian terdengarlah suara mendesis-desis. Li Hwa terkejut dan memandang ke bawah. Seekor ular yang amat besar sedang merayap lewat dibawah pohon. Dia menggigil jijik. Ular ini berkulit hitam kehijauan, sepasang matanya seperti mata manusia, lidahnya merah menjilat-jilat keluar, besar tubuhnya sama dengan pahanya dan panjangnya ada sepuluh kaki!

Madhula juga sudah melihat ular itu dan wanita ini mengeluarkan rintihan panjang, mukanya makin pucat dan matanya terbelalak, penuh kengerian. Suara suling menuntun ular itu mendekat dan terdengarlah suara berbisik orang-orang yang menonton karena tegang dan tertarik ketika melihat betapa dengan perlahan ular besar itu mendekati tiang dimana tubuh Madhula terikat. Ular itu mendesis-desis, lidahnya yang merah makin sering menjilat-jilat. Melihat bentuk mulutnya yang besar agaknya dia akah sanggup menelan tubuh wanita Nepal itu!

Suara suling makin meninggi dan kini moncong ular mulai naik dan lidah itu mulai menjilati kaki yang telanjang. Madhula mengeluarkan suara rintihan ketika merasa betapa ular mulai merayap naik melalui betisnya!

Semua penonton menahan napas, mata mereka memandang melotot seperti hendak meloncat keluar dari pelupuknya. Ketika suara rintihan Madhula makin sering dan ular itu mentaati suara suling, kini merayapi seluruh tubuh telanjang itu, membelit-belit dan tampak seolah-olah ular itu membelai-belai tubuh Madhula seperti hendak mengajak wanita itu bermain cinta, para penonton menelan ludah penuh nafsu berahi dan gairah. Makin hebat suara suling yang ditiup Ouwyang Bouw, makin cepat ular itu bergerak-gerak, mengeliat-geliat menelusuri seluruh tubuh Madhula yang kini sudah memejamkan mata dan merapatkan kedua bibirnya, sama sekali tidak bersuara lagi.

Li Hwa menanti saat baik dan ketika kepala ular itu kebetulan merayap naik dan lebih tinggi dari kepala Madhula, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar perak meluncur ke arah kepala ular itu. Ular itu menggerakkan kepala seperti gila, berkelojotan dan tanpa disengaja dia mempererat belitannya pada tubuh Madhula. Kembali ada sinar perak menyambar dan kepala ular yang sudah ditembusi dua batang jarum perak itu terkulai, tubuhnya perlahan-lahan melepaskan belitan.

Akan tetapi betapa kagetnya hati Li Hwa ketika dia melihat darah bertetesan dari kedua bibir Ma-dhula yang dirapatkan. Dia cepat meloncat turun dari atas pohon sambil berteriak,

“Ouwyang Bouw manusia iblis yang kejam!”

Ouwyang Bouw sudah meloncat bangun, dan semua pembantunya yang tadi terheran-heran melihat ular itu menghentikan permainannya bahkan berkelojotan di bawah, kini juga marah dan siap untuk mengeroyok orang yang menjadi pengacau.

Akan tetapi ketika mereka melihat seerang dara yang amat cantik jelita melayang turun dari atas pohon, mencabut pedang dan membabat putus belenggu kaki tangan Madhula mereka tercengang dan memandang kagum!

Madhula membuka mata, membuka mulut akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar karena begitu mulutnya dibuka, darah menyembur keluar dan dengan penuh kengerian Li Hwa maklum bahwa wanita itu telah menggigit putus lidahnya sendiri! Dalam keadaan ngeri dan tersiksa, Madhula mengambil keputusan nekat, membunuh diri dengan menggigit lidahnya. Lidah itu putus di tengahnya, dan tidak mungkin nyawanya dapat tertolong lagi, apalagi karena dia telah mengeluarkan banyak sekali darah yang tadi dia paksa menelan darahnya sendiri agar jangan sampai Ouwyang-kongcu menyelamatkan nyawanya.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: