*

*

Ads

FB

Senin, 31 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 106

Melihat keadaan wanita itu, Li Hwa yang tadi memeluk tubuh yang terguling setelah belenggunya terlepas, perlahan-lahan menurunkan tubuh Madhula. Tubuh itu lemas dan orangnya sudah tidak ingat apa-apa lagi, darah terus mengalir keluar dari lidah yang buntung. Madhula dalam sekarat, seperti juga tubuh ular yang sekarat, hanya bedanya, kalau tubuh Madhula sama sekali tidak bergerak, tubuh ular itu berkelojotan, menggeliat-geliat dan darah mengalir keluar dari dua lubang kecil di antara kedua matanya.

Ouwyang Bouw tadi juga terkejut sekali. Gadis cantik itu telah dapat menyelundup ke dalam pulau tanpa ada yang tahu, bahkan telah berada di atas pohon tanpa dia sendiri mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dara itu tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi ketika dibuktikannya dengan membunuh ularnya menggunakan jarum, ini menjadi tanda pula bahwa dalam hal penggunaan senjata rahasia jarum dara itu belum tentu kalah lihai olehnya yang juga mahir menggunakan senjata rahasia jarum kecil merah yang berbisa.

Akan tetapi, kini Ouwyang Bouw telah dapat menguasai rasa kagetnya, matanya terputar-putar menggerayangi seluruh tubuh Li Hwa dan dia tertegun penuh kekaguman. Seorang dara yang masih muda, seorang perawan yang amat jelita, akan tetapi juga amat gagah perkasa! Begitu melihat Li Hwa, sekaligus hati Ouwyang Bouw telah jatuh! Selama petualangannya dengan wanita dari segala macam bentuk dan usia, dia merasa belum pernah dia memperoleh seorang dara muda seperti yang kini berdiri di depannya dengan sikap gagah perkasa itu! Dan dia harus memperolehnya, dengan cara bagaimanapun juga!

“Aihhh, harap Nona sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan seorang tamu agung seperti Nona sehingga tidak mengadakan penyambutan selayaknya!”

Ouwyang Bouw berkata sambil melangkah maju dan memberi hormat dengan menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada.

Diam-diam Li Hwa terkejut dan terheran. Tak disangkanya bahwa pemuda yang disohorkan sebagai seorang iblis muda yang kejam dan gila ini ternyata pandai bersikap demikian sopan-santun seperti seorang terpelajar dan bersusila! Terseret oleh sikap yang begitu hormat, otomatis dia pun mengangkat kedua tangan, membalas penghormatan. Teringat akan hal ini, dia terkejut dan cepat menurunkan lagi tangannya, diam-diam dia maklum betapa berbahaya dan lihainya pemuda ini yang dengan gerak dan kata-kata sudah dapat menyeretnya!

“Aku Souw Li Hwa bukan tamu dan tidak mengharap sambutan. Akan tetapi menyaksikan kekejaman yang biadab tadi, aku tak mungkin mendiamkannya saja. Bukankah engkau yang disebut Ouwyang Bouw, pemuda iblis yang gila?”

Biarpun anak buahnya sudah mengeluarkan suara marah, Ouwyang Bouw tersenyum saja mendengar makian ini, bahkan memandang makin kagum dan sesaat kedua bola matanya seperti lupa untuk berputaran seperti biasa.

“Dugaanmu benar, Nona Souw Li Hwa. Aku adalah Ouwyang Bouw, majikan muda dari Pulau Ular ini, dan aku merasa senang sekali dapat berkenalan denganmu. Bolehkah aku mengetahui apa sesungguhnya kehendak Nona memberi kehormatan kepada kami dengan mengunjungi pulau ini?”

Ditanya demikian, barulah Li Hwa teringat dan terkejut. Celaka! Rusaklah usahanya menyelidiki bokor emas yang katanya dibawa ke pulau itu! Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia membentak,

“Cih! Siapa sudi berkenalan denganmu? Aku datang hendak membunuhmu dan membersihkan pulau ini dari iblis-iblis macam kalian dan ular-ular jahat!”






“Hayaaa...! Dari mana datangnya nona cantik yang sombong ini?”

Tiba-tiba terdengar seruan orang dan muncullah dua orang kakek yang dipandang oleh Li Hwa dengan penuh perhatian. Yang berseru tadi adalah seorang kakek tua berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi sekali, tinggi kurus dengan leher panjang sehingga kalau dia bergerak-gerak, tubuhnya seperti seekor ular. Matanya sipit memandang tajam penuh selidik dan melihat kakek kurus tidak ragu lagi hati Li Hwa menduganya bahwa tentu kakek inilah Si Raja Ular Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.

Adapun kakek ke dua adalah seorang kakek yang lebih tua lagi, tujuh puluh tahun lebih usianya, juga tubuhnya tinggi kurus dan dia tidak berkata-kata, hanya terbatuk-batuk, rambutnya tidak terpelihara, panjang penuh uban, juga jenggot dan kumisnya tidak terpelihara. Karena pakaiannya sederhana, kakek ini makin kelihatan jorok (kotor).

Diam-diam Li Hwa menduga dengan hati penuh ketegangan bahwa tentu kakek ini yang disebut datuk sesat nomor satu Toat-beng Hoat-su. Tahulah dia bahwa dia telah dikurung oleh orang-orang jahat yang berlimu tinggi, namun sedikit pun hatinya tidak merasa takut, bahkan dia tidak mau berpura-pura lagi, dengan sikap gagah dan suara lantang dia bertanya,

“Apakah kalian berdua orang tua Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su?”

“Hemm, bocah sombong. Engkau telah mengenal kami. Siapakah engkau dan engkau yang masih amat muda dan cantik ini mengapa ingin membunuh diri dengan lancang memasuki Pulau Ular tanpa ijin?”

Ban-tok Coa-ong berkata, suaranya mengandung ancaman karena kakek ini telah menjadi marah sekali. Kalau ada orang luar berani memasuki pulaunya tanpa ijin, hal itu selain merupakan pelanggaran yang harus dihukum mati, juga merupakan penghinaan kepadanya karena menunjukkan bahwa Si Pelanggar itu memandang rendah kepadanya.

“Ayah, Nona ini bernama Souw Li Hwa, cantik jelita dan gagah perkasa. Ayah, sekarang aku mengambil keputusan untuk menikah. Bukankah Ayah sering mengatakan bahwa aku sudah cukup dewasa untuk menikah dan bahwa Ayah ingin sekali menimang cucu? Ayah, dia itulah calon isteriku!”

Mendengar kata-kata yang jelas membayangkan kegilaan ini, Li Hwa menjadi marah bukan main. Dia melangkah maju menudingkan telunjuk kirinya kepada Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong lalu membentak,

“Ban-tok Coa-ong, aku mendengar bahwa engkau dan Toat-beng Hoat-su sudah merampas bokor emas, maka aku datang untuk minta kembali bokor emas itu. Mungkin saja Suhu akan suka mengampuni kalian kalau kalian mengembalikan pusaka itu secara baik-baik kepadaku. Kalian tahu, kalau Suhu marah dan mendengar kalian tidak mau mengembalikan benda pusaka milik Suhu itu, kemana pun kalian melarikan diri dan bersembunyi, akhirnya kalian tentu akan menerima hukuman dari Suhu.”

Mula-mula Ban-tok Coa-ong marah sekali mendengar ucapan nona itu yang dianggapnya sombong. Akan tetapi ketika mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, dia dan Toat-beng Hoat-su terkejut.

“Kau... kau murid The Hoo?”

Toat-beng Hoat-su bertanya dengan alis berkerut dan hati masih ragu-ragu. The Hoo adalah seorang panglima besar yang amat terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Benarkah dara jelita yang muda ini muridnya?

“Panglima Besar The Hoo adalah guruku dan aku menerima tugas dari Suhu untuk minta kembali bokor emas yang terjatuh ke tangan kalian.” Li Hwa menjawab dengan suara lantang.

Muka Ban-tok Coa-ong berubah merah.
“Bagus, kau kira aku mudah menyerah begitu saja? Bocah lancang sombong, jangan kau mempergunakan nama The Hoo untuk menakut-nakuti Ban-tok Coa-ong!”

“Wuuuuttt...!”

Angin keras yang dahsyat menerjang ke arah Li Hwa ketika kakek bertubuh ular itu tahu-tahu telah menyerangnya. Kedua kakinya masih tidak bergeser, akan tetapi tubuh atasnya melengkung dan kedua tangannya dengan jari terbuka mencengkeram ke arah dara itu. Panjang tubuh disambung lengan cukup untuk menjangkau dan mencapai tubuh Li Hwa.

“Ayah, jangan lukai calon isteriku!” Ouwyang Bouw berseru.

Akan tetapi, betapapun lihai serangan itu, dengan mudah saja Li Hwa mengelak dengan gerakan cekatan sekali, dan lengannya bergerak, tangannya mengebut ke samping mengenai lengan tangan kanan kakek itu.

“Plakkk!”

Biarpun Li Hwa harus meloncat ke belakang karena pertemuan tenaga itu membuat lengannya tergetar, akan tetapi juga kakek Raja Ular itu merasa betapa kulit lengannya panas, tanda bahwa dara muda itu benar-benar memiliki kepandaian hebat dan tenaga sin-kang yang kuat!

Dengan marah dan penasaran, tanpa mempedulikan seruan puteranya, Ouwyang Kok sudah hendak menerjang lagi, akan tetapi Toat-beng Hoat-su mendekatinya dan membisikkan siasatnya,

“Tunggu... dia merupakan sandera yang baik dan berharga sekali... mungkin dapat ditukar dengan bokor...!”

Mendengar ini, Ban-tok Coa-ong menghentikan gerakannya hendak menyerang dan dengan wajah berseri kakek ini menghadapi Li Hwa dan berkata lantang

“Nona Souw Li Hwa. Engkau dapat menghindarkan seranganku, hal ini saja sudah membuat engkau cukup berharga untuk bicara denganku. Engkau mengaku murid The Hoo, dan puteraku jatuh cinta kepadamu. Semua itu baik-baik saja, akan tetapi engkau harus diuji lebih dulu apakah benar engkau murid The Hoo dan apakah engkau cukup berharga untuk menjadi mantuku, ha-ha-ha!”

Kakek Raja Ular itu menggapai kepada seorang Nepal yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan kumis jenggotnya lebat sekali hampir menutupi seluruh mukanya, sambil berkata,

“Maju dan lawanlah nona ini!”

Orang Nepal itu menyeringai sehingga tampaklah giginya yang besar-besar, dan dengan sikap jumawa sekali dia melangkah ke dalam lapangan itu menghadapi Li Hwa. Sengaja dia mengerahkan tenaga pada kedua kakinya sehingga langkahnya seperti langkah gajah, membuat tanah tergetar setiap kali dia membanting kakinya!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa mendengar ucapan Ban-tok Coa-ong tadi. Ucapan itu dianggap amat menghinanya, akan tetapi karena dia pun cukup maklum bahwa dia berada di sarang harimau dan menghadapi banyak lawan pandai, dia tidak mau terseret oleh kemarahannya.

Gurunya pernah mengatakan kepadanya bahwa dalam menghadapi lawan tangguh, yang terpenting sekali adalah sikap tenang dan sikap tenang ini akan rusak apabila membiarkan diri dikuasai pikiran yang mendatangkan kemarahan, ketakutan, atau kesombongan. Maka kini menghadapi raksasa Nepal itu, dia bersikap tenang, sedikit pun tidak merasa takut, juga tidak memandang rendah dan sama sekali bebas dari kemarahan.

Dengan sikapnya yang tenang, dia dapat memandang tajam dan segera dapat melihat bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang amat kuat dan otot-otot yang menggembung di seluruh tubuh raksasa ini telah terlatih, Namun, sekilas pandang saja Li Hwa sudah dapat menduga kelemahan lawan ini yaitu kelambanan gerak sehingga dia sudah tahu bahwa untuk mengalahkannya dia harus mengandalkan kecepatannya.

Dengan pikiran ini, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerangnya Li Hwa sudah menerjang maju dan mengirim dua kali pukulan beruntun ke arah dada dan lambung. Gerakannya cepat bukan main karena dara ini telah mempergunakan jurus Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat. Dua pukulan yang dilakukan kedua tangan itu pun mengandung dua macam tenaga keras dan lembut, akan tetapi keduanya amat berbahaya karena yang keras dapat meremukkan tulang, dan yang lembut dapat merusak urat syaraf!

“Plakk! Blukk!”

Li Hwa terkejut bukan main karena kedua pukulannya, baik yang mengandung tenaga Yang-kang (keras) maupun Im-kang (lembut) bertemu dengan kulit dada dan kulit lambung yang kerasnya seperti baja! Tak disangkanya sama sekali bahwa raksasa itu memiliki tubuh yang kebal dan kuat bukan main. Dan lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba kedua lengannya telah ditangkap oleh raksasa itu dan dengan tenaga yang seperti tarikan gajah, tubuh Li Hwa telah diangkat ke atas!

“Jangan bunuh dia...!” bentakan Ouwyang Bouw itu dijawab dengan suara tertawa bergelak oleh raksasa Nepal itu yang cepat melontarkan tubuh Li Hwa ke atas dan sambil bertolak pinggang dia tertawa-tawa menanti turunnya tubuh itu.

Dia jelas hendak mempermainkan tubuh dara itu seperti sebuah bola yang dilempar-lemparkan ke atas!

Li Hwa sudah mempergunakan gin-kangnya, ketika tubuhnya meluncur ke atas seperti anak panah meluncur, cepat dia berjungkir balik sampai lima kali untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian melayang turun. Dari atas dia melihat betapa lawannya sudah siap menyambutnya dengan kedua lengannya yang berbulu dan kuat sekali itu, kedua lengan yang sudah dikembangkan dan diacungkan ke atas. Sudah terdengar suara lawannya tertawa bergelak.

Li Hwa maklum bahwa kalau dia tidak dapat merobohkan lawan dari atas, dia akan tak berdaya sama sekali begitu tubuhnya tertangkap oleh kedua tangan yang kuat itu. Untuk mempergunakan jarum peraknya, dia tidak sudi karena hal itu berarti bahwa dia jerih menghadapi lawan dengan terbuka. Pula, dengan kehadiran dua orang datuk kaum sesat itu, menggunakan senjata rahasia pun takkan ada gunanya. Maka dia lalu menggunakan akal dan sengaja membuat tubuhnya melayang turun seperti seorang yang tidak berdaya dan ketakutan.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: