*

*

Ads

FB

Senin, 31 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 104

Kini pulau itu menjadi sebuah tempat tinggal yang indah akan tetapi juga menyeramkan bagi orang luar. Pulau itu bertanah subur, bahkan sebagian tanahnya telah diolah menjadi ladang yang subur dan yang menghasilkan bahan makanan, dikerjakan oleh anak buah Ban-tok Coa-ong.

Akan tetapi, datuk kaum sesat ini pun telah menangkap banyak ular-ular beracun dan ular-ular ini kemudian dilepas di pulaunya sehingga beberapa tahun kemudian, pulau ini penuh dengan ular dari segala macam ukuran dan warna, kesemuanya mengandung bisa yang amat jahat. Maka terkenallah Pulau Ular dan tidak ada seorang pun pelancong atau nelayan yang berani mendekati pulau itu.

Karena sudah bertahun-tahun tidak ada orang berani mendekati pulau, ditambah pula dengan keadaan pulau yang terlindung oleh tembok benteng tebal dan mengandalkan nama besarnya yang ditakuti, maka Ban-tok Coa-ong tidak melakukan penjagaan dan membiarkan pulau itu “terbuka”. Namun, semenjak Toat-beng Hoat-su datang dan berhasil membawa bokor emas, anak buah Ban-tok Coa-ong dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sekeliling pulau, di atas tembok-tembok benteng.

Anak buah Ban-tok Coa-ong yang tinggal di Pulau Ular terdiri dari orang-orang Nepal dan pribumi, tentu saja mereka adalah orang-orang dari golongan hitam. Mereka berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan sebagian di antara mereka ada yang membawa keluarga mereka. Bahkan di antara orang-orang Nepal adapula yang membawa isteri dan tinggal di Pulau Ular dengan beberapa orang anak mereka.

Karena bertahun-tahun tidak ada orang luar berani memasuki Pulau ular, maka anak buah Ban-tok Coa-ong tidak pernah menghadapi serangan musuh. Hal ini membuat mereka amat percaya kepada kekuatan sendiri, terutama mengandalkan nama besar pemimpin mereka. Biarpun kini mereka menerima tugas untuk berjaga-jaga, namun karena mereka tidak percaya akan ada orang berani datang ke pulau itu, mereka melakukan penjagaan dengan malas-malasan. Apalagi di pulau itu selain pemimpin mereka, Ban-tok Coa-ong yang sakti, masih terdapat pula putera pemimpin mereka itu yang mereka sebut Ouw-yang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang), bahkan masih ada lagi kakek tua renta yang kabarnya tidak kalah lihai dibandingkan pemimpin mereka yaitu Toat-beng Hoat-su.

Karena penjagaan yang tidak ketat itulah yang memudahkan Li Hwa untuk mendaratkan perahunya di pinggir Pulau Ular tanpa diketahui oleh para penjaga. Setelah menyembunyikan perahunya di dalam semak-semak di pinggir telaga, Li Hwa lalu mulai dengan penyelidikannya, menuju ke tengah pulau dimana tampak olehnya bangunan-bangunan pondok. Dia melihat para penjaga, makin ke tengah makin banyak, akan tetapi para penjaga itu sedang bercakap-cakap dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan penjagaan mereka.

Apalagi ketika dia tiba di antara pondok-pondok yang berdiri berjajar di tengah pulau, dia meihat betapa banyak penjaga sedang tertarik oleh sebuah peristiwa yang terjadi di tempat terbuka depan sebuah pondok terbesar, Li Hwa menyelinap di antara pobon-pohon dan pondok-pondok, kemudian berhasil meloncat naik ke atas sebuah pohon besar dan mengintai ke bawah.

Ada belasan orang laki-laki membentuk sebuah lingkaran lebar tempat itu. Mereka itu terdiri dari tujuh orang Nepal yang berambut panjang dan selebihnya orang Han biasa, dan rata-rata mereka bersikap kasar dan pada saat itu mereka tersenyum menyeringai lebar seolah-olah menghadapi sebuah tontonan yang menarik hati.

Di ujung sana duduk seorang pemuda berwajah tampan yang menyeringai lebar dan mata pemuda tampan ini bergerak-gerak liar menyeramkan. Melihat sikap dan pakaiannya yang seperti pakaian seorang putera bangsawan itu, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang yang tinggi kedudukannya di antara mereka, dan bahkan Li Hwa dapat menduga bahwa agaknya pemuda itu adalah Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang kabarnya memiliki kekejaman melebihi ayahnya.






Akan tetapi pada saat itu, yang menarik perhatian Li Hwa adalah tontonan yang membuat belasan orang itu tertarik, yaitu yang terdapat di tengah-tengah lingkaran mereka. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita. Melihat bentuk wajah dan model rambut mereka, mudah diketahui bahwa laki-laki dan wanita itu tentulah bangsa asing Nepal seperti tujuh orang pria yang menonton di situ.

Laki-laki itu tinggi besar, usianya antara empat puluh tahun, sedangkan wanitanya berkulit putih tidak seperti kaum prianya, berusia antara tiga puluh tahun. Yang mengherankan hati Li Hwa adalah bahwa bahwa kedua orang itu telanjang bulat sama sekali! Wanita itu kelihatan takut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar memandang ke sana-sini seperti orang minta tolong. Sedangkan yang pria hanya menunduk, kelihatannya seperti orang yang sudah putus harapan dan menyerahkan diri kepada nasib.

Tiba-tiba pemuda tampan yang bermata liar, yang memang bukan lain adalah Ouwyang Bouw itu, mengangkat tangan ke atas dan agaknya ini merupakan isyarat karena semua orang yang tadinya menonton sambil berbisik-bisik, kini diam semua, dan hanya memandang ke arah wanita telanjang bulat yang berusaha sedapat mungkin untuk menggunakan kedua tangannya menutupi tubuhnya, lengan kiri melintang di depan dada dan tangan kanan menutupi bagian bawah pusarnya, kedua kaki dirapatkan dan wanita itu berlutut setengah menelungkup, hanya mukanya diangkat ke atas memandang kepada para penonton dengan sinar mata minta pertolongan. Adapun laki-laki telanjang itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya sambil berlutut dan menundukkan muka.

“Hemmm, kalian sudah tertangkap basah. Sanghida, kau mau bilang apa lagi? Mengapa engkau berjina dengan isteri Rajid?”

Laki-laki telanjang itu makin menunduk dan dengan suara lemah dia menjawab,
“Saya mencinta dia, Ouwyang-kongcu.”

“Benarkah? Apa engkau menganggap dia cukup berharga, untuk kau bela dengan nyawa?”

Sanghida, orang Nepal itu, mengangguk.
“Saya bersedia membelanya dengan nyawa.”

“Ha-ha-ha, agaknya Madhula pandai sekali melayanimu sehingga engkau tergila-gila, ha-ha-ha!”

Ouwyang Bouw tertawa dan semua orang yang menonton ikut pula tertawa, kecuali seorang di antara mereka yang bertubuh gemuk, seorang Nepal yang mukanya merah.

“Heii, Madhula! Engkau yang berjina dengan laki-laki lain, apakah senang kepada Sanghida daripada kepada suamimu sendiri?” Kembali Ouw-yang Bouw bertanya, kini ditujukan kepada wanita itu.

Wanita itu menoleh dan memandang kepada Ouwyang Bouw dengan sinar mata penuh kemarahan. Li Hwa dari atas dapat melihat bahwa wanita itu memang cantik sekali, kecantikan yang aneh, khas dan menarik.

“Ouwyang-kongcu, engkau tentu lebih tahu apa yang telah terjadi! Karena aku telah menolak cintamu, menolak bujukan dan rayuanmu untuk berjina denganmu karena aku selalu setia kepada suamiku, maka engkau telah mempergunakan Si Jahanam Sanghida ini untuk memperkosaku! Engkau menaruh racun dalam minuman kami sehingga kami berdua teracun dan mabok, melakukan perbuatan di luar kesadaran kami berdua selagi suamiku kau suruh berjaga di luar. Kemudian kau sendiri yang sengaja menangkap kami dan menuduh kami berjina. Semua ini kau lakukan untuk membalas penolakanku terhadap bujukanmu!”

“Tutup mulutmu!”

Ouwyang Bouw membentak marah sekali, akan tetapi kemudian dia tertawa-tawa lagi. Sikap yang berubah-ubah ini amat menyeramkan, dan Li Hwa yang berada di atas pohon menduga bahwa agaknya pemuda itu memang benar-benar gila seperti disohorkan dunia kang-ouw.

“Semua tuduhan itu tidak ada buktinya. Akan tetapi perjinaan kalian sudah jelas terbukti. Kalau kalian tidak berjina, mana mungkin kalian berdua berada dalam satu kamar dan satu pembaringan tanpa pakaian sama sekali?” Dia tertawa dan semua orang tertawa pula.

Wanita itu tidak menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan kepada Ouwyang Bouw.

Pemuda ini kembali tertawa bergelak dan secara tiba-tiba menghentikan ketawanya, memandang wanita itu dan berkata,

“Madhula, engkau memang cantik sekali, pantas diperebutkan oleh kaum pria. Heii, Rajid, apa katamu? Setelah kau melihat sendiri betapa isterimu dipeluk dan ditiduri oleh Sanghida, beranikah engkau mempertahankannya dan melawan Sanghida?”

Orang Nepal yang bermuka merah dan bertubuh gemuk, yang sejak tadi bermuka muram dan tidak Ikut tedawa seperti yang lain, meloncat ke depan, memandang kepada dua orang yang telanjang itu, kemudian meludah ke bawah dan berkata,

“Perbuatan mereka yang terkutuk ini sudah jelas! Anjing jantan ini harus dibunuh dan anjing betina ini pun tidak patut dibiarkan hidup!”

“Ha-ha-ha, kalau begitu, kuberikan Sanghida kepadamu, Rajid!” kata Ouw-yang Bouw.

Mendengar ucapan ini, orang Nepal yang gemuk itu mengeluarkan suara teriakan keras dan tubuhnya sudah cepat menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan terkepal ke arah kepala Sanghida yang telanjang. Biarpun tubuhnya gemuk, akan tetapi orang Nepal bermuka merah ini gerakannya cepat, menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.

Akan tetapi, dengan tangan kiri masih menutupi bawah pusarnya, Sanghida mengelak dan meloncat ke belakang. Gerakannya sigap sekali dan ketika Rajid menerjang lagi, Sanghida menangkis dengan lengan kanan. Tubuh Rajid terhuyung ke belakang dan ternyata bahwa dia kalah tenaga.

“Rajid... aku tidak ingin bertempur denganmu...!”

Sanghida berkata dan kembali dia menangkis, kini sambil menangkis, tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan Rajid dan sekali menariknya, tubuh Rajid terdorong ke depan dan hampir terbanting jatuh. Rajid makin marah, mukanya makin merah ketika dia meloncat membalik dan mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang golok melengkung dan tajam sekali.

Li Hwa yang besembunyi di atas pohon, memandang dengan alis berkerut. Dia tidak merasa ngeri menonton pertempuran karena gadis ini sudah terbiasa dengan pertempuran dan perang, apalagi dia sendiri sudah menghadapi pertandingan seringkali.

Akan tetapi yang membuat dia merasa ngeri dan canggung karena malu adalah melihat betapa Sanghida bertanding dengan tubuh telanjang bulat! Selama hidupnya belum pernah dia melihat laki-laki telanjang dan kini dia melihat seorang laki-laki tinggi besar bertelanjang bulat dan berkelahi pula! Kalau mungkin, dia ingin menjauhkan pandangan matanya dari tubuh bawah laki-laki telanjang itu, akan tetapi karena dia ingin pula melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu, terpaksa dia menonton terus dan sedapat mungkin menghindarkan pandang matanya dari bagian yang dianggap mendatangkan rasa malu luar biasa itu.

“Rajid... aku tidak mau bertanding melawanmu. Aku sudah bersalah kepadamu, kau sahabatku dan... dan Madhula...”`

“Tutup mulutmu!” Rajid membentak dan goloknya sudah menyambar lagi.

“Singgg...!”

Sinar menyilaukan mata dari golok itu agaknya tentu akan dapat membabat tubuh tinggi besar itu buntung menjadi dua kalau mengenai sasaran, akan tetapi Sanghida ternyata amat tangkasnya. Kini menghadapi penyerangan lawan yang memegang golok, biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi, dia terpaksa harus menggunakan kedua tangannya sehingga dia sama sekali tidak lagi dapat menutupi bagian tubuh bawahnya. Tentu saja hal ini mendatangkan penglihatan yang luar biasa, lucu bagi para penonton pria, akan tetapi mendirikan bulu roma bagi Li Hwa!

“Rajid... maafkan aku...! Aku seorang laki-laki sejati, harus membela diri kalau diserang... dan kami... aku dan Madhula... kami melakukan hal itu tanpa kami sengaja...”

“Siuuutttt... plak! Plak!”

Sambil mengelak, Sanghida berhasil menampar lengan kanan Rajid sehingga sambaran golok menyeleweng dan tamparan ke dua mengenai pundak Rajid, membuat suami yang penuh cemburu dan kemarahan ini terhuyung pula.

“Sanghida! Engkau atau aku yang harus mampus untuk memperoleh Madhula!” Rajid membentak pula. “Kalau aku mati, kau boleh mengambil dia, kalau kau yang mati, dia harus kuhukum mampus pula!”

“Rajid...! Kau boleh membunuh aku, tapi jangan membunuh dia! Dia tidak berdosa... seperti yang dikatakannya tadi, kami terkena racun perangsang... auuhhh...!” Tiba-tiba Sanghida terhuyung ke belakang dan Rajid menubruk ke depan, goloknya menyambar.

“Crapppp.... Aduuhhh...!”

Perut Sanghida terobek oleh golok, tubuhnya terjengkang dan darah muncrat keluar dari perut itu, diikuti oleh isi perut yang keluar dari luka lebar itu. Tubuh Sanghida berkelojotan, namun tidak lama karena Rajid sudah membacokkan goloknya dua kali yang membuat leher lawannya putus!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: