“Terserah, asal menampar kepala.”
Kun Liong diam diam girang sekali dan merasa sudah dapat membalas dendam mempermainkan dara galak itu.
“Kalau pelan pelan boleh, kan?”
“Pokoknya asal menggunakan tangan menampar kepala.”
Jantung Kun Liong berdebar karena dia sudah membayangkan betapa kepalanya akan dielus elus oleh telapak tangan yang halus itu!
“Baiklah. Nah, awas, aku akan mulai!”
Giok Keng menggerakkan tangan kanannya dan tepat seperti yang diduga dan dikehendaki Kun Liong, telapak tangan yang halus dan hangat itu menjamah kepala gundul itu tiga kali.
“Sudah cukup tiga kali!” kata Giok Keng sambil melangkah mundur, geli juga meraba kepala yang gundul kelimis itu.
“Terima kasih, enak sekali!” kata Kun Liong sambil membungkuk dan tersenyum lebar.
“Pringas pringis (menyeringai), bilang saja ingin diusap kepalanya, pura pura minta ditampar!”
“Sudah pantas saja, Piauw sumoi, untuk obat kepalaku yang masih terasa nyeri oleh tamparanmu tadi. Jadi Cia-supek dan Supek bo tidak berada di rumah?”
“Tidak, karena itu, lain kali saja kau datang menjumpai mereka. Akan tetapi awas, kau sudah berjanji tidak akan mengadu kepada mereka!”
“Wah, kau tidak percaya kepadaku? Eh, sumoi, namamu Cia Giok Keng, ya? Sekarang aku ingat. Indah sekali namamu, seindah... orangnya... eh, maksudku... eh, kau cantik sekali, Piauw moi, dan ilmu silatmu lihai bukan main. Aku kagum sekali kepadamu.”
“Dan aku benci kepadamu!”
“Oh, ya? Sebaliknya, aku sangat cinta kepada diriku ini!”
“Aku benci, terutama kepalamu.”
“Dan aku terutama sekali sayang kepada kepalaku ini.”
Kun Liong mengelus kepalanya. Betapa dia tidak sayang? Kepalanya mendatangkan banyak “untung” jika dia bertemu dengan dara~dara jelita! Sambil tersenyum lebar dia lalu menjura dan berkata lagi,
“Nah, aku pergi, Piauw-sumoi yang cantik dan galak. Sampai bertemu lagi, ya?”
“Tidak sudi! Sekalipun cukuplah.”
“Uihh, jangan begitu! Bagaimana kalau kelak orang tuarnu minta kau berjumpa dengan aku?”
“Tidak usah, ya!”
Kun Liong tertawa bergelak lalu meninggalkan nona itu yang masih membanting-banting kaki saking jengkelnya.
Biarpun mulutnya tertawa-tawa dan hatinya lega karena sudah berhasil membalas dara galak itu, menggodanya dan berhasil pula dielus elus kepalanya oleh tangan halus itu, namun diam-diam Kun Liong merasa penasaran sekali. Harus dia akui bahwa ilmu kepandaian Giok Keng amat hebat dan agaknya kalau bertempur sungguh sungguh, dia tidak akan mampu menandingi dara itu yang sejak kecil tentu digembleng ayah bundanya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaian ayah bundanya sendiri. Dia harus mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi! Kalau tidak, apa dayanya untuk mencegah perbuatan jahat kalau dia bertemu dengan orang-orang seperti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok dan Siang tok Mo li Bu Leng Ci?
Akan tetapi, kemana dia harus belajar ilmu? Kalau saja dia dapat menjadi murid supeknya, Cia Keng Hong, tentu dia akan memperoleh kemajuan hebat. Akan tetapi dia bergidik kalau mengingat akan kegalakan Giok Keng. Baru bertemu saja sudah cekcok dan berkelahi, apalagi kalau tinggal serumah. Tentu seperti kucing dengan anjing! Teringat ini, Kun Liong tertawa.
Dara itu dimakinya seperti kucing, dan memang pantas! Dan dia anjingnya. Ha ha! Mana ada anjing gundul? Kembali dia mengelus kepalanya dan teringatlah dia akan Pek pek, anjingnya yang berbulu putih seperti kapas, yang dahulu menumpahkan obat ayahnya. Ke manakah anjing itu pergi? Sudah matikah? Kata ayahnya, Pek pek dahulu ditemukan di dekat Kuil Siauw lim si. Ahhh...! Benar! Kuil Siauw-lim si! Siauw-lim pai adalah sebuah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang sakti. Ayahnya sendiri pun bekas murid Siauw-lim-pai. Dia harus pergi ke Kuil Siauw-lim-si, belajar kepada tokoh tokoh Siauw-lim pai!
Bukan niat ini saja yang mendorong Kun Liong pergi mengunjungi Kuil Siauw-lim si, akan tetapi juga ada dugaan bahwa ayah dan ibunya tentu mengunjungi kuil itu pula. Kalau tidak ada di rumah Cia Keng Hong, kemana lagi ayah dan ibunya akan pergi? Setidaknya tentu akan singgah di Siauw lim si, karena ketika ayahnya mencarikan obat untuk para perwira yang terluka, bukankah ayahnya juga pergi ke Siauw-lim si ?
Bekal pemberian kakek pamannya tinggal tak berapa lagi, akan tetapi dengan berhemat, kadang kadang hanya makan buah-buah dan binatang hutan cukup juga sisa bekal itu mengantarnya sampai ke Kuil Siauw lim si. Kuil besar yang berada di lereng bukit itu kelihatan megah, membesarkan hati Kun Liong akan tetapi juga menimbulkan ketegangan karena menduga duga apakah dia akan berhasil mendapatkan keterangan tentang ayah bundanya di kuil itu, dan apakah dia akan dapat menjadi murid Siauw-lim si.
Menjadi murid Siauw lim pai? Tak mungkin, pikirnya ketika dia tiba-tiba teringat bahwa ayahnya sendiri sudah keluar dari Siauw-lim si dan tidak diakui sebagai murid. Biarpun ayahnya tidak pernah menceritakan sebabnya, namun dia tahu bahwa dengan menyebut dirinya “bekas murid Siauw lim pai” berarti ayahnya tidak lagi diakui sebagai murid.
Kalau para hwesio tokoh Saiuw-lim pai tahu bahwa dia adalah anak Yap Cong San yang telah tak diakui lagi sebagai murid, mana mungkin Siauw-lim pai mau menerimanya. Pikiran ini membuat dia berkeputusan untuk menyelidiki ayah ibunya di kuil itu tanpa mengaku bahwa dia adalah putera mereka.
Demikianlah, pada suatu hari menjelang senja, dia telah berdiri di depan pintu gerbang Kuil Siauw-lim si yang menjadi pusat dari Siauw-lim pai yang terkenal. Berbeda dengan kuil kuil Siauw-lim si yang menjadi cabang Siauw lim-pai, kuil pusat ini selain besar, juga amat luas dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi dengan pintu-pintu gerbang yang dijaga oleh dua orang hwesio siang malam, seperti sebuah benteng saja!
“Apa? Engkau hendak mengabdi kepada kuil kami, orang muda? Dan untuk keperluan itu engkau telah mendahului membuang rambutmu?” tanya kepala penjaga yang diberi laporan oleh penjaga pintu gerbang akan datangnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul yang datang untuk mengabdi dan menjadi kacung di kuil itu.
Karena tidak ingin banyak rewel, Kun Liong menjawab,
“Demikianlah, Losuhu, sungguhpun teecu tidak sengaja. Harap saja Suhu sudi menerima teecu.”
“Hemm, urusan menerima seorang kacung harus diputuskan oleh ketua sendiri, karena kami tidak berani bertanggung jawab kalau kalau ada pihak musuh yang menyelundup.”
Di dalam hatinya, Kun Liong mencela hwesio ini. Orang yang sudah menjadi hwesio, berarti menyerahkan jiwa raganya kepada agama, dan orang beragama berarti orang yang melakukan hidup suci, mengapa masih mengaku punya musuh? Akan tetapi karena niatnya hanya ingin menyelidiki kalau kalau ayah bundanya berada di situ dan untuk mencari kesempatan belajar limu silat tinggi, Kun Liong tidak banyak rewel dan mengikuti kepala penjaga yang membawanya menghadap Ketua Siauw lim pai.
Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ketua Siauw lim pai adalah bekas suheng ayahnya sendiri yang berilmu tinggi dan bernama Thian Kek Hwesio, maka dengan jantung berdebar dia menghadap ketua ini.
Memang benar demikian. Thian Kek Hwesio sendiri yang menerima pelaporan kepala penjaga dan Kun Liong menjadi kecut hatinya ketika melihat bahwa ketua kuil itu adalah seorang hwesio yang amat menakutkan, berusia delapan puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan berkulit hitam, matanya seperti kelereng besar, dan sikapnya keren, kelihatan galak bukan main! Memang demikianlah keadaan Thian Kek Hwesio, wataknya sesuai dengan tubuhnya, kasar dan jujur namun memiliki hati emas!
“Saudara muda, kepalamu kenapakah?”
Suara Thian Kek Hwesio besar dan kasar, namun nada suaranya tidak menyinggung hati Kun Liong yang berlutut di depan hwesio itu di samping hwesio kepala penjaga.
“Teecu makan jamur di hutan dan rambut teecu lalu rontok semua, Lo-suhu.”
Kun Liong membohong. Dia terpaksa membohong karena kalau dia bicara terus terang, tentu akan berkepanjangan dan dia tidak akan dapat menyembunyikan keadaannya lagi sehingga sia-sialah usahanya.
“Omitohud...! Engkau keracunan, orang muda. Racun yang hebat sekali yang dapat membuat rambut rontok seperti itu! Dan biasanya, racun yang tidak merenggut nyawa, hanya merontokkan rambut berarti bahwa racun itu bertemu dengan racun lain sehingga daya mautnya punah. Engkau masih beruntung!”
Diam-diam Kun Liong kagum sekali. Kini dia mengerti mengapa rambut kepalanya habis. Tentu racun ular dan racun jarum Ouwyang Bouw saling bertanding dalam tubuhnya, urung mencabut nyawanya akan tetapi berhasil menghabiskan rambutnya! Kalau dia dapat berguru kepada kakek ini, akan tetapi ah, tidak banyak selisihnya tentu dengan kepandaian ayahnya. Mereka hanya sute dan suheng.
Bukan, bukan kepada Ketua Siauw-lim-pai ini dia ingin berguru, akan tetapi kepada Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya atau sukongnya (kakek gurunya)! Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek sakti itu telah mengasingkan diri di dalam Kuil Siauw Llim si ini, di dalam sebuah kamar yang disebut Ruang Kesadaran! Dan menurut ayahnya, sampai sekarang kakek sakti itu masih hidup. Tentu sudah amat tua, sedikitnya seratus tahun usianya. Kepada sukongnya itulah dia ingin berguru!
“Sebetuinya di sini sudah tidak membutuhkan lagi bantuan seorang kacung, karena banyak sudah anak murid yang melakukan semua pekerjaannya, akan tetapi karena secara mujijat sekali rambut kepalamu menjadi habis tanpa dicukur, seolah-olah Tuhan sendiri yang menakdirkan engkau menjadi calon hwesio, maka biarlah pinceng (aku) menerima pengabdianmu. Kau bekerjalah di sini membantu para hwesio kecil, kelak kalau memenuhi syarat, engkau boleh menjadi anak murid dan masuk menjadi hwesio. Siapakah namamu?”
“Teecu she Liong, bernama Kun.” Kun Liong membohong.
“Baiklah, kami sebut engkau Liong-ji (Anak Liong). Kau ikutlah kepada kepala penjaga ini. Berikan sebuah kamar untuk dia bersama para hwesio kecil dan serahkan beberapa pekerjaan harian suruh dia bantu,” kata ketua itu yang sudah duduk bersila kembali sambil memejamkan mata.
Kepala penjaga itu memberi hormat, kemudian menyentuh lengan Kun Liong diajak keluar dari kamar ketua itu.
Demikianlah, Kun Liong yang di situ terkenal dengan sebutan Liong ji, bekerja di dalam Kuil Siauw-lim-si, membantu tukang kebun. Pekerjaan ini menyenangkan hatinya karena dia lebih bebas. Dari percakapannya dengan para hwesio kecil yang dipancing pancingnya secara lihai, Kun Liong mendengar, bahwa ayahnya dan ibunya tidak pernah datang ke kuil ini semenjak yang terakhir ayahnya datang minta obat. Juga dia mendengar bahwa Tiang Pek Hosiang masih bertapa di dalam Ruang Kesadaran tanpa ada yang berani mengusiknya. Dia telah tahu pula di mana letak kamar itu, di dekat kamar gudang penyimpanan pusaka Siauw-lim-pai yang siang malam dijaga oleh empat orang hwesio secara bergilir.
Kecewa juga hati Kun Liong mendengar bahwa ayah bundanya tidak pernah datang ke kuil itu, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa siapapun juga, baik dia anggauta Siauw-lim-pai atau orang luar, dilarang keras memasuki dua tempat tanpa ijin ketua sendiri, pertama adalah kamar Ruang Kesadaran yang pintunya selalu tertutup dan kabarnya ketua sendiri tidak berani mengusiknya, kedua adalah gudang pusaka yang jarang dibuka hanya oleh ketua sendiri untuk mengambil atau menyimpan sesuatu. Hilanglah harapannya untuk dapat berguru kepada Tiang Pek Hosiang yang telah belasan tahun lamanya bertapa di dalam kamar itu!
Sebulan telah lewat. Malam itu gelap dan sunyi. Agaknya semua hwesio telah tidur pulas, kecuali tentu saja mereka yang bertugas jaga. Akan tetapi Kun Liong tak dapat tidur. Dia telah membuang waktu sia-sia selama sebulan dan dia sudah mengambil keputusan tetap untuk mencoba menghadap Tiang Pek Hosiang, apapun juga yang menjadi risikonya.
Dia mendengar bahwa siapa berani melanggar dua larangan itu akan dihukum mati. Biarlah kalau dia ketahuan dan dihukum mati. Biarlah kalau orang-orang yang sudah menjadi hwesio, berarti memasuki penghidupan suci masih mau menghukum mati orang! Kalau dalam hal ini dia gagal, besok pagi dia akan minggat dari tempat ini. Hal ini mudah dilakukan karena tugasnya sebagai pembantu tukang kebun memungkinkan dia untuk keluar dari pintu gerbang, membersihkan halaman di luar pintu gerbang.
Kun Liong diam diam girang sekali dan merasa sudah dapat membalas dendam mempermainkan dara galak itu.
“Kalau pelan pelan boleh, kan?”
“Pokoknya asal menggunakan tangan menampar kepala.”
Jantung Kun Liong berdebar karena dia sudah membayangkan betapa kepalanya akan dielus elus oleh telapak tangan yang halus itu!
“Baiklah. Nah, awas, aku akan mulai!”
Giok Keng menggerakkan tangan kanannya dan tepat seperti yang diduga dan dikehendaki Kun Liong, telapak tangan yang halus dan hangat itu menjamah kepala gundul itu tiga kali.
“Sudah cukup tiga kali!” kata Giok Keng sambil melangkah mundur, geli juga meraba kepala yang gundul kelimis itu.
“Terima kasih, enak sekali!” kata Kun Liong sambil membungkuk dan tersenyum lebar.
“Pringas pringis (menyeringai), bilang saja ingin diusap kepalanya, pura pura minta ditampar!”
“Sudah pantas saja, Piauw sumoi, untuk obat kepalaku yang masih terasa nyeri oleh tamparanmu tadi. Jadi Cia-supek dan Supek bo tidak berada di rumah?”
“Tidak, karena itu, lain kali saja kau datang menjumpai mereka. Akan tetapi awas, kau sudah berjanji tidak akan mengadu kepada mereka!”
“Wah, kau tidak percaya kepadaku? Eh, sumoi, namamu Cia Giok Keng, ya? Sekarang aku ingat. Indah sekali namamu, seindah... orangnya... eh, maksudku... eh, kau cantik sekali, Piauw moi, dan ilmu silatmu lihai bukan main. Aku kagum sekali kepadamu.”
“Dan aku benci kepadamu!”
“Oh, ya? Sebaliknya, aku sangat cinta kepada diriku ini!”
“Aku benci, terutama kepalamu.”
“Dan aku terutama sekali sayang kepada kepalaku ini.”
Kun Liong mengelus kepalanya. Betapa dia tidak sayang? Kepalanya mendatangkan banyak “untung” jika dia bertemu dengan dara~dara jelita! Sambil tersenyum lebar dia lalu menjura dan berkata lagi,
“Nah, aku pergi, Piauw-sumoi yang cantik dan galak. Sampai bertemu lagi, ya?”
“Tidak sudi! Sekalipun cukuplah.”
“Uihh, jangan begitu! Bagaimana kalau kelak orang tuarnu minta kau berjumpa dengan aku?”
“Tidak usah, ya!”
Kun Liong tertawa bergelak lalu meninggalkan nona itu yang masih membanting-banting kaki saking jengkelnya.
Biarpun mulutnya tertawa-tawa dan hatinya lega karena sudah berhasil membalas dara galak itu, menggodanya dan berhasil pula dielus elus kepalanya oleh tangan halus itu, namun diam-diam Kun Liong merasa penasaran sekali. Harus dia akui bahwa ilmu kepandaian Giok Keng amat hebat dan agaknya kalau bertempur sungguh sungguh, dia tidak akan mampu menandingi dara itu yang sejak kecil tentu digembleng ayah bundanya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaian ayah bundanya sendiri. Dia harus mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi! Kalau tidak, apa dayanya untuk mencegah perbuatan jahat kalau dia bertemu dengan orang-orang seperti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok dan Siang tok Mo li Bu Leng Ci?
Akan tetapi, kemana dia harus belajar ilmu? Kalau saja dia dapat menjadi murid supeknya, Cia Keng Hong, tentu dia akan memperoleh kemajuan hebat. Akan tetapi dia bergidik kalau mengingat akan kegalakan Giok Keng. Baru bertemu saja sudah cekcok dan berkelahi, apalagi kalau tinggal serumah. Tentu seperti kucing dengan anjing! Teringat ini, Kun Liong tertawa.
Dara itu dimakinya seperti kucing, dan memang pantas! Dan dia anjingnya. Ha ha! Mana ada anjing gundul? Kembali dia mengelus kepalanya dan teringatlah dia akan Pek pek, anjingnya yang berbulu putih seperti kapas, yang dahulu menumpahkan obat ayahnya. Ke manakah anjing itu pergi? Sudah matikah? Kata ayahnya, Pek pek dahulu ditemukan di dekat Kuil Siauw lim si. Ahhh...! Benar! Kuil Siauw-lim si! Siauw-lim pai adalah sebuah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang sakti. Ayahnya sendiri pun bekas murid Siauw-lim-pai. Dia harus pergi ke Kuil Siauw-lim-si, belajar kepada tokoh tokoh Siauw-lim pai!
Bukan niat ini saja yang mendorong Kun Liong pergi mengunjungi Kuil Siauw-lim si, akan tetapi juga ada dugaan bahwa ayah dan ibunya tentu mengunjungi kuil itu pula. Kalau tidak ada di rumah Cia Keng Hong, kemana lagi ayah dan ibunya akan pergi? Setidaknya tentu akan singgah di Siauw lim si, karena ketika ayahnya mencarikan obat untuk para perwira yang terluka, bukankah ayahnya juga pergi ke Siauw-lim si ?
Bekal pemberian kakek pamannya tinggal tak berapa lagi, akan tetapi dengan berhemat, kadang kadang hanya makan buah-buah dan binatang hutan cukup juga sisa bekal itu mengantarnya sampai ke Kuil Siauw lim si. Kuil besar yang berada di lereng bukit itu kelihatan megah, membesarkan hati Kun Liong akan tetapi juga menimbulkan ketegangan karena menduga duga apakah dia akan berhasil mendapatkan keterangan tentang ayah bundanya di kuil itu, dan apakah dia akan dapat menjadi murid Siauw-lim si.
Menjadi murid Siauw lim pai? Tak mungkin, pikirnya ketika dia tiba-tiba teringat bahwa ayahnya sendiri sudah keluar dari Siauw-lim si dan tidak diakui sebagai murid. Biarpun ayahnya tidak pernah menceritakan sebabnya, namun dia tahu bahwa dengan menyebut dirinya “bekas murid Siauw lim pai” berarti ayahnya tidak lagi diakui sebagai murid.
Kalau para hwesio tokoh Saiuw-lim pai tahu bahwa dia adalah anak Yap Cong San yang telah tak diakui lagi sebagai murid, mana mungkin Siauw-lim pai mau menerimanya. Pikiran ini membuat dia berkeputusan untuk menyelidiki ayah ibunya di kuil itu tanpa mengaku bahwa dia adalah putera mereka.
Demikianlah, pada suatu hari menjelang senja, dia telah berdiri di depan pintu gerbang Kuil Siauw-lim si yang menjadi pusat dari Siauw-lim pai yang terkenal. Berbeda dengan kuil kuil Siauw-lim si yang menjadi cabang Siauw lim-pai, kuil pusat ini selain besar, juga amat luas dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi dengan pintu-pintu gerbang yang dijaga oleh dua orang hwesio siang malam, seperti sebuah benteng saja!
“Apa? Engkau hendak mengabdi kepada kuil kami, orang muda? Dan untuk keperluan itu engkau telah mendahului membuang rambutmu?” tanya kepala penjaga yang diberi laporan oleh penjaga pintu gerbang akan datangnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul yang datang untuk mengabdi dan menjadi kacung di kuil itu.
Karena tidak ingin banyak rewel, Kun Liong menjawab,
“Demikianlah, Losuhu, sungguhpun teecu tidak sengaja. Harap saja Suhu sudi menerima teecu.”
“Hemm, urusan menerima seorang kacung harus diputuskan oleh ketua sendiri, karena kami tidak berani bertanggung jawab kalau kalau ada pihak musuh yang menyelundup.”
Di dalam hatinya, Kun Liong mencela hwesio ini. Orang yang sudah menjadi hwesio, berarti menyerahkan jiwa raganya kepada agama, dan orang beragama berarti orang yang melakukan hidup suci, mengapa masih mengaku punya musuh? Akan tetapi karena niatnya hanya ingin menyelidiki kalau kalau ayah bundanya berada di situ dan untuk mencari kesempatan belajar limu silat tinggi, Kun Liong tidak banyak rewel dan mengikuti kepala penjaga yang membawanya menghadap Ketua Siauw lim pai.
Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ketua Siauw lim pai adalah bekas suheng ayahnya sendiri yang berilmu tinggi dan bernama Thian Kek Hwesio, maka dengan jantung berdebar dia menghadap ketua ini.
Memang benar demikian. Thian Kek Hwesio sendiri yang menerima pelaporan kepala penjaga dan Kun Liong menjadi kecut hatinya ketika melihat bahwa ketua kuil itu adalah seorang hwesio yang amat menakutkan, berusia delapan puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan berkulit hitam, matanya seperti kelereng besar, dan sikapnya keren, kelihatan galak bukan main! Memang demikianlah keadaan Thian Kek Hwesio, wataknya sesuai dengan tubuhnya, kasar dan jujur namun memiliki hati emas!
“Saudara muda, kepalamu kenapakah?”
Suara Thian Kek Hwesio besar dan kasar, namun nada suaranya tidak menyinggung hati Kun Liong yang berlutut di depan hwesio itu di samping hwesio kepala penjaga.
“Teecu makan jamur di hutan dan rambut teecu lalu rontok semua, Lo-suhu.”
Kun Liong membohong. Dia terpaksa membohong karena kalau dia bicara terus terang, tentu akan berkepanjangan dan dia tidak akan dapat menyembunyikan keadaannya lagi sehingga sia-sialah usahanya.
“Omitohud...! Engkau keracunan, orang muda. Racun yang hebat sekali yang dapat membuat rambut rontok seperti itu! Dan biasanya, racun yang tidak merenggut nyawa, hanya merontokkan rambut berarti bahwa racun itu bertemu dengan racun lain sehingga daya mautnya punah. Engkau masih beruntung!”
Diam-diam Kun Liong kagum sekali. Kini dia mengerti mengapa rambut kepalanya habis. Tentu racun ular dan racun jarum Ouwyang Bouw saling bertanding dalam tubuhnya, urung mencabut nyawanya akan tetapi berhasil menghabiskan rambutnya! Kalau dia dapat berguru kepada kakek ini, akan tetapi ah, tidak banyak selisihnya tentu dengan kepandaian ayahnya. Mereka hanya sute dan suheng.
Bukan, bukan kepada Ketua Siauw-lim-pai ini dia ingin berguru, akan tetapi kepada Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya atau sukongnya (kakek gurunya)! Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek sakti itu telah mengasingkan diri di dalam Kuil Siauw Llim si ini, di dalam sebuah kamar yang disebut Ruang Kesadaran! Dan menurut ayahnya, sampai sekarang kakek sakti itu masih hidup. Tentu sudah amat tua, sedikitnya seratus tahun usianya. Kepada sukongnya itulah dia ingin berguru!
“Sebetuinya di sini sudah tidak membutuhkan lagi bantuan seorang kacung, karena banyak sudah anak murid yang melakukan semua pekerjaannya, akan tetapi karena secara mujijat sekali rambut kepalamu menjadi habis tanpa dicukur, seolah-olah Tuhan sendiri yang menakdirkan engkau menjadi calon hwesio, maka biarlah pinceng (aku) menerima pengabdianmu. Kau bekerjalah di sini membantu para hwesio kecil, kelak kalau memenuhi syarat, engkau boleh menjadi anak murid dan masuk menjadi hwesio. Siapakah namamu?”
“Teecu she Liong, bernama Kun.” Kun Liong membohong.
“Baiklah, kami sebut engkau Liong-ji (Anak Liong). Kau ikutlah kepada kepala penjaga ini. Berikan sebuah kamar untuk dia bersama para hwesio kecil dan serahkan beberapa pekerjaan harian suruh dia bantu,” kata ketua itu yang sudah duduk bersila kembali sambil memejamkan mata.
Kepala penjaga itu memberi hormat, kemudian menyentuh lengan Kun Liong diajak keluar dari kamar ketua itu.
Demikianlah, Kun Liong yang di situ terkenal dengan sebutan Liong ji, bekerja di dalam Kuil Siauw-lim-si, membantu tukang kebun. Pekerjaan ini menyenangkan hatinya karena dia lebih bebas. Dari percakapannya dengan para hwesio kecil yang dipancing pancingnya secara lihai, Kun Liong mendengar, bahwa ayahnya dan ibunya tidak pernah datang ke kuil ini semenjak yang terakhir ayahnya datang minta obat. Juga dia mendengar bahwa Tiang Pek Hosiang masih bertapa di dalam Ruang Kesadaran tanpa ada yang berani mengusiknya. Dia telah tahu pula di mana letak kamar itu, di dekat kamar gudang penyimpanan pusaka Siauw-lim-pai yang siang malam dijaga oleh empat orang hwesio secara bergilir.
Kecewa juga hati Kun Liong mendengar bahwa ayah bundanya tidak pernah datang ke kuil itu, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa siapapun juga, baik dia anggauta Siauw-lim-pai atau orang luar, dilarang keras memasuki dua tempat tanpa ijin ketua sendiri, pertama adalah kamar Ruang Kesadaran yang pintunya selalu tertutup dan kabarnya ketua sendiri tidak berani mengusiknya, kedua adalah gudang pusaka yang jarang dibuka hanya oleh ketua sendiri untuk mengambil atau menyimpan sesuatu. Hilanglah harapannya untuk dapat berguru kepada Tiang Pek Hosiang yang telah belasan tahun lamanya bertapa di dalam kamar itu!
Sebulan telah lewat. Malam itu gelap dan sunyi. Agaknya semua hwesio telah tidur pulas, kecuali tentu saja mereka yang bertugas jaga. Akan tetapi Kun Liong tak dapat tidur. Dia telah membuang waktu sia-sia selama sebulan dan dia sudah mengambil keputusan tetap untuk mencoba menghadap Tiang Pek Hosiang, apapun juga yang menjadi risikonya.
Dia mendengar bahwa siapa berani melanggar dua larangan itu akan dihukum mati. Biarlah kalau dia ketahuan dan dihukum mati. Biarlah kalau orang-orang yang sudah menjadi hwesio, berarti memasuki penghidupan suci masih mau menghukum mati orang! Kalau dalam hal ini dia gagal, besok pagi dia akan minggat dari tempat ini. Hal ini mudah dilakukan karena tugasnya sebagai pembantu tukang kebun memungkinkan dia untuk keluar dari pintu gerbang, membersihkan halaman di luar pintu gerbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar