Menjelang tengah malam, setelah keadaan sunyi benar, Kun Liong keluar dengan hati-hati dari kamarnya. Dua orang hwesio kecil yang menjadi temannya sekamar sudah tidur meringkuk di bawah selimut karena malam itu dingin sekali, di luar penuh kabut sehingga malam bertambah gelap.
Karena sudah hafal akan tempat-tempat penjagaan, Kun Liong dapat menyelinap ke dekat dua kamar terlarang yang letaknya berdekatan itu. Kamar pusaka dan kamar pertapaan Tiang Pek Hosiang. Dia tahu bahwa seperti biasa, tentu ada empat orang hwesio penjaga di depan dan belakang kamar pusaka itu, maka dia sudah mempunyai rencana untuk menyelinap dan menghampiri Ruang Kesadaran dari samping sehingga tidak tampak oleh ke empat orang hwesio penjaga. Dia hendak memasuki kamar itu melalui jendela yang selalu tertutup pula.
Akan tetapi ketika dia menyelinap di balik tembok dan mengintai untuk melihat dua orang penjaga di depan kamar pusaka, dia terbelalak kaget melihat dua orang hwesio penjaga itu menggeletak tak bergerak! Tidurkah mereka? Tidak mungkin! Tertidur di waktu menjaga kamar pusaka bisa mendapat hukuman yang amat berat! Andaikata tertidur, masa dua-duanya? Tentu ada apa-apa yang tidak beres, pikirnya.
Dia lalu menyelinap dengan hati-hati sekali, memutari dua kamar itu dan mengintai untuk melihat dua penjaga yang biasanya duduk di sebelah belakang kamar pusaka. Hampir dia berseru heran dan kaget ketika melihat bahwa kedua orang hwesio ini pun sama keadaannya dengan para penjaga di depan. Tertidur! Atau lebih tepat lagi, menggeletak di lantai seperti orang tidur!
Musuh! Dia teringat akan ucapan kepala penjaga akan kekhawatiran mereka ada musuh menyelundup. Apakah malam ini ada musuh Siauw-lim-pai yang menyelundup masuk ke Siauw-lim-pai? Kun Liong lalu menghampiri kamar pusaka.
Terdengar suara perlahan dan dia melihat jendela kamar pusaka terbuka, dan ada sinar penerangan menyorot dari dalam. Cepat namun hati-hati sekali Kun Liong menghampiri jendela itu dan mengintai. Tak salah apa yang dikhawatirkannya! Ada tiga orang laki-laki berada di dalam kamar pusaka! Tiga orang laki-laki membongkar lemari dan sedang mengumpulkan benda-benda pusaka, dibuntal kain dan muka mereka memakai kain penutup.
“Maling...!” Kun Liong berteriak dan meloncat ke dalam kamar pusaka melalui jendela yang terbuka.
Tiga orang itu terkejut, melepaskan buntalan, bahkan pemimpin mereka yang biarpun mukanya ditutup sebagian dengan saputangan tampak sebagai seorang pemuda tampan, melepaskan pula buntalannya.
“Robohkan dia, hwesio cilik itu!” katanya kepada seorang di antara mereka.
Orang ini menerjang ke depan dengan totokan yang lihai sekali. Akan tetapi kini Kun Liong telah siap karena dia berhadapan dengan maling-maling yang dianggapnya berbahaya. Melihat totokan, dia memasang tubuhnya dan mengerahkan sinkangnya, menggoyang sedikit tubuh itu sehingga totokan meleset mengenai tubuh yang kebal, sedangkan dia sendiri membarengi dengan pukulan dari jurus Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun, mendorong perut orang itu. Maksudnya hanya mendorong, akan tetapi karena sinkangnya masih tersalur, orang yang didorong perutnya itu mengeluarken suara “hekkkhh!” dan roboh pingsan.
“Crattt! Augghh...!”
Kun Liong terhuyung-huyung ketika ada sebuah benda merah menancap di leher kirinya. Pandang matanya gelap dan dia terjungkal keluar dari jendela kamar. Sebelum pingsang dia melihat banyak bayangan hwesio-hwesio berkelebatan masuk ke dalam kamar itu.
Dan memang teriakannya tadi telah menggegerkan Siauw-lim-si. Thian Le Hwesio, sute atau wakil Ketua Siauw-lim-si memimpin sendiri murid-muridnya menuju ke kamar pusaka.
Akan tetapi, pemuda yang memimpin pencurian itu lihai bukan main. Dia menyebar jarum merahnya, mencelat ke atas genteng membobol langit-langit kamar itu dan biarpun dikejar, dia sempat menghilang keluar dari Siauw-lim-si. Anak buahnya yang seorang lagi dapat dirobohkan dan ditangkap, bersama seorang yang telah dibikin pingsan oleh Kun Liong dengan dorongan pada perutnya.
Thian Lee Hwesio merasa cemas melihat buntalan-buntalan yang berserakan. Kalau saja tidak ketahuan, tentu banyak pusaka penting Siauw-lim-pai tercuri. Dia cepat melakukan pemeriksaan dan ternyata ada dua buah benda pusaka yang hilang, agaknya terbawa oleh pencuri yang lihai tadi.
Kedua benda itu adalah sebuah pedang dan sebuah hio-louw (tempat abu hio) yang amat berharga karena merupakan pusaka kuno dari Siauw-lim-si! Namun masih untung bahwa bukan semua yang berada di buntalan terbawa. Hal ini berkat kewaspadaan Liong-ji, karena empat orang hwesio telah tewas!
“Liong-ji, kemana dia? Suruh dia ke sini!” Thian Le Hwesio berkata.
Para hwesio mencari-cari, namun mereka tidak dapat menemukan Kun Liong. Thian Le Hwesio sendiri pergi mencari, namun hasilnya kosong sehingga dia termangu dan terheran-heran penuh kekhawatiran. Apakah memergoki maling, lalu pimpinan maling itu menaruh dendam dan membawa lari anak itu? Dengan hati cemas dia lalu menghadap suhengnya, Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai untuk membuat laporan.
Kemanakah sebetulnya Kun Liong pergi? Tentu saja pemuda itu tidak dapat pergi ke mana-mana kalau tidak ada yang membawanya karena dia tadi terguling pingsan terkena jarum merah pemuda berkedok saputangan yang lihai tadi. Dia terhuyung ke belakang dan terjungkal keluar dari jendela kamar pusaka.
Ketika siuman kembali, Kun Liong mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang luas dan kamar ini kosong tidak ada perabotnya, hanya lantainya bersih sekali, ditilami permadani kuning dan di atas permadani itu duduk bersila seorang kakek yang amat tua, dengan rambut putih dan jenggot panjang.
Lehernya masih terasa sakit dan ketika dia meraba lehernya, luka di lehernya telah tertutup obat. Mengertilah dia bahwa dia telah tertolong oleh kakek ini, dan otaknya yang cerdik cepat bekerja. Kakek ini tua sekali, dan bukan hwesio karena rambutnya panjang. Siapa lagi yang dapat menolongnya seperti itu selagi dia berada dalam kuil Siauw-lim-si tanpa diketahui orang? Cepat dia bangkit dan berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
“Sukong (Kakek Guru), teecu (murid) Yap Kun Liong menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sukong dan membawa teecu ke dalam Ruang Kesadaran ini.”
Kakek itu tercengang dan mengelus jenggotnya.
“Aihhh, bagaimana engkau bisa tahu bahwa kau berada di Ruang Kesadaran? Tahukah kau siapa aku?”
“Sukong adalah Tiang Pek Hosiang...”
“Hemm, anak cerdik. Agaknya engkau bukan kacung biasa di kuil. Aku melihat engkau berindap seperti maling, akan tetapi malah memergoki maling-maling itu. Kelakuanmu aneh, aku menolongmu selagi kau pingsan akan tetapi kau dapat mengenalku. Siapakah engkau dan mengapa kau menyebut aku kakek guru?”
“Harap Sukong sudi mengampunkan teecu. Sesungguhnya karena ingin menghadap Sukong sematalah maka teecu berani melakukan kelancangan dan membohong kepada para losuhu. Teecu bernama Yap Kun Liong, ayah teecu Yap Cong San murid Sukong...”
“Aha! Kiranya engkau anak Cong San? Engkau menyamar sebagai kacung karena hendak bertemu denganku? Apakah kau disuruh oleh ayahmu?”
“Tidak, Sukong. Teecu menghadap Sukong untuk berguru kepada Sukong.”
Kakek itu tersenyum lebar.
“Wah, agaknya engkau nakal sekali, sampai-sampai rambut kepalamu habis karena racun. Mengapa engkau ingin berguru kepadaku? Bukankah ayah dan ibumu memiliki kepandaian juga, apalagi engkau dapat minta petunjuk supekmu Cia Keng Hong?”
“Teecu tidak berani minta petunjuk Supek! Teecu telah dibimbing selama lima tahun...” Tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada Bun Hoat Tosu, maka cepat dia menyambung. “Maaf, teecu tidak dapat menyebutkan namanya karena sudah berjanji.”
“Ha-ha, Bun Hoat Tosu sungguh tua bangka yang aneh. Mengapa justeru kepadamu dia menurunkan ilmunya?”
“Aihhh...! Teecu tidak pernah menyebut nama beliau...!”
“Jangan khawatir, engkau tidak melanggar janji. Dari gerakanmu ketika kau merobohkan seorang maling, ada dasar gerakan rahasia dari Hoa-san-pai. Dahulu dia pernah mengatakan kepadaku untuk menciptakan sebuah ilmu silat yang mempunyai dasar delapan penjuru. Benarkah?”
“Sukong sungguh waspada. Memang demikianlah. Teecu selama lima tahun diajar oleh beliau dan diberi ilmu silat tongkat Siang-liong-pang dan ilmu silat tangan kosong Pat-hong-sin-kun, juga latihan tenaga sin-kang yang mempunyai daya membetot.”
“Ha-ha-ha! Tentu untuk melawan Thi-khi-i-beng, bukan?”
“Ehh...! Sukong tahu juga?”
“Kakek tua Hoa-san-pai itu terlalu jujur sehingga segalanya dapat dilihat dari perubahan mukanya. Dahulu dia merasa penasaran sekali mengapa tidak ada ilmu yang dapat menandingi Thi-khi-i-beng, maka kalau dia menurunkan sinkang kepadamu dengan daya membetot, tentu dia tujukan untuk melawan Thi-khi-i-beng.”
Kun Liong mengangguk-angguk sampai dahinya membentur lantai.
“Mohon petunjuk dari Sukong.”
“Baiklah. Bun Hoat Tosu yang tidak mempunyai hubungan apa-apa denganmu telah rela melatihmu selama lima tahun. Engkau yang masih putera muridku yang paling baik, tentu saja berhak mewarisi ilmu-ilmuku, terutama ilmu yang selama ini kuciptakan di sini. Apa artinya ilmu itu kalau aku mati? Tak dapat kubawa, maka biar engkau yang mewarisinya.”
Bukan main girangnya hati Kun Liong. Mulai hari itu, di luar pengetahuan para penghuni kuil, dia mendapat gemblengan ilmu silat tinggi dari kakek sakti itu. Mengapa hal ini sampai tidak ketahuan oleh para penghuni kuil? Karena memang tidak ada seorang pun hwesio yang berani memasuki ruangan itu, dan setiap hari seorang hwesio pelayan kecil mengantar makanan dan minuman serta semua keperluan Tiang Pek Hosiang, meletakkannya dengan penuh hormat di depan pintu ruangan yang tertutup lalu pergi lagi. Ransum makanan dan minuman ini cukup untuk makan minum mereka berdua, apalagi karena kakek itu jarang sekali makan.
Sementara itu, dua orang tawanan diseret ke depan kaki Ketua Siauw-lim-pai dan dengan suara halus Thian Kek Hwesio, Ketua Siauw-lim-Pai, berkata,
“Ji-wi (Kalian Berdua) siapakah dan siapa pula pemimpin kalian yang sudah mencuri pedang dan bokor? Kalian dari golongan mana?”
Biarpun Thian Kek Hwesio bicara dengan suara halus, namun karena sikapnya memang angker sekali dengan tubuhnya yang tinggi besar bermuka hitam matanya lebar, mendatangkan rasa takut dan ngeri di dalam hati dua orang maling itu. Mereka mencoba menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia saja karena tubuh mereka sudah lemas dan lumpuh oleh totokan lihai.
“Bebaskan totokan mereka,” kata pula Ketua Siauw-lim-pai itu kepada sutenya, Thian Le Hwesio yang menggerakkan tangan dan ujung lengannya yang panjang menyambar dua kali ke arah punggung dua orang tawanan. Mereka mengeluh dan dapat bergerak kembali.
“Nah, sekarang katakan siapa yang menyuruh kalian. Kalau kalian suka berterus terang, tentu pinceng akan memaafkan kalian dan membolehkan kalian pergi dengan aman.”
Dua orang itu kembali mengeluh, kemudian saling pandang dan tangan mereka merogoh saku dalam baju. Semua tokoh Siauw-lim-pai yang hadir di situ sudah siap untuk menjaga diri kalau-kalau kedua orang tawanan itu hendak menyerang mereka, atau siap untuk menangkapnya kembali kalau mereka mencoba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba dua orang itu mencabut lagi tangan mereka, meraba leher dan keduanya terguling, berkelojotan dan mati.
Thian Le Hwesio meloncat dekat, memeriksa leher mereka yang menjadi bengkak menghijau. Dengan alis berkerut hwesio tua ini mengeluarkan saputangan dan mencabut benda kecil dari leher kedua orang itu, lalu berkata,
“Omitohud... kalau tidak salah ini duri kembang hijau...!”
Dia melangkah maju memperlihatkan dua batang duri itu kepada suhengnya, Ketua Siauw-lim-pai.
Thian Kek Hwesio memeriksanya sebentar, lalu mengangguk-angguk dan berkata,
“Engkau benar, Sute. Ini tentu duri kembang hijau dan kembang itu hanya tumbuh di tepi Kwi-ouw (Telaga Setan).”
“Kalau begitu mereka adalah orang-orang Kwi-eng-pai (Perkumpulan Bayangan Hantu)!” Thian Le Hwesio berseru kaget. “Kita harus segera mengejarnya ke sana dan menuntut kepada ketuanya!”
Pada saat itu, Thian Kek Hwesio duduk memejamkan matanya dan sikapnya penuh perhatian sehingga sutenya, Thian Le Hwesio memandang heran dan tidak mendesak.
Karena sudah hafal akan tempat-tempat penjagaan, Kun Liong dapat menyelinap ke dekat dua kamar terlarang yang letaknya berdekatan itu. Kamar pusaka dan kamar pertapaan Tiang Pek Hosiang. Dia tahu bahwa seperti biasa, tentu ada empat orang hwesio penjaga di depan dan belakang kamar pusaka itu, maka dia sudah mempunyai rencana untuk menyelinap dan menghampiri Ruang Kesadaran dari samping sehingga tidak tampak oleh ke empat orang hwesio penjaga. Dia hendak memasuki kamar itu melalui jendela yang selalu tertutup pula.
Akan tetapi ketika dia menyelinap di balik tembok dan mengintai untuk melihat dua orang penjaga di depan kamar pusaka, dia terbelalak kaget melihat dua orang hwesio penjaga itu menggeletak tak bergerak! Tidurkah mereka? Tidak mungkin! Tertidur di waktu menjaga kamar pusaka bisa mendapat hukuman yang amat berat! Andaikata tertidur, masa dua-duanya? Tentu ada apa-apa yang tidak beres, pikirnya.
Dia lalu menyelinap dengan hati-hati sekali, memutari dua kamar itu dan mengintai untuk melihat dua penjaga yang biasanya duduk di sebelah belakang kamar pusaka. Hampir dia berseru heran dan kaget ketika melihat bahwa kedua orang hwesio ini pun sama keadaannya dengan para penjaga di depan. Tertidur! Atau lebih tepat lagi, menggeletak di lantai seperti orang tidur!
Musuh! Dia teringat akan ucapan kepala penjaga akan kekhawatiran mereka ada musuh menyelundup. Apakah malam ini ada musuh Siauw-lim-pai yang menyelundup masuk ke Siauw-lim-pai? Kun Liong lalu menghampiri kamar pusaka.
Terdengar suara perlahan dan dia melihat jendela kamar pusaka terbuka, dan ada sinar penerangan menyorot dari dalam. Cepat namun hati-hati sekali Kun Liong menghampiri jendela itu dan mengintai. Tak salah apa yang dikhawatirkannya! Ada tiga orang laki-laki berada di dalam kamar pusaka! Tiga orang laki-laki membongkar lemari dan sedang mengumpulkan benda-benda pusaka, dibuntal kain dan muka mereka memakai kain penutup.
“Maling...!” Kun Liong berteriak dan meloncat ke dalam kamar pusaka melalui jendela yang terbuka.
Tiga orang itu terkejut, melepaskan buntalan, bahkan pemimpin mereka yang biarpun mukanya ditutup sebagian dengan saputangan tampak sebagai seorang pemuda tampan, melepaskan pula buntalannya.
“Robohkan dia, hwesio cilik itu!” katanya kepada seorang di antara mereka.
Orang ini menerjang ke depan dengan totokan yang lihai sekali. Akan tetapi kini Kun Liong telah siap karena dia berhadapan dengan maling-maling yang dianggapnya berbahaya. Melihat totokan, dia memasang tubuhnya dan mengerahkan sinkangnya, menggoyang sedikit tubuh itu sehingga totokan meleset mengenai tubuh yang kebal, sedangkan dia sendiri membarengi dengan pukulan dari jurus Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun, mendorong perut orang itu. Maksudnya hanya mendorong, akan tetapi karena sinkangnya masih tersalur, orang yang didorong perutnya itu mengeluarken suara “hekkkhh!” dan roboh pingsan.
“Crattt! Augghh...!”
Kun Liong terhuyung-huyung ketika ada sebuah benda merah menancap di leher kirinya. Pandang matanya gelap dan dia terjungkal keluar dari jendela kamar. Sebelum pingsang dia melihat banyak bayangan hwesio-hwesio berkelebatan masuk ke dalam kamar itu.
Dan memang teriakannya tadi telah menggegerkan Siauw-lim-si. Thian Le Hwesio, sute atau wakil Ketua Siauw-lim-si memimpin sendiri murid-muridnya menuju ke kamar pusaka.
Akan tetapi, pemuda yang memimpin pencurian itu lihai bukan main. Dia menyebar jarum merahnya, mencelat ke atas genteng membobol langit-langit kamar itu dan biarpun dikejar, dia sempat menghilang keluar dari Siauw-lim-si. Anak buahnya yang seorang lagi dapat dirobohkan dan ditangkap, bersama seorang yang telah dibikin pingsan oleh Kun Liong dengan dorongan pada perutnya.
Thian Lee Hwesio merasa cemas melihat buntalan-buntalan yang berserakan. Kalau saja tidak ketahuan, tentu banyak pusaka penting Siauw-lim-pai tercuri. Dia cepat melakukan pemeriksaan dan ternyata ada dua buah benda pusaka yang hilang, agaknya terbawa oleh pencuri yang lihai tadi.
Kedua benda itu adalah sebuah pedang dan sebuah hio-louw (tempat abu hio) yang amat berharga karena merupakan pusaka kuno dari Siauw-lim-si! Namun masih untung bahwa bukan semua yang berada di buntalan terbawa. Hal ini berkat kewaspadaan Liong-ji, karena empat orang hwesio telah tewas!
“Liong-ji, kemana dia? Suruh dia ke sini!” Thian Le Hwesio berkata.
Para hwesio mencari-cari, namun mereka tidak dapat menemukan Kun Liong. Thian Le Hwesio sendiri pergi mencari, namun hasilnya kosong sehingga dia termangu dan terheran-heran penuh kekhawatiran. Apakah memergoki maling, lalu pimpinan maling itu menaruh dendam dan membawa lari anak itu? Dengan hati cemas dia lalu menghadap suhengnya, Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai untuk membuat laporan.
Kemanakah sebetulnya Kun Liong pergi? Tentu saja pemuda itu tidak dapat pergi ke mana-mana kalau tidak ada yang membawanya karena dia tadi terguling pingsan terkena jarum merah pemuda berkedok saputangan yang lihai tadi. Dia terhuyung ke belakang dan terjungkal keluar dari jendela kamar pusaka.
Ketika siuman kembali, Kun Liong mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang luas dan kamar ini kosong tidak ada perabotnya, hanya lantainya bersih sekali, ditilami permadani kuning dan di atas permadani itu duduk bersila seorang kakek yang amat tua, dengan rambut putih dan jenggot panjang.
Lehernya masih terasa sakit dan ketika dia meraba lehernya, luka di lehernya telah tertutup obat. Mengertilah dia bahwa dia telah tertolong oleh kakek ini, dan otaknya yang cerdik cepat bekerja. Kakek ini tua sekali, dan bukan hwesio karena rambutnya panjang. Siapa lagi yang dapat menolongnya seperti itu selagi dia berada dalam kuil Siauw-lim-si tanpa diketahui orang? Cepat dia bangkit dan berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
“Sukong (Kakek Guru), teecu (murid) Yap Kun Liong menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sukong dan membawa teecu ke dalam Ruang Kesadaran ini.”
Kakek itu tercengang dan mengelus jenggotnya.
“Aihhh, bagaimana engkau bisa tahu bahwa kau berada di Ruang Kesadaran? Tahukah kau siapa aku?”
“Sukong adalah Tiang Pek Hosiang...”
“Hemm, anak cerdik. Agaknya engkau bukan kacung biasa di kuil. Aku melihat engkau berindap seperti maling, akan tetapi malah memergoki maling-maling itu. Kelakuanmu aneh, aku menolongmu selagi kau pingsan akan tetapi kau dapat mengenalku. Siapakah engkau dan mengapa kau menyebut aku kakek guru?”
“Harap Sukong sudi mengampunkan teecu. Sesungguhnya karena ingin menghadap Sukong sematalah maka teecu berani melakukan kelancangan dan membohong kepada para losuhu. Teecu bernama Yap Kun Liong, ayah teecu Yap Cong San murid Sukong...”
“Aha! Kiranya engkau anak Cong San? Engkau menyamar sebagai kacung karena hendak bertemu denganku? Apakah kau disuruh oleh ayahmu?”
“Tidak, Sukong. Teecu menghadap Sukong untuk berguru kepada Sukong.”
Kakek itu tersenyum lebar.
“Wah, agaknya engkau nakal sekali, sampai-sampai rambut kepalamu habis karena racun. Mengapa engkau ingin berguru kepadaku? Bukankah ayah dan ibumu memiliki kepandaian juga, apalagi engkau dapat minta petunjuk supekmu Cia Keng Hong?”
“Teecu tidak berani minta petunjuk Supek! Teecu telah dibimbing selama lima tahun...” Tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada Bun Hoat Tosu, maka cepat dia menyambung. “Maaf, teecu tidak dapat menyebutkan namanya karena sudah berjanji.”
“Ha-ha, Bun Hoat Tosu sungguh tua bangka yang aneh. Mengapa justeru kepadamu dia menurunkan ilmunya?”
“Aihhh...! Teecu tidak pernah menyebut nama beliau...!”
“Jangan khawatir, engkau tidak melanggar janji. Dari gerakanmu ketika kau merobohkan seorang maling, ada dasar gerakan rahasia dari Hoa-san-pai. Dahulu dia pernah mengatakan kepadaku untuk menciptakan sebuah ilmu silat yang mempunyai dasar delapan penjuru. Benarkah?”
“Sukong sungguh waspada. Memang demikianlah. Teecu selama lima tahun diajar oleh beliau dan diberi ilmu silat tongkat Siang-liong-pang dan ilmu silat tangan kosong Pat-hong-sin-kun, juga latihan tenaga sin-kang yang mempunyai daya membetot.”
“Ha-ha-ha! Tentu untuk melawan Thi-khi-i-beng, bukan?”
“Ehh...! Sukong tahu juga?”
“Kakek tua Hoa-san-pai itu terlalu jujur sehingga segalanya dapat dilihat dari perubahan mukanya. Dahulu dia merasa penasaran sekali mengapa tidak ada ilmu yang dapat menandingi Thi-khi-i-beng, maka kalau dia menurunkan sinkang kepadamu dengan daya membetot, tentu dia tujukan untuk melawan Thi-khi-i-beng.”
Kun Liong mengangguk-angguk sampai dahinya membentur lantai.
“Mohon petunjuk dari Sukong.”
“Baiklah. Bun Hoat Tosu yang tidak mempunyai hubungan apa-apa denganmu telah rela melatihmu selama lima tahun. Engkau yang masih putera muridku yang paling baik, tentu saja berhak mewarisi ilmu-ilmuku, terutama ilmu yang selama ini kuciptakan di sini. Apa artinya ilmu itu kalau aku mati? Tak dapat kubawa, maka biar engkau yang mewarisinya.”
Bukan main girangnya hati Kun Liong. Mulai hari itu, di luar pengetahuan para penghuni kuil, dia mendapat gemblengan ilmu silat tinggi dari kakek sakti itu. Mengapa hal ini sampai tidak ketahuan oleh para penghuni kuil? Karena memang tidak ada seorang pun hwesio yang berani memasuki ruangan itu, dan setiap hari seorang hwesio pelayan kecil mengantar makanan dan minuman serta semua keperluan Tiang Pek Hosiang, meletakkannya dengan penuh hormat di depan pintu ruangan yang tertutup lalu pergi lagi. Ransum makanan dan minuman ini cukup untuk makan minum mereka berdua, apalagi karena kakek itu jarang sekali makan.
Sementara itu, dua orang tawanan diseret ke depan kaki Ketua Siauw-lim-pai dan dengan suara halus Thian Kek Hwesio, Ketua Siauw-lim-Pai, berkata,
“Ji-wi (Kalian Berdua) siapakah dan siapa pula pemimpin kalian yang sudah mencuri pedang dan bokor? Kalian dari golongan mana?”
Biarpun Thian Kek Hwesio bicara dengan suara halus, namun karena sikapnya memang angker sekali dengan tubuhnya yang tinggi besar bermuka hitam matanya lebar, mendatangkan rasa takut dan ngeri di dalam hati dua orang maling itu. Mereka mencoba menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia saja karena tubuh mereka sudah lemas dan lumpuh oleh totokan lihai.
“Bebaskan totokan mereka,” kata pula Ketua Siauw-lim-pai itu kepada sutenya, Thian Le Hwesio yang menggerakkan tangan dan ujung lengannya yang panjang menyambar dua kali ke arah punggung dua orang tawanan. Mereka mengeluh dan dapat bergerak kembali.
“Nah, sekarang katakan siapa yang menyuruh kalian. Kalau kalian suka berterus terang, tentu pinceng akan memaafkan kalian dan membolehkan kalian pergi dengan aman.”
Dua orang itu kembali mengeluh, kemudian saling pandang dan tangan mereka merogoh saku dalam baju. Semua tokoh Siauw-lim-pai yang hadir di situ sudah siap untuk menjaga diri kalau-kalau kedua orang tawanan itu hendak menyerang mereka, atau siap untuk menangkapnya kembali kalau mereka mencoba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba dua orang itu mencabut lagi tangan mereka, meraba leher dan keduanya terguling, berkelojotan dan mati.
Thian Le Hwesio meloncat dekat, memeriksa leher mereka yang menjadi bengkak menghijau. Dengan alis berkerut hwesio tua ini mengeluarkan saputangan dan mencabut benda kecil dari leher kedua orang itu, lalu berkata,
“Omitohud... kalau tidak salah ini duri kembang hijau...!”
Dia melangkah maju memperlihatkan dua batang duri itu kepada suhengnya, Ketua Siauw-lim-pai.
Thian Kek Hwesio memeriksanya sebentar, lalu mengangguk-angguk dan berkata,
“Engkau benar, Sute. Ini tentu duri kembang hijau dan kembang itu hanya tumbuh di tepi Kwi-ouw (Telaga Setan).”
“Kalau begitu mereka adalah orang-orang Kwi-eng-pai (Perkumpulan Bayangan Hantu)!” Thian Le Hwesio berseru kaget. “Kita harus segera mengejarnya ke sana dan menuntut kepada ketuanya!”
Pada saat itu, Thian Kek Hwesio duduk memejamkan matanya dan sikapnya penuh perhatian sehingga sutenya, Thian Le Hwesio memandang heran dan tidak mendesak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar