Perahu Kun Liong sudah memasuki sungai Huang-ho. Hatinya merasa tenteram karena telah lama dia berlayar, tidak ada yang tampak mengejarnya. Hari telah siang dan sinar matahari yang terik membuat seluruh tubuhnya berpeluh. Akan tetapi dia tidak berhenti dan terus melayarkan perahunya. Pagi tadi ada empat orang ikut dengan perahunya dan untuk itu dia telah menerima sedikit uang dan makanan. Perutnya tidak lapar lagi dan sewaktu-waktu dia dapat berhenti untuk membeli makanan.
Menjelang sore, tampak dua orang di tepi sungai yang memanggilnya.
“Harap minggir! Kami hendak menumpang!”
Demikian teriakan laki-laki itu. Yang seorang lagi, wanita masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu.
Kun Liong meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya. Makin banyak penghasilannya makin baik karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya, kadang-kadang dia menderita kelaparan. Pula, melihat bahwa yang ingin menumpang perahunya adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan. Hari amat panas dan membiarkan seorang wanita kepanasan menanti perahu, amat tidak patut.
“Bisakah engkau mengantar kami ke kota Liok-ek-tung? Perahumu hendak ke sana, bukan?” tanya laki-laki itu dengan ramah.
Kun Liong hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi karena laki-laki itu menudingkan telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka tuju sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke mana air Sungai Huang-ho mengalir!
“Silakan, Ji-wi naik,” kata Kun Liong tanpa banyak komentar.
Laki-laki itu kelihatan galak, wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung di punggung itulah yang membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya, yang paling banyak berusia dua puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda daripada suaminya, amat cantik dengan pakaian sederhana namun tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang bagus.
Si suami dengan sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam perahu. Setelah isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri naik sambil membawa buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka. Setelah mereka duduk, Kun Liong menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke tengah. Kini dia sudah mulai biasa mengemudikan perahu, setelah beberapa kali dia terpaksa menjadi tukang perahu, semenjak membantu para nelayan, sampai terpaksa melarikan perahu dua kali!
“Heeei, bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu aku mau ikut!”
Tiba-tiba terdengar teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya. Sekali pandang saja, dia merasa tidak suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin sekali rasa tidak suka ini timbul ketika mendengar sebutan “gundul”. Pula, seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak sekasar itu, apalagi kalau melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita yang menumpang.
Dia melihat bahwa sastrawan itu lebih muda daripada orang yang membawa pedang. Usianya antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya indah, dari kain halus, wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya selalu bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum itu menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut lebar itu mengandung ejekan, bahkan kekejaman! Akan tetapi dia tidak peduli dan bertanya,
“Tuan hendak ke mana?”
“Ke mana saja perahumu menuju, heh-heh!”
Kun Liong tidak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang layar. Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi, mengambil sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu.
Si Sastrawan itu sudah menghadapi suami isteri yang duduk di atas papan, membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu.
“Harap Ji-wi (Kalian Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi.”
Wanita itu dengan muka merah dan malu-malu hanya menunduk membiarkan suaminya yang menjawab. Tidak biasa dia berhadapan dengan laki-laki asing, apalagi seorang laki-laki muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini!
“Ahh, harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita sama-sama hanya penumpang perahu ini. Kami suami isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak pergi ke manakah?”
Laki-laki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab dengan suara ramah pula.
“Ah, saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu. Sungguh menyenangkan sekali!”
Isteri itu mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk dan kebetulan siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua detik, dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu makin merah mukanya dan cepat melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke luar perahu, seolah-olah dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di pinggir perahu, bibimya yang tipis merah itu tersenyum-senyum dikulum.
“Kami yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu,” Si Suami berkata lagi. “Silakan duduk, Kongcu.”
“Terima kasih.” Sastrawan itu mengambil tempat duduk di atas papan, berhadapan dengan suami isteri itu. “Congsu (Tuan) sungguh baik hati. Perkenalkan, saya Ouw Ciang Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang setelah selesai menempuh ujian dengan hasil baik, sebelum pulang, saya melancong dulu.
“Ahh, kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami berlaku kurang hormat, Ouw-siucai. Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya. Kami tinggal di Liok-ek-tung dan di sana saya membuka perguruan silat.”
Ouw-siucai membelalakkan matanya, kelihatan terkejut.
“Wah, kiranya saya berhadapan dengan seorang ahli silat yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya, Gui-kauwsu (Guru Silat Hui).”
“Aah, Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini kepandaian bun (sastra) lebih berharga daripada bu (silat), dan gerakan sebatang pit (alat tulis) jauh lebih berbahaya daripada gerakan sebatang pedang!”
Yang dimaksudkan dengan kata-kata ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya daripada pedang, karena dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan fitnah yang lebih berbahaya daripada serangan pedang, pula kepandaian menulis dapat membawa orang kepada kedudukan yang lebih tinggi.
Ouw-siucai tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja ini dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk di depannya.
“Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja! Akan tetapi, mungkin benar juga kata-kata itu. Saya sih tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali sedikit coret-coret dan kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak”
“Wah, kesenangan itu cocok dengan kesenanganku. Sayang tidak ada dadu dan kalau ada tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menanti sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung…”
“Jangan khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!”
Seperti orang main sulap saja, siucai itu mengeluarkan seguci besar arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya dari dalam saku jubahnya yang lebar. Melihat ini, guru silat itu tertawa bergelak dan dengan gembira mereka lalu bermain dadu.
Mula-mula mereka bermain dengan taruhan minum arak, dan dalam hal ini, peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka yang menang menerima secawan arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak, mereka berdua menjadi makin gembira dan seringkali terdengar suara mereka tertawa bergelak.
Isteri guru silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut tersenyum sehingga tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak ujung lidah kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya secara tidak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara keduanya, sungguhpun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru pertama kali dia lakukan selama hidupnya.
Kesempatan memang merupakan penggoda yang amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati pun nyonya muda itu tidak ada pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan seorang laki-laki muda! Arak telah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang !
Kun Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu. Akan tetapi setelah mereka berdua mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam merasa tidak senang. Wajah kedua orang itu kini sungguh-sungguh dan tegang, tidak segembira tadi, dan bagaimana kalau seorang di antara mereka kalah dan kehabisan uang? Tentu tidak akan mampu membayar upah kepadanya!
Setelah kini permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai itu lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si Guru Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan mengambil bekal dari buntalan pakaian.
Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi karena perahu-perahu telah kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak beberapa buah perahu nelayan agak jauh.
Permainan dadu itu dilakukan dengan sederhana saja. Biji dadu yang hanya sebuah, yang mempunyai enam permukaan, diisi tulisan yang berarti jumlah satu sampai enam. Mereka mengocok biji dadu itu ke dalam mangkok, menutupi mangkok dengan telapak tangan, kemudian meletakkannya di atas lantai perahu dan membuka tangan yang menutup. Siapa yang mendapatkan angka terbanyak ketika mangkok dibuka, dialah yang menang.
“Wah, sudah cukup, Ouw-siucai. Uangku telah habis sama sekali. Engkau benar-benar sedang mujur!” Akhirnya guru silat itu berkata sambil menarik napas panjang.
Ouw Ciang Houw tersenyum lebar sambil melirik ke arah isteri guru silat itu yang kini tampak menunduk sambil mengerutkan alis. Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, tentu saja isteri ini marah sekali melihat betapa bekal uang mereka dihabiskan ludas oleh suaminya untuk berjudi!
“Ah, Gui-kauwsu. Bermain dadu tidak hanya menggunakan uang saja sebagai taruhan. Masih banyak yang kau miliki.”
“Hemm, aku sudah kehabisan uang, tidak mempunyai apa-apa lagi.”
“Mari kita bertaruh satu kali lagi.” Siucai itu berkata sambil mengeluarkan semua uang kemenangannya yang ia taruh ke dalam kantung uang itu ke atas lantai perahu. “Kalau menang, biarlah semua uangku ini untukmu.”
“Ihhh! Mana mungkin aku bertaruh sebanyak itu, Ouw-siucai? Harap jangan engkau main-main!”
“Aku tidak main-main dan aku berjanji, kalau aku kalah satu kali ini, semua uang ini untukmu.”
“Bagaimana kalau aku yang kalah?” Guru silat itu bertanya.
“Aku akan mengambil satu di antara milikmu.”
“Wah, engkau aneh sekali. Milikku hanya pakaian dan… dan pedang ini, biarpun pedang baik namun harganya tidak sebanyak itu.”
“Pendeknya, engkau berani atau tidak Gui-kauwsu? Engkau sudah kalah banyak dan aku hanya memberi kesempatan kepadamu untuk mendapatkan kembali uangmu.”
Merah wajah guru silat itu. Biarlah, biar dia kehabisan semua barangnya, sudah kepalang tanggung. Benar kata-kata siucai ini, dia sudah kalah terlalu banyak dan andaikata dia dalam pertaruhan terakhir ini sampai habis pakaian dan pedangnya, selisihnya tidak banyak dengan kekalahannya sekarang dan sampai di rumah tentu isterinya akan marah-marah. Akan tetapi sebaliknya kalau dia menang, dia akan mendapatkan kembali semua uang kekalahannya! Biarlah kalau kalah tidak kepalang, dan siapa tahu kalau menang!
“Baiklah! Akan tetapi bukan aku yang mendesakmu, Ouw-siucai!” katanya sambil menyambar mangkuk dadu, memasukkan dadunya dan mengocok dengan keras.
Menjelang sore, tampak dua orang di tepi sungai yang memanggilnya.
“Harap minggir! Kami hendak menumpang!”
Demikian teriakan laki-laki itu. Yang seorang lagi, wanita masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu.
Kun Liong meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya. Makin banyak penghasilannya makin baik karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya, kadang-kadang dia menderita kelaparan. Pula, melihat bahwa yang ingin menumpang perahunya adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan. Hari amat panas dan membiarkan seorang wanita kepanasan menanti perahu, amat tidak patut.
“Bisakah engkau mengantar kami ke kota Liok-ek-tung? Perahumu hendak ke sana, bukan?” tanya laki-laki itu dengan ramah.
Kun Liong hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi karena laki-laki itu menudingkan telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka tuju sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke mana air Sungai Huang-ho mengalir!
“Silakan, Ji-wi naik,” kata Kun Liong tanpa banyak komentar.
Laki-laki itu kelihatan galak, wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung di punggung itulah yang membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya, yang paling banyak berusia dua puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda daripada suaminya, amat cantik dengan pakaian sederhana namun tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang bagus.
Si suami dengan sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam perahu. Setelah isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri naik sambil membawa buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka. Setelah mereka duduk, Kun Liong menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke tengah. Kini dia sudah mulai biasa mengemudikan perahu, setelah beberapa kali dia terpaksa menjadi tukang perahu, semenjak membantu para nelayan, sampai terpaksa melarikan perahu dua kali!
“Heeei, bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu aku mau ikut!”
Tiba-tiba terdengar teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya. Sekali pandang saja, dia merasa tidak suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin sekali rasa tidak suka ini timbul ketika mendengar sebutan “gundul”. Pula, seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak sekasar itu, apalagi kalau melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita yang menumpang.
Dia melihat bahwa sastrawan itu lebih muda daripada orang yang membawa pedang. Usianya antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya indah, dari kain halus, wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya selalu bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum itu menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut lebar itu mengandung ejekan, bahkan kekejaman! Akan tetapi dia tidak peduli dan bertanya,
“Tuan hendak ke mana?”
“Ke mana saja perahumu menuju, heh-heh!”
Kun Liong tidak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang layar. Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi, mengambil sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu.
Si Sastrawan itu sudah menghadapi suami isteri yang duduk di atas papan, membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu.
“Harap Ji-wi (Kalian Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi.”
Wanita itu dengan muka merah dan malu-malu hanya menunduk membiarkan suaminya yang menjawab. Tidak biasa dia berhadapan dengan laki-laki asing, apalagi seorang laki-laki muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini!
“Ahh, harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita sama-sama hanya penumpang perahu ini. Kami suami isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak pergi ke manakah?”
Laki-laki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab dengan suara ramah pula.
“Ah, saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu. Sungguh menyenangkan sekali!”
Isteri itu mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk dan kebetulan siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua detik, dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu makin merah mukanya dan cepat melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke luar perahu, seolah-olah dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di pinggir perahu, bibimya yang tipis merah itu tersenyum-senyum dikulum.
“Kami yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu,” Si Suami berkata lagi. “Silakan duduk, Kongcu.”
“Terima kasih.” Sastrawan itu mengambil tempat duduk di atas papan, berhadapan dengan suami isteri itu. “Congsu (Tuan) sungguh baik hati. Perkenalkan, saya Ouw Ciang Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang setelah selesai menempuh ujian dengan hasil baik, sebelum pulang, saya melancong dulu.
“Ahh, kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami berlaku kurang hormat, Ouw-siucai. Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya. Kami tinggal di Liok-ek-tung dan di sana saya membuka perguruan silat.”
Ouw-siucai membelalakkan matanya, kelihatan terkejut.
“Wah, kiranya saya berhadapan dengan seorang ahli silat yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya, Gui-kauwsu (Guru Silat Hui).”
“Aah, Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini kepandaian bun (sastra) lebih berharga daripada bu (silat), dan gerakan sebatang pit (alat tulis) jauh lebih berbahaya daripada gerakan sebatang pedang!”
Yang dimaksudkan dengan kata-kata ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya daripada pedang, karena dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan fitnah yang lebih berbahaya daripada serangan pedang, pula kepandaian menulis dapat membawa orang kepada kedudukan yang lebih tinggi.
Ouw-siucai tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja ini dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk di depannya.
“Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja! Akan tetapi, mungkin benar juga kata-kata itu. Saya sih tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali sedikit coret-coret dan kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak”
“Wah, kesenangan itu cocok dengan kesenanganku. Sayang tidak ada dadu dan kalau ada tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menanti sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung…”
“Jangan khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!”
Seperti orang main sulap saja, siucai itu mengeluarkan seguci besar arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya dari dalam saku jubahnya yang lebar. Melihat ini, guru silat itu tertawa bergelak dan dengan gembira mereka lalu bermain dadu.
Mula-mula mereka bermain dengan taruhan minum arak, dan dalam hal ini, peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka yang menang menerima secawan arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak, mereka berdua menjadi makin gembira dan seringkali terdengar suara mereka tertawa bergelak.
Isteri guru silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut tersenyum sehingga tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak ujung lidah kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya secara tidak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara keduanya, sungguhpun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru pertama kali dia lakukan selama hidupnya.
Kesempatan memang merupakan penggoda yang amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati pun nyonya muda itu tidak ada pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan seorang laki-laki muda! Arak telah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang !
Kun Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu. Akan tetapi setelah mereka berdua mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam merasa tidak senang. Wajah kedua orang itu kini sungguh-sungguh dan tegang, tidak segembira tadi, dan bagaimana kalau seorang di antara mereka kalah dan kehabisan uang? Tentu tidak akan mampu membayar upah kepadanya!
Setelah kini permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai itu lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si Guru Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan mengambil bekal dari buntalan pakaian.
Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi karena perahu-perahu telah kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak beberapa buah perahu nelayan agak jauh.
Permainan dadu itu dilakukan dengan sederhana saja. Biji dadu yang hanya sebuah, yang mempunyai enam permukaan, diisi tulisan yang berarti jumlah satu sampai enam. Mereka mengocok biji dadu itu ke dalam mangkok, menutupi mangkok dengan telapak tangan, kemudian meletakkannya di atas lantai perahu dan membuka tangan yang menutup. Siapa yang mendapatkan angka terbanyak ketika mangkok dibuka, dialah yang menang.
“Wah, sudah cukup, Ouw-siucai. Uangku telah habis sama sekali. Engkau benar-benar sedang mujur!” Akhirnya guru silat itu berkata sambil menarik napas panjang.
Ouw Ciang Houw tersenyum lebar sambil melirik ke arah isteri guru silat itu yang kini tampak menunduk sambil mengerutkan alis. Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, tentu saja isteri ini marah sekali melihat betapa bekal uang mereka dihabiskan ludas oleh suaminya untuk berjudi!
“Ah, Gui-kauwsu. Bermain dadu tidak hanya menggunakan uang saja sebagai taruhan. Masih banyak yang kau miliki.”
“Hemm, aku sudah kehabisan uang, tidak mempunyai apa-apa lagi.”
“Mari kita bertaruh satu kali lagi.” Siucai itu berkata sambil mengeluarkan semua uang kemenangannya yang ia taruh ke dalam kantung uang itu ke atas lantai perahu. “Kalau menang, biarlah semua uangku ini untukmu.”
“Ihhh! Mana mungkin aku bertaruh sebanyak itu, Ouw-siucai? Harap jangan engkau main-main!”
“Aku tidak main-main dan aku berjanji, kalau aku kalah satu kali ini, semua uang ini untukmu.”
“Bagaimana kalau aku yang kalah?” Guru silat itu bertanya.
“Aku akan mengambil satu di antara milikmu.”
“Wah, engkau aneh sekali. Milikku hanya pakaian dan… dan pedang ini, biarpun pedang baik namun harganya tidak sebanyak itu.”
“Pendeknya, engkau berani atau tidak Gui-kauwsu? Engkau sudah kalah banyak dan aku hanya memberi kesempatan kepadamu untuk mendapatkan kembali uangmu.”
Merah wajah guru silat itu. Biarlah, biar dia kehabisan semua barangnya, sudah kepalang tanggung. Benar kata-kata siucai ini, dia sudah kalah terlalu banyak dan andaikata dia dalam pertaruhan terakhir ini sampai habis pakaian dan pedangnya, selisihnya tidak banyak dengan kekalahannya sekarang dan sampai di rumah tentu isterinya akan marah-marah. Akan tetapi sebaliknya kalau dia menang, dia akan mendapatkan kembali semua uang kekalahannya! Biarlah kalau kalah tidak kepalang, dan siapa tahu kalau menang!
“Baiklah! Akan tetapi bukan aku yang mendesakmu, Ouw-siucai!” katanya sambil menyambar mangkuk dadu, memasukkan dadunya dan mengocok dengan keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar