Seketika pucat wajah Phoa Sek It mendengar ucapan itu. Bukan hanya rahasianya telah bocor, bahkan wanita ini adalah seorang yang tak disangka-sangkanya akan pemah berhadapan dengan dia.
“... kau... kau... Siang-tok Mo-li...?”
Wanita itu menjebikan bibirnya yang merah segar dengan lagak genit sekali, dan mengulur tangan kiri minta bokor tanpa bicara lagi. Tentu saja Phoa Sek It kaget dan merasa ngeri karena wanita cantik yang biasanya menyebut dirinya sendiri “Nona Bu” ini bukan lain adalah Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi), yang pada waktu itu merupakan datuk ke lima di dunia persilatan, amat terkenal bukan hanya karena kesaktiannya akan tetapi juga karena sepak terjangnya yang menggegerkan dan kekejamannya terhadap lawan-lawannya!
“Aku... eh siauwte... tidak tahu tentang bokor… harap Nona yang sakti mengampuni…”
Phoa Sek It berkata dengan suara gemetar, akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak mencari akal. Biarpun nama perempuan ini menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi dia belum begitu percaya apakah seorang wanita yang cantik dan kelihatan lemah ini tidak dapat dilawannya.
“Bohong! Lekas serahkan!”
Wanita itu melangkah maju, kini dekat sekali dan lengan kirinya masih terulur ke depan, untuk menerima bokor yang agaknya dia merasa yakin pasti akan diserahkan oleh Phoa Sek It kepadanya.
Karena dia sudah mendengar akan keganasan dan kekejaman wanita iblis ini, Phoa Sek It yang sejak tadi sudah siap, begitu tangan wanita itu berada dekat sekali sehingga tidak mungkin menghindar lagi, secepat kilat dia menyabetkan golok besarnya ke arah lengan yang terulur itu!
“Siuuuuttt...!” Golok lenyap berubah menjadi sinar saking cepat gerakannya.
“Capppp!!”
Mata Phoa Sek It terbelalak. Dia merasa seperti dalam mimpi dan tak percaya dia memandang, biarpun dia sudah melotot dan melihat jelas betapa jari tangan yang halus kecil dengan kuku meruncing terpelihara bagus itu “menjemput” goloknya tadi dan kini jari-jari tangan itu menangkap mata goloknya seperti lagak seorang dara jelita menangkap seekor kupu-kupu pada sayapnya!
Dengan hati penuh rasa tidak percaya sehingga perasaan ini mengalahkan kegentarannya, Phoa Sek It mengerahkan tenaganya menarik untuk membetot lepas goloknya dari jepitan jari-jari tangan yang kecil mungil itu.
“Hemmm…!”
Suara ini keluar sebagai ejekan dari tenggorokan wanita itu dan tiba-tiba terdengar suara “krekkkk!!” dan golok itu telah diremasnya patah-patah menjadi tiga potong!
Phoa Sek It menjadi bengong, kemudian dia bergidik, bulu tengkuknya berdiri dan dia mengeluarkan suara “…ihhhh…” penuh rasa gentar dan ngeri, kemudian membalikkan tubuhnya dan melarikan diri seperti seorang anak kecil takut melihat bayangan setan.
“Wuuuuttt…! Krekkk….!!”
Tubuh Phoa Sek It yang gendut dan sedang melarikan diri itu tiba-tiba terhenti gerakannya, matanya mendelik karena tiba-tiba dia tidak dapat bernapas lagi lehernya tercekik. Ketika dia meraba lehernya, temyata lehernya telah terlibat benda yang lemas sekali. Tiba-tiba ada tenaga raksasa yang menarik tubuhnya ke belakang, tidak dapat dilawannya dan akhirnya dia terbanting ke belakang, terjengkang ke depan kaki wanita itu.
Ketika dia melihat, ternyata rambut wanita ini telah terurai lepas, panjang halus dan harum, dan rambut itulah yang tadi menangkapnya dengan membelit lehemya. Tanpa menggunakan kaki tangan, hanya menggunakan rambutnya yang halus panjang itu saja, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci telah berhasil merobohkannya! Seketika lenyap nyali Phoa Sek It dan dia merangkak, berlutut di depan kedua kaki yang kecil dan bersepatu baru itu.
“Ampunkan nyawa hamba...” Suaranya seperti orang merengek dan menangis.
“Crottt! Augghhh...!!”
Phoa Sek It mendekam dan tubuhnya menggigil saking nyerinya. Pundaknya telah berlubang dan tulang pundaknya remuk ketika wanita ltu menggunakan jari telunjuknya menusuk pundak itu. Jari yang tadi meremas patah golok itu dengan mudah sekali menembus kulit daging, bahkan meremukkan tulang pundaknya!
“Katakan di mana bokor itu dan serahkan kepadaku!”
Kembali Bu Leng Ci berkata, suaranya masih merdu dan kerling mata serta senyumnya masih genit, justeru itulah yang membuat dia amat menyeramkan.
Biarpun diancam maut akan tetapi tentu saja tidak mudah buat Phoa Sek It untuk melepaskan bokornya. Bertahun-tahun dia dengan susah payah mencari benda pusaka itu dan bahkan sampai saat ini pun kiranya belum dapat ia temukan kalau tidak kebetulan bocah gundul itu datang membawa pusaka itu. Mana mungkin sekarang diberikan begitu saja kepada wanita iblis ini?
“Ham... hamba... tidak tahu...”
“Adduuuhhh... am… ampuuuunnnn…!” jerit yang keluar dari mulut Phoa Sek It mengerikan sekali, melengking atau melolong seperti serigala menangis dan rasa nyeri yang dideritanya membuat dia hampir tidak kuat bertahan.
Wanita iblis itu dengan masih tersenyum sudah menggerakkan jari tangannya yang amat kuat dan sebelum Si Gendut tahu apa yang terjadi, tahu-tahu jari tangan itu dengan kukunya yang runcing telah mencubit dan merobek kulit kepalanya bagian pelipis, terus merobek ke atas sehingga kulit kepalanya dari pelipis ke atas, sepanjang sepuluh senti, terkupas dari kepala.
Bukan main hebat kenyerian yang dideritanya, sulit dilukiskan, perih dan panas, kiut-miut rasanya sampai ke jantung yang seperti ditusuk-tusuk, isi kepala seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil.
Dengan sepasang mata terbelalak dan muka pucat sekali penuh kengerian Bi Kiok melihat siksaan ini. Sambil memegangi bajunya yang koyak-koyak menutupi tubuh bagian depan yang terbuka, gadis cilik itu melihat Phoa Sek It dan lenyaplah segala kebenciannya terhadap orang gendut itu. Lupa lagi dia betapa Si Gendut itu telah membunuh kakeknya secara keji dan biadab, betapa semua pembantunya telah dibunuh pula, dan betapa tadi Phoa Sek It akan membunuhnya juga. Dia lupa akan semua itu, kebenciannya berubah menjadi perasaan tidak tega dan kasihan menyaksikan Si Gendut itu mengalami penyiksaan yang mengerikan itu.
“Paman Phoa Sek It, mengapa kau tidak mengaku? Engkau telah membunuh Kakek dan semua pembantumu, engkau telah menyembunyikan bokor itu. Katakan saja di mana!” Bi Kiok berkata.
Mendengar ini, Phoa Sek It terkejut dan dia masih sempat memandang ke arah Bi Kiok dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan saking marahnya dia sampai lupa diri dan memaki,
“Anjing kecil, tutup mulutmu...!”
Akan tetapi kembali dia meraung karena jari-jari tangan yang seperti ujung-ujung pisau runcing itu telah mencengkeram dadanya, menghunjam ke dalam kulit daging, akan tetapi gerakan itu tidak dilanjutkan dan terdengar suara wanita itu,
“Di mana bokor itu?”
“Di... dalam perahu... di tepi sungai…”
Kata-katanya disusul suaranya melengking, berkelojotan. Bi Kiok menutupi muka dengan kedua tangannya. Terlampau hebat dan mengerikan apa yang dia lihat dan saksikan itu. Wanita itu menggerakkan tangannya yang mencengkeram dan lima jari tangan berikut lengannya telah memasuki rongga dada Phoa Sek It, kemudian setelah tangan dicabut kembali, jari-jari tangan itu telah menggenggam sebuah benda merah yang berlepotan darah dan terus benda itu dimakannya!
Itulah jantung yang masih hangat dan agak bergerak menggelepar yang dicabutnya dari dalam rongga dada Phoa Sek It. Dan beginilah satu di antara cara-cara Bu Leng Ci membunuh lawan. Tidak mengherankan apabila dia menjadi tokoh atau datuk ke lima dari dunia persilatan, dan dijuluki Mo-li (Iblis Betina) karena memang dia berhati keras dan ganas seperti iblis!
“Mari kita cari bokor itu.”
Bi Kiok yang merasa betapa pundaknya disentuh tangan halus dan mendengar suara yang merdu ramah, menurunkan kedua tangan dan memandang. Wanita itu kelihatan ramah dan cantik sekali, tersenyum kepadanya dan kedua tangan wanita itu bersih putih, entah ke mana perginya darah yang tadi membasahi tangannya.
Seperti dalam mimpi, Bi Kiok melangkah dan menurut saja diajak oleh wanita itu, digandeng tangannya. Wanita itu melangkahi mayat Phoa Sek It dan Bi Kiok terpaksa meloncatinya juga tanpa memandangnya.
“Di sini hanya ada empat buah perahu... eh, mengapa hanya ada tiga? Mana yang sebuah lagi?” Bi Kiok berkata ketika mereka tiba di tepi sungai.
“Mari kita mencari bokor itu,” kata Bu Leng Ci.
Mereka memeriksa tiga buah perahu, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menemukan bokor yang telah terbawa ke dalam perahu yang dilarikan Kun Liong!
“Hemm, tentu berada di dalam perahu ke empat yang tidak ada lagi di sini. Anak yang baik, siapakah di antara kalian yang tidak mati terbunuh oleh Phoa Sek It, kecuali engkau sendiri?”
Bi Kiok menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya,
“Semua sudah mati, termasuk kakekku. Aku melihat sendiri semua berjumlah empat belas orang dengan kakekku, dibunuh Paman Phoa... eh, agaknya dia yang membawa perahu! Aihhh! Benar, aku sampai lupa! Tentu Liong-twako dan dia sudah selamat. Syukurlah! Dia berhasil menyelamatkan diri, membawa perahu dan…” Tiba-tiba Bi Kiok berhenti bicara dan memandang wanita itu dengan kaget.
“Dan bokor itu dibawanya pula?” Wanita itu mendesak.
“Aku tidak tahu…”
“Siapa itu Liong-twako?”
“Liong-twako adalah anak laki-laki yang telah menemukan bokor...”
“Ehh? Coba ceritakan yang jelas!”
Bi Kiok lalu menuturkan bagaimana dia dan kakeknya secara kebetulan menolong Yap Kun Liong yang hanyut di sungai dan betapa tanpa disengaja Kun Liong telah menemukan bokor itu di dasar sungai. Semua dia tuturkan dengan jelas dan didengarkan oleh Bu Leng Ci dengan penuh perhatian.
“Demikianlah. Malam tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kakek, kemudian aku tertidur dan entah ke mana perginya Liong-twako. Ketika aku terbangun tahu-tahu dia telah lenyap, Kakek terbunuh oleh Paman Phoa dan aku ditariknya keluar dari kamar.”
Iblis betina itu mengangguk-angguk.
“Aku yakin sekarang. Tentu Yap Kun Liong itu yang membawa bokor. Entah bagaimana dia dapat mengambilnya dari tangan Phoa Sek It, akan tetapi seorang bocah seaneh dia, yang telah menemukan bokor dan selama sehari hanyut di sungai yang banjir dalam keadaan selamat, bukan tidak mungkin dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Mari kita cari dia!”
“Aku... apakah aku... harus ikut?”
“Anak baik. Siapa namamu?”
“Namaku Yo Bi Kiok.”
“Hemmm, nama yang manis seperti orangnya. Engkau hanya berdua dengan kakekmu, bukan? Sudah lama kulihat engkau bersama rombongan itu.”
Bi Kiok mengangguk.
“Aku yatim, piatu.”
“Bagus!”
“Mengapa bagus?”
Bi Kiok memandang dengan penasaran. Yatim piatu, tak berayah tak beribu sekarang kehilangaan kakek pula, dikatakan bagus!
“Jadi engkau sebatangkara, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia?”
Bi Kiok masih memandang penasaran, akan tetapi dia mengangguk juga.
“Bagus!”
Bi Kiok merenggut lepas tangannya yang digandeng wanita itu, kepalanya ditegakkan dan suaranya nyaring penuh keberanian ketika dia berkata,
“Bibi, engkau sungguh kejam sekali, mengejek dan mempermainkan seorang anak-anak seperti aku! Aku memang yatim piatu, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan Bibi. Tidak perlu Bibi mengejek dan mengatakan bagus!”
Sepasang mata wanita cantik itu bersinar-sinar, kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas, dibentuk seperti sepasang cakar garuda, agaknya siap untuk mencengkeram kepala Bi Kiok. Gadis cilik itu menatap tajam, sedikit pun tidak takut!
“Hi-hik, engkau tidak takut? Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!”
“Aku tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!” Bi Kiok berkata lantang.
“Heh-heh-heh, bagus!” Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya lagi.
“Lagi-lagi bagus! Apanya yang bagus!”
Bi Kiok membentak, kini marah sekali, kedua tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu!
“Tentu saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda duka dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang seperti engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku.”
“Muridmu?”
“Ya, muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di antara selaksa orang anak perempuan!”
Bi Kiok seorang yang cerdik sekali. Biarpun usianya baru delapan tahun, akan tetapi dia maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari mana-mana akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini, yang biarpun kejam seperti iblis akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan, sehingga orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita ini mengambilnya sebagai murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Teecu (murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!”
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira, menarik bangun muridnya, menggandeng tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil berkata,
“Mari kita kejar bocah she Yap itu!”
“... kau... kau... Siang-tok Mo-li...?”
Wanita itu menjebikan bibirnya yang merah segar dengan lagak genit sekali, dan mengulur tangan kiri minta bokor tanpa bicara lagi. Tentu saja Phoa Sek It kaget dan merasa ngeri karena wanita cantik yang biasanya menyebut dirinya sendiri “Nona Bu” ini bukan lain adalah Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi), yang pada waktu itu merupakan datuk ke lima di dunia persilatan, amat terkenal bukan hanya karena kesaktiannya akan tetapi juga karena sepak terjangnya yang menggegerkan dan kekejamannya terhadap lawan-lawannya!
“Aku... eh siauwte... tidak tahu tentang bokor… harap Nona yang sakti mengampuni…”
Phoa Sek It berkata dengan suara gemetar, akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak mencari akal. Biarpun nama perempuan ini menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi dia belum begitu percaya apakah seorang wanita yang cantik dan kelihatan lemah ini tidak dapat dilawannya.
“Bohong! Lekas serahkan!”
Wanita itu melangkah maju, kini dekat sekali dan lengan kirinya masih terulur ke depan, untuk menerima bokor yang agaknya dia merasa yakin pasti akan diserahkan oleh Phoa Sek It kepadanya.
Karena dia sudah mendengar akan keganasan dan kekejaman wanita iblis ini, Phoa Sek It yang sejak tadi sudah siap, begitu tangan wanita itu berada dekat sekali sehingga tidak mungkin menghindar lagi, secepat kilat dia menyabetkan golok besarnya ke arah lengan yang terulur itu!
“Siuuuuttt...!” Golok lenyap berubah menjadi sinar saking cepat gerakannya.
“Capppp!!”
Mata Phoa Sek It terbelalak. Dia merasa seperti dalam mimpi dan tak percaya dia memandang, biarpun dia sudah melotot dan melihat jelas betapa jari tangan yang halus kecil dengan kuku meruncing terpelihara bagus itu “menjemput” goloknya tadi dan kini jari-jari tangan itu menangkap mata goloknya seperti lagak seorang dara jelita menangkap seekor kupu-kupu pada sayapnya!
Dengan hati penuh rasa tidak percaya sehingga perasaan ini mengalahkan kegentarannya, Phoa Sek It mengerahkan tenaganya menarik untuk membetot lepas goloknya dari jepitan jari-jari tangan yang kecil mungil itu.
“Hemmm…!”
Suara ini keluar sebagai ejekan dari tenggorokan wanita itu dan tiba-tiba terdengar suara “krekkkk!!” dan golok itu telah diremasnya patah-patah menjadi tiga potong!
Phoa Sek It menjadi bengong, kemudian dia bergidik, bulu tengkuknya berdiri dan dia mengeluarkan suara “…ihhhh…” penuh rasa gentar dan ngeri, kemudian membalikkan tubuhnya dan melarikan diri seperti seorang anak kecil takut melihat bayangan setan.
“Wuuuuttt…! Krekkk….!!”
Tubuh Phoa Sek It yang gendut dan sedang melarikan diri itu tiba-tiba terhenti gerakannya, matanya mendelik karena tiba-tiba dia tidak dapat bernapas lagi lehernya tercekik. Ketika dia meraba lehernya, temyata lehernya telah terlibat benda yang lemas sekali. Tiba-tiba ada tenaga raksasa yang menarik tubuhnya ke belakang, tidak dapat dilawannya dan akhirnya dia terbanting ke belakang, terjengkang ke depan kaki wanita itu.
Ketika dia melihat, ternyata rambut wanita ini telah terurai lepas, panjang halus dan harum, dan rambut itulah yang tadi menangkapnya dengan membelit lehemya. Tanpa menggunakan kaki tangan, hanya menggunakan rambutnya yang halus panjang itu saja, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci telah berhasil merobohkannya! Seketika lenyap nyali Phoa Sek It dan dia merangkak, berlutut di depan kedua kaki yang kecil dan bersepatu baru itu.
“Ampunkan nyawa hamba...” Suaranya seperti orang merengek dan menangis.
“Crottt! Augghhh...!!”
Phoa Sek It mendekam dan tubuhnya menggigil saking nyerinya. Pundaknya telah berlubang dan tulang pundaknya remuk ketika wanita ltu menggunakan jari telunjuknya menusuk pundak itu. Jari yang tadi meremas patah golok itu dengan mudah sekali menembus kulit daging, bahkan meremukkan tulang pundaknya!
“Katakan di mana bokor itu dan serahkan kepadaku!”
Kembali Bu Leng Ci berkata, suaranya masih merdu dan kerling mata serta senyumnya masih genit, justeru itulah yang membuat dia amat menyeramkan.
Biarpun diancam maut akan tetapi tentu saja tidak mudah buat Phoa Sek It untuk melepaskan bokornya. Bertahun-tahun dia dengan susah payah mencari benda pusaka itu dan bahkan sampai saat ini pun kiranya belum dapat ia temukan kalau tidak kebetulan bocah gundul itu datang membawa pusaka itu. Mana mungkin sekarang diberikan begitu saja kepada wanita iblis ini?
“Ham... hamba... tidak tahu...”
“Adduuuhhh... am… ampuuuunnnn…!” jerit yang keluar dari mulut Phoa Sek It mengerikan sekali, melengking atau melolong seperti serigala menangis dan rasa nyeri yang dideritanya membuat dia hampir tidak kuat bertahan.
Wanita iblis itu dengan masih tersenyum sudah menggerakkan jari tangannya yang amat kuat dan sebelum Si Gendut tahu apa yang terjadi, tahu-tahu jari tangan itu dengan kukunya yang runcing telah mencubit dan merobek kulit kepalanya bagian pelipis, terus merobek ke atas sehingga kulit kepalanya dari pelipis ke atas, sepanjang sepuluh senti, terkupas dari kepala.
Bukan main hebat kenyerian yang dideritanya, sulit dilukiskan, perih dan panas, kiut-miut rasanya sampai ke jantung yang seperti ditusuk-tusuk, isi kepala seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil.
Dengan sepasang mata terbelalak dan muka pucat sekali penuh kengerian Bi Kiok melihat siksaan ini. Sambil memegangi bajunya yang koyak-koyak menutupi tubuh bagian depan yang terbuka, gadis cilik itu melihat Phoa Sek It dan lenyaplah segala kebenciannya terhadap orang gendut itu. Lupa lagi dia betapa Si Gendut itu telah membunuh kakeknya secara keji dan biadab, betapa semua pembantunya telah dibunuh pula, dan betapa tadi Phoa Sek It akan membunuhnya juga. Dia lupa akan semua itu, kebenciannya berubah menjadi perasaan tidak tega dan kasihan menyaksikan Si Gendut itu mengalami penyiksaan yang mengerikan itu.
“Paman Phoa Sek It, mengapa kau tidak mengaku? Engkau telah membunuh Kakek dan semua pembantumu, engkau telah menyembunyikan bokor itu. Katakan saja di mana!” Bi Kiok berkata.
Mendengar ini, Phoa Sek It terkejut dan dia masih sempat memandang ke arah Bi Kiok dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan saking marahnya dia sampai lupa diri dan memaki,
“Anjing kecil, tutup mulutmu...!”
Akan tetapi kembali dia meraung karena jari-jari tangan yang seperti ujung-ujung pisau runcing itu telah mencengkeram dadanya, menghunjam ke dalam kulit daging, akan tetapi gerakan itu tidak dilanjutkan dan terdengar suara wanita itu,
“Di mana bokor itu?”
“Di... dalam perahu... di tepi sungai…”
Kata-katanya disusul suaranya melengking, berkelojotan. Bi Kiok menutupi muka dengan kedua tangannya. Terlampau hebat dan mengerikan apa yang dia lihat dan saksikan itu. Wanita itu menggerakkan tangannya yang mencengkeram dan lima jari tangan berikut lengannya telah memasuki rongga dada Phoa Sek It, kemudian setelah tangan dicabut kembali, jari-jari tangan itu telah menggenggam sebuah benda merah yang berlepotan darah dan terus benda itu dimakannya!
Itulah jantung yang masih hangat dan agak bergerak menggelepar yang dicabutnya dari dalam rongga dada Phoa Sek It. Dan beginilah satu di antara cara-cara Bu Leng Ci membunuh lawan. Tidak mengherankan apabila dia menjadi tokoh atau datuk ke lima dari dunia persilatan, dan dijuluki Mo-li (Iblis Betina) karena memang dia berhati keras dan ganas seperti iblis!
“Mari kita cari bokor itu.”
Bi Kiok yang merasa betapa pundaknya disentuh tangan halus dan mendengar suara yang merdu ramah, menurunkan kedua tangan dan memandang. Wanita itu kelihatan ramah dan cantik sekali, tersenyum kepadanya dan kedua tangan wanita itu bersih putih, entah ke mana perginya darah yang tadi membasahi tangannya.
Seperti dalam mimpi, Bi Kiok melangkah dan menurut saja diajak oleh wanita itu, digandeng tangannya. Wanita itu melangkahi mayat Phoa Sek It dan Bi Kiok terpaksa meloncatinya juga tanpa memandangnya.
“Di sini hanya ada empat buah perahu... eh, mengapa hanya ada tiga? Mana yang sebuah lagi?” Bi Kiok berkata ketika mereka tiba di tepi sungai.
“Mari kita mencari bokor itu,” kata Bu Leng Ci.
Mereka memeriksa tiga buah perahu, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menemukan bokor yang telah terbawa ke dalam perahu yang dilarikan Kun Liong!
“Hemm, tentu berada di dalam perahu ke empat yang tidak ada lagi di sini. Anak yang baik, siapakah di antara kalian yang tidak mati terbunuh oleh Phoa Sek It, kecuali engkau sendiri?”
Bi Kiok menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya,
“Semua sudah mati, termasuk kakekku. Aku melihat sendiri semua berjumlah empat belas orang dengan kakekku, dibunuh Paman Phoa... eh, agaknya dia yang membawa perahu! Aihhh! Benar, aku sampai lupa! Tentu Liong-twako dan dia sudah selamat. Syukurlah! Dia berhasil menyelamatkan diri, membawa perahu dan…” Tiba-tiba Bi Kiok berhenti bicara dan memandang wanita itu dengan kaget.
“Dan bokor itu dibawanya pula?” Wanita itu mendesak.
“Aku tidak tahu…”
“Siapa itu Liong-twako?”
“Liong-twako adalah anak laki-laki yang telah menemukan bokor...”
“Ehh? Coba ceritakan yang jelas!”
Bi Kiok lalu menuturkan bagaimana dia dan kakeknya secara kebetulan menolong Yap Kun Liong yang hanyut di sungai dan betapa tanpa disengaja Kun Liong telah menemukan bokor itu di dasar sungai. Semua dia tuturkan dengan jelas dan didengarkan oleh Bu Leng Ci dengan penuh perhatian.
“Demikianlah. Malam tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kakek, kemudian aku tertidur dan entah ke mana perginya Liong-twako. Ketika aku terbangun tahu-tahu dia telah lenyap, Kakek terbunuh oleh Paman Phoa dan aku ditariknya keluar dari kamar.”
Iblis betina itu mengangguk-angguk.
“Aku yakin sekarang. Tentu Yap Kun Liong itu yang membawa bokor. Entah bagaimana dia dapat mengambilnya dari tangan Phoa Sek It, akan tetapi seorang bocah seaneh dia, yang telah menemukan bokor dan selama sehari hanyut di sungai yang banjir dalam keadaan selamat, bukan tidak mungkin dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Mari kita cari dia!”
“Aku... apakah aku... harus ikut?”
“Anak baik. Siapa namamu?”
“Namaku Yo Bi Kiok.”
“Hemmm, nama yang manis seperti orangnya. Engkau hanya berdua dengan kakekmu, bukan? Sudah lama kulihat engkau bersama rombongan itu.”
Bi Kiok mengangguk.
“Aku yatim, piatu.”
“Bagus!”
“Mengapa bagus?”
Bi Kiok memandang dengan penasaran. Yatim piatu, tak berayah tak beribu sekarang kehilangaan kakek pula, dikatakan bagus!
“Jadi engkau sebatangkara, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia?”
Bi Kiok masih memandang penasaran, akan tetapi dia mengangguk juga.
“Bagus!”
Bi Kiok merenggut lepas tangannya yang digandeng wanita itu, kepalanya ditegakkan dan suaranya nyaring penuh keberanian ketika dia berkata,
“Bibi, engkau sungguh kejam sekali, mengejek dan mempermainkan seorang anak-anak seperti aku! Aku memang yatim piatu, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan Bibi. Tidak perlu Bibi mengejek dan mengatakan bagus!”
Sepasang mata wanita cantik itu bersinar-sinar, kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas, dibentuk seperti sepasang cakar garuda, agaknya siap untuk mencengkeram kepala Bi Kiok. Gadis cilik itu menatap tajam, sedikit pun tidak takut!
“Hi-hik, engkau tidak takut? Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!”
“Aku tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!” Bi Kiok berkata lantang.
“Heh-heh-heh, bagus!” Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya lagi.
“Lagi-lagi bagus! Apanya yang bagus!”
Bi Kiok membentak, kini marah sekali, kedua tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu!
“Tentu saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda duka dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang seperti engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku.”
“Muridmu?”
“Ya, muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di antara selaksa orang anak perempuan!”
Bi Kiok seorang yang cerdik sekali. Biarpun usianya baru delapan tahun, akan tetapi dia maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari mana-mana akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini, yang biarpun kejam seperti iblis akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan, sehingga orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita ini mengambilnya sebagai murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Teecu (murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!”
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira, menarik bangun muridnya, menggandeng tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil berkata,
“Mari kita kejar bocah she Yap itu!”
**** 024 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar