“Mengapa engkau terpaksa mengajaknya hidup di tempat ini Kek? Dan siapakah sebetulnya Phoa Sek It itu? Kulihat dia bukan manusia baik-baik…”
“Ssstt... perlahan bicara dan hati-hatilah. Dengarkan baik-baik, saya akan menuturkan segalanya kepadamu, akan tetapi hanya dengan bisik-bisik. Saya melihat engkau bukan anak biasa, Kongcu. Biarpun aku telah menyelamatkanmu tanpa sengaja dan hal itu tak perlu kau ingat lagi, akan tetapi besar harapanku kelak engkau akan dapat membantuku mengawasi cucuku, kalau aku sudah tidak ada lagi...”
Kun Liong mengangguk dan kakek itu mulai bercerita dengan berbisik-bisik. Ternyata bahwa kakek itu bersama putera dan mantunya adalah bekas bajak-bajak sungai yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah setelah perang saudara berakhir dan Kaisar Yung Lo memegang tampuk pemerintah Kerajaan Beng-tiauw. Putera dan mantunya tewas dalam perlawanan dan dia sendiri dalam keadaan luka-luka berhasil melarikan diri sambil membawa cucunya, Yo Bi Kiok yang waktu itu baru berusia tiga tahun.
Sebagai seorang pelarian, dia terpaksa mengajak cucunya sembunyi-sembunyi dan keadaannya yang miskin itu tentu akan menimbulkan kecurigaan orang, tidak demikian kiranya kalau kakek ini mempunyai banyak uang, tentu dia akan berani mengajak cucunya ke kota dan tinggal di kota seperti keluarga baik-baik.
Dalam perantauannya inilah dia bertemu dengan Phoa Sek It! Orang gendut ini memiliki kepandaian lihai sekali dan perkenalan mereka pun amat luar biasa, karena Kakek Yo berusaha merampok Si Gemuk ini dan dia bahkan dikalahkan, ditaklukkan dan dijadikan pembantu oleh Phoa Sek It yang berjuluk Golok Maut.
Si Gemuk ini adalah seorang bekas anggauta pasukan pengawal yang mengiringkan Laksamana The Hoo. Ketika mendapat kesempatan, Phoa Sek It yang menyeleweng karena ingin menjadi seorang kaya ini, mencuri dan membawa lari bokor emas yang mengandung rahasia penyimpanan harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya!
Tidak ada orang yang tahu, juga Laksamana The Hoo sendiri tidak mengira, bahwa dialah orangnya yang mencuri dan membawa lari bokor. Dunia persilatan geger karena memang bokor itu sudah terkenal sekali, bahkan ada tokoh-tokoh penjahat sakti yang berani mencoba untuk mencari bokor, akan tetapi yang kesemuanya gagal, bahkan ada yang tewas di tangan pengawal-pengawal dan para pembantu Laksamana The Hoo yang berilmu tinggi.
Phoa Sek It melarikan diri dan karena takut dikejar, dia menggunakan perahu memasuki sungai yang berbahaya itu, mengandalkan kepandaiannya mengemudikan perahu. Akan tetapi, banjir menyerang perahunya sehingga terguling, bokornya hilang dan Phoa Sek It menjadi bingung.
Setelah berbulan-bulan mencari dan menyelam di sekitar tempat itu tanpa hasil, dia mengambil keputusan untuk mencari anak buah dan pada saat itulah dia dirampok oleh Yo-lokui yang kemudian dijadikan pembantunya. Mereka berdua berhasil mengumpulkan bekas bajak-bajak sungai, tiga belas orang jumlahnya dan semenjak itulah, lima belas orang itu tinggal di tempat tersembunyi, menyambung hidupnya dengan menangkap ikan atau kadang-kadang juga membajak ke Sungai Huang-ho.
“Selama bertahun-tahun kami mencari bokor. Karena janji-janji yang muluk dari Phoa-sicu, kami terus bertahan dan sekarang bokor telah ditemukan, berarti akan berakhirlah penderitaan kami. Aku telah dijanjikan pembagian yang cukup untuk kumakan selama hidup bersama cucuku. Kami akan pindah ke kota!”
Kakek itu menutup ceritanya dengan wajah yang keriput itu berseri penuh harapan dan kebahagiaan untuk cucunya.
“Mudah-mudahan saja engkau dan Bi Kiok akan berhasil dan bahagia, Kek.” kata Kun Liong.
Akan tetapi kakek itu sudah mulai mendengkur, agaknya lelah bercerita dan harapan yang amat baik membuat hatinya lega dan puas sehingga mudah dia jatuh pulas.
Kun Liong sebaliknya tak dapat tidur gelisah bergulingan di atas pembaringan. Dengkur kakek itu amat mengganggunya apalagi hawanya panas di dalam kamar itu, ditambah bau amis keranjang bekas ikan, membuatnya makin gelisah.
Akhirnya dengan perlahan agar jangan mengagetkan kakek dan cucunya itu, dia turun dari atas pembaringan, dengan maksud untuk keluar dari rumah itu mencari hawa segar di pinggir sungai. Akan tetapi baru saja dia sampai di pintu kamar, lapat-lapat dia mendengar suara orang mengeluh dari kamar di depan, kemudian tampak berkelebat bayangan keluar dari kamar itu, bayangan seorang yang mukanya ditutup kain hitam mulai dari bawah mata, terus ke bawah dan tangannya membawa sebatang golok yang berlepotan darah!
Melihat betapa bayangan itu berkelebat lari ke arah kamar Kakek Yo, Kun Liong cepat meloncat ke dalam dan keadaan yang tiba-tiba itu membuat dia tidak sempat berpikir lagi, terus saja dia tutup peti bundar, memasukinya dan menutup kembali dari dalam!
Setelah ia mendekam di dalam peti teringat olehnya bahwa seharusnya dia membangunkan Kakek Yo lebih dulu. Akan tetapi baru saja dia mau membuka tutup peti, pintu kamar terbuka, bayangan hitam berkelebat masuk dan dari tubuh yang gendut itu Kun Liong dapat menduga bahwa itu tentulah Phoa Sek It. Dia hendak berteriak mengagetkan dan membangunkan Yo-lokui, namun terlambat!
Orang berkedok itu telah melompat ke dekat pembaringan Kakek Yo, menggerakkan golok besar dengan kedua tangan dan... Kun Liong merasa kepalanya pening dan hampir pingsan ketika melihat darah muncrat dari perut Kakek Yo yang dihunjam golok. Kakek itu kelihatan terkejut kaku, terbelalak dan seperti hendak bangkit, tetapi kembali golok terayun dan kali ini membacok leher sehingga hampir putus.
Cepat seperti ketika masuk, bayangan hitam itu sudah melompat, menyingkap tirai, melihat Bi Kiok yang menjadi kaget dan bingung lalu menoleh ke kanan kiri mencari-cari, agaknya mencari Kun Liong, lalu mendengus marah dan menyambar lengan tangan Bi Kiok.
“Aihhh…, lepaskan aku...! Kong-kong…!” Bi Kiok menjerit-jerit akan tetapi orang gendut berkedok itu telah membawanya lari keluar.
Kun Liong cepat keluar dari peti. Melihat kakek itu sudah tewas dalam keadaan mengerikan sekali dia menyelinap keluar. Terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan di kamar-kamar lain seperti suara orang berkelahi. Kun Liong cepat lari keluar menuju ke sungai. Tanpa banyak pikir lagi karena maklum bahwa kalau Phoa Sek It melihatnya tentu dia akan dibunuh, dia meloncat ke atas sebuah perahu, melepas tali ikatan dan mendayung perahu ke tengah, mendayung sekuat tenaga mengikuti aliran sungai.
Untung baginya bahwa bagian berbahaya dari sungai ini sudah lewat, yaitu yang dilewatinya ketika sehari lamanya dia hanyut kemarin. Air di bagian ini cukup dalam dan tidak begitu deras arusnya sehingga dia dapat menguasai perahunya. Ketika hatinya sudah merasa lega dan aman karena tidak melihat adanya orang mengejarnya, Kun Liong yang merasa betapa kedua lengannya kaku dan lelah karena tadi mendayung sekuat tenaga, mengatur tempat duduk yang lebih enak dan mendayung perahunya agak di pinggir agar aman.
Ketika dia pindah tempat duduk inilah kakinya menyentuh sesuatu. Karena gelap, dia tidak dapat melihat benda apa itu, maka dia mengambil dan mengangkatnya. Hampir dia tertawa bergelak dan membayangkan betapa lucu wajah Si Gendut nanti. Kiranya benda itu adalah bokor emas!
Dia mulai dapat menduga apa yang terjadi. Karena ingin memiliki bokor itu sendiri tanpa membagi-bagi kepada anak buahnya, timbul pikiran jahat di dalam hati Si Gemuk itu. Karena dia memang lihai, maka dia melakukan pembunuhan-pembunuhan dan bokor itu sudah disembunyikannya ke dalam perahu ini. Agaknya, kalau sudah selesai membunuh semua bekas anak buahnya, Si Gendut itu akan melarikan diri dengan perahu ini. Siapa kira, dia mendahuluinya dan tanpa disengaja, kembali bokor terjatuh ke dalam tangannya! Ingin dia mentertawakan Si Gendut, akan tetapi teringat akan nasib Kakek Yo, dan akan nasib Bi Kiok, berkerut alis Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali. Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan?
Memang tepat dugaan Kun liong, orang gemuk bertopeng itu bukan lain adalah Phoa Sek It. Begitu melihat bokor emas itu, Phoa Sek It segera mengenalnya sebagai bokor pusaka milik bekas atasannya, Laksamana The Hoo, benda berharga yang menjadi rebutan, yang dahulu berhasil dia curi dan larikan kemudian lenyap di sungai ketika perahunya terguling diterjang air bah.
Begitu ia melihat benda itu, timbullah sudah kemurkaannya, timbul niat jahat untuk membunuh semua pembantunya termasuk anak yang datang membawa bokor itu. Mereka harus dibunuhnya, dan karena dia tidak ingin kehilangan sebagian harta benda untuk menghadiahi mereka, akan tetapi terutama karena mereka sudah tahu akan rahasia bokor itu dan kalau mereka tidak dibunuh dan sampai rahasia itu tersiar, tentu dia akan menjadi buruan orang-orang sakti sedunia kang-ouw dan yang lebih mengerikan lagi, tentu Laksamana The Hoo yang banyak dibantu orang-orang sakti itu akan mencari, menemukan, dan menghukumnya.
Phoa Sek It sudah berhasil membunuh Kakek Yo-lokui selagi kakek ini tidur sehingga satu-satunya orang yang dapat melakukan perlawanan itu dibunuhnya secara mudah, dan tiga belas orang pembantu lain dengan mudah saja menjadi korban goloknya tanpa mereka dapat memberi perlawanan yang berarti. Akan tetapi ketika melihat Bi Kiok, dia tidak membunuhnya. Bukan karena dia tidak tega atau menaruh iba hatinya melihat anak perempuan itu, melainkan karena timbul berahinya kalau dia membayangkan betapa Bi Kiok beberapa tahun lagi akan menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena inilah dia tidak membunuh Bi Kiok!
Dapat dibayangkan betapa takut, duka dan ngeri rasa hati anak perempuan itu ketika dia melihat kong-kongnya telah tewas dalam keadaan mengerikan, dan betapa orang bertopeng yang dia tahu adalah Phoa Sek It, orang yang selama dia tinggal di situ paling dia takuti, sambil menggandengnya membunuh paman-paman yang lain sehingga bajunya sendiri terkena percikan darah yang muncrat dari tubuh setiap orang korban.
“Lepaskan aku...! Lepaskan...! Kongkong...!” Dia menjerit-jerit sampai suaranya menjadi parau.
“Diam! Anak bodoh! Engkau sudah untung sekali tidak kubunuh, tahu? Apakah minta kubunuh?”
Dia mendekatkan golok yang berlepotan darah ke depan muka Bi Kiok sehingga anak itu terbelalak dengan muka pucat, hampir pingsan ketika hidungnya mencium bau darah yang memuakkan.
“Katakan di mana adanya bocah iblis gundul itu?”
Bi Kiok menggeleng kepala dan menelan ludah karena sukar sekali dia mengeluarkan suara, lehernya seperti tercekik dan mulutnya tiba-tiba menjadi kering saking takutnya.
“Ti... tidak tahu...” Akhirnya dapat juga dia bersuara.
“Bukankah dia tidur di kamar kakekmu?” kembali Si Gemuk menghardik dan kini dia merenggut penutup mukanya. Semua pembantunya telah dibunuhnya, tidak perlu lagi menyembunyikan muka.
“Aku tidak tahu... tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kong-kong... uhu-hu-huuu... !”
Bi Kiok menangis lagi, teringat akan kakeknya yang telah tewas.
“Diam! Kalau menangis terus dan kesabaranku habis, golok ini akan minum darahmu! Hayo kita pergi!”
“Tidak mau... hu-hu-huhhh... tidak mau...!”
“Plakkk!” Pipi anak perempuan itu ditampar dan tubuhnya terguling ke atas lantai. “Engkau membandel, ya? Baik, lebih baik begitu, kau mampus sekalian agar kelak tidak merepotkan. Akan tetapi sebelum mati, sayang kalau dibunuh begitu saja. Engkau masih kecil, akan tetapi sudah manis sekali!”
Seperti seekor harimau yang buas menubruk seekor anak domba yang ketakutan, Phoa Sek It menubruk Bi Kiok, tangannya merenggut, terdengar kain terkoyak ketika dengan penuh nafsu binatang buas dia merenggut pakaian gadis cilik itu.
“Breetttt...!! Aihhhh... tolong...!!”
Bi Kiok menjerit, tidak mengerti bahaya apa yang mengancam dirinya, hanya mengira bahwa Phoa Sek it tentu hendak membunuhnya.
“Babi gendut memuakkan!! Plakkk!!”
Phoa Sek It terkejut bukan main. Pundaknya seperti akan remuk menerima sebuah tamparan yang datangnya tiba-tiba dan tak mungkin dapat dielakkannya tadi, apalagi karena dia sedang diamuk nafsu. Ketika dia menyambar golok yang tadi diletakkan di atas tanah ketika dia hendak memperkosa gadis cilik itu, melompat sambil membacokkan golok dengan tubuh diputar, dia melihat seorang wanita berdiri dengan sikap tenang.
Wanita itu pakaiannya indah dan bersih, rambutnya yang panjang tersisir rapi dan digelung seperti model puteri bangsawan, di punggungnya tampak sebatang pedang yang panjang melengkung dan aneh, tubuhnya kecil pendek dan biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun masih cantik menarik, dan kerling matanya serta senyumnya kelihatan genit sekali. Dia berdiri memandang Phoa Sek It sambil mengerling dan tersenyum-senyum!
“Iblis betina!” Phoa Sek It membentak marah. “Siapa engkau berani main gila dengan Golok Maut?”
“Babi kotor, anjing hina yang hendak memperkosa anak kecil! Aku tahu engkau Phoa Sek It bekas pengawal Laksamana The Hoo! Sudah lama kuawasi engkau dan setelah malam ini kau membunuhi anak buahmu, tentu engkau telah menemukan bokor itu! Hayo keluarkan bokor itu dan serahkan kepada Nona Bu!”
“Ssstt... perlahan bicara dan hati-hatilah. Dengarkan baik-baik, saya akan menuturkan segalanya kepadamu, akan tetapi hanya dengan bisik-bisik. Saya melihat engkau bukan anak biasa, Kongcu. Biarpun aku telah menyelamatkanmu tanpa sengaja dan hal itu tak perlu kau ingat lagi, akan tetapi besar harapanku kelak engkau akan dapat membantuku mengawasi cucuku, kalau aku sudah tidak ada lagi...”
Kun Liong mengangguk dan kakek itu mulai bercerita dengan berbisik-bisik. Ternyata bahwa kakek itu bersama putera dan mantunya adalah bekas bajak-bajak sungai yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah setelah perang saudara berakhir dan Kaisar Yung Lo memegang tampuk pemerintah Kerajaan Beng-tiauw. Putera dan mantunya tewas dalam perlawanan dan dia sendiri dalam keadaan luka-luka berhasil melarikan diri sambil membawa cucunya, Yo Bi Kiok yang waktu itu baru berusia tiga tahun.
Sebagai seorang pelarian, dia terpaksa mengajak cucunya sembunyi-sembunyi dan keadaannya yang miskin itu tentu akan menimbulkan kecurigaan orang, tidak demikian kiranya kalau kakek ini mempunyai banyak uang, tentu dia akan berani mengajak cucunya ke kota dan tinggal di kota seperti keluarga baik-baik.
Dalam perantauannya inilah dia bertemu dengan Phoa Sek It! Orang gendut ini memiliki kepandaian lihai sekali dan perkenalan mereka pun amat luar biasa, karena Kakek Yo berusaha merampok Si Gemuk ini dan dia bahkan dikalahkan, ditaklukkan dan dijadikan pembantu oleh Phoa Sek It yang berjuluk Golok Maut.
Si Gemuk ini adalah seorang bekas anggauta pasukan pengawal yang mengiringkan Laksamana The Hoo. Ketika mendapat kesempatan, Phoa Sek It yang menyeleweng karena ingin menjadi seorang kaya ini, mencuri dan membawa lari bokor emas yang mengandung rahasia penyimpanan harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya!
Tidak ada orang yang tahu, juga Laksamana The Hoo sendiri tidak mengira, bahwa dialah orangnya yang mencuri dan membawa lari bokor. Dunia persilatan geger karena memang bokor itu sudah terkenal sekali, bahkan ada tokoh-tokoh penjahat sakti yang berani mencoba untuk mencari bokor, akan tetapi yang kesemuanya gagal, bahkan ada yang tewas di tangan pengawal-pengawal dan para pembantu Laksamana The Hoo yang berilmu tinggi.
Phoa Sek It melarikan diri dan karena takut dikejar, dia menggunakan perahu memasuki sungai yang berbahaya itu, mengandalkan kepandaiannya mengemudikan perahu. Akan tetapi, banjir menyerang perahunya sehingga terguling, bokornya hilang dan Phoa Sek It menjadi bingung.
Setelah berbulan-bulan mencari dan menyelam di sekitar tempat itu tanpa hasil, dia mengambil keputusan untuk mencari anak buah dan pada saat itulah dia dirampok oleh Yo-lokui yang kemudian dijadikan pembantunya. Mereka berdua berhasil mengumpulkan bekas bajak-bajak sungai, tiga belas orang jumlahnya dan semenjak itulah, lima belas orang itu tinggal di tempat tersembunyi, menyambung hidupnya dengan menangkap ikan atau kadang-kadang juga membajak ke Sungai Huang-ho.
“Selama bertahun-tahun kami mencari bokor. Karena janji-janji yang muluk dari Phoa-sicu, kami terus bertahan dan sekarang bokor telah ditemukan, berarti akan berakhirlah penderitaan kami. Aku telah dijanjikan pembagian yang cukup untuk kumakan selama hidup bersama cucuku. Kami akan pindah ke kota!”
Kakek itu menutup ceritanya dengan wajah yang keriput itu berseri penuh harapan dan kebahagiaan untuk cucunya.
“Mudah-mudahan saja engkau dan Bi Kiok akan berhasil dan bahagia, Kek.” kata Kun Liong.
Akan tetapi kakek itu sudah mulai mendengkur, agaknya lelah bercerita dan harapan yang amat baik membuat hatinya lega dan puas sehingga mudah dia jatuh pulas.
Kun Liong sebaliknya tak dapat tidur gelisah bergulingan di atas pembaringan. Dengkur kakek itu amat mengganggunya apalagi hawanya panas di dalam kamar itu, ditambah bau amis keranjang bekas ikan, membuatnya makin gelisah.
Akhirnya dengan perlahan agar jangan mengagetkan kakek dan cucunya itu, dia turun dari atas pembaringan, dengan maksud untuk keluar dari rumah itu mencari hawa segar di pinggir sungai. Akan tetapi baru saja dia sampai di pintu kamar, lapat-lapat dia mendengar suara orang mengeluh dari kamar di depan, kemudian tampak berkelebat bayangan keluar dari kamar itu, bayangan seorang yang mukanya ditutup kain hitam mulai dari bawah mata, terus ke bawah dan tangannya membawa sebatang golok yang berlepotan darah!
Melihat betapa bayangan itu berkelebat lari ke arah kamar Kakek Yo, Kun Liong cepat meloncat ke dalam dan keadaan yang tiba-tiba itu membuat dia tidak sempat berpikir lagi, terus saja dia tutup peti bundar, memasukinya dan menutup kembali dari dalam!
Setelah ia mendekam di dalam peti teringat olehnya bahwa seharusnya dia membangunkan Kakek Yo lebih dulu. Akan tetapi baru saja dia mau membuka tutup peti, pintu kamar terbuka, bayangan hitam berkelebat masuk dan dari tubuh yang gendut itu Kun Liong dapat menduga bahwa itu tentulah Phoa Sek It. Dia hendak berteriak mengagetkan dan membangunkan Yo-lokui, namun terlambat!
Orang berkedok itu telah melompat ke dekat pembaringan Kakek Yo, menggerakkan golok besar dengan kedua tangan dan... Kun Liong merasa kepalanya pening dan hampir pingsan ketika melihat darah muncrat dari perut Kakek Yo yang dihunjam golok. Kakek itu kelihatan terkejut kaku, terbelalak dan seperti hendak bangkit, tetapi kembali golok terayun dan kali ini membacok leher sehingga hampir putus.
Cepat seperti ketika masuk, bayangan hitam itu sudah melompat, menyingkap tirai, melihat Bi Kiok yang menjadi kaget dan bingung lalu menoleh ke kanan kiri mencari-cari, agaknya mencari Kun Liong, lalu mendengus marah dan menyambar lengan tangan Bi Kiok.
“Aihhh…, lepaskan aku...! Kong-kong…!” Bi Kiok menjerit-jerit akan tetapi orang gendut berkedok itu telah membawanya lari keluar.
Kun Liong cepat keluar dari peti. Melihat kakek itu sudah tewas dalam keadaan mengerikan sekali dia menyelinap keluar. Terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan di kamar-kamar lain seperti suara orang berkelahi. Kun Liong cepat lari keluar menuju ke sungai. Tanpa banyak pikir lagi karena maklum bahwa kalau Phoa Sek It melihatnya tentu dia akan dibunuh, dia meloncat ke atas sebuah perahu, melepas tali ikatan dan mendayung perahu ke tengah, mendayung sekuat tenaga mengikuti aliran sungai.
Untung baginya bahwa bagian berbahaya dari sungai ini sudah lewat, yaitu yang dilewatinya ketika sehari lamanya dia hanyut kemarin. Air di bagian ini cukup dalam dan tidak begitu deras arusnya sehingga dia dapat menguasai perahunya. Ketika hatinya sudah merasa lega dan aman karena tidak melihat adanya orang mengejarnya, Kun Liong yang merasa betapa kedua lengannya kaku dan lelah karena tadi mendayung sekuat tenaga, mengatur tempat duduk yang lebih enak dan mendayung perahunya agak di pinggir agar aman.
Ketika dia pindah tempat duduk inilah kakinya menyentuh sesuatu. Karena gelap, dia tidak dapat melihat benda apa itu, maka dia mengambil dan mengangkatnya. Hampir dia tertawa bergelak dan membayangkan betapa lucu wajah Si Gendut nanti. Kiranya benda itu adalah bokor emas!
Dia mulai dapat menduga apa yang terjadi. Karena ingin memiliki bokor itu sendiri tanpa membagi-bagi kepada anak buahnya, timbul pikiran jahat di dalam hati Si Gemuk itu. Karena dia memang lihai, maka dia melakukan pembunuhan-pembunuhan dan bokor itu sudah disembunyikannya ke dalam perahu ini. Agaknya, kalau sudah selesai membunuh semua bekas anak buahnya, Si Gendut itu akan melarikan diri dengan perahu ini. Siapa kira, dia mendahuluinya dan tanpa disengaja, kembali bokor terjatuh ke dalam tangannya! Ingin dia mentertawakan Si Gendut, akan tetapi teringat akan nasib Kakek Yo, dan akan nasib Bi Kiok, berkerut alis Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali. Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan?
Memang tepat dugaan Kun liong, orang gemuk bertopeng itu bukan lain adalah Phoa Sek It. Begitu melihat bokor emas itu, Phoa Sek It segera mengenalnya sebagai bokor pusaka milik bekas atasannya, Laksamana The Hoo, benda berharga yang menjadi rebutan, yang dahulu berhasil dia curi dan larikan kemudian lenyap di sungai ketika perahunya terguling diterjang air bah.
Begitu ia melihat benda itu, timbullah sudah kemurkaannya, timbul niat jahat untuk membunuh semua pembantunya termasuk anak yang datang membawa bokor itu. Mereka harus dibunuhnya, dan karena dia tidak ingin kehilangan sebagian harta benda untuk menghadiahi mereka, akan tetapi terutama karena mereka sudah tahu akan rahasia bokor itu dan kalau mereka tidak dibunuh dan sampai rahasia itu tersiar, tentu dia akan menjadi buruan orang-orang sakti sedunia kang-ouw dan yang lebih mengerikan lagi, tentu Laksamana The Hoo yang banyak dibantu orang-orang sakti itu akan mencari, menemukan, dan menghukumnya.
Phoa Sek It sudah berhasil membunuh Kakek Yo-lokui selagi kakek ini tidur sehingga satu-satunya orang yang dapat melakukan perlawanan itu dibunuhnya secara mudah, dan tiga belas orang pembantu lain dengan mudah saja menjadi korban goloknya tanpa mereka dapat memberi perlawanan yang berarti. Akan tetapi ketika melihat Bi Kiok, dia tidak membunuhnya. Bukan karena dia tidak tega atau menaruh iba hatinya melihat anak perempuan itu, melainkan karena timbul berahinya kalau dia membayangkan betapa Bi Kiok beberapa tahun lagi akan menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena inilah dia tidak membunuh Bi Kiok!
Dapat dibayangkan betapa takut, duka dan ngeri rasa hati anak perempuan itu ketika dia melihat kong-kongnya telah tewas dalam keadaan mengerikan, dan betapa orang bertopeng yang dia tahu adalah Phoa Sek It, orang yang selama dia tinggal di situ paling dia takuti, sambil menggandengnya membunuh paman-paman yang lain sehingga bajunya sendiri terkena percikan darah yang muncrat dari tubuh setiap orang korban.
“Lepaskan aku...! Lepaskan...! Kongkong...!” Dia menjerit-jerit sampai suaranya menjadi parau.
“Diam! Anak bodoh! Engkau sudah untung sekali tidak kubunuh, tahu? Apakah minta kubunuh?”
Dia mendekatkan golok yang berlepotan darah ke depan muka Bi Kiok sehingga anak itu terbelalak dengan muka pucat, hampir pingsan ketika hidungnya mencium bau darah yang memuakkan.
“Katakan di mana adanya bocah iblis gundul itu?”
Bi Kiok menggeleng kepala dan menelan ludah karena sukar sekali dia mengeluarkan suara, lehernya seperti tercekik dan mulutnya tiba-tiba menjadi kering saking takutnya.
“Ti... tidak tahu...” Akhirnya dapat juga dia bersuara.
“Bukankah dia tidur di kamar kakekmu?” kembali Si Gemuk menghardik dan kini dia merenggut penutup mukanya. Semua pembantunya telah dibunuhnya, tidak perlu lagi menyembunyikan muka.
“Aku tidak tahu... tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kong-kong... uhu-hu-huuu... !”
Bi Kiok menangis lagi, teringat akan kakeknya yang telah tewas.
“Diam! Kalau menangis terus dan kesabaranku habis, golok ini akan minum darahmu! Hayo kita pergi!”
“Tidak mau... hu-hu-huhhh... tidak mau...!”
“Plakkk!” Pipi anak perempuan itu ditampar dan tubuhnya terguling ke atas lantai. “Engkau membandel, ya? Baik, lebih baik begitu, kau mampus sekalian agar kelak tidak merepotkan. Akan tetapi sebelum mati, sayang kalau dibunuh begitu saja. Engkau masih kecil, akan tetapi sudah manis sekali!”
Seperti seekor harimau yang buas menubruk seekor anak domba yang ketakutan, Phoa Sek It menubruk Bi Kiok, tangannya merenggut, terdengar kain terkoyak ketika dengan penuh nafsu binatang buas dia merenggut pakaian gadis cilik itu.
“Breetttt...!! Aihhhh... tolong...!!”
Bi Kiok menjerit, tidak mengerti bahaya apa yang mengancam dirinya, hanya mengira bahwa Phoa Sek it tentu hendak membunuhnya.
“Babi gendut memuakkan!! Plakkk!!”
Phoa Sek It terkejut bukan main. Pundaknya seperti akan remuk menerima sebuah tamparan yang datangnya tiba-tiba dan tak mungkin dapat dielakkannya tadi, apalagi karena dia sedang diamuk nafsu. Ketika dia menyambar golok yang tadi diletakkan di atas tanah ketika dia hendak memperkosa gadis cilik itu, melompat sambil membacokkan golok dengan tubuh diputar, dia melihat seorang wanita berdiri dengan sikap tenang.
Wanita itu pakaiannya indah dan bersih, rambutnya yang panjang tersisir rapi dan digelung seperti model puteri bangsawan, di punggungnya tampak sebatang pedang yang panjang melengkung dan aneh, tubuhnya kecil pendek dan biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun masih cantik menarik, dan kerling matanya serta senyumnya kelihatan genit sekali. Dia berdiri memandang Phoa Sek It sambil mengerling dan tersenyum-senyum!
“Iblis betina!” Phoa Sek It membentak marah. “Siapa engkau berani main gila dengan Golok Maut?”
“Babi kotor, anjing hina yang hendak memperkosa anak kecil! Aku tahu engkau Phoa Sek It bekas pengawal Laksamana The Hoo! Sudah lama kuawasi engkau dan setelah malam ini kau membunuhi anak buahmu, tentu engkau telah menemukan bokor itu! Hayo keluarkan bokor itu dan serahkan kepada Nona Bu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar