*

*

Ads

FB

Sabtu, 02 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 021

"Eh.... ohhh.... aku...."

Ia menggagap, berusaha mengelak dari pandangan mata yang begitu halus namun tajam menembus dada.

"Aku tahu, engkau hidung belang seperti gurumu, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa aku bukanlah seorang wanita murah seperti dia itu."

Dengan dagunya yang meruncing halus, gadis itu menuding ke arah depan, ke arah Cui Im yang mengemudikan kereta.

Keng Hong menghela napas panjang dan tak terasa lagi dia mengangkat kedua tangan yang terbelenggu itu untuk mengosok-gosok hidungnya yang dua kali dikatakan belang! Ketika kedua tangannya mengosok-gosok hidung ini, seolah-olah baru tampak olehnya bahwa pergelangan kedua tangannya dibelenggu, terikat oleh sehelai tali sutera hitam yang amat kuat. Ia menaksir-naksir berapa kekuatan belenggu ini.

"Jangan mencoba untuk mematahkan belenggu ," gadis itu seakan dapat membaca pikirannya. "Selain kau takan berhasil, juga kalau kau banyak tingkah, aku akan menyeretmu di belakang kereta."

Wah-wah, kiranya si jelita ini malah lebih galak daripada Cui Im, pikir Keng Hong. Dia kembali menatap wajah itu dan melihat betapa gadis itu tenang seperti air telaga, dan matanya merenung jauh ke depan. Dia dianggap seperti lalat saja, atau bahkan tidak ada. Keng Hong penasaran. Dia bukanlah seorang yang tidak mengenal budi. Gadis ini telah menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dia yang sudah diselamatkan nyawanya diam saja seperti seorang yang tidak mengenal budi.

"Nona...."

Akan tetapi dia tidak melanjutkan karena gadis itu sama sekali tidak bergerak, sama sekali tidak memperhatikan tanda-tanda bahwa dia mendengar panggilannya. Keng Hong bergidik. Gadis ini seperti arca saja. Arca dari batu pualam yang halus dan dingin. Akan tetapi melihat bibirnya yang begitu merah membasah , melihat kemerahan pada rongga mulutnya ketika tadi bicara, kilatan giginya yang kecil rata dan putih, semua ini membayangkan darah muda yang panas. Setelah kini berdiam diri, sikapnya benar-benar luar biasa dinginnya, sedingin salju di utara!

"Nona.....!"





Ia tidak putus asa dan memanggil lagi lebih keras. Namun gadis itu tetap diam, jangankan bergerak melirik pun tidak.

"Bledak..... dak..... dorrr.....!" kereta melalui jalan yang berbatu, rodanya menumbuk batu-batu yang besar sehingga kereta itu terguncang hebat, bahkan hampir roboh miring.

"Heiiiii..... eh.....!"

Keng Hong mengatur keseimbangan tubuhnya dan kaget sekali, akan tetapi kereta berjalan terus dan amatlah kagumnya menyaksikan betapa gadis baju putih di depannya itu masih tetap seperti tadi, tidak bergerak, tidak berguncang, juga tidak kaget. Wah seperti orang mati saja! Keng Hong tertegun sendiri. Jangan-jangan dia ini sudah mati! Matanya terbuka akan tetapi manik mata itu sama sekali tidak bergerak, napasnya pun seolah-olah berhenti.

"Nona....!"

Kembali tiada jawaban. Keng Hong mulai khawatir dan mendekatkan kedua tangannya yang terbelenggu itu ke depan hidung kecil mancung itu, hendak menyatakan apakah napas nona itu masih ada. Dan tangannya tidak merasakan sesuatu! Gadis ini telah mati. Ia menjadi panik dan menurunkan tangan hendak menyentuh urat nadi lengan nona itu.

"Plakkk!" Kedua tangannya ditampar dan nona itu membuka mulut, "Kau mau apa? Ingin diseret di belakang keretakah?"

Keng Hong kaget setengah mati sampai pantatnya terloncat dari tempat duduknya.
"Walah.....! Kau bikin kaget aku saja, Nona. hampir mati aku merasa kaget! Kusangka kau..... kau tidak bernapas lagi....."

"Begini goblokkah murid Sin-jiu Kiam-ong sehingga tidak tahu orang sedang melakukan latihan Pi-khi-hoan-hiat (Menutup Hawa Mengatur Jalan Darah)?"

"Ohhh.....!"

Keng Hong hanya dapat mengeluarkan suara ah-eh-oh saja karena makin lama makin kagum dan heran. Ia pernah mendengar dari suhunya akan ilmu Pi-khi-hoan-hiat ini, sebuah ilmu untuk selalu mengadakan pengontrolan tentang jalan darah dan yang berhubungan dengan sinkang, namun ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang telah tinggi tingkat kepandaiannya. Dan nona cilik ini telah melatihnya di dalam kereta yang berguncang-guncang!

Biarpun hanya mengeluarkan suara ah-eh-oh sejak tadi, namun suara ini jelas membayangkan kekaguman, dan hal ini agaknya terasa oleh gadis itu yang tentu saja sebagai seorang manusia normal, terutama wanita, amat senang hatinya mendapat pujian.

"Kau mau apa sih, panggil-panggil orang terus?"

"Nona, aku she Cia Keng Hong bukanlah orang yang tidak mengenal budi. Aku telah berhutang nyawa kepadamu....."

"Aku tidak pernah menghutangkan nyawa!"

"Eh, aku..... aku telah Nona selamatkan dari pedang Cui Im...."

"Hemmmm, sudah jauh begitu ya hubunganmu dengan suci sehingga kau menyebut namanya begitu saja?"

Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Nona ini boleh jadi pendiam, akan tetapi seperti biasanya orang pendiam, sekali mengeluarkan kata-kata selalu akan menusuk jantung!

"Kumaksudkan.... nona Bhe Cui Im.... aku telah kau tolong dan selain pernyataan terima kasihku, aku pun selamanya tidak akan melupakan budi pertolongan itu. Akan tetapi, setelah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga ini, mengapa Nona menawan aku?"

"Heiii, awas Sumoi! Dia itu laki-laki pandai sekali merayu, melebihi gurunya. Jangan-jangan kau nanti dirobohkan rayuannya yang manis seperti madu. Hi-hi-hik!" dari depan Cui Im berkata dengan suara mengejek.

Gadis baju putih itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya.
"Huh! Sejak kapan aku dapat dirobohkan rayuan orang? Tidak semudah engkau aku dapat dipikat rayuan bocah ini, Suci!"

"Heh-heh-heh, bocah ya? Dia itu bocah? Hi-hi-hik, tunggu saja kau, Sumoi, kalau sudah berada dalam pelukan dan belaiannya, nanti...."

"Suci, diam!" Gadis itu membentak, alisnya yang hitam panjang itu melengkung indah.

Cui Im tidak bicara lagi, hanya terdengar ia ketawa dan mencambuk empat ekor kuda itu sehingga jalannya kereta makin kencang. Kembali Keng Hong tergoncang-goncang, akan tetapi dia segera dapat mengerahkan sinkangnya dan kini dia duduk diam tak bergerak seperti nona di depannya.

Mulailah nona itu memandangnya, dan biarpun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, namun pandang matanya penuh pengertian bahwa pemuda di depannya ini memiliki sinkang yang hebat.

"Nona, jangan perhatikan omongan Cui.... eh, dia itu. Aku sama sekali tidak membujuk rayu Nona, melainkan hendak bertanya mengapa setelah Nona menyelamatkan nyawaku, kini menawanku."

"Ibuku yang menyuruh, aku hanya pelaksana," jawabnya sederhana. "Dan jangan mengira aku menolongmu. Kalau tidak ingin memenuhi perintah ibu biar suci mau membunuh seribu orang macam engkau, aku tidak akan peduli.”

Wahhh, pahit benar ucapan ini, pikir Keng Hong. Akan tetapi tak mungkin dia bisa marah menghadapi seorang gadis seperti ini.

"ibumu? Siapakah dia, Nona?"

"Lam-hai Sin-ni!"

"Ohhhh.....!"

Tadinya Keng Hong mengira bahwa nona ini sebagai sumoi dari Cui Im tentulah murid ke dua Lam-hai Sin-ni. Kiranya bukan hanya muridnya, malah puterinya! Pantas saja, biarpun disebut sumoi oleh Cui Im, akan tetapi memiliki tingkat ilmu kepandaian yang lebih tinggi dan juga disegani oleh sucinya itu.

"Kau sudah mengenal nama ibuku?"

"Sudah, Nona, Ibumu adalah datuk pertama dari Bu-tek Su-kwi, bukan?"

"Hemmm, kau hanya mendengar saja dari suci tentu."

"Aku sudah pernah bertemu dengan tiga orang dari Bu-tek Su-kwi yang semuanya kalah oleh suhu"

"Hemmm....., sombong! Kalau bertemu ibu, suhumu akan mampus sampai seratus kali"

"Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"

Alis yang indah itu terangkat, mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi dan mulut yang segar itu membentak,

"Kau.....! Selain hidung belang, juga ceriwis sekali!"

"Hi-hi-hik, Sumoi. Tidak benarkah kata-kataku bahwa dia pandai merayu?"

"Suci, berhenti dulu!"

Kereta berhentai secara tiba-tiba dan hal ini saja membuktikan betapa pandainya Cui Im menguasai empat ekor kuda yg menarik kereta, dan betapa kuat kedua lengan yang kecil itu. Alis nona baju putih itu masih berdiri ketika ia melolos sabuknya yang putih panjang, lalu tanpa banyak cakap ia mengikat kedua kaki Keng Hong dengan ujung sabuk dan setelah itu ia melempar tubuh pemuda itu ke belakang kereta!

"Jalan terus, Suci!"

"Hi-hi-hik, agaknya engkau pun tidak tahan terhadap rayuannya, sumoi. Hati-hatilah....., engkau sama sekali belum berpengalaman."

"Diam, suci!" bentak gadis itu sambil merengut dan kereta dijalankan cepat oleh Cui Im yang terkekeh-kekeh.

Kini tubuh Keng Hong yang rebah terlentang dibelakang kereta, diseret di atas tanah berbatu! Kedua tangannya dibelenggu, kedua kakinya diikat ujung sabuk sedangkan ujung sabuk lainya diikatkan pada tiang kereta oleh gadis itu. Sabuk itu cukup panjang sehingga tubuh Keng Hong terpisah empat meter dari kereta.

Pemuda ini cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuh belakangnya yang terseret. Kalau tidak kuat sinkangnya, tentu kulit tubuh belakangnya akan habis babak bundas. Biarpun kini hawa sakit di tubuhnya melindungi kulitnya, namun tidak dapat melindungi pakaiannya sehingga sebentar saja habislah pakaiannya di bagian belakang, compang-camping tidak karuan. Diam-diam dia mengutuk,

"Wah, gadis setan! Benar-benar seperti iblis-iblis betina dua orang gadis itu, sungguhpun kekejian mereka itu agak berbeda. Cui Im cabul dan pengejar kepuasan hawa nafsu, sebaliknya sumoinya ini alim dan pendiam, akan tetapi keduanya memiliki kekejaman yang sama. Bahkan boleh jadi gadis baju putih ini lebih kejam lagi."

Keng Hong yang rebah terlentang dan terseret di belakang kereta kini dapat melihat keadaan di kanan kiri kereta sampai jauh di depan. Mereka melalui jalan sunyi di pegunungan, jauh dari dusun-dusun. Diam-diam dia berpikir dan ingin sekali melihat apakah dua orang gadis iblis itu akan tetap menyeretnya seperti ini kalau melalui dusun dan kota? Apakah mereka akan membiarkan dia terseret dan menjadi tontonan? Tentu penguasa setempat akan turun tangan kalau melihat peristiwa ini, akan tetapi penguasa manakah yang sanggup melarang dua orang gadis iblis itu?

Tiba-tiba Keng Hong melihat di depan sebelah kiri muncul dua orang penunggang kuda, dua orang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang menghadang kereta dengan senjata golok di tangan, memberi isyarat dengan tangan agar kereta dihentikan. Cui Im menghentikan kereta itu dan memandang dengan alis berkerut marah.

"Kalian ini mau apakah? Apakah perampok-perampok buta?"

"Hemmm, Ang-kiam Tok-sian-li! Masih berpura-pura tidak mengenal kami Thian-te Siang-to (Sepasang Golok Bumi Langit)? Kami memenuhi perintah suhu untuk minta tawananmu, murid Sin-jiu Kiam-ong. Memandang muka suhu kami, harap kau suka mengalah!"

Jawaban ini keluar dari mulut kakek yang sebelah kiri dan setelah kini berhadapan, Cui im baru melihat jelas betapa muka kedua orang kakek itu serupa benar. Teringatlah ia akan murid kembar dari Pat-jiu Sian-ong, maka ia tertawa mengejek.






Tidak ada komentar: