*

*

Ads

FB

Sabtu, 10 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 205

"Yap Cong San! Kalau engkau sudah gila, aku masih bisa mengampunimu, akan tetapi kalau kau tidak gila, jangan kira engkau boleh menghina suamiku begitu saja! Apakah engkau sudah demikian jagoan sehingga hendak menjual laga di sini?"

Sikap Biauw Eng seperti seekor singa betina diganggu anaknya, wajahnya yang cantik itu mangar-mangar kemerahan dan sinar matanya berapi-api.

Cong San masih memandang Keng Hong penuh kebencian. Tanpa menoleh ke arah Biauw Eng dia berkata suaranya dingin,

"Sie Biauw Eng, aku tidak memusuhimu, tidak ada urusan sesuatu denganmu. Aku malah kasihan kepadamu. Akan tetapi, aku harus membunuh manusia hina Cia Keng Hong ini, atau aku sendiri yang akan mati di tangannya!"

Kembali dia menerjang ke depan, menyerang Keng Hong dengan senjatanya yang digerakkan cepat, menggunakan jurus nekat yang hendak mengadu nyawa.

"Kalau begitu, engkaulah yang mampus!" bentak Biauw Eng dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih menyambar dan tahu-tahu sepasang Im-yang-pit telah terbang terlepas dari kedua tangan Cong San, terampas oleh ujung sabuk yang amat lihai.

Dalam kemarahannya, Biauw Eng kembali menggerakkan tangan dan kedua batang pit yang terlilit ujung sabuknya itu kini meluncur seperti dua batang anak panah ke arah tubuh Cong San!

"Eng-moi..... jangan......!!"

Keng Hong berseru, namun terlambat karena sudah tampak sinar hitam dan putih sepasang pit itu meluncur cepat sekali ke arah Cong San. Keng Hong melempar diri ke depan, berhasil menyambar pit hitam, akan tetapi karena jaraknya amat dekat dan posisinya juga miring, pula dia tidak mengira isterinya akan membunuh Cong San, pendekar ini tak dapat meloloskan diri dari pit putih yang menyambar dan menancap di pundaknya.

Keng Hong berdiri tenang, mencabut pit putih dari pundaknya, membiarkan darah muncrat dari lukanya dan menyerahkan sepasang pit itu kepada Cong San sambil berkata,

"Cong San, ada persoalan dapat dibicarakan, kalau memang aku bersalah, setelah kita bicara, masih belum terlambat bagimu untuk membunuhku. Dan percayalah, kalau aku bersalah, aku akan menyerahkan nyawa dengan suka rela."

Cong San menyambar sepasang pitnya dan membentak,
"Mau bicara apa lagi? Kepura-puraanmu ini saja sudah menjadi jawaban, sudah menjadi bukti akan kerendahan budi dan kekotoran watakmu. Hayo, kau bunuh saja aku!"

Biauw Eng menarik tangan suaminya dengan kasar kebelakang, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Cong San sampai dekat sekali. Telunjuk kirinya menuding hampir menyentuh hidung Cong San dan suaranya melengking nyaring tanda bahwa nyonya muda ini sudah kehilangan kesabarannya.

"Yap Cong San, tak usah banyak bicara! Aku pun muak mendengarkan omonganmu. Kalau engkau tidak gila, tentu engkau sudah buta oleh cemburu, engkau manusia tolol. Memang tidak perlu bicara lagi, aku Sie Biauw Eng, saat ini menantangmu untuk mengadu nyawa! Hayo, keluarkan semua kepandaianmu, dan kalau aku tidak bisa membunuh engkau yang telah menghina suamiku, jangan sebut aku Sie Biauw Eng," dadanya bergelombang dan tangannya yang memegang sabuk sutera menggigil, kakinya melakukan gerakan dibanting-banting ke arah tanah dan Keng Hong menjadi pucat wajahnya.






Celaka, pikirnya, kalau isterinya sudah seperti itu, biar setan pun takkan mampu menahannya dan kalau Cong San melawan, dia sendiri belum tentu akan dapat menyelamatkan Cong San dari tangan maut isterinya.

Akan tetapi Cong San tidak marah, malah menggeleng kepalanya dan suaranya penuh duka,

"Sie Biauw Eng, sudah kukatakan tadi, aku tidak memusuhimu, aku bahkan kasihan kepadamu. Kita berdua menjadi korban, menderita nasib yang sama, bagaimana aku dapat memusuhimu? Aku pun tidak dapat bicara karena aku tidak mau merusak kebahagiaanmu. Biarlah sekali ini, memandang mukamu, aku mengundurkan diri. Akan tetapi jagalah engkau, Cia Keng Hong, sekali waktu aku akan menjumpaimu sendiri, tanpa campur tangan isterimu, dan saat itulah aku akan membunuhmu atau engkau terpaksa harus membunuhku. Sampai jumpa!"

Cong San membalikkan tubuhnya dan lari dari situ. Keng Hong dan Biauw Eng mendengar suara sesenggukan keluar dari mulut orang yang lari itu.

"Kasihan dia...... sungguh heran, apakah yang terjadi........?" Keng Hong berkata lirih.

Biauw Eng membalikkan tubuh menghadapi suaminya, matanya masih merah sekali dan ia berkata keras,

"Cia Keng Hong, mengapa engkau begini pengecut?"

Keng Hong terbelalak memandang isterinya.
"Ahhhhh??? Aku....... pengecut? Apa maksudmu?"

Biauw Eng membanting-banting kakinya.
"Sungguh memalukan sekali, mempunyai suami seorang yang lemah, seorang pengecut! Engkau dihina orang, engkau diserang, engkau dimaki, dan engkau tidak membalas malah menaruh kasihan kepadanya! Dimana kegagahanmu?"

Keng Hong menghela napas.
"Isteriku yang manis, sabarlah......."

Keng Hong melangkah maju dan hendak merangkul isterinya, akan tetapi Biauw Eng menggerakan pundaknya mengelak dan mulutnya cemberut.

"Sabar apa? Aku dapat menduga bahwa dia itu tentulah cemburu kepadamu!"

"Dia menjadi marah karena mengira yang tidak-tidak, dia menuduh dan hatinya dikacau oleh dugaan yang keliru."

"Akan tetapi engkau yang dituduh, engkau difitnah. Kalau orang tidak bersalah, harus melawan! Kalau engkau diam saja dan mengalah, rela dihina, dimaki dan dipukul, hal itu berarti engkau memang bersalah!"

"Wah-wah-wah, apakah engkau pun menuduh aku pula?"

"Sikapmu sendiri yang membuat orang curiga! Kalau memang engkau bersih, mengapa engkau membiarkan dirimu dihina oleh Cong San?"

"Eng-moi, isteriku yang manis........"

"Bukan saatnya merayu! Hatiku sedang panas, tahu? Bicara seperlunya saja!"

Pada saat itu terdengar suara anak menangis dan Biauw Eng sadar dari keadaan marah luar biasa itu. Dia cepat membalik, meloncat dan memondong anaknya yang tadi ia letakkan di atas rumput ketika ia turun tangan membela suaminya. Sambil memondong anaknya, dia membalik menghadapi suaminya dan biarpun sikapnya masih marah, namun matanya tidak lagi berapi-api, kedua lengannya menimang-nimang anaknya yang segera berhenti menangis.

Melihat ini Keng Hong menjadi terharu dan terasa benar olehnya betapa isterinya amat mencintainya, membelanya dan tadi bahkan ingin mengadu nyawa dengan Cong San untuk membelanya.

"Eng-moi, maafkan aku kalau aku mendatangkan penasaran di hatimu. Ketahuilah, aku tadi memang mengalah. Akan tetapi bukan mengalah karena kalah, bukan mengalah karena salah bukan pula mengalah karena takut, melainkan mengalah karena sadar, isteriku. Engkau sendiri tahu bahwa dia dalam keadaan tidak normal, seperti gila oleh kemarahannya, mungkin oleh cemburu yang tak berdasar. Nah, setelah aku sadar bahwa dia itu seperti gila, apakah aku pun harus menjadi gila seperti dia dan melayaninya?"

Mata Biauw Eng melotot, dan mata itu bertambah indah dalam pandangan Keng Hong yang tahu bahwa akan ada badai mengamuk dari mata melotot itu.

"Apa??" Badai itu mulai menyerangnya. "Engkau.........! Engkau menganggap aku gila.......?"

"Lhohhh! Ehhhh..... apa lagi ini.........?"

"Masih pura-pura lagi! Kau bilang dia gila, yang melawannya sama gilanya, dan aku tadi melawannya, jadi kau memaki aku gila? Ceraikan saja kalau begitu!" Biauw Eng mengusap air matanya yang menetes turun.

Pucat wajah Keng Hong. Belum pernah dia melihat isterinya menitikkan air mata seperti ini, apalagi menantang dicerai! Dia menyesal sekali dan maklum bahwa urusan tidaklah sekecil yang dianggapnya semula. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata penuh penyesalan dan permohonan.

"Eng-moi, isteriku yang terkasih, ibu anakku yang tersayang. Ampunkanlah mulut suamimu yang lancang dan pandangan yang dangkal ini......."

Tiba-tiba Biauw Eng juga berlutut, menggunakan lengan kiri merangkul pundak dan ia terisak di atas pundak suaminya.

"Engkau yang harus mengampuniku, suamiku........"

Bukan main besar dan bahagianya rasa hati Keng Hong, akan tetapi juga dia terheran-heran.

"Biauw Eng, aku tadi gelisah sekali. Bayangkan saja, engkau begitu marah dan minta cerai!"

"Aku hanya main-main, mengancam karena hatiku jengkel sekali melihat Cong San yang menghinamu. Engkau benar, suamiku. Dia gila dan aku pun tadi hampir gila telah melayani seorang gila."

Begitu girangnya hati Keng Hong sehingga dia menghadiahkan ciuman mesra pada mulut yang mengeluarkan kata-kata itu, kemudian dia menciumi kepala puterinya.

"Kalau aku tadi ketularan kegilaanmu dan aku membalas, benar-benar menceraikanmu bagaimana?"

"Aku akan mati!" jawab Biauw Eng tegas. "Aku hanya mau bercerai darimu kalau mati!"

"Isteriku.......!"

Keng Hong merangkul isteri dan puterinya dengan kedua lengan, kegelisahannya mengenai Cong San lenyap terselubung kebahagiaan yang dirasakan disaat itu.

"Eh, pundakmu....... harus segera diobati."

Keng Hong menjamah pundaknya yang tadi tertusuk pit.
"Tidak apa-apa, lukanya hanya kecil, darahnya sudah mengering, sebentar pun sembuh. Pit dari Cong San tidak beracun, tidak berbahaya."

Disebutnya nama ini membuat mereka termenung, teringat kembali. Keng Hong mengerutkan keningnya, teringat dia akan Yan Cu.

"Sungguh heran aku, apakah yang telah menimpa keluarga Cong San dan sumoi?"

Biauw Eng juga termenung.
"Cong San telah menjadi seperti gila. bagaimana dengan yan Cu? Aihhh, aku pun khawatir sekali, suamiku. Tentu terjadi hal yang amat hebat menimpa mereka, dan aku khawatir........ hemmmmmm...... siapa lagi kalau bukan dia yang mengacau........"

Keng Hong mengerti karena dugaannya pun menuju ke sana,
"Cui Im?"

Isterinya mengangguk dan mereka berpandangan. Melihat pandang mata isterinya, Keng Hong maklum bahwa isterinya menyesalkan pengampunannya terhadap Cui Im, maka dia berkata perlahan,

"Aku tidak akan sudi mengampuninya lagi kalau benar dia masih belum bertobat dan masih mengacau dan merusak kebahagiaan sumoi dan suaminya."

"Suheng.......!!"

Keng Hong dan Biauw Eng meloncat dan membalikkan tubuh, memandang terbelalak kepada Yan Cu yang datang berlari-lari. Kalau saja Yan Cu tidak mengeluarkan suara memanggil tadi, tentu mereka berdua akan pangling. Wajah yang dahulunya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar, cantik jelita dan selalu riang gembira, berseri-seri itu kini kotor dan muram, matanya membendul dan merah kebanyakan menangis, air mata di pipi tidak dibersihkan, terkena debu membuat wajah itu cemang-cemong, rambutnya kusut titak disisir, pakaiannya pun kusut dan matanya membayangkan kedukaan hebat.

"Yan Cu.......!" Biauw Eng berkata lirih, penuh iba dan kaget.

"Sumoi, kau kenapakah........?? Keng Hong cepat melangkah maju menyambut.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: