*

*

Ads

FB

Sabtu, 10 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 204

"Nih, kau pondong Giok Keng....."

Biauw Eng cemberut, cemberut buatan, menerima bayi yang baru berusia sebulan itu dari pondongan suaminya.

"Ihhh, baru sebentar saja sudah diberikan kepadaku. Apakah kau kecewa mempunyai anak perempuan? Kau mengharapkan anak laki-laki, ya?"

"Wah-wah-wah, omongan apa itu?" Keng Hong mencium pipi anaknya yang montok kemerahan di pondongan Biauw Eng. "Biauw Eng isteriku yang jelita, aku bukanlah seperti ayah berpendirian usang yang mengutamakan anak laki-laki saja yang kelak akan dapat menjamin kehidupan orang tua di hari tuanya, hanya anak laki-laki saja yang dapat menyenangkan hati orang tua. Pendirian macam itu amat pandir dan picik, menilai anak seperti orang menilai barang dagangan saja, diperhitungkan rugi untung dalam soal benda! Betapa keji pandangan itu. Tidak, isteriku, aku sayang kepada anak kita, tiada bedanya andaikata dia laki-laki. Dan aku tidak ingin anak laki-laki saja!"

"Akan tetapi, semua orang tua mengharapkan anak laki-laki, bukan hanya karena dianggap sebagai jaminan di hari tua, melainkan juga sebagai penyambung keturunan!"

Biauw Eng memancing, untuk yakin akan pendirian suaminya yang sudah ia kenal kebijaksanaannya itu.

"Phuhhh! Apa artinya keturunan? Apakah keturunan anak perempuan bukan menjadi keturunan kita pula? pandangan orang yang pikirannya picik itu terlalu melekat soal she (nama keturunan). Bagiku, sama saja. laki-laki atau perempuan tetap anak kita, bukan kelaminnya yang membahagiakan orang tua, melainkan kelakuan anak itu sendiri. Biar perempuan kalau menjadi seorang manusia utama yang mengutamakan kebijaksanan, tentu akan menjunjung tinggi nama orang tua dan mendatangkan kebahagiaan lahir batin, sebaliknya biarpun anak laki-laki kalau menjadi orang rendah (siauw-jin) hanya akan menyeret nama orang tua ke dalam lumpur kehinaan!"

"Wah, wah, wah, kau bicara begitu karena kebetulan anakmu perempuan! Apakah kau tidak ingin mempunyai anak laki-laki?"

"Wah, tentu saja! Akan tetapi, kita masih muda dan engkau...... hemmm, begini cantik, makin jelita setelah mempunyai anak!"

Keng Hong merangkul dan mencium bibir isterinya yang dibalas dengan mesra dan bangga oleh Biauw Eng.

"Kalau benar begitu, mengapa kau tidak pernah lama memondongnya?"

Keng Hong memegang dan mempermainkan tangan-tangan kecil anaknya penuh rasa sayang.

"Ahhh, aku...... takut dan ngeri."

"Hah? Apa maksudmu?"

"Dia begini kecil, kelihatannya begini....... ah, aku gemetar kalau memondongnya, takut kalau-kalau dekapanku akan menyakitkannya, takut kalau-kalau dia jatuh."






Biauw Eng tertawa.
"Engkau cangung sekali dan kaku kalau memondong."

"Lihat, dia tersenyum! Ahhhh, senyumnya sudah memikat seperti senyum ibunya. Mulutnya seperti mulutmu, Eng-moi, dan hidungnya juga, dagunya juga, persis kau!"

"Akan tetapi matanya seperti matamu, Hong-ko dan lihat jari-jari tangannya, dan jari-jari kakinya, hi-hi-hik, pendek-pendek seperti jari-jarimu!"

"Wah, sejak kapan kau memperhatikan jari-jari kakiku?" Keng Hong melotot.

"Sejak...... ihhh, sejak......"

Mereka tertawa penuh bahagia.
"Eng-moi, berjanjilah."

"Janji apa?"

"Janji bahwa engkau akan memberiku tiga lagi! Tiga orang adik Giok Keng, dua laki-laki dan seorang perempuan lagi, jadi dua laki-laki dua perempuan. Cukup, bukan?"

Biauw Eng menggeleng kepala.
"Tidak cukup. Biar selosin!"

"Hushhh.....!"

"Biar kau repot kelak kalau mereka semua merengek minta baju baru dan sepatu baru. Baru tahu rasa kau!"

Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri di atas bangku di taman belakang rumah mereka, lengan kiri menekan siku di atas lutut, tangan kiri menunjang dagu, tangan kanan memijit-mijit pelipis, alisnya berkerut.

"Waduh, anak selosin....... dan aku hanya menjadi petani di gunung ini. Mana cukup? Dan mereka perlu pendidikan semua. Kalau kita tidak tinggal di kota, dan aku mempunyai penghasilan cukup besar, wah, kasihan sekali mereka.......! Aihhh, kita harus berusaha, isteriku, kalau tidak, kasihan dong mereka."

Biauw Eng memandang dengan mata terbelalak, mulutnya menahan tawa.
"Benar, suamiku, tidak sedikit biayanya."

"Dua belas pasang sepatu baru, dua belas pasang pakaian, selosin perut di tambah kita berdua yang setiap hari harus diberi makan, wahh, kalau aku tidak bekerja keras, aduhhh, kasihan sekali mereka......!"

"Stop! Mereka siapa yang kau kasihani itu?"

"Siapa lagi? Anak-anak kita yang selosin itu......."

"Eh, mabuk atau mimpi kau? Anak kita cuman satu!"

Keng Hong bengong dan akhirnya tertawa, menampar kepalanya sendiri.
"Aihhh, aku tidak merasa seolah-olah kita telah mempunyai selosin orang anak! Wah-wah-wah, kalau begitu jangan membalap, isteriku."

"Membalap apa?"

"Produksi anak itu lho! Lambat-lambat saja."

"Hushhh! Cabul kau, ya?"

Kembali mereka tertawa-tawa. Memang, tiada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan dalam hubungan suami isteri yang penuh kasih sayang, penuh pengertian, penuh kepercayaan dan kesetiaan. Apalagi kalau suami isteri itu sudah dikaruniai anak!

"Cia Keng Hong!"

Keng Hong dan isterinya yang sedang bersendau gurau dan menimang-nimang anak mereka itu terkejut dan menoleh.

"Cong San.......!!"

Keng Hong melompat dan lari menghampiri Cong San dengan kedua tangan dilonjorkan untuk memeluk sahabat baiknya itu, wajahnya berseri dan hatinya girang bukan main.

Tiba-tiba dia berhenti dan memandang keadaan sahabatnya dengan mata terbelalak. Wajah Cong San pucat sekali, matanya merah, rambutnya mawut dan pakaiannya tidak karuan.

"Cong San...... apa....... yang terjadi?"

Saking marahnya, sukar bagi Cong San untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia membentak,

"Manusia berhati palsu! Aku datang untuk mengadu nyawa denganmu!"

Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cong San menerjang dengan pukulan hebat ke arah Keng Hong. Pendekar ini terkejut bukan main. Gerak reflex dari tubuhnya yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu membuat dia otomatis menangkis, akan tetapi karena dia tidak merasa berhadapan dengan musuh, tangkisannya itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga.

"Desss!!" Tubuh Keng Hong terlempar dan dia jatuh menggulingkan diri, lalu meloncat bangun sambil berseru, "Heiiiiii! Cong San, mengapa.......?"

Akan tetapi Cong San terlah menerjang lagi, kini dengan tendangan ke arah bawah pusar, tendangan maut! Keng Hong yang masih bingung itu cepat mengelak, akan tetapi kembali dadanya kena dihantam.

"Bukkk!" Tubuhnya terguling-guling untuk kedua kalinya.

"Engkau atau aku yang harus mampus!!"

Cong San membentak dan meloncat ke depan, mengirim pukulan hebat yang dimaksudkan untuk membunuh.

"Plak-plak-plak-plak-plak!!"

Bertubi-tubi datangnya pukulan Cong San yang selalu ditangkis oleh Keng Hong. Kalau Keng Hong menggunakan sinkangnya, tentu tangkisan itu sudah cukup membuat penyerangnya terjengkang. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu, maka biarpun dia bergerak cepat menangkis terus, karena tidak sungguh-sungguh melawan, kembali sebuah tendangan Cong San mengenai perutnya.

"Desss!!"

Tendangan ini hebat bukan main karena yang dimainkan adalah ilmu menendang dari Siauw-lim-pai yang amat kuat dan cepat. kalau orang lain yang terkena tendangan ini, andaikata orang itu memiliki kekebalan juga, tentu isi perutnya mengalami getaran hebat dan akan menderita luka di sebelah dalam.

Akan tetapi Keng Hong hanya terlempar dan terbanting lalu bergulingan tanpa menderita luka, luar maupun dalam. Pada detik berikutnya, tubuh Cong San sudah meloncat ke depan dan kakinya siap menginjak kepala Keng Hong dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Apalagi hanya kepala orang, batu pun akan pecah terkena injakan dahsyat ini.

Dan biarpun Keng Hong seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Cong San, namun dia tidak berani menerima injakan pada kepalanya itu. Dia menjadi penasaran, cepat tangannya menyambar, menangkap kaki Cong San dan sekali dia mengerahkan tenaga mendorong tubuh Cong San terlempar dan terbanting ke atas tanah!

"Cong San sahabatku yang baik, apakah engkau telah gila?" Keng Hong melompat bangun.

Cong San sudah bangkit lagi dan mencabut senjatanya, sepasang Im-yang-pit hitam dan putih.

"Memang aku telah gila! Aku tahu kepandaianku masih terlalu rendah untuk melawanmu, akan tetapi aku tidak takut. Engkau atau aku yang harus mampus!"

Setelah berkata demikian, Cong San menerjang maju lagi dengan sepasang senjatanya, menotok ke arah jalan darah yang mematikan.

Keng Hong cepat mengelak dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Peristiwa ini amat mengejutkan dan mendukakan hatinya sehingga dia tidak begitu mementingkan keselamatan dirinya sendiri. Desakan Cong San yang sudah amat marah sekali itu membuatnya terhuyung dan melihat ini Cong San makin beringas, mengirim serangan maut tanpa memperhatikan penjagaan diri sendiri.

"Cong San......!"

Keng Hong berteriak, kaget bukan main karena maklum bahwa jurus serangan itu tak mungkin dielakkan lagi, juga amat berbahaya dan satu-satunya jalan baginya hanya "mendahului" lawan dengan pukulan atau tendangan. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini. Keadaannya amat berbahaya dan biarpun dia memiliki sinkang kuat, namun masih diragukan apakah kekebalannya akan dapat menahan sepasang Im-yang-pit yang amat lihai itu.

Cong San yang wajahnya seperti berubah menjadi iblis itu menggerakan sepasang Im-yang-pit, yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menusuk ke arah ulu hati.

"Trang-trangggggg......!!"

Cong San terhuyung ke belakang, sepasang Im-yang-pitnya terpental dan hampir terlepas dari tangannya. Ternyata Biauw Eng telah berdiri di depannya dengan muka merah dan mata terbelalak seperti menyinarkan api. Dua buah senjata rahasianya, bola-bola berduri, tadi telah menyambar dan menangkis sepasang Im-yang-pit, dan kini sabuk suteranya yang putih sudah bergerak melayang-layang di atas kepala penuh ancaman.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: