*

*

Ads

FB

Senin, 05 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 187

"Srattt!"

Tampak sinar hijau berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan Keng Hong telah memegang sebatang pedang kayu. Itulah Siang-bhok-kiam, pedang terbuat dari kayu harum yang pernah menjadi perebutan seluruh tokoh dunia kang-ouw.

Melihat pedang ini, kembali hati Cui Im menjadi gentar sekali dan ia melirik ke arah Go-bi Thai-houw sambil berbisik,

"Harap subo hadapi keparat ini, biar teecu menghadapi yang lain."

"H-hi-hik, Cia Keng Hong, kepandaianmu tidak seberapa hebat akan tetapi lagakmu seperti jagoan. Kau akan bisa berbuat apa terhadap Go-bi Thai-houw?" Nenek ini melangkah maju menghadapi Keng Hong dengan kedua tangan kosong!

Keng Hong maklum akan kelihaian nenek itu. Di puncak Tai-hang-san dia dibantu oleh Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San, dan mereka berempat masih terdesak. Akan tetapi pada waktu itu, dia memang tidak menyerang atau melawan dengan sungguh-sungguh karena memang dia masih menghormati nenek yang pernah menjadi guru Biauw Eng selama setahun lamanya itu dan tidak berniat untuk merobohkannya.

Biarpun dia maklum bahwa dengan tangan kosong akan sukar baginya untuk mengalahkan nenek sakti ini, namun Keng Hong yang berjiwa pendekar besar merasa segan menghadapi lawan bertangan kosong dengan senjata di tangannya.

Akan tetapi, ketika dia hendak menyimpan kembali pedangnya untuk melawan Go-bi Thai-houw dengan tangan kosong pula, terdengar suara riuh rendah dan tampak kurang lebih seratus orang datang menyerbu, atas perintah Cui Im yang dikeluarkan melalui lengkingan panjang yang amat nyaring.

Itulah pasukan bantuan Mo-kiam Siauw-ong yang terdiri dari bajak sungai, dikepalai oleh tokoh-tokoh kaum sesat Melihat serbuan ini, Keng Hong tidak menyimpan pedangnya kembali. Bahkan Biauw Eng sudah melolos sabuk sutera putih, senjatanya yang amat lihai. Cong San sudah mencabut sepasang senjatanya, yaitu Im-yang pit, pensil yang berwarna hitam putih sedangkan Gui Yan Cu pun sudah mencabut pedangnya.

Para tamu yang memiliki ilmu kepandaian, sudah mencabut senjata masing-masing dan tanpa diminta mereka sudah menyambut datangnya para penyerbu yang ganas itu, sedangkan para tamu yang tidak memiliki kepandaian silat, sudah bubar dan berusaha menyelamatkan diri, akan tetapi beberapa orang di antara tamu ini sudah roboh oleh senjata para bajak yang menyerbu dengan perintah untuk mengacau dan membunuh siapa saja tanpa pandang bulu!

Kasihan para tamu yang terdiri dari para petani Pegunungan Cin-ling-san. Biarpun mereka berusaha menghindar, percuma saja mereka melawan keganasan para bajak sungai.

Melihat ini, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil partai dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi marah dan menyerbu para bajak. Terjadilah perang di tempat pesta pernikahan itu, perang kecil-kecilan yang hiruk-pikuk dan kacau-balau. Dan apalagi ketika para bajak yang banyak jumlahnya itu mulai membakar rumah Tung Sun Nio. Tempat yang disediakan untuk pesta perayaan pernikahan terbuat daripada bahan yang mudah terbakar karena memang dibangun secara darurat sehingga sebentar saja tempat itu menjadi lautan api, memaksa mereka yang bertanding memindahkan arena pertandingan di luar, menjauhi api.






Keng Hong yang biasanya tenang dan sabar, menjadi marah sekali. Dia meninggalkan Go-bi Thai-houw, tubuhnya berkelebat ke arah para bajak lalu mengamuklah pendekar ini bagaikan seekor naga yang marah.

Sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam menjadi bergulung-gulung dan setiap orang anggauta bajak yang terkena sambaran sinar ini roboh dan tewas seketika! Karena kemarahannya menyaksikan bajak-bajak membakar dan membunuh tamunya yang sama sekali tidak berdosa dan tidak memiliki kepandaian untuk membela diri, Keng Hong mengamuk dan meninggalkan Go-bi Thai-houw, lupa bahwa nenek itu dan Cui Im-lah yang sesungguhnya merupakan dua orang yang paling berbahaya!

Nenek Tung Sun Nio sudah menyambar pedang dan menerjang Go-bi Thai-houw, dibantu muridnya, Yan Cu yang juga memegang pedang. Namun Go-bi Thai-houw menyambut pengeroyokan guru dan murid ini sambil tertawa-tawa, tubuhnya membuat gerakan-gerakan aneh, meliuk ke sana-sini, kedua tangannya bergerak cepat, kadang-kadang mencakar, mendorong dan menangkis pedang dengan tangan kosong!

Menyaksikan kehebatan Go-bi Thai-houw, Tung Sun Nio menjadi terkejut bukan main. Dahulu di waktu mudanya, bekas pelayan ini pernah menerima latihan ilmu silat, akan tetapi tentu saja masih jauh sekali di bawah tingkatnya. Siapa tahu, mereka setelah menjadi seorang nenek, setelah diusir pergi, Oh Hian Wi telah menjadi seorang nenek iblis yang memiliki ilmu kesaktian sedemikian hebatnya!

Biauw Eng yang amat benci kepada bekas sucinya, Cui Im yang sudah banyak mendatangkan kesengsaraan kepadanya dan kepada Keng Hong, sudah menyerang dengan ganas, mempergunakan sabuk suteranya yang bergerak seperti ular putih menotok jalan-jalan darah yang berbahaya secara cepat sekali.

Namun Cui Im telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang merah pula. Sebelum menyerbu, wanita ini telah berhasil menyuruh bikin sebatang pedang merah, terbuat dari baja merah yang biarpun keampuhannya tidak seperti pedang merahnya yang telah patah oleh Keng Hong di puncak Tai-hang-san, namun masih amat lihai dan berbahaya karena selain ilmu pedangnya memang hebat semenjak dia mempelajari kitab-kitab warisan Sin-jiu Kiam-ong, juga dia telah menaruh racun di mata pedangnya.

Mengetahui kelihaian Cui Im, Cong San membantu Biauw Eng, menggerakkan kedua pit-nya untuk menyerang lawan tangguh itu sehingga terjadilah pertandingan mati-matian yang amat hebat. Cui Im tertawa-tawa seperti Go-bi Thai-houw, memandang ringan dan ia malah masih dapat mengejek sambil menghalau senjata kedua orang lawannya dengan sinar pedang merahnya,

"Kalian orang-orang tolol! Biauw-Eng, engkau menyerahkan diri pada seorang laki-laki yang cintanya palsu, seorang laki-laki mata keranjang yang tidak akan malu-malu melakukan hubungan kotor dengan ibunya sendiri! Dan kau, Cong San... hi-hi-hik, apakah kau ira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong?"

"Perempuan hina, tutup mulutmu!"

Cong San marah sekali dan menubruk maju, kedua pit-nya menyerang tenggorokan dan pusar secara berbareng dengan gerakan yang amat cepat dan kuat.

"Tring-cringgg..!" Cong San terhuyung ke belakang oleh tangkisan Cui Im.

"Yap Cong San, kau pemuda tolol yang tak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal siapa Keng Hong! Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi! Karena hanya Biauw Eng ini satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan, maka dia memilih Biauw Eng. Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!"

"Cui Im, aku harus membunuhmu!" Biauw Eng membentak marah sekali.

Cui Im cepat meloncat ke kiri menghindarkan serangan sabuk sutera putih yang amat berbahaya itu.

"Sumoi, kau marah karena omonganku emang merupakan kenyataan? Ha-ha-ha, engkau tentu tahu siapa Keng Hong, akan tetapi karena cintamu engkau menjadi buta! Da karena gobloknya maka Cong San ini pun menjadi buta!"

"Wuuuttttt!" Sabuk sutera putih menerjang ganas.

Sepasang Im-yang-pit di tangan Cong San juga menerjang.

"Aihhhhh... brettt...!"

Biarpun Cui Im sudah menggerakkan pedang dan mengelak, tetap saja bajunya dekat lambung terobek oleh pit hitam di tangan kanan Cong San.

"Baiklah, kalau kalian lebih suka mampus!" bentak Cui Im yang maklum bahwa ia menghadapi dua lawan yang tangguh.

Kalau mereka maju satu-satu, tentu akan mudah ia akan merobohkan mereka. Akan tetapi, kalau dua orang itu maju bersama mengeroyoknya, ia harus benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.

Kini Cui Im tidak bicara lagi karena harus memusatkan perhatiannya kepada kedua orang pengeroyok yang lihai itu. Namun, diam-diam omongan-omongannya tadi yang merupakan serangan-serangan lebih dahsyat daripada pedang merahnya, telah menggores hati Biauw Eng, terutama sekali Cong San.

Biauw Eng sudah mengenal betul suaminya, tahu bahwa Keng Hong mempunyai kelemahan terhadap kecantikan wanita dan melihat bahwa Yan Cu amat cantik jelita, tuduhan yang dilontarkan Cui Im tadi bukanlah kosong belaka, mengandung banyak kemungkinan. Sebetulnya, perasaan cemburu sudah lenyap dari hatinya terhadap Keng Hong. Hal yang sudah lewat tidak akan diingatnya kembali karena pernikahan merupakan lembaran baru dalam hidupnya. Apa yang telah dilakukan Keng Hong di masa lampau, tidak akan dipedulikan, karena yang penting baginya adalah masa depan. Kalau saja Keng Hong menghentikan sifatnya yang suka kepada wanita cantik di masa mendatang, dia sudah memaafkan dan akan melupakan segala peristiwa yang pernah terjadi antara suaminya dengan wanita-wanita lain.

Akan tetapi, ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw dan Cui Im merupakan racun yang sedikit banyak mengusik hatinya. Kalau benar Keng Hong mewarisi watak Sin-jiu Kiam-ong, ayahnya... ia bergidik dan kedua pipinya menjadi panas. Ayahnya pun sudah menikah dengan nenek Tung Sun Nio di waktu mudanya, namun masih saja melanjutkan petualangannya dengan wanita, bahkan bermain cinta gelap dengan Oh Hian Wi, pelayannya sendiri! Bagaimana kalau benar-benar Keng Hong mewarisi watak guru suaminya dan juga ayahnya sendiri itu?

Dan Yan Cu... kini ia ragu-ragu apakah di dalam hubungan antara mereka tidak ada cinta! Semua ini membuatnya marah sekali, marah kepada Cui Im dan dia menyerang dengan mati-matian.

Omongan beracun itu pun mempengaruhi hati Cong San. Memang tadinya dia pun menduga bahwa Yan Cu mencinta keng Hong, dan baginya merupakan hal yang amat tidak diduga-duganya bahwa Yan Cu suka menjadi isterinya. Benarkah Yan Cu telah ditiduri Keng Hong seperti yang diucapkan Cui Im? Dan hanya mau menerima dia karena tidak mempunyai harapan mempersuamikan Keng Hong yang memilih Biauw Eng? Benarkah... benarkah Yan Cu bukan gadis lagi? Biarpun dia sudah mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak bisikan-bisikan yang mengganggu hatinya ini, namun tetap saja dia merasa tidak enak dan marah. Seperti juga Biauw Eng, dia menimpakan kemarahannya kepada Cui Im dan menyerang dengan sengit.

Pertandingan antara Cui Im yang dikeroyok oleh Biauw Eng dan Cong San ramai dan seimbang, tidak seperti pertandingan antara Go-bi Thai-houw yang dikeroyok oleh Tung Sun Nio dan Yan Cu. Go-bi Thai-houw terlampau sakti bagi guru dan murid ini, terutama sekali bagi Yan Cu. Gadis ini menjadi bingung menyaksikan gerakan nenek itu yang amat aneh sehingga beberapa kali hampir saja ia terkena cakaran tangan si nenek yang melakukan pertandingan sambil tertawa-tawa mengejek. Ia dan gurunya terdesak hebat dan hanya dengan kerja sama yang erat dan saling melindungi saja mereka masih sanggup mempertahankan diri. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

"Go-bi Thai-houw, pinceng hendak bicara!" ternyata lima orang hwesio Siauw-lim-pai telah berada di situ menghadapi Go-bi Thai-houw yang meloncat mundur sambil terkekeh memandang rendah.

Ketika para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu tadi semua maju menyambut para bajak yang datang menyerbu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai ini tidak bergerak, bahkan mereka saling berbisik dengan wajah sungguh-sungguh sehabis mendengar omongan Go-bi Thai-houw.

Setelah bersepakat, kini mereka menghampiri nenek itu dan menghentikan pertandingan yang sedang ramai-ramainya. Mereka adalah murid-murid ketua Siauw-lim-pai, dan biarpun dalam hal ilmu silat, tingkat mereka masih lebih rendah dari Yap Cong San, akan tetapi Cong San masih terhitung sute mereka. Usia mereka rata-rata sudah lima puluh tahun lebih dan mereka memiliki kedudukan yang cukup tinggi di Siauw-lim-pai.

"Heh-heh-heh, hwesio-hwesio Siauw-lim-pai menghentikan pertempuran! Kalian mau bicara apakah? Kalau mau mengeroyok, mengapa pakai banyak cakap? Majulah!" Go-bi Thai-houw menantang.

Thian Lee Hwesio, yang tertua di antara mereka, menggeleng kepalanya,
"Omitohud, kami adalah orang-orang beragama yang pantang berkelahi, apalagi membunuh. Akan tetapi, kami pun hamba-hamba yang mengabdi kebenaran yang siap mempertaruhkan nyawa demi kebenaran. Go-bi Thai-houw, engkau telah mengucapkan kata-kata yang amat menghina suhu kami, Tiong Pek Ho-siang ketua Siauw-lim-pai. Pinceng hanya minta agar engkau suka menarik kembali kebohongan yang menghina itu, kalau tidak, terpaksa pinceng berlima mengorbankan nyawa demi membela kebersihan nama suhu dan Siauw-lim-pai!"

"Heh-heh-hi-hi-hik! Kalian ini gundul-gundul yang tolol, tidak mengenal guru dan ketua sendiri! Siapa membohong? Gurumu itu, si tua bangka gundul Tiong Pek Hosiang yang sekarang kelihatannya seperti orang suci bersih, dahulu di waktu mudanya bernama Ouwyang tiong dan dialah orangnya yang berjina dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong!"

“Omitohud... tak mungkin!" Thian Lee Hwesio membentak, menahan kemarahannya.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: