Kun Liong duduk dengan tenang di dalam kamarnya, tekun membaca kitab kitab kuno (lama) yang bertumpuk di atas mejanya. Seperti sudah lajim di jaman itu, setiap orang pelajar sastra yang sesungguhnya mempelajari membaca dan menulis, diharuskan menghafal isi kitab-kitab lama.
Kitab-kitab itu adalah kitab-kitab filsafat yang berat-berat dan sama sekali bukan “makanan” otak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun seperti Kun Liong! Bukan hanya kitab-kitab Su-si Ngo-keng, kitab yang mengandung pelajaran Nabi Khong Cu, akan tetapi bahkan oleh ayahnya dia disuguhi kitab Agama Buddha dan kitab To Tik Khing dari Agama To!
Karena sudah hampir hafal semua akan isi kitab-kitab itu, maka Kun Liong membalik-balik lembaran kitab itu dengan acuh tak acuh. Dia diharuskan berdiam di kamar karena ayah bundanya sedang sibuk membuatkan obat untuk tiga orang perwira yang keracunan. Obat Siauw-lim-si yang katanya dicampur dengan ramuan lain. Agar jangan mengganggu, maka dia diharuskan membaca kitab-kitab itu seorang diri di dalam kamarnya.
Kun Liong merasa kesal hatinya karena bosan. Hampir saja dibantingnya kitab-kitab itu. Apa perlunya menghafal semua isi kitab lama itu? Apa perlunya mengasah otak mencari-cari dan menafsirkan makna dari segala kata-kata yang diucapkan dan dituliskan manusia jaman dahulu kala? Apa gunanya mengerti akan isi hati manusia kuno kalau tidak mengerti akan isi hati sendiri?
“Apa gunanya?” Kun Liong mengeluh dan melemparkan kitab-kitab itu ke atas meja. “Apa gunanya kalau setelah orang hafal akan seribu satu macam ujar-ujar kebatinan namun tidak ada seorang pun melaksanakan sebuah pun dalam kehidupan sehari-hari?”
Ucapan Kun Liong ini timbul dari lubuk hatinya karena hampir setiap hari ia menyaksikan kenyataan-kenyataan akan adanya pertentangan dan perlawanan antara isi ujar-ujar dari sikap serta perbuatan manusia. Biarpun ucapan ini keluar dari mulut seorang kanak-kanak yang mungkin bukan menjadi hasil pemikiran mendalam, namun membuat kita termenung.
Memang sebenarnyalah, apa gunanya semua itu kalau kita melihat betapa semua pelajaran kebatinan dihafal orang sedunia semenjak kebudayaan berkembang? Ribuan tahun orang mengikuti dan menghafalnya, berlumba keras dan bagus ketika menyanyikan ujar-ujar kuno itu. Semua orang hafal akan ujar-ujar yang berbunyi bahwa “Di empat penjuru lautan, semua manusia adalah saudara,” akan tetapi apa gunanya ujar-ujar yang hanya menjadi kata-kata hampa ini kalau sehari-hari tampak kenyataan hidup yang berlawanan?
Dalam kenyataannya, yang dianggap “saudara” hanyalah orang-orang yang menguntungkan kita, yang segolongan dengan kita, sealiran kepercayaan, seperkumpulan, sesuku, sebangsa dengan kita! Apa artinya menghafal ujar-ujar itu kalau kita melihat bahwa si pembesar dijilat, si hartawan dihormat, si pandai dipuji, sedangkan si kecil ditekan, si miskin dihina dan si bodoh dimaki?
Makin banyaknya tentang pelajaran tentang kebaikan dan contoh-contoh manusia budiman, makin banyaklah timbul orang-orang munafik yang ingin disebut baik, ingin dirinya dianggap seperti manusia budiman.
Kita selalu melupakan bahwa kebaikan bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari! Melakukan kebaikan untuk mentaati pelajaran adalah kelakuan yang palsu, dipaksakan, dan berpamrih (mengandung keinginan tertentu demi diri pribadi), karenanya munafik! Kebaikan harus, keluar dari dalam hati, tanpa paksaan, tanpa kekhawatiran, tanpa keinginan di baliknya, tanpa pamrih, bahkan tanpa disadari bahwa kita berbuat baik! Dapatkah rasa kasihan dipelajari dan dilatih? Dapatkah kita mempelajari rasa haru? Dapatkah orang belajar mencinta? Kalau dipelajari maka palsulah itu!
Kalau kita berbuat kebaikan agar dipuji, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar dibalas dengan bunganya, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar jangan dihukum, baikkah itu? Yang dua pertama dasarnya menginginkan sesuatu, yang terakhir dasarnya takut. Ketiganya palsu! Segala sesuatu, termasuk perbuatan, haruslah wajar dan aseli.
Yang aseli dan wajar itu selalu benar dan indah. Kalau diperkosa, dirubah dengan paksa, maka akan timbul kepalsuan, pertentangan dan keburukan. Menginsyafi, dan menyadari akan keburukan diri sendiri berarti merintis jalan ke arah lenyapnya keburukan itu, dan hanya dengan tidak adanya keburukan maka keindahan tercipta.
Perbuatan buruk timbul dari rasa sayang diri. Mengusahakan agar dirinya baik dengan jalan pengekangan, tapa brata, menyiksa diri, dan lain sebagainya takkan membawa hasil, karena usaha ini pun merupakan kembang dari rasa sayang diri, jadi tiada bedanya dengan keburukan.
Di mana-mana ada keburukan, di sana kebenaran, kebaikan atau keindahan takkan muncul. Yang terpenting adalah rnengenal diri pribadi, mengenal sifat-sifatnya, keburukan-keburukannya, cacat-cacatnya, menginsyafi, menyadari dengan kesungguhan bukan pura-pura, dan keburukan akan tiada! Kalau keburukan tiada, dengan sendirinya yang ada hanyalah kebenaran, dan keindahan.
Kun Liong bersungut-sungut. Sudah dua hari ayah bundanya sibuk mempersiapkan obat untuk perwira yang terluka. Kenapa ayah ibunya demikian sibuk mengurus tiga orang perwira sehingga tidak mempedulikannya, bahkan beberapa kali menolak undangan orang-orang untuk memeriksa keluarga yang sakit?
“Ayah dan lbu pilih kasih! Apakah karena yang memerintahkan Ma-taijin, seorang pembesar? Karena itu, undangan orang-orang kampung tidak dihiraukan? Apakah ayah dan ibu sudah menjadi orang-orang mata duitan? Ihhh... bodoh kau!”
Ia menampar dahi sendiri, merasa betapa tidak baik jalan pikirannya terhadap ayah bundanya.
Seekor anjing berbulu putih memasuki kamarnya. Wajah Kun Liong yang tadinya muram itu berseri. Anjing itu bagus sekali, tubuhnya kecil seperti kucing, bulunya tebal putih seperti kapas, ekornya pendek dan ujungnya mekar, sepasang matanya kuning bergerak-gerak dan mulutnya yang kecil mengeluarkan salak lucu.
“Pek-pek (Si Putih) ke sinilah...!”
Akan tetapi anjing kecil itu seperti menggodanya, mendekat akan tetapi kalau hendak ditangkap, meloncat dan lari menjauh. Beberapa kali Kun Liong berusaha menangkapnya, akan tetapi anjing itu gesit sekali dan selalu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan lucu, melarikan diri ke kolong meja, bangku dan ranjang membuat Kun Liong payah mengejarnya dan kehabisan akal. Kalau anjing yang bertubuh kecil itu menyusup-nyusup ke bawah kolong, mana bisa dia mengejar dan menangkapnya?
“Pek-pek, lihat ini kuberi roti!”
Anjing itu mendengus-dengus, menggerak-gerakkan ekornya yang pendek dan segera menghampiri Kun Liong, menerima sepotong roti kering itu dengan mulutnya, lalu memakannya dengan ekor bergoyang tidak lari lagi ketika Kun Liong merangkulnya.
“Kau memang nakal! Kalau tidak diberi hadiah tidak mau dekat!” Kun Liong berkata, lalu membelitkan kain tilam mejanya ke pinggang anjingi itu. “Nah, pergilah dan larilah sekarang kalau bisa!”
Dia memegangi ujung kain dan tentu saja anjing kecil itu tidak bisa lari lagi. Akan tetapi dia pun agaknya sudah tidak ingin lari lagi setelah diberi roti, mengeluarkan bunyi ngak-nguk minta lagi karena sepotong tadi sudah habis.
Karena merasa kesepian dan bosan, timbul kenakalan Kun Liong untuk mempermainkan anjing peliharaan keluarga itu. Sisa rotinya dia berikan semua kepada Si Putih dan dia lalu mengambil kaleng-kaleng kosong dan sebuah kelenengan diikatkan pada ekor dan leher anjingnya.
Setelah anjing itu menghabiskan semua sisa roti, Kun Liong mengajaknya bermain-main. Dia lari ke sana-sini sambil memanggil-manggil. Anjing itu mengeiarnya dan tentu saja kaleng-kaleng kosong dan kelenengan yang bergantungan di ekor dan lehernya mengeluarkan bunyi gaduh.
Kun Liong tertawa dan anjing itu menjadi bingung dan ketakutan. Agaknya dia mengira bahwa ada sesuatu mengejarnya dari belakang, sesuatu yang menakutkan karena mengeluarkan suara gaduh. Beberapa kali dia menoleh dan berusaha menggigit ekornya yang diganduli kaleng-kaleng kosong, akan tetapi gerakannya membuat kaleng-kaleng itu terseret dan mengeluarkan suara sehingga anjing itu terkejut dan melompat ke depan.
Tentu saja setiap lompatannya membuat kaleng-kaleng itu terbanting dan makin gaduh suaranya. Dengan ketakutan anjing itu meloncat dan berlari, keluar dari kamar Kun Liong diikuti suara ketawa anak itu yang segera mengejar.
Makin kencang lari anjing itu, makin keras pula suara kelenengan dan kaleng-kaleng yang ikut terseret itu, dan makin takutlah binatang itu yang mengeluarkan suara ngak-nguk dan berlari menabrak sana-sini.
Mula-mula Kun Liong merasa gembira sekali, mengejar sambil tertawa-tawa, akan tetapi ketika dia melihat anjing itu memasuki kamar obat di ruangan belakang, dia terkejut.
“Heiii! Pek-pek... tidak boleh ke situ...! Hayo keluar kau...!”
Dia mengejar ke dalam kamar yang pintunya terbuka, siap menerima omelan ayahnya yang tentu akan marah-marah. Akan tetapi kamar itu kosong, agaknya ayah bundanya sedang beristirahat di ruangan depan setelah dua hari sibuk di dalam kamar obat itu.
“Pek-pek... mari sini…!!”
“Pranggg… prakk...!”
Anjing itu meloncat ke atas meja, menabrak dua buah guci yang terletak di atas meja sehingga dua buah guci itu jatuh dan pecah, isinya tumpah.
“Aduh, celaka…!” Kun Liong berseru dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat.
“Haiii, suara apa itu...?”
Mendengar seruan suara ayahnya, Kun Liong cepat menyelinap dan bersembunyi di belakang gulungan tirai. Yap Cong San berlari masuk dari kamar yang menembus ruangan tengah.
“Wah... sungguh celaka... obatnya tumpah semua...!”
Pendekar itu cepat mengambil dua buah guci dan dengan hati-hati menampung isinya yang tinggal sedikit. Sedangkan Pek-pek sudah keluar dari kamar itu melalui jendela. Setelah menaruh obat yang tinggal sedikit itu ke dalam guci lain, Cong San lalu menjenguk ke luar jendela.
“Hemmm... Pek-cu yang menumpahkannya. Dia ketakutan diganduli kaleng kosong dan kelenengan. Haiii… Kun Liong…” Dia memanggil dan meloncat keluar dari jendela untuk menangkap Pek-pek.
Kun Liong menggigil. Tak mungkin dia menyangkal lagi. Tentu ayahnya mengerti siapa yang menjadi biang keladi tumpahnya obat itu dan tentu sekali ini ayahnya tidak hanya mengomel saja, melainkan telapak tangan ayahnya akan ikut pula beraksi.
Entah telinganya atau pantatnya, yang jelas dia akan menjadi korban hukuman, bahkan sekali ini ibunya pun akan marah kepadanya! Ngeri menghadapi semua itu, terutama sekali menghadapi kemarahan ibunya yang tentu akan menyakitkan hatinya, Kun Liong berindap-indap keluar dari kamar obat, melalui pintu samping dan melarikan diri keluar dari rumah, terus berlari ke luar kota dan memasuki hutan!
Selama dua hari dua malam Kun Liong melarikan diri, hanya berhenti kalau sudah tidak kuat lagi kakinya berlari. Dia melarikan diri dengan tergesa-gesa, dibayangi rasa takut kalau-kalau ayahnya melakukan pengejaran.
Karena sekali ini dia melakukan perjalanan dibayangi rasa takut, maka jauh bedanya dengan perjalanannya masuk keluar hutan di waktu dia pergi mencari bambu kuning dahulu. Kini dia tidak lagi dapat menikmati segala keindahan yang terbentang di hadapannya. Perutnya hanya diisi kalau sudah tak dapat menahan lapar, diisi apa saja yang dapat ditemukan dalam hutan. Buah-buah, daun-daun muda, akar-akaran dan kadang-kadang kalau dia berhasil menangkap kelinci dengan sambitan batu, dapat juga dia makan daging kelinci.
Untung baginya bahwa pada waktu itu pemerintah dikendalikan oleh tangan Kaisar Yung Lo yang amat keras. Kaisar ini berusaha memperbaiki keadaan negara dan rakyat, dengan memberantas kejahatan, membasmi perampok-perampok sehingga pada waktu itu tidak ada perampok yang berani muncul. Kalau tidak demikian keadaannya, sudah pasti sebelum lewat sehari menjelajahi hutan-hutan itu, Kun Liong akan bertemu dengan perampok.
Harus diakui bahwa Kaisar Yung Lo yang berhasil merebut kedudukan Kaisar dari tangan keponakannya sendiri, yaitu Kaisar Hui Ti, telah melakukan banyak usaha keras untuk mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya.
Pertama-tama, untuk menghindarkan pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh para pembesar korup sebagai sisa kaki tangan pemerintah yang lalu, ibu kota yang tadinya berada di Nan-king dipindahkannya ke Peking. Di kota itu oleh Kaisar Yung Lo didirikan bangunan-bangunan yang luar biasa besar dan indahnya, yang gilang-gemilang sehingga menurut sejarah tidak ada taranya di jaman itu.
Kitab-kitab itu adalah kitab-kitab filsafat yang berat-berat dan sama sekali bukan “makanan” otak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun seperti Kun Liong! Bukan hanya kitab-kitab Su-si Ngo-keng, kitab yang mengandung pelajaran Nabi Khong Cu, akan tetapi bahkan oleh ayahnya dia disuguhi kitab Agama Buddha dan kitab To Tik Khing dari Agama To!
Karena sudah hampir hafal semua akan isi kitab-kitab itu, maka Kun Liong membalik-balik lembaran kitab itu dengan acuh tak acuh. Dia diharuskan berdiam di kamar karena ayah bundanya sedang sibuk membuatkan obat untuk tiga orang perwira yang keracunan. Obat Siauw-lim-si yang katanya dicampur dengan ramuan lain. Agar jangan mengganggu, maka dia diharuskan membaca kitab-kitab itu seorang diri di dalam kamarnya.
Kun Liong merasa kesal hatinya karena bosan. Hampir saja dibantingnya kitab-kitab itu. Apa perlunya menghafal semua isi kitab lama itu? Apa perlunya mengasah otak mencari-cari dan menafsirkan makna dari segala kata-kata yang diucapkan dan dituliskan manusia jaman dahulu kala? Apa gunanya mengerti akan isi hati manusia kuno kalau tidak mengerti akan isi hati sendiri?
“Apa gunanya?” Kun Liong mengeluh dan melemparkan kitab-kitab itu ke atas meja. “Apa gunanya kalau setelah orang hafal akan seribu satu macam ujar-ujar kebatinan namun tidak ada seorang pun melaksanakan sebuah pun dalam kehidupan sehari-hari?”
Ucapan Kun Liong ini timbul dari lubuk hatinya karena hampir setiap hari ia menyaksikan kenyataan-kenyataan akan adanya pertentangan dan perlawanan antara isi ujar-ujar dari sikap serta perbuatan manusia. Biarpun ucapan ini keluar dari mulut seorang kanak-kanak yang mungkin bukan menjadi hasil pemikiran mendalam, namun membuat kita termenung.
Memang sebenarnyalah, apa gunanya semua itu kalau kita melihat betapa semua pelajaran kebatinan dihafal orang sedunia semenjak kebudayaan berkembang? Ribuan tahun orang mengikuti dan menghafalnya, berlumba keras dan bagus ketika menyanyikan ujar-ujar kuno itu. Semua orang hafal akan ujar-ujar yang berbunyi bahwa “Di empat penjuru lautan, semua manusia adalah saudara,” akan tetapi apa gunanya ujar-ujar yang hanya menjadi kata-kata hampa ini kalau sehari-hari tampak kenyataan hidup yang berlawanan?
Dalam kenyataannya, yang dianggap “saudara” hanyalah orang-orang yang menguntungkan kita, yang segolongan dengan kita, sealiran kepercayaan, seperkumpulan, sesuku, sebangsa dengan kita! Apa artinya menghafal ujar-ujar itu kalau kita melihat bahwa si pembesar dijilat, si hartawan dihormat, si pandai dipuji, sedangkan si kecil ditekan, si miskin dihina dan si bodoh dimaki?
Makin banyaknya tentang pelajaran tentang kebaikan dan contoh-contoh manusia budiman, makin banyaklah timbul orang-orang munafik yang ingin disebut baik, ingin dirinya dianggap seperti manusia budiman.
Kita selalu melupakan bahwa kebaikan bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari! Melakukan kebaikan untuk mentaati pelajaran adalah kelakuan yang palsu, dipaksakan, dan berpamrih (mengandung keinginan tertentu demi diri pribadi), karenanya munafik! Kebaikan harus, keluar dari dalam hati, tanpa paksaan, tanpa kekhawatiran, tanpa keinginan di baliknya, tanpa pamrih, bahkan tanpa disadari bahwa kita berbuat baik! Dapatkah rasa kasihan dipelajari dan dilatih? Dapatkah kita mempelajari rasa haru? Dapatkah orang belajar mencinta? Kalau dipelajari maka palsulah itu!
Kalau kita berbuat kebaikan agar dipuji, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar dibalas dengan bunganya, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar jangan dihukum, baikkah itu? Yang dua pertama dasarnya menginginkan sesuatu, yang terakhir dasarnya takut. Ketiganya palsu! Segala sesuatu, termasuk perbuatan, haruslah wajar dan aseli.
Yang aseli dan wajar itu selalu benar dan indah. Kalau diperkosa, dirubah dengan paksa, maka akan timbul kepalsuan, pertentangan dan keburukan. Menginsyafi, dan menyadari akan keburukan diri sendiri berarti merintis jalan ke arah lenyapnya keburukan itu, dan hanya dengan tidak adanya keburukan maka keindahan tercipta.
Perbuatan buruk timbul dari rasa sayang diri. Mengusahakan agar dirinya baik dengan jalan pengekangan, tapa brata, menyiksa diri, dan lain sebagainya takkan membawa hasil, karena usaha ini pun merupakan kembang dari rasa sayang diri, jadi tiada bedanya dengan keburukan.
Di mana-mana ada keburukan, di sana kebenaran, kebaikan atau keindahan takkan muncul. Yang terpenting adalah rnengenal diri pribadi, mengenal sifat-sifatnya, keburukan-keburukannya, cacat-cacatnya, menginsyafi, menyadari dengan kesungguhan bukan pura-pura, dan keburukan akan tiada! Kalau keburukan tiada, dengan sendirinya yang ada hanyalah kebenaran, dan keindahan.
Kun Liong bersungut-sungut. Sudah dua hari ayah bundanya sibuk mempersiapkan obat untuk perwira yang terluka. Kenapa ayah ibunya demikian sibuk mengurus tiga orang perwira sehingga tidak mempedulikannya, bahkan beberapa kali menolak undangan orang-orang untuk memeriksa keluarga yang sakit?
“Ayah dan lbu pilih kasih! Apakah karena yang memerintahkan Ma-taijin, seorang pembesar? Karena itu, undangan orang-orang kampung tidak dihiraukan? Apakah ayah dan ibu sudah menjadi orang-orang mata duitan? Ihhh... bodoh kau!”
Ia menampar dahi sendiri, merasa betapa tidak baik jalan pikirannya terhadap ayah bundanya.
Seekor anjing berbulu putih memasuki kamarnya. Wajah Kun Liong yang tadinya muram itu berseri. Anjing itu bagus sekali, tubuhnya kecil seperti kucing, bulunya tebal putih seperti kapas, ekornya pendek dan ujungnya mekar, sepasang matanya kuning bergerak-gerak dan mulutnya yang kecil mengeluarkan salak lucu.
“Pek-pek (Si Putih) ke sinilah...!”
Akan tetapi anjing kecil itu seperti menggodanya, mendekat akan tetapi kalau hendak ditangkap, meloncat dan lari menjauh. Beberapa kali Kun Liong berusaha menangkapnya, akan tetapi anjing itu gesit sekali dan selalu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan lucu, melarikan diri ke kolong meja, bangku dan ranjang membuat Kun Liong payah mengejarnya dan kehabisan akal. Kalau anjing yang bertubuh kecil itu menyusup-nyusup ke bawah kolong, mana bisa dia mengejar dan menangkapnya?
“Pek-pek, lihat ini kuberi roti!”
Anjing itu mendengus-dengus, menggerak-gerakkan ekornya yang pendek dan segera menghampiri Kun Liong, menerima sepotong roti kering itu dengan mulutnya, lalu memakannya dengan ekor bergoyang tidak lari lagi ketika Kun Liong merangkulnya.
“Kau memang nakal! Kalau tidak diberi hadiah tidak mau dekat!” Kun Liong berkata, lalu membelitkan kain tilam mejanya ke pinggang anjingi itu. “Nah, pergilah dan larilah sekarang kalau bisa!”
Dia memegangi ujung kain dan tentu saja anjing kecil itu tidak bisa lari lagi. Akan tetapi dia pun agaknya sudah tidak ingin lari lagi setelah diberi roti, mengeluarkan bunyi ngak-nguk minta lagi karena sepotong tadi sudah habis.
Karena merasa kesepian dan bosan, timbul kenakalan Kun Liong untuk mempermainkan anjing peliharaan keluarga itu. Sisa rotinya dia berikan semua kepada Si Putih dan dia lalu mengambil kaleng-kaleng kosong dan sebuah kelenengan diikatkan pada ekor dan leher anjingnya.
Setelah anjing itu menghabiskan semua sisa roti, Kun Liong mengajaknya bermain-main. Dia lari ke sana-sini sambil memanggil-manggil. Anjing itu mengeiarnya dan tentu saja kaleng-kaleng kosong dan kelenengan yang bergantungan di ekor dan lehernya mengeluarkan bunyi gaduh.
Kun Liong tertawa dan anjing itu menjadi bingung dan ketakutan. Agaknya dia mengira bahwa ada sesuatu mengejarnya dari belakang, sesuatu yang menakutkan karena mengeluarkan suara gaduh. Beberapa kali dia menoleh dan berusaha menggigit ekornya yang diganduli kaleng-kaleng kosong, akan tetapi gerakannya membuat kaleng-kaleng itu terseret dan mengeluarkan suara sehingga anjing itu terkejut dan melompat ke depan.
Tentu saja setiap lompatannya membuat kaleng-kaleng itu terbanting dan makin gaduh suaranya. Dengan ketakutan anjing itu meloncat dan berlari, keluar dari kamar Kun Liong diikuti suara ketawa anak itu yang segera mengejar.
Makin kencang lari anjing itu, makin keras pula suara kelenengan dan kaleng-kaleng yang ikut terseret itu, dan makin takutlah binatang itu yang mengeluarkan suara ngak-nguk dan berlari menabrak sana-sini.
Mula-mula Kun Liong merasa gembira sekali, mengejar sambil tertawa-tawa, akan tetapi ketika dia melihat anjing itu memasuki kamar obat di ruangan belakang, dia terkejut.
“Heiii! Pek-pek... tidak boleh ke situ...! Hayo keluar kau...!”
Dia mengejar ke dalam kamar yang pintunya terbuka, siap menerima omelan ayahnya yang tentu akan marah-marah. Akan tetapi kamar itu kosong, agaknya ayah bundanya sedang beristirahat di ruangan depan setelah dua hari sibuk di dalam kamar obat itu.
“Pek-pek... mari sini…!!”
“Pranggg… prakk...!”
Anjing itu meloncat ke atas meja, menabrak dua buah guci yang terletak di atas meja sehingga dua buah guci itu jatuh dan pecah, isinya tumpah.
“Aduh, celaka…!” Kun Liong berseru dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat.
“Haiii, suara apa itu...?”
Mendengar seruan suara ayahnya, Kun Liong cepat menyelinap dan bersembunyi di belakang gulungan tirai. Yap Cong San berlari masuk dari kamar yang menembus ruangan tengah.
“Wah... sungguh celaka... obatnya tumpah semua...!”
Pendekar itu cepat mengambil dua buah guci dan dengan hati-hati menampung isinya yang tinggal sedikit. Sedangkan Pek-pek sudah keluar dari kamar itu melalui jendela. Setelah menaruh obat yang tinggal sedikit itu ke dalam guci lain, Cong San lalu menjenguk ke luar jendela.
“Hemmm... Pek-cu yang menumpahkannya. Dia ketakutan diganduli kaleng kosong dan kelenengan. Haiii… Kun Liong…” Dia memanggil dan meloncat keluar dari jendela untuk menangkap Pek-pek.
Kun Liong menggigil. Tak mungkin dia menyangkal lagi. Tentu ayahnya mengerti siapa yang menjadi biang keladi tumpahnya obat itu dan tentu sekali ini ayahnya tidak hanya mengomel saja, melainkan telapak tangan ayahnya akan ikut pula beraksi.
Entah telinganya atau pantatnya, yang jelas dia akan menjadi korban hukuman, bahkan sekali ini ibunya pun akan marah kepadanya! Ngeri menghadapi semua itu, terutama sekali menghadapi kemarahan ibunya yang tentu akan menyakitkan hatinya, Kun Liong berindap-indap keluar dari kamar obat, melalui pintu samping dan melarikan diri keluar dari rumah, terus berlari ke luar kota dan memasuki hutan!
Selama dua hari dua malam Kun Liong melarikan diri, hanya berhenti kalau sudah tidak kuat lagi kakinya berlari. Dia melarikan diri dengan tergesa-gesa, dibayangi rasa takut kalau-kalau ayahnya melakukan pengejaran.
Karena sekali ini dia melakukan perjalanan dibayangi rasa takut, maka jauh bedanya dengan perjalanannya masuk keluar hutan di waktu dia pergi mencari bambu kuning dahulu. Kini dia tidak lagi dapat menikmati segala keindahan yang terbentang di hadapannya. Perutnya hanya diisi kalau sudah tak dapat menahan lapar, diisi apa saja yang dapat ditemukan dalam hutan. Buah-buah, daun-daun muda, akar-akaran dan kadang-kadang kalau dia berhasil menangkap kelinci dengan sambitan batu, dapat juga dia makan daging kelinci.
Untung baginya bahwa pada waktu itu pemerintah dikendalikan oleh tangan Kaisar Yung Lo yang amat keras. Kaisar ini berusaha memperbaiki keadaan negara dan rakyat, dengan memberantas kejahatan, membasmi perampok-perampok sehingga pada waktu itu tidak ada perampok yang berani muncul. Kalau tidak demikian keadaannya, sudah pasti sebelum lewat sehari menjelajahi hutan-hutan itu, Kun Liong akan bertemu dengan perampok.
Harus diakui bahwa Kaisar Yung Lo yang berhasil merebut kedudukan Kaisar dari tangan keponakannya sendiri, yaitu Kaisar Hui Ti, telah melakukan banyak usaha keras untuk mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya.
Pertama-tama, untuk menghindarkan pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh para pembesar korup sebagai sisa kaki tangan pemerintah yang lalu, ibu kota yang tadinya berada di Nan-king dipindahkannya ke Peking. Di kota itu oleh Kaisar Yung Lo didirikan bangunan-bangunan yang luar biasa besar dan indahnya, yang gilang-gemilang sehingga menurut sejarah tidak ada taranya di jaman itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar