*

*

Ads

FB

Sabtu, 03 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 171

Cui Im menoleh kepada Keng Hong dan hatinya yang penuh kebencian itu menjadi girang menyaksikan betapa wajah Keng Hong yang biasanya tenang itu kini berubah, memandang ke arah dua orang pria itu dengan penuh kengerian dan kebencian, juga ia gembira sekali melihat betapa wajah Biauw Eng pucat ketika pandang mata gadis itu tertuju kepada dua orang laki-laki setengah telanjang itu.

"Hi-hi-hik, Biauw Eng. Boleh jadi engkau tahan siksaan dan tidak takut mati, akan tetapi kuat dan beranikah engkau menghadapi kedua ekor babi hutan ini yang akan memperkosamu sampai mati di depan pandang mata kekasihmu, Keng Hong?"

Biauw Eng menggeleng-geleng kepala kuat-kuat dan bibirnya mengeluarkan suara gemetar.

Cui Im tertawa terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-heh-heh-heh, Sie Biauw Eng yang terkenal sebagai seorang wanita tak pernah mengenal takut, yang berwatak dan berdarah dingin seperti mayat hidup, sekarang baru mengenai artinya takut dan baru ngeri hatinya. Hi-hi-hik, alangkah lucunya!"

"Bhe Cui Im!"

Suara bentakan Biauw Eng terdengar melengking dan mengandung hawa dingin yang mengejutkan Cui Im. Suara ini mengingatkan dia akan masa dahulu ketika ia masih menjadi suci dari gadis itu dan ketika tingkat kepandaiannya masih jauh berada di bawah Biauw Eng sehingga dia tunduk kepada sumoinya. Ia memandang dan melihat sinar mata Biauw Eng yang mengandung keberanian luar biasa seperti dahulu.

"Cui Im, jangan kira bahwa aku merasa takut atau ngeri menghadapi rencanamu yang keji. Engkau tahu bahwa dengan kepandaianku, aku dapat membuat tubuhku seperti mati dan apa pun yang akan dilakukan orang terhadap tubuhku, tidak akan dapat menyentuh perasaan hatiku. Akan tetapi, aku kasihan kepada Keng Hong yang akan menyaksikannya Cui Im, apa sih untungmu menyiksa kami seperti ini? Kalau memang sudah tidak ada jalan lain, kau bunuh saja kami."

Diam-diam Cui Im menjadi makin marah dan habislah harapannya untuk dapat memaksa Keng Hong agar memberikan ilmu yang diinginkannya. Maka ia melambaikan tangannya kepada dua orang raksasa telanjang itu. Kedua orang Mongol ini saling pandang, menyeringai seperti dua ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang. Melihat ini, Cui Im cepat berkata,

"Bedebah! Jangan berebut, lakukan berdua dengan kerja sama yang baik!"

Dua orang raksasa itu menjadi takut dan mereka bergerak perlahan menghampiri pembaringan di mana tubuh Biauw Eng rebah terlentang. Setelah dekat dengan pembaringan dan Biauw Eng yang sudah putus asa itu telah memejamkan mata dan menggunakan kepandaiannya untuk mematikan segala panca indera, dua pasang lengan yang panjang lengan yang panjang dan jari-jari tangan yang besar dan kasar itu bergerak hendak menjamah tubuh Biauw Eng, hendak merenggut lepas pakaian gadis itu sebagai langkah pertama kedua orang laki-laki liar yang melaksanakan tugas penuh gairah itu.

"Tahan! Kalau tangan-tanganmu yang kotor menyentuh gadis itu, kalian akan mampus!" bentak Keng Hong yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sepasang matanya memandang seperti mengeluarkan api bernyala-nyala kepada kedua orang raksasa Mongol.

Kedua orang itu terkejut mendengar suara yang mengandung khikang kuat dan amat berwibawa itu, akan tetapi ketika mereka menoleh dan melihat betapa Cui Im hanya tertawa mengejek, mereka pun tertawa lalu melanjutkan gerakannya yang tertunda. Seorang meraih baju, seorang lagi meraih celana.






"Krakkkkk-krakkkkk!"

Tiba-tiba terdengar suara keras, belenggu tangan dan kaki Keng Hong hancur berantakan dan tubuhnya sudah mencelat ke depan. Saking kagetnya menyaksikan hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu, Cui Im hanya memandang terbelalak melihat betapa tubuh Keng Hong sudah berkelebat maju, kedua tangannya menjambak rambut kepala dua orang raksasa itu dan sekali gerak, dia sudah membenturkan dua buah kepala itu satu sama lain sehingga terdengar suara keras dan dua buah kepala itu pecah berhamburan!

Tanpa bersambat lagi dua orang raksasa Mongol itu tewas seketika. Demikian cepat gerakan Keng Hong sehingga kedua orang itu sama sekali tidak sempat untuk membela diri.

Keng Hong meraba belenggu kaki tangan Biauw Eng dan beberapa kali renggutan dengan pengerahan sinkangnya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi, belenggu pada kaki tangan Biauw Eng patah-patah.

"Lekas kau pergi menolong mereka..."

Keng Hong berkata sambil cepat membalikkan tubuh menghadapi Cui Im. Biauw Eng mengerti apa yang dimaksudkan Keng Hong, maka dia lalu meloncat keluar melalui pintu kamar tahanan itu, membiarkan Keng Hong yang ia percaya penuh akan kelihaiannya untuk menghadapi Cui Im yang merupakan lawan terkuat.

Biauw Eng maklum pula bahwa saatnya untuk memberontak dan melawan mati-matian telah tiba, maka ia pun tidak mau ragu-ragu lagi. Begitu tiba di luar pintu kamar itu, empat orang penjaga yang datang karena kaget mendengar suara ribut-ribut, dirobohkan oleh Biauw Eng dalam sekejap mata, bahkan gadis itu lalu menyambar sebatang pedang yang dirampasnya dari seorang di antara mereka yang dirobohkannya.

Cui Im telah dapat menguasai hatinya yang sejenak mengalami guncangan saking kagetnya melihat Keng Hong tiba-tiba dapat membebaskan diri itu. Kini mengertilah ia bahwa selama ini Keng Hong hanya berpura-pura manjadi tawanan dan bahwa kalau dikehendaki, pemuda luar biasa itu setiap saat dapat membebaskan diri sendiri. Akan tetapi Cui Im tidak menjadi takut. Cepat ia mencabut pedang Siang-bhok-kiam, pedang kayu milik Keng Hong yang telah dirampasnya dan ia telah siap melawan Keng Hong dengan pedang itu.

"Hemmm... kiranya engkau telah mengatur semua rencana untuk menyelamatkan diri, Keng Hong. Jangan kira akan mudah saja!" Ia tertawa dan memandang Pedang Kayu Harum di tangannya lalu menyambung, "Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa akhirnya Cia Keng Hong, pewaris utama Siang-bhok-kiam, akan mati di ujung Siang-bhok-kiam sendiri!"

Setelah berkata demikian, Cui Im lalu menerjang maju dengan pedang digerakkan cepat sekali, mengirim serangan kilat ke arah tenggorokan Keng hong dengan ujung digetarkan dan siap melanjutkan serangan dengan goresan ke bawah untuk membelah dada!

Hebat sekali penyerangan Cui Im ini, selain cepat, juga mengandung sinkang yang kuat sekali. Keng Hong meraba ke arah pusarnya dan ketika tangan itu diangkat ke atas, berkelebatlah sinar kehijauan menangkis pedang kayu di tangan Cui Im.

"Krekkkkkk!"

"Aihhh...!"

Cui Im terkejut bukan main melihat Pedang Kayu Harum di tangannya itu hancur berkeping-keping ketika bertemu dengan pedang di tangan Keng Hong. Ketika ia memandang, hatinya makin terkejut melihat bahwa pemuda itu ternyata juga memegang sebatang pedang kayu yang serupa benar dengan pedangnya tadi.

Teringatlah ia akan akal Keng Hong dahulu mengelabui para pimpinan Kun-lun-pai, dan tahulah ia bahwa pedang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong dan yang tadi ia pergunakan itu ternyata pun hanya sebatang Siang-bhok-kiam palsu saja, sedangkan Pedang Kayu Harum yang aslinya masih berada di tangan Keng Hong, disembunyikan di dalam celananya!

"Keparat, penipu busuk!"

Cui Im menjerit penuh kemengkalan dan membuang gagang pedang kayu palsu, kemudian sekali tangannya bergerak, tampak sinar merah menyilaukan mata dan pedang merahnya yang terkenal telah berada di tangannya, kemudian langsung ia mengirim tusukan dengan pedang merahnya. Keng Hong cepat menangkis dan melanjutkan tangkisan dengan tusukan Siang-bhok-kiam dengan gerakan melengkung, mengarah ubun-ubun lawan.

"Cringgggg...!"

Cui Im maklum akan bahaya maut ini maka cepat menangkis sekuat tenaga. Namun tetap saja ia merasa betapa tangan kanannya kesemutan sampai ia cepat-cepat meloncat mundur. Pada saat itu, dari pintu muncullah Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong. Tanpa banyak cakap lagi, dua orang kakek yang sudah maklum akan kelihaian Keng Hong, maju menerjang pemuda itu dengan senjata mereka.

Keng Hong tahu akan bahayanya dikeroyok tiga orang sakti ini, apalagi di tempat yang sempit. Sebenarnya, dia tidak merasa takut dan merasa yakin akan sanggup menandingi mereka, akan tetapi hatinya penuh kekhawatiran akan nasib tiga orang temannya, terutama sekali tentu saja nasib Biauw Eng.

Karena ini, tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak cepat menangkis kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong dan pedang merah di tangan Cui Im yang menyerangnya. Sekaligus dia menangkis dua senjata lawan ini, akan tetapi dia pun waspasa terhadap serangan Pak-san Kwi-ong, maka tubuhnya cepat sekali bagaikan burung terbang melesat di antara dua buah tengkorak manusia yang menyambar-nyambar di ujung rantai yang dipegang kedua tangan kakek tinggi besar hitam itu.

Sambil melesat di antara dua buah buah tengkorak. Keng hong memutar pedang dibantu tangan kiri yang mendorong dengan pukulan sinkang sehingga angin bercuitan menyambar tiga orang lawan dibarengi sinar kehijauan Siang-bhok-kiam.

Tiga orang lawannya yang memiliki ilmu tinggi cukup waspada, maka mereka melangkah mundur dan memutar senjata melindungi tubuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat keluar pintu kamar tahanan.

Suara hiruk-pikuk beradu senjata menarik perhatiannya dan ke tempat itulah Keng Hong meloncat secepat kilat. Dugaannya benar. Di dalam sebuah kamar tahanan lain, dia melihat Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengamuk dikeroyok banyak tokoh musuh. Biauw Eng bersenjatakan pedang, Yan Cu juga agaknya sudah berhasil merampas pedang, gadis perkasa ini juga mengamuk menggunakan kaki tangannya.

Ketika tadi dibebaskan Keng Hong, Biauw Eng berhasil menemukan Yan Cu yang sedang merawat Cong San di dalam kamar tahanan. Biauw Eng merobohkan beberapa orang penjaga dan dengan senjata rampasannya ia berhasil pula mematahkan belenggu kaki tangan kedua orang teman itu.

Akan tetapi mereka segera dikurung dan dikeroyok oleh Gu Coan Kok, Hok Ku, keempat Pak-san Su-liong yaitu murid-murid Pak-san Kwi-ong yang bersenjata rantai tengkorak, dan kemudian datang pula Thian-te Siang-to bersama tokoh-tokoh anak buah Pat-jiu Sian-ong sehingga di dalam kamar tahanan itu terjadi pertempuran yang hebat dan mati-matian.

Melihat keadaan tiga orang kawannya yang masih selamat biar pun telah terdesak hebat, Keng Hong menjadi lega hatinya. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi dan tubuhnya menerjang maju. Bobollah kepungan itu dan beberapa orang terpelanting oleh terjangan pemuda sakti ini yang terus melompat ke dalam sambil berseru,

"Kita terjang keluar! Cepat...!"

Namun pada saat itu Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong sudah datang, dalam pengejarannya terhadap Keng hong sehingga jalan keluar melalui pintu telah terhalang oleh tiga orang yang lihai ini. Pat-jiu Sian-ong menggeluarkan suara bersuit nyaring dan semua orang yang mengeroyok berloncatan keluar dari kamar itu.

"Awas jebakan...!"

Keng Hong memperingatkan teman-temannya, akan tetapi mereka berada di dalam kamar yang dipagari musuh dengan senjata siap menyerang kalau mereka keluar, maka jalan keluar pada saat itu sama sekali tertutup. Terdengar suara keras dan tiba-tiba lantai kamar tahanan itu turun ke bawah!

Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu terkejut sekali, namun betapa pun tinggi kepandaian empat orang muda ini, mereka sama sekali tidak berdaya menyelamatkan diri dan terpaksa tubuh mereka ikut terbawa turun oleh lantai kamar itu. Ketika mereka memandang ke atas, ternyata lubang di atas telah tertutup dan mereka terjebak ke dalam sumur yang amat dalam dan gelap!

Cui Im membanting-banting kaki.
"Sialan! Mereka telah menimbulkan kekacauan besar sehingga kita telah kehilangan tiga orang pembantu!"

"Hanya dua orang, Lian Ci Sengjin dan Thai-lek Sin-mo, bukan tiga orang," kata Pat-jiu Sian-ong menghibur. "Kita masih cukup kuat."

"Tiga orang," bantah Cui Im."Yang dua orang tewas, yang seorang, yaitu Sian Ti Sengjin tenggelam dalam kedukaan seperti orang kehilangan semangat."

"Kedukaannya akan dapat diatasinya," kata Pak-san Kwi-ong. "Yang patut disayangkan adalah terlepasnya harapan kita mendapat bantuan Go-bi Thai-houw."

"Lebih baik sekarang juga kita bergerak ke puncak. Siapa tahu akan terjadi perubahan yang merugikan. Pat-jiu Sian-ong, harap dipersiapkan barisan sekarang juga. Kita gempur mereka di puncak!"

"Mereka itu, bagaimana?”

Tanya tuan rumah yang menudingkan telunjuknya ke arah sumur jebakan di bawah kamar tahanan dimana empat orang muda itu terjeblos.

"Bunuh mereka! Hujani anak panah!" kata Pak-san Kwi-ong.

Cui Im menggeleng kepala.
"Percuma. Mereka adalah orang-orang lihai. Mana mungkin anak-anak panah membunuh mereka? Sian-ong, apakah di dalam lubang itu tidak ada alat rahasia yang dapat membunuh mereka?’

Pat-jiu Siang-ong menggeleng kepala.
"Tempat itu dibuat khusus untuk menjebloskan tawanan, bukan dimaksudkan untuk membunuh."

"Hemmm, kalau begitu kita pergunakan cara yang paling menyakitkan, biar pun agak lama akan tetapi pasti Keng Hong tidak mampu melawannya, yaitu membiarkan mereka mati kelaparan dan kehausan. Akan tetapi, tempat ini harus diteliti agar tidak sampai mereka bobol."

Pat-jiu Sian-ong tertawa.
"Ha-ha-ha! Jangankan manusia, biar gajah sekali pun kalau sudah terjeblos di situ takkan mampu lolos. Dindingnya terbuat dari baja, dan tidak ada cara untuk meloncat ke atas karena bagian atas tertutup pula oleh lapisan baja yang tebal."

Demikianlah setelah mengadakan perundingan, Cui Im dan kawan-kawannya lalu memimpin pasukan untuk menyerang ke puncak tai-hangsan di mana berkumpul tokoh-tokoh partai besar yang menentang mereka.

Sian Ti Sengjin memerintahkan anak buah Phu-niu-san yang ikut bersama dia dan mendiang sutenya, akan tetapi dia sendiri tinggal di benteng itu, pertama untuk mengabungi kematian sutenya, ke dua untuk membantu penjagaan kalau-kalau para tawanan akan meloloskan diri.

Cui Im menyetujui permintaannya, pertama karena kepandaian bekas tokoh Kun-lun-pai ini pun baginya tidaklah amat dibutuhkan, ke dua karena memang perlu ada orang pandai yang membenci Keng Hong ikut pula menjaga agar tawanan tidak sampai lolos. Dan dia tahu betapa bencinya bekas tokoh Kun-lun-pai ini kepada Keng Hong, karena bukankah pemuda itu yang telah menyeret kedudukannya yang tinggi di Kun-lun-pai?

Menjelang pagi, rombongan ini berangkat dan mereka yang ditinggalkan di benteng melakukan penjagaan di sekitar benteng, dan Sian Ti Sengjin sendiri tidak pernah meninggalkan bekas kamar tahanan yang kini menjadi sumur atau kuburan bagi empat orang muda yang terjeblos.

Keng Hong dan tiga orang temannya tidak mudah putus asa. Di bawah pimpinan Keng Hong, mereka melakukan segala usaha untuk mencari jalan keluar. Mereka memeriksa dinding, mencoba untuk meloncat ke atas mendobrak penutup di bagian atas. Namun semua usaha sia-sia belaka dan akhirnya mereka berempat harus mengakui bahwa sekali ini mereka benar-benar tidak berdaya.

"Agaknya kita akan terkubur hidup-hidup di tempat ini sampai mati," kata Biauw Eng dengan suara tenang.

"Kalau benar Tuhan menghendaki demikian, aku tidak menyesal, Biauw Eng. Hidup atau pun mati, aku tetap akan merasa bahagia karena ada engkau di sampingku."

Hening sejenak di tempat gelap dekat itu, kemudian terdengar suara Biauw Eng lirih,
"Setelah mendengar penuturan Cui Im, baru aku sadar betapa engkau amat baik kepadaku, Keng Hong. Engkau terlalu baik untukku..."

Ia menahan ucapannya seolah-olah baru teringat bahwa ada dua pasang telinga lain yang mendengarkan percakapan mereka. Maka Biauw Eng diam saja dan hanya menyambut jari-jari tangan Keng Hong yang dalam gelap itu mencengkeram tangannya dan membalas dengan tangan yang menggetarkan perasaan kasih mesra.

Di sudut lain dari sumur itu, Cong San memegang tangan Yan Cu dan berbisik,
"Aku sependapat dengan Keng hong Moi-moi. Aku tidak menyesal, biar sampai mati sekalipun, asal bersama engkau."

"Ssttt... Didengar orang. Malu...!" Bisik Yan Cu akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya.

Tanpa berkata-kata, dua pasang orang muda itu saling berpegang tangan di dalam gelap. Cong San berbahagia karena sungguhpun gadis yang dicintanya belum melakukan pengakuan dengan mulut, namun dia merasa yakin bahwa gadis ini mencintainya juga.

Yan Cu sendiri masih ragu-ragu, mencari-cari, karena hatinya masih bimbang apakah dia mencinta Cong San ataukah mencinta Keng Hong. Keduanya merupakan pemuda yang sepenuhnya memenuhi syarat untuk dicinta, keduanya sama berharga, akan tetapi mengingat bahwa Keng Hong jelas mencinta Biauw Eng, agaknya terpaksa harus menjatuhkan pilihan hatinya kepada murid Siauw-li-pai yang perkasa ini.

Adapun Keng Hong dan Biauw Eng yang duduk sambil berpegang tangan, mengenang semua peristiwa yang mereka alami. Masing-masing mengaku betapa mulia hati orang yang dicinta sehingga timbul perasaan aneh, yaitu baik diri sendiri kurang berharga untuk menjadi jodoh masing-masing.

Diam-diam Biauw Eng merasa betapa orang seperti Keng Hong lebih tepat menjadi suami seorang gadis cantik jelita dan bersih seperti Yan Cu, tidak seperti dia, seorang puteri tokoh dunia hitam, seorang yang pernah menerima cinta kasih laki-laki , yaitu Sim Lai Sek. Di lain fihak, Keng Hong juga menyesal sekali atas semua kelakuannya yang sudah-sudah, merasa betapa dia sama sekali tidak berharga untuk mempersunting seorang gadis sehebat Biauw Eng!

Demikanlah, di dalam sumur maut ini, di mana nyawa mereka tergantung di ujung rambut, tidak ada jalan keluar dan tidak ada harapan untuk hidup, hanya menanti datangnya maut entah secara bagaimana, terjadi getaran-getaran dari perasaan empat orang muda itu, empat orang muda yang dibuai oleh cinta kasih. Mereka itu sama sekali tidak memikirkan akan keadaan mereka, tidak ingat bahwa mereka akan mati, sehingga sia-sia belaka segala cita-cita mereka. Maka terbuktilah kekuatan cinta yang maha hebat, yang mengalahkan maut sendiri. Dengan senjata cinta kasih di hati, manusia sanggup menghadapi maut dengan senyum ikhlas di mulut!

**** 171 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: