*

*

Ads

FB

Selasa, 30 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 170

"Kita harus cepat membuka belenggumu," bisik Cong San.

"Twako, maafkan aku..."

"Hushhh... sudahlah, aku yang salah, menggunakan akal kau keliru menyangka...!"

"Dan terima kasih atas pertolonganmu yang tak ternilai besarnya..."

"Ssttttt..., jangan ucapkan itu, Moi-moi. Yang penting sekarang bagaimana kita dapat mematahkan belenggu."

"Kau sendiri, bagaimana dapat meloloskan diri?"

"Dengan Ilmu Sia-kun-sin-hot, akan tetapi terlalu lama dan... ah...”

"Eh, kau terluka, Twako?" Yan Cu bertanya kaget.

Cong San mengusap bibirnya yang berdarah. Memang dia terluka, luka di sebelah dalam tubuh yang dia derita dalam perkelahian mati-matian tadi. Selain luka dalam akibat bantingan dan pukulan, juga lehernya masih nyeri bekas libatan ujung cambuk baja, pundaknya agaknya terkilir ketika lengannya hendak dilepaskan dari pundak oleh lawan tadi.

"Luka tidak berarti, yang penting mematahkan belenggumu. Sayang kita tidak membawa senjata..."

Cong San lalu pergi mengambil dua buah batu besar. Sebuah batu yang terbesar dia letakkan di atas tanah, kemudian dia minta supaya Yan Cu merebahkan tubuh miring sehingga kedua tangannya berada di dekat batu. Setelah mengatur agar belenggu tangan itu berada di atas batu, dia berbisik,

"Tahankanlah, Moi-moi, aku akan mencoba untuk mematahkan belenggu dengan batu ini!"

Yan Cu mengangguk dan mulailah Cong San menggempur belenggu itu bertubi-tubi dengan batu yang dipegangnya kuat-kuat. Tentu saja tidak mungkin mematahkan belenggu besi dengan batu tanpa menggunakan tenaga sinkang dan untuk perkerjaan ini Cong San mengerahkan seluruh tenaganya.

Rasa sakit-sakit di tubuhnya bertambah dan keringat telah membasahi seluruh muka dan lehernya ketika akhirnya dia dapat juga mematahkan belenggu kedua tangan Yan Cu. Gadis ini pun bukannya tidak menderita. Setiap kali belenggu tangannya dipukul, rasa pedih dan panas menjalar dari pergelangan tangan seperti menusuk jantung. Maka begitu kedua tangannya terlepas, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan ia membenamkan mukanya di dada yang basah oleh keringat.

"Eh...! Ah...! Belenggu kakimu, Moi-moi...!"






Cong San tidak tahu mana yang lebih membingungkan hatinya, rangkulan kedua lengan itu ataukah belenggu kaki Yan Cu yang belum patah! Untuk menyembunyikan kebingungannya, Cong San lalu mulai hendak mematahkan belenggu kaki dengan batu tadi sungguhpun tenaganya sudah hampir habis dan dadanya terasa sesak. Karena kaki gadis itu agak jauh dari batu yang dipakai landasan, maka Cong San memegang pergelangan kaki gadis itu untuk di dekatkan dengan batu.

"Plakkk!"

Cong San terkejut sekali karena tangannya yang memegangi kaki itu ditampar. Lebih kaget lagi ketika dia menengok, dia melihat pandang mata gadis itu penuh kemarahan.

"Yap-twako, apakah engkau juga menjadi kurang ajar?!"

Cong San terbelalak kaget,
"Apa...??"

"Kau meraba-raba kaki, mau apa?"

"Eh... ohhh ... aku... aku hendak mematahkan belenggu kakimu..."

Sejenak pandang mata gadis itu menatapnya tajam penuh selidik, kemudian tersenyum dan merangkul pundak pemuda itu, melonjorkan kakinya, dan berkata lirih,

"Maafkan aku... ah. Aku selalu berprasangka buruk terhadap dirimu, Twako. Lakukanlah... dan... terima kasih."

Hemmm, sungguh gadis yang aneh dan... Menggemaskan, pikir Cong San. Bukan gemas marah, melainkan gemas mengkal membuat orang ingin mencubitnya! Gadis itu merangkul lehernya, kini merangkul pundaknya dan meletakkan pipinya di atas pundaknya, semua itu dilakukan dan tidak apa-apa. Sedangkan dia, baru meraba kaki karena hendak mematahkan belenggu saja, tangannya ditampar dan disangka kurang ajar! Aturan mana ini? Mau menang sendiri saja!

Dengan hati gemas Cong San lalu memukuli batu yang dipegangnya pada belenggu kaki dan karena besi belenggu itu lebih besar daripada belenggu tangan, tentu saja lebih sukar dipatahkan. Namun dia bekerja terus, tidak sadar betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata sayu, tidak merasa betapa keringatnya bercucuran dari dagu dan lehernya.

"Twako...!"

Suara itu terdengar dekat sekali dengan telinga, bisikan yang menghembuskan napas halus ke kuduknya.

"Hemmm...?"

Cong San tidak menghentikan usahanya mematahkan belenggu, menghantam terus sampai telapak tangannya lecet-lecet berdarah.

"Kenapa engkau begini baik terhadapku, Twako?"

"Hemmm....?"

Kini Cong San menghentikan hantamannya pada belenggu kaki itu dan melirik ke kanan, ke arah pundaknya di mana gadis itu meletakkan pipinya. Tiba-tiba jantung pemuda ini berdebar keras. Wajah itu begitu dekat sehingga dia dapat merasakan hembusan napas hangat di pipinya, dan pandang mata itu begitu lembut, jari-jari tangan yang halus itu kini mengusap peluh dari lehernya, begitu mesra!

"Moi-moi, mengapa kau masih bertanya lagi? Aku bersedia membela dan melindungi dengan taruhan nyawaku."

"Aku tidak menanyakan hal itu, Twako. Yang aku ingin ketahui adalah mengapa engkau amat baik terhadap aku?’

Benar-benar gadis yang aneh. Apa bedanya? Jawaban tadi bukankah sudah menjelaskan isi hatinya? Diam-diam Cong San tersenyum di dalam hatinya. Hemmm, agaknya gadis ini menghendaki jawaban yang langsung. Baiklah!

"Aku akan selalu bersikap baik terhadap dirimu, Moi-moi, selama hidupku, karena aku cinta padamu, Moi-moi."

"Benarkah Twako? Benarkah engkau mencintaku? Sungguh-sungguh?"

Hemmm! Betapa mengemaskan! Cong San menarik napas panjang.
"Tentu saja, Moi-moi, tentu saja sungguh-sungguh. Aku berani bersumpah!" Ketika dia memberanikan diri untuk bertanya, "Dan bagaimana tanggapanmu, Moi-moi?"

"Apa? Tanggapan bagaimana?"

Hemmm, bocah ini! Ingin Cong San mencubit bibir yang bertanya seperti orang yang pura-pura tidak mengerti itu.

"Bagaimana dengan hatimu? Dapatkah kau menerima cinta kasihku? Apakah... Apakah mungkin seorang gadis jelita seperti engkau mencintaku?"

Yan Cu membelalakkan matanya dan merenggangkan matanya dari atas pundak Cong San, tidak tahu betapa gerakan itu amat mengecewakan hati pemuda itu.

“Cinta? Apa sih cinta itu, Twako?"

"Cinta ya cinta! Bagaimana, Moi-moi? Bagaimana perasaan hatimu terhadap diriku? Apakah engkau juga cinta kepadaku?"

Yan Cu mengeleng-geleng kepala, membuat hati Cong San seperti tertindih anak gunung.

"Sampai kini pun aku belum mengerti jelas bagaimana cinta itu sebenarnya, Twako. Karena belum mengerti, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu itu?"

Cong San menarik napas panjang, hatinya tidak seberat tadi akan tetapi tetap saja dia masih belum puas, merasa seperti tergantung di awang-awang, tenggelam tidak terapung pun belum! Kemudian dia teringat akan pekerjaannya dan tanpa berkata apa-apa dia lalu melanjutkan menghantam belenggu kaki dengan batu sekuat tenaga.

"Yap-twako, kau marah?"

"Hemmm? Tidak.." Akan tetapi hantamannya makin keras saja.

"Biar kugantikan kau, Twako. Lihat tanganmu sudah lecet-lecet. Kasihan engkau, Twako."

Suara lembut ini merupakan kompres yang mendinginkan hati Cong San. Akan tetapi pada saat dia hendak menyerahkan batu itu kepada Yan Cu, tiba-tiba dia meloncat bangun dengan kaget. Juga Yan Cu meloncat berdiri, lupa bahwa kakinya masih terbelenggu sehingga dia hampir terguling kalau tidak disambar lengannya oleh Cong San.

Ternyata di depan mereka telah berdiri Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, dua orang di antara Empat Datuk Golongan Sesat yang sakti! Namun, melihat dua orang musuh ini, Cong San berteriak keras dan menyerang dengan nekat ke arah Pat-jiu Sian-ong, menggunakan batu yang dipegangnya.

Pat-jiu Sian-ong menangkis dengan tangan kiri. Batu ini hancur bertemu dengan tangan Pat-jiu Sian-ong dan Cong San yang sudah kehabisan tenaga itu terhuyung, kemudian roboh terkena tepukan tangan kakek kecil itu pada pundaknya.

Yan Cu yang kakinya masih terbelenggu akan tetapi kedua tangannnya sudah bebas itu pun secara nekat telah meloncat ke kedua tangannya mengirim pukulan. Hebat pukulan gadis ini, akan tetapi yang diserangnya adalah seorang tokoh yang menjadi datuk hitam. Kalau saja dia tidak terbelenggu kakinya, mungkin dengan kepandaiannya yang sudah amat tinggi itu Yan Cu akan dapat melawan.

Akan tetapi kini gerakannya kaku dan sebuah tamparan dari samping si raksasa dengan kulit hitam arang itu membuat Yan Cu terlempar dan terbanting di dekat Cong San. Sebelum dua orang muda itu sempat bergerak, ujung jari tangan kedua kakek itu telah menotok mereka lumpuh dan dengan mudah dua orang kakek itu mengempit tubuh mereka dan dibawa kembali ke dalam benteng!

Demikianlah keadaan dua orang muda itu yang kini sudah berada di dalam kamar tahanannya kembali. Mereka di lempar ke dalam kamat tahanan dan setelah Yan Cu dapat bergerak lagi, biarpun kedua tangannya kini telah dipasangi belenggu baru, gadis ini cepat menghampiri Cong San yang masih pingsan dan menggunakan pengertiannya tentang pengobatan untuk merawat pemuda itu memulihkan tenaga serta mengobati luka-luka di dalam tubuh yang tidak membahayakan nyawanya namun memerlukan perawatan yang teliti.

Peristiwa itu terjadi sehari sebelum Cui Im mengunjungi kamar tahanan Keng Hong dan membawa Biauw Eng ke kamar pemuda itu. Dia sengaja membohong dan menceritakan bahwa dia telah menghadiahkan Yan Cu kepada Thai-lek Sin-mo, tidak mengatakan bahwa kawannya itu telah tewas di tangan Cong San.

Setelah membuat Keng Hong dan Biauw Eng menjadi gelisah memikirkan keselamatan Yan Cu dan Cong San, Cui Im bertepuk tangan lagi dan muncullah kedua orang murid Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to.

"Panggil dua ekor babi itu ke sini!"

Dua orang murid Pat-jiu Sian-ong itu saling pandang. Jelas mereka merasa kecewa dan ragu-ragu dan memang sayang sekali kalau Biauw Eng yang demikian cantik jelita hanya diberikan kepada dua orang anggauta anak buah benteng itu yang tingkatnya paling rendah!

Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah dan cepat pergi. Tak lama kemudian muncullah dua orang laki-laki bangsa Mongol yang setengah liar. Tubuh mereka tinggi besar dengan otot-otot menonjol pada kaki tangan dan dada mereka yang bertelanjang. Hanya sehelai cawat yang kecil kotor saja menutup tubuh mereka, tubuh yang kulitnya retak-retak seperti kulit buaya, kering keras dan kasar. Muka mereka buruk sekali, dengan mata sipit yang dilebar-lebarkan, mulut yang tak dapat tertutup rapat. Kedatangan mereka berdua ke dalam kamar itu membawa bau yang apek dan tidak enak.

Agaknya mereka telah diberi tahu sebelumnya akan tugas mereka, karena begitu memasuki kamar, mereka langsung memandang ke arah Biauw Eng dan tertawa-tawa ha-ha-he-he-he seperti sikap orang yang tidak normal pikirannya. Akan tetapi, betapa pun bodohnya, kedua orang liar kasar ini agaknya takut kepada Cui Im dan mereka hanya berdiri menghadapi Cui Im sambil menanti perintah.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: