*

*

Ads

FB

Jumat, 28 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 099

“Bu-moi (Adik Bu)... terima ini...!”

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio melemparkan bokor emas itu kepada adik ang-katnya ketika dia terdesak oleh tiga orang datuk pria, yaitu Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, dan Hek-bin Thian-sin yang sudah berhasil menyusulnya ketika Ketua Kwi-eng-pang itu melarikan diri sambil membawa bokor emas yang diterimanya dari Kun Liong.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tentu saja cepat menyambut bokor emas yang melayang ke arahnya itu dan membawanya lari, sedangkan Kwi-eng Niocu berusaha mencegah tiga orang datuk yang hendak mengejar. Namun, tentu saja dia tidak mampu menahan mereka bertiga dan kini Siang-tok Mo-li yang menjadi kejaran mereka. Tiga orang datuk pria mengejar untuk merampas bokor sedangkan Kwi-eng Niocu mengejar untuk membantu adik angkatnya itu.

Betapa cepatnya lari Siang-tok Mo--li, tetap saja dia tidak dapat membebaskan diri dari pengejaran para datuk itu. Tiga orang datuk pria itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Siang-tok Mo-li, maka tak lama kemudian tiga orang datuk pria itu telah menyusulnya dan segera mengepungnya.

“Siang-tok Mo-li, serahkan bokor itu kepadaku!” Toat-beng Hoat-su menubruk ke depan.

Siang-tok Mo-li terkejut, cepat dia meloncat ke kiri menghindar, akan tetapi sambil tertawa menyeramkan, Ban-tok Coa-ong sudah menyambutnya dengah lengannya yang panjang seperti ular itu menyambar untuk merampas bokor! Bu Leng Ci terkejut sekali, apalagi melihat betapa Hek-bin Thian-sin juga sudah menerkamnya.

“Ang-cici (Kakak Ang), terimalah bokor...!”

Dia berseru dan cepat melemparkan bokor melambung tinggi ke arah Kwi-eng Niocu yang sudah tiba di tempat itu. Tentu saja Kwi-eng Niocu cepat menyambar bokor dan melarikan diri secepatnya. Ia ingin cepat-cepat tiba di Kwi-ouw, karena kalau dia sudah tiba di tempat perkumpulannya itu, dengan mengandalkan telaga yang penuh rahasia dan bantuan anak buahnya, tentu dia akan dapat melawan tiga orang datuk pria itu. Akan tetapi sayang sekali, Kwi-ouw (Telaga Setan) masih amat jauh dan kini tiga orang datuk pria itu telah mengejar lagi sambil berteriak-teriak.

“Wah, curang! Kalian berdua bersekongkol!” Ban-tok Coa-ong berteriak.

“Dasar perempuan. licik dan selalu hendak menipu kita kaum pria!” Toat-beng Hoat-su mengomel sambil mempercepat larinya mengejar.

Hek-bin Thian-sin diam saja dan terus mengejar. Dia mendongkol sekali mengapa Legaspi Selado, tokoh asing botak yang lihai itu, yang sudah berjanji akan membantu memperebutkan bokor emas, masih juga belum muncul. Kalau ada Si Botak Asing itu bersama pasukannya, tentu dia akan dapat merampas bokor dan mengatasi empat orang datuk lainnya.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang mengejar di sebelah belakang, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi dua kali. Dari jauh terdengar lengkingan tinggi yang hampir sama, juga dua kali.

Bu Leng Ci tersenyum girang dan dia mempercepat larinya, akan tetapi tidak mengambil jalan yang sama seperti yang dilalui Kwi-eng Niocu dan tiga orang pengejarnya. Kwi-eng Niocu mengambil jalan mendaki naik ke pegunungan, sedangkan Siang-tok Mo-li memotong jalan melalui sebelah bawah dari mana tadi dia mendengar suara melengking yang menyambut tanda rahasianya. Ketika dia tiba di seberang sebuah jurang, tampaklah olehnya di sebelah atas, terhalang oleh jurang itu, bayangan Kwi-eng Niocu sedangkan tiga orang pengejarnya sudah hampir menyusul Ketua Kwi-eng-pang itu.






“Ang-cici...! Lekas lemparkan ke sini...!” Bu Leng Ci berseru.

Ang Hwi Nio sedang gelisah karena tiga orang datuk itu sudah dekat sedangkan dia tidak melihat bayangan adik angkatnya. Ketika mendengar suara ini dia menengok dan giranglah hatinya melihat orang yang dicari-carinya itu berada di sebelah bawah, terhalang jurang yang amat curam dan cukup lebar. Dia percaya bahwa dia mampu melemparkan bokor itu sampai ke seberang jurang dan dia percaya pula bahwa adik angkatnya cukup lihai untuk dapat menangkap bokor itu.

Melihat betapa tiga orang datuk pria sudah dekat, dia segera melontarkan bokor itu ke seberang jurang. Benda itu meluncur dengan cepat sekali ke arah Bu Leng Ci yang sudah berdiri dan siap menyambut. Bagaikan seekor burung garuda menyambar seekor burung dara, Siang-tok Mo-li meloncat dan berhasil menangkap bokor emas yang melayang dari atas itu.

“Ehh, kemana kau membuang pusaka itu?”

Toat-beng Hoat-su berteriak kaget, mengira bahwa Kwi-eng Niocu membuang bokor yang mereka perebutkan. Juga Ban-tok Coa-ong dan Hek-bin Thian-sin terkejut. Bukan hanya tiga orang kakek itu yang terkejut, bahkan Kwi-eng Niocu juga kaget sekali ketika melihat betapa Siang-tok Mo-li setelah menerima bokor itu lalu melemparkan bokor itu ke seberang jurang lain dan bokor itu lenyap!

Siang-tok Mo-li menoleh dan tersenyum lebar penuh ejekan, kemudian membalikkan tubuh dan sekali melompat tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon!

Timbul kecurigaan di hati Ang Hwi Nio, akan tetapi dia sudah dapat menghadapi tiga orang kakek itu sambil berkata mengejek,

“Kalian ini tua-tua bangka mau apa lagi? Kalian takkan dapat merampas bokor itu!”

Tiga orang kakek itu maklum bahwa mereka tidak mungkin melompati jurang ini tanpa bahaya maut mengancam mereka, dan untuk melakukan pengejaran, mereka harus menuruni bukit dan mengambil jalan memutar yang makan waktu lama dan tentu orang termuda dari lima datuk itu sudah pergi jauh entah kemana!

“Ha-ha-ha-ha, sekali ini Kwi-eng Niocu menjadi seorang yang amat tolol dan mudah saja ditipu orang. Ha-ha-ha!”

Kwi-eng Niocu memandang Kakek Raja Ular itu dengan mata mendelik. Biarpun hatinya makin tidak enak, akan tetapi dia membentak,

“Ban-tok Coa-ong! Engkau bicara seenak perutmu sendiri. Apa kaukira Kwi-eng Niocu takut menghadapi ular-ularmu yang hanya dapat kau pakai menakuti kanak-kanak itu?”

Akan tetapi kini Toat-beng Hoat-su juga berkata penuh penyesalan.
“Ucapan Si Raja Ular benar sekali. Kwi-eng Niocu, apa kau kira Siang-tok Mo-li akan demikian lemah hatinya untuk membagi bokor itu denganmu? Hemm, aku berani bertaruh dua jari tangan! Dia tentu sudah lari minggat membawa bokor itu bersama seorang sekutunya yang tadi menyambut bokor di seberang jurang di bawah itu.”

Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat sekali.
“Celaka...! Giok-hong-cu...!”

“Siapa? Siapa itu Giok-hong-cu?” Hek-bin Thian-sin berseru.

“Siapa lagi? Muridnya. Celaka, perempuan iblis itu telah menipuku. Kalian benar. Mari kita kejar mereka sebelum mereka berlari terlalu jauh!”

Kwi-eng Niocu segera meloncat dan berlari cepat turun dari bukit. Tiga orang kakek itu juga tidak mau ketinggalan dan mereka berempat lari bersicepat seperti berlumba menuruni bukit untuk mencari Bu Leng Ci dimulai di tempat di mana tadi Siang-tok Mo-li menerima bokor.

Empat orang datuk sesat ini seperti orang-orang yang lupa diri dan mereka melakukan pengejaran dan pencaharian tanpa mengenal lelah. Seolah-olah hidup mereka bergantung kepada bokor emas itu! Seolah-olah hidup mereka akan menjadi hampa dan tak berarti, kalau mereka tidak mendapatkan bokor emas yang diperebutkan itu.

Bokor emas itu, yang mengandung rahasia besar yang didongengkan orang, pusaka dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia, merupakan tujuan satu-satunya bagi para datuk ini. Mereka merasa yakin bahwa kalau mereka berhasil menguasai bokor emas, tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan terkaya di dunia ini, dan tentu mereka tidak akan kekurangan apa-apa lagi, dan karenanya dapat hidup bahagia!

Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita semua ini, disadari maupun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan cita-cita seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu mengharapkan, menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk! Padahal, mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan beringin? Bukankah pengharapan dan keinginan ini menjadi penyebab dari kekecewaan dan kekhawatiran?

Kita mengejar sesuatu yang kita namakan cita-cita, dan hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau-kalau kita gagal! Dan kalau sampai gagal, kita akan dirundung kecewa, merasa sengsara. Padahal, kalau kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu, benarkah kita akan menemukan bahagia? Berhasilnya cita-cita yang kita kejar itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan dari khawatir?

Biasanya, sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah tergenggam tangan, hanya akan mendatangkan kepuasan sejenak saja, kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang mencengkeram selama hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan tenang!

Pengejaran cita-cita menandakan bahwa kita tidak dapat menghadapi dan mengerti keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan keadaan apa adanya, maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa dan bagaimana pun keadaan kita. Sekali kita dicengkeram oleh pengejaran cita-cita, maka hidup hanya merupakan derita karena kita tak pernah dapat melihat dan menikmati saat sekarang, saat demi saat di mana kita sesungguhnya hidup, karena mata kita hanya ditujukan jauh ke depan, kepada esok, lusa, dan masa depan, sehingga saat ini, sekarang, tidak ada artinya lagi. Padahal saat ini atau sekarang inilah kita hidup!

Para datuk kaum sesat itu, demi untuk memperoleh bokor emas yang menjadi tujuan dan cita-cita mereka, tidak segan-segan melakukan apapun juga. Tidak segan untuk membunuh, kalau perlu antara kawan sendiri. Dan demikian pula dengan kita yang berlumba dalam mengejar cita-cita, untuk berhasil dalam pengejaran ini, kita pun akan selalu menyingkirkan segala aral yang melintang di tengah jalan!

Maka timbullah pertentangan, permusuhan, dan kebencian, dan semua itu dilapisi dengan kedok kebenaran dan keadilan yang pada hakekatnya adalah kebenaran dan keadilan demi kepentingan pribadi dan karenanya palsu. Bahkan dalam kesesatan kita tidak segan-segan pula di antara kita manusia ada yang berpegang kepada semboyan “tujuan menghalalkan segala cara”!

Semboyan dan pendapat yang sama sekali tidak patut! Cara tidaklah berbeda garis dengan tujuan. Mungkinkah mengusahakan perdamaian dengan peperangan? Mungkinkah menghilangkan permusuhan dengan penindasan? Mengusahakan persahabatan dengan kemenangan? Cara yang buruk tidak mungkin sama sekali memperoleh tujuan yang baik, demikian pula, tujuan yang buruk tidak mungkin dilakukan dengan cara yang baik!

Sebulan kemudian, usaha pencaharian yang tekun dari empat orang datuk itu dibagi menjadi dua kelompok. Sebetulnya mereka itu berpencar, akan tetapi karena saling curiga dan tidak ingin kalau orang lain menemukan tempat persembunyian Siang-tok Mo-li tanpa yang lain mengetahuinya, maka diam-diam mereka saling membayangi, atau lebih tepat lagi, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin melanjutkan pencaharian mereka dengan arah yang sama, dan demikian pula Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong saling membayangi.

Hek-bin Thian-sin dan Kwi-eng Niocu lebih tepat menentukan arahnya dan setelah mencari keterangan di sana-sini, akhirnya pada suatu hari mereka tiba di depan guha di Bukit Burung Walet. Bukit itu terkenal sebagai sarang burung walet. Maka dinamakan demikian, dan di situ terdapat banyak guha dan di dalam guha-guha inilah burung-burung itu bersarang. Sebuah di antara guha-guha itu kini dijadikan tempat sembunyi Siang-tok Mo-li dan Giok-hong-cu muridnya!

Hari telah sore dan burung-burung valet beterbangan memasuki guha-guha yang amat banyak itu. Kedua orang datuk kaum sesat itu masih belum tahu benar guha yang mana yang dijadikan tempat sembunyi orang yang dicarinya. Mereka berdiri di depan guha-guha dan memasuki guha yang gelap.

“Hemm, tak salah lagi, tentu di sana dia bersembunyi.”

Akhirnya Kwi-eng Nio-cu berkata sambil menuding ke arah sebuah guha yang agak besar di tengah-tengah kumpulan guha itu.

Hek-bin Thian-sin memandang. Mula-mula dia tidak dapat menduga mengapa Kwi-eng Niocu dapat menentukan demikian, akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan segera dia dapat melihat perbedaan keadaan guha yang satu ini dengan yang lain. Burung-burung walet yang beterbangan itu, memasuki guha-guha yang lain dengan cepat tanpa ragu-ragu, akan tetapi burung-burung yang hendak memasuki guha yang dimaksudkan itu, tidak langsung terbang masuk melainkan beterbangan ke sana-sini di depan guha, seolah-olah mereka segan masuk atau ada sesuatu di dalam guha itu yang mereka takuti.

“Memang, di sanalah dia bersembunyi!”

Seperti dikomando saja, keduanya berloncatan dan dengan beberapa loncatan saja, dua orang datuk yang berilmu tinggi itu telah tiba di depan guha yang dimaksudkan tadi. Guha itu besar dan gelap, juga karena agak dalam maka tidak kelihatan ujungnya dari luar.

“Bu Leng Ci, keluarlah engkau! Kami telah tahu bahwa engkau bersembunyi di dalam guha ini! Apa kau minta kami membakar dan mengasapi guha sehingga kau terpaksa keluar seperti seekor kelinci dari dalam lubang? Ha-ha-ha!” Hek-bin Thian-sin berteriak.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: