Empat orang petani itu menghentikan langkah mereka dan memandang Kun Liong dengan heran. Jarang ada orang luar daerah datang berkunjung, kecuali para pedagang yang hendak membeli daun-daun dan akar-akar obat, ditukar dengan segala macam benda dari kota yang mereka butuhkan. Karena mereka tidak tahu apakah pemuda itu seorang hwesio yang berpakaian biasa ataukah seorang pemuda biasa yang berkepala gundul, empat orang itu hanya memandang dan bersikap waspada. Semua penduduk atau anggauta Cin ling pai sudah biasa bersikap waspada dan hati-hati sesuai dengan petunjuk ketua mereka.
Kun Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan dibalas oleh empat orang itu dengan gerakan yang sama.
“Sudikah Cuwi (Anda Sekalian) menunjukkan kepada saya di mana adanya Cin ling pai?”
Mendengar tutur sapa Kun Liong empat orang dusun itu saling pandang. Mereka tidak pernah mengenal huruf dan kesopan santunan kota, dan ketua mereka pun tidak berniat mengubah kewajaran orang-orang dusun itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang baik, maka seorang di antara mereka menjawab sederhana,
“Dusun kami itulah Cin ling-pai dan kami adalah anggauta-anggauta Cin ling pai. Ada keperluan apakah engkau mencari Cin ling pai?”
Kun Liong menyembunyikan rasa herannya. Cin ling pai adalah nama perkumpulan, bagaimana mungkin sebuah dusun disebut perkumpulan? Dia hanya tersenyum dan berkata pula,
“Tidak ada keperluan dengan Cin ling pai, hanya saja ingin menghadap Ketua Cin ling pai. Bukankah ketuanya bernama Cia Keng Hong?”
Kini empat orang itu memandang penuh kecurigaan, dan orang yang tertua tadi bertanya lagi dengan hati-hati,
“Kalau boleh aku bertanya, ada hubungan apakah antara Anda dengan ketua kami?”
“Dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong? Ahh, saya hanyalah murid keponakannya, ibu saya adalah sumoi dari Cia susiok.”
Empat orang itu kelihatan kaget sekali dan cepat mereka memberi hormat dengan membungkuk.
“Aihh, harap Sicu (Tuan Yang Gagah) sudi memaafkan kami. Rumah Cia taihiap berada di dalam dusun kami, rumah besar yang bercat kuning di tengah dusun. Maaf, kami tidak dapat mengantar karena kami hendak melaksanakan tugas pekerjaan kami di sawah.”
“Tidak mengapa, Paman. Terima kasih atas kebaikan Paman, saya akan mencarinya sendiri,” kata Kun Liong.
Empat orang dusun itu bergegas pergi menuju ke sawah. Mereka khawatir kalau-kalau oleh pemuda itu dilaporkan bahwa mereka kurang pagi berangkat atau bermalas-malasan. Nona muda amat galak, dan biarpun hidup mereka di situ tidak ditekan, namun nona muda paling tidak suka melihat orang malas karena dia sendiri amat rajin dan suka bekerja!
Kun Liong memasuki dusun dan mudah saja dia menemukan rumah besar bercat kuning karena dusun itu ternyata hanya merupakan sebuah dusun kecil dengan sedikit rumah-rumah, paling banyak ada lima puluh buah rumah. Dia memasuki pekarangan rumah yang lebar dan penuh dengan tanaman bunga yang amat indah.
Bunga-bunga di sini segar dan sehat seperti di tempat-tempat dingin, dan dia harus mengagumi kepandaian orang yang mengatur taman depan rumah itu. Tidak kalah oleh taman-taman milik orang bangsawan di kota agaknya!
“Heee! Mau apa kau longak-longok di tamanku? Apakah engkau mau mencuri bunga? Mau malas-malasan tidak bekerja, ya?”
Kun Liong terkejut sekali. Tadi dia berjongkok mencium setangkai bunga mawar yang amat indahnya, warna merah muda dan berbau harum. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya.
“Ehhh...! Siapa kau...?”
Dara remaja yang berdiri di ruangan depan rumah itu bertolak pinggang dan mengerutkan alisnya.
Kun Liong cepat melangkah maju dan naik anak tangga ke ruangan depan, menghadapi dara remaja itu dengan sinar mata kagum. Dara remaja ini bukan main cantiknya! Seperti bunga mawar tadi, segar kemerahan dan harum! Dan seperti mawar yang berduri, dara ini pun agak galak! Entah mengapa, pribadi dara ini mengeluarkan daya tarik yang membetot semangatnya, membuat Kun Liong hanya berdiri terlongong di depannya.
“Mau apa engkau? Kalau engkau hwesio minta derma, sebutkan di mana kuilmu dan siapa ketua kuil yang mengutusmu!”
Merah muka Kun Liong, merah juga kepalanya yang gundul dan perutnya terasa panas! Datang-datang dia disambut penghinaan oleh dara cantik ini! Sombongnya! Hem, apakah karena cantik jelita dan agaknya menjadi orang penting di rumah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bocah ini boleh menghinanya sembarangan saja? Dia seorang laki-laki yang tidak takut apa-apa, masa datang-datang dihina oleh seorang bocah perempuan, betapapun cantiknya dia?
“Eh, eh, jangan sembarangan menyangka orang. Aku bukan hwesio dan aku sama sekali bukan datang mau minta derma!”
Kata-kata ini diucapkan dengan marah karena Kun Liong merasa terhina sekali disangka minta derma!
Sepasang mata yang seperti mata burung hong itu mengeluarkan sinar berapi, dan alis yang melengkung indah itu berkerut makin dalam, bibir yang merah dan berbentuk gendewa terpentang itu mencibir runcing, kemudian membentak,
“Kalau bukan hwesio mengapa kepalamu gundul? Tentu engkau hwesio yang menyamar dan kalau ada pendeta menyamar berarti hatinya mengandung niat buruk. Berbahaya!”
“Sialan! Aku bukan hwesio!” Kun Liong juga membentak marah, matanya yang lebar terbelalak.
Giok Keng tersenyum. Manis sekali senyumnya, akan tetapi juga menusuk jantung karena di balik senyum manis ini tampak jelas maksud mengejek.
“Bukan hwesio ya sudah, tak perlu menggonggong! Kalau bukan hwesio, tentu engkau seorang pemuda yang mempunyai banyak kutu rambut, atau mungkin kepalamu penuh kudis maka kau buang semua rambutmu!”
“Bocah perempuan sombong! Engkau menghina, ya?” Kun Liong melangkah maju setindak.
Senyum ejekan itu melebar dan tampak jelas dara itu mengangkat dada ke depan, membusungkan dada yang sudah mulai membusung itu, sambil berkata,
“Kalau benar aku menghina, habis engkau mau apa?”
Makin panas rasa perut Kun Liong. Bocah ini benar-benar kurang ajar, pikirnya.
“Kalau engkau menghina, aku pun bisa menghinamu!”
“Coba saja kalau berani!”
“Wah, sombongnya! Masa aku tidak berani membalas seorang bocah perempuan sombong seperti engkau? Engkau memang cantik seperti... bunga mawar, akan tetapi banyak sekali durinya. Engkau cantik akan tetapi galak seperti... hemmm...” Kun Liong memutar otak untuk mencari perbandingan agar dapat balas menghina.
Muka Giok Keng sudah mulai merah dan dia membanting kaki kanannya.
“Seperti apa? Hayo katakan kalau berani!” Kedua tangan yang bertolak pinggang sudah turun dan dikepal menjadi dua tinju kecil.
Senang hati kun Liong melihat dara itu mulai marah. Makin manis kalau marah, pikirnya, kedua pipi itu menjadi kemerahan, persis bunga mawar. Biar dia bertambah marah, pikirya dan dia berkata,
“Seperti... kucing betina kehilangan tanduk!”
“Keparat kau!”
Giok Keng sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah kepala gundul Kun Liong. Pemuda ini mengelak, namun kalah cepat karena gerakan gadis ini benar-henar amat cepat luar biasa.
“Takkk!”
Kepala Kun Liong yang gundul kena diketak (dipukul dengan buku jari) tangan kanan Giok Keng. Berkat sin kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, kepala itu terlindung dan tidak terluka, akan tetapi kulit kepalanya terasa nyeri sehingga Kun Liong meringis. Akan tetapi Giok Keng juga menyeringai kesakitan ketika buku jari tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat keras!
“Aihhh, kepala gundulmu keras juga, ya?”
Ucapan ini sengaja dikeluarkan bukan untuk mengejek, melainkan karena terheran dan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi membuat Kun Liong makin marah. Tidak saja kepalanya diketak, akan tetapi juga diejek!
“Pukulanmu seperti tahu saja!”
Dia balas mengejek dan balas pula menyerang, akan tetapi karena dia tidak ingin memukul, dia hanya menggunakan tangannya untuk mendorong pundak dara itu dengan tangan terbuka.
“Cih, kiranya engkau manusia cabul!” Giok Keng mengelak.
“Cabul hidungmu!” Kun Liong makin marah. “Siapa yang cabul?”
Dia menjadi makin marah dan mukanya makin merah. Dorongan ke pundak dikatakan cabul, apakah dia disangka akan menggunakan tangannya untuk memegang apa?
“Gundul cabul tak tahu malu! Rasakan hajaran Nona Cia!”
Giok Keng kini menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya sehingga Kun Liong sibuk mengelak ke sana sini. Juga dia kaget setengah mati mendengar bahwa dara di depannya ini adalah Nona Cia. Berarti puteri susioknya! Dia sudah mendengar sepintas lalu dari ayah ibunya bahwa Cia Keng Hong mempunyai seorang puteri kalau tidak salah ingat namanya pakai Keng keng begitu.
“Eh, tahan dulu...! Plak!”
Karena lengah, pundaknya kena dipukul membuat dia terhuyung, akan tetapi tidak apa apa. Hal ini membuat Giok Keng heran dan penasaran, maka dia menerjang lagi.
“Nanti dulu! Desss!” Kun Liong menangkis dengan keras, kini Giok Keng yang terhuyung karena Kun Liong menggunakan sinkang. “Apakah engkau Keng?”
Giok Keng menghentikan scrangannya, dahinya berkeringat sehingga anak rambut di dahi kacau balau dan melekat seperti dilukis, matanya berkilat dan pipinya bertambah merah.
“Apa Keng?” Dia membentak.
“Bukankah namamu memakai Keng-keng begitu? Kau puteri Ketua Cin ling-pai?”
“Banyak cerewet! Rasakan tanganku!”
Giok Keng sudah menyerang lagi dan karena dia dapat menduga bahwa pemuda gundul ini lihai juga serta memiliki kekebalan sehingga dapat menahan pukulannya, maka kini dia menggunakan dua jari tangan kanan kiri, melakukan serangan dengan totokan-totokan yang cepat sekali. Biarpun kebal, jalan darahnya tentu tidak kebal, pikirnya.
“Cusss!”
Serangan bertubi tubi itu akhirnya berhasil dan dada kanan Kun Liong kena ditotok. Akan tetapi karena jalan darah yang ditotoknya itu tidak kena dengan tepat, tubuh Kun Liong tidak menjadi kaku seperti kalau terkena tepat melainkan bergoyang dan menggigil sedikit, kemudian pemuda itu sudah meloncat mundur dan berkata,
“Hemm, engkau mengajak berkelahi, ya? Aku seorang laki laki sejati, tidak mau memukul perempuan, akan tetapi aku harus membela diri.”
“Kau laki-laki apa? Cerewetnya melebihi seorang nenek bawel. Mampuslah!”
Kun Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan dibalas oleh empat orang itu dengan gerakan yang sama.
“Sudikah Cuwi (Anda Sekalian) menunjukkan kepada saya di mana adanya Cin ling pai?”
Mendengar tutur sapa Kun Liong empat orang dusun itu saling pandang. Mereka tidak pernah mengenal huruf dan kesopan santunan kota, dan ketua mereka pun tidak berniat mengubah kewajaran orang-orang dusun itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang baik, maka seorang di antara mereka menjawab sederhana,
“Dusun kami itulah Cin ling-pai dan kami adalah anggauta-anggauta Cin ling pai. Ada keperluan apakah engkau mencari Cin ling pai?”
Kun Liong menyembunyikan rasa herannya. Cin ling pai adalah nama perkumpulan, bagaimana mungkin sebuah dusun disebut perkumpulan? Dia hanya tersenyum dan berkata pula,
“Tidak ada keperluan dengan Cin ling pai, hanya saja ingin menghadap Ketua Cin ling pai. Bukankah ketuanya bernama Cia Keng Hong?”
Kini empat orang itu memandang penuh kecurigaan, dan orang yang tertua tadi bertanya lagi dengan hati-hati,
“Kalau boleh aku bertanya, ada hubungan apakah antara Anda dengan ketua kami?”
“Dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong? Ahh, saya hanyalah murid keponakannya, ibu saya adalah sumoi dari Cia susiok.”
Empat orang itu kelihatan kaget sekali dan cepat mereka memberi hormat dengan membungkuk.
“Aihh, harap Sicu (Tuan Yang Gagah) sudi memaafkan kami. Rumah Cia taihiap berada di dalam dusun kami, rumah besar yang bercat kuning di tengah dusun. Maaf, kami tidak dapat mengantar karena kami hendak melaksanakan tugas pekerjaan kami di sawah.”
“Tidak mengapa, Paman. Terima kasih atas kebaikan Paman, saya akan mencarinya sendiri,” kata Kun Liong.
Empat orang dusun itu bergegas pergi menuju ke sawah. Mereka khawatir kalau-kalau oleh pemuda itu dilaporkan bahwa mereka kurang pagi berangkat atau bermalas-malasan. Nona muda amat galak, dan biarpun hidup mereka di situ tidak ditekan, namun nona muda paling tidak suka melihat orang malas karena dia sendiri amat rajin dan suka bekerja!
Kun Liong memasuki dusun dan mudah saja dia menemukan rumah besar bercat kuning karena dusun itu ternyata hanya merupakan sebuah dusun kecil dengan sedikit rumah-rumah, paling banyak ada lima puluh buah rumah. Dia memasuki pekarangan rumah yang lebar dan penuh dengan tanaman bunga yang amat indah.
Bunga-bunga di sini segar dan sehat seperti di tempat-tempat dingin, dan dia harus mengagumi kepandaian orang yang mengatur taman depan rumah itu. Tidak kalah oleh taman-taman milik orang bangsawan di kota agaknya!
“Heee! Mau apa kau longak-longok di tamanku? Apakah engkau mau mencuri bunga? Mau malas-malasan tidak bekerja, ya?”
Kun Liong terkejut sekali. Tadi dia berjongkok mencium setangkai bunga mawar yang amat indahnya, warna merah muda dan berbau harum. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya.
“Ehhh...! Siapa kau...?”
Dara remaja yang berdiri di ruangan depan rumah itu bertolak pinggang dan mengerutkan alisnya.
Kun Liong cepat melangkah maju dan naik anak tangga ke ruangan depan, menghadapi dara remaja itu dengan sinar mata kagum. Dara remaja ini bukan main cantiknya! Seperti bunga mawar tadi, segar kemerahan dan harum! Dan seperti mawar yang berduri, dara ini pun agak galak! Entah mengapa, pribadi dara ini mengeluarkan daya tarik yang membetot semangatnya, membuat Kun Liong hanya berdiri terlongong di depannya.
“Mau apa engkau? Kalau engkau hwesio minta derma, sebutkan di mana kuilmu dan siapa ketua kuil yang mengutusmu!”
Merah muka Kun Liong, merah juga kepalanya yang gundul dan perutnya terasa panas! Datang-datang dia disambut penghinaan oleh dara cantik ini! Sombongnya! Hem, apakah karena cantik jelita dan agaknya menjadi orang penting di rumah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bocah ini boleh menghinanya sembarangan saja? Dia seorang laki-laki yang tidak takut apa-apa, masa datang-datang dihina oleh seorang bocah perempuan, betapapun cantiknya dia?
“Eh, eh, jangan sembarangan menyangka orang. Aku bukan hwesio dan aku sama sekali bukan datang mau minta derma!”
Kata-kata ini diucapkan dengan marah karena Kun Liong merasa terhina sekali disangka minta derma!
Sepasang mata yang seperti mata burung hong itu mengeluarkan sinar berapi, dan alis yang melengkung indah itu berkerut makin dalam, bibir yang merah dan berbentuk gendewa terpentang itu mencibir runcing, kemudian membentak,
“Kalau bukan hwesio mengapa kepalamu gundul? Tentu engkau hwesio yang menyamar dan kalau ada pendeta menyamar berarti hatinya mengandung niat buruk. Berbahaya!”
“Sialan! Aku bukan hwesio!” Kun Liong juga membentak marah, matanya yang lebar terbelalak.
Giok Keng tersenyum. Manis sekali senyumnya, akan tetapi juga menusuk jantung karena di balik senyum manis ini tampak jelas maksud mengejek.
“Bukan hwesio ya sudah, tak perlu menggonggong! Kalau bukan hwesio, tentu engkau seorang pemuda yang mempunyai banyak kutu rambut, atau mungkin kepalamu penuh kudis maka kau buang semua rambutmu!”
“Bocah perempuan sombong! Engkau menghina, ya?” Kun Liong melangkah maju setindak.
Senyum ejekan itu melebar dan tampak jelas dara itu mengangkat dada ke depan, membusungkan dada yang sudah mulai membusung itu, sambil berkata,
“Kalau benar aku menghina, habis engkau mau apa?”
Makin panas rasa perut Kun Liong. Bocah ini benar-benar kurang ajar, pikirnya.
“Kalau engkau menghina, aku pun bisa menghinamu!”
“Coba saja kalau berani!”
“Wah, sombongnya! Masa aku tidak berani membalas seorang bocah perempuan sombong seperti engkau? Engkau memang cantik seperti... bunga mawar, akan tetapi banyak sekali durinya. Engkau cantik akan tetapi galak seperti... hemmm...” Kun Liong memutar otak untuk mencari perbandingan agar dapat balas menghina.
Muka Giok Keng sudah mulai merah dan dia membanting kaki kanannya.
“Seperti apa? Hayo katakan kalau berani!” Kedua tangan yang bertolak pinggang sudah turun dan dikepal menjadi dua tinju kecil.
Senang hati kun Liong melihat dara itu mulai marah. Makin manis kalau marah, pikirnya, kedua pipi itu menjadi kemerahan, persis bunga mawar. Biar dia bertambah marah, pikirya dan dia berkata,
“Seperti... kucing betina kehilangan tanduk!”
“Keparat kau!”
Giok Keng sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah kepala gundul Kun Liong. Pemuda ini mengelak, namun kalah cepat karena gerakan gadis ini benar-henar amat cepat luar biasa.
“Takkk!”
Kepala Kun Liong yang gundul kena diketak (dipukul dengan buku jari) tangan kanan Giok Keng. Berkat sin kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, kepala itu terlindung dan tidak terluka, akan tetapi kulit kepalanya terasa nyeri sehingga Kun Liong meringis. Akan tetapi Giok Keng juga menyeringai kesakitan ketika buku jari tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat keras!
“Aihhh, kepala gundulmu keras juga, ya?”
Ucapan ini sengaja dikeluarkan bukan untuk mengejek, melainkan karena terheran dan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi membuat Kun Liong makin marah. Tidak saja kepalanya diketak, akan tetapi juga diejek!
“Pukulanmu seperti tahu saja!”
Dia balas mengejek dan balas pula menyerang, akan tetapi karena dia tidak ingin memukul, dia hanya menggunakan tangannya untuk mendorong pundak dara itu dengan tangan terbuka.
“Cih, kiranya engkau manusia cabul!” Giok Keng mengelak.
“Cabul hidungmu!” Kun Liong makin marah. “Siapa yang cabul?”
Dia menjadi makin marah dan mukanya makin merah. Dorongan ke pundak dikatakan cabul, apakah dia disangka akan menggunakan tangannya untuk memegang apa?
“Gundul cabul tak tahu malu! Rasakan hajaran Nona Cia!”
Giok Keng kini menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya sehingga Kun Liong sibuk mengelak ke sana sini. Juga dia kaget setengah mati mendengar bahwa dara di depannya ini adalah Nona Cia. Berarti puteri susioknya! Dia sudah mendengar sepintas lalu dari ayah ibunya bahwa Cia Keng Hong mempunyai seorang puteri kalau tidak salah ingat namanya pakai Keng keng begitu.
“Eh, tahan dulu...! Plak!”
Karena lengah, pundaknya kena dipukul membuat dia terhuyung, akan tetapi tidak apa apa. Hal ini membuat Giok Keng heran dan penasaran, maka dia menerjang lagi.
“Nanti dulu! Desss!” Kun Liong menangkis dengan keras, kini Giok Keng yang terhuyung karena Kun Liong menggunakan sinkang. “Apakah engkau Keng?”
Giok Keng menghentikan scrangannya, dahinya berkeringat sehingga anak rambut di dahi kacau balau dan melekat seperti dilukis, matanya berkilat dan pipinya bertambah merah.
“Apa Keng?” Dia membentak.
“Bukankah namamu memakai Keng-keng begitu? Kau puteri Ketua Cin ling-pai?”
“Banyak cerewet! Rasakan tanganku!”
Giok Keng sudah menyerang lagi dan karena dia dapat menduga bahwa pemuda gundul ini lihai juga serta memiliki kekebalan sehingga dapat menahan pukulannya, maka kini dia menggunakan dua jari tangan kanan kiri, melakukan serangan dengan totokan-totokan yang cepat sekali. Biarpun kebal, jalan darahnya tentu tidak kebal, pikirnya.
“Cusss!”
Serangan bertubi tubi itu akhirnya berhasil dan dada kanan Kun Liong kena ditotok. Akan tetapi karena jalan darah yang ditotoknya itu tidak kena dengan tepat, tubuh Kun Liong tidak menjadi kaku seperti kalau terkena tepat melainkan bergoyang dan menggigil sedikit, kemudian pemuda itu sudah meloncat mundur dan berkata,
“Hemm, engkau mengajak berkelahi, ya? Aku seorang laki laki sejati, tidak mau memukul perempuan, akan tetapi aku harus membela diri.”
“Kau laki-laki apa? Cerewetnya melebihi seorang nenek bawel. Mampuslah!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar