Thian Kek Hwesio memandang Kun Liong dengan terheran-heran lalu bertanya,
“Yap-sicu, apakah yang telah terjadi?”
Kun Liong sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang itu benar-benar mengenal Ketua Siauw-lim-pai! Dengan terus terang dia menjawab,
“Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk mengacau Siauw-lim-si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi pertengkaran.”
Hwesio tua itu tampak kaget sekali.
“Aihhh... engkau tidak tahu siapa yang kau tentang ini, Sicu!” Dia kembali menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata, “Harap Taihiap sudi memaafkan Yap-sicu yang masih amat muda. Sesungguhnya Yap-sicu berniat baik untuk membela Siauw-lim-pai. Dia adalah seorang sahabat kami yang baik... dan Yap-sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan dan Tio-taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!”
Si Pengantuk yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas mencegah Ketua Siauw-lim-pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata,
“Losuhu, marilah kita bicara di dalam saja.”
Hwesio itu mengangguk-angguk, kemudian mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong juga ikut masuk sambil memandang dengan penuh perhatian, diam-diam dia terkejut mendengar disebutnya nama Panglima Besar The Hoo tadi. Kiranya kakek pengantuk itu seorang yang berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya, Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk itu tentu memiliki sin-kang yang amat kuat. Biarpun dia belum pernah mendengar nama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, namun melihat sikap Ketua Siau-wlim-pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek pengantuk ini tentu seorang tokoh kang-ouw yang terkenal.
Memang demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang kelihatan seperti seorang pengantuk itu bukanlah seorang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nama besar Panglima The Hoo siapakah yang tidak mengenalnya? Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang merupakan pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling lihai.
Melihat orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur! Akan tetapi, pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima Besar The Hoo melakukan pelayaran memimpin armada sampai jauh menyeberangi lautan dan menjelajah di negara-negara asing.
Adapun dua orang temannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak buahnya. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan yang tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi pengawal-pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han, berusia empat puluh lima tahun sedangkan sutenya, Si Muka Merah bernama Song Kin berusia empat puluh tahun.
Ketika Tio Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti jenazah, dia terkejut bukan main. Apalagi ketika mendapat keterangan bahwa peti-peti itu terisi jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio!
“Ah... maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan berani datang mengganggu!” katanya dan cepat dia bersama dua orang anak buahnya lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati dengan penuh khidmat.
Setelah selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang menyebabkan kematian dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Thian Kek Hwesio memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
“Omitohud... mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tidak ada yang harus disesalkan dalam menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, kalau Suhu meninggal dunia dengan wajar karena usia beliau sudah amat tua, adalah Sute Thian Le Hwesio meninggal secara menyedihkan sekali.”
Dia lalu menceritakan betapa rombongan piauwsu yang tidak tahu-menahu datang membawa peti yang terisi jenazab Thian Le Hwesio yang terbunuh orang!
“Sungguh penasaran sekali!” Tio Hok Gwan berseru. “Ini merupakan tanda bahwa kaum sesat di dunia kang-ouw sudah mulai berani bergerak lagi!”
Tentu saja hati pengawal ini menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan pembersihan, kaum sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak berani sembarangan bergerak. Kini, wakil Ketua Siauw-lim-pai terbunuh, berarti bahwa kaum sesat agaknya sudah mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan tak langsung kepada pemerintah!
Ketika diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan berkata,
“Harap Tio-taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak mengenal telah bersikap kurang hormat.”
Orang she Tio itu memandang Kun Liong dengan mata hampir terpejam, kemudian mengangguk-angguk dan memuji,
“Yap-sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami kagum sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar bahwa Sicu adalah putera tunggal Yap Cong San yang kami kenal. Siauw-lim-pai boleh merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti Sicu yang setia dan menjaga Siauw-lim-pai dengan gagah.”
Sebagai tamu-tamu yang dihormati, tiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan makan, sungguhpun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang bersahaja dan minumnya hanya air dan teh tanpa setetespun arak!
Kun Liong yang dianggap “keluarga sendiri” juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua Siauw-lim-pai bertanya,
“Pinceng mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentulah membawa urusan yang amat penting. Pinceng harap Sam-wi tidak bersikap sungkan, dan biarpun di sini sedang tertimpa malapetaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam-wi. Maka harap Sam-wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam-wi bawa dari kota raja.”
Tio Hok Gwan menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut menceritakan keperluan kedatangannya. Akhirnya dia berkata setelah beberapa kali meragu,
“Memang benar apa yang Losuhu katakan. Kalau kami tahu bahwa di Siauw-lim-pai terjadi hal yang amat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami hanya khusus untuk melayat dan berkabung. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kami datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri.”
Thian Kek Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang itu,
“Pinceng dan para anak murid Siauw-lim-pai siap untuk melaksanakan perintah Yang Mulia Panglima The.”
“Terima kasih atas kebaikan Losuhu. Sebetulnya tidak ada permintaan sesuatu kepada Losuhu dan Siauw-lim-pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan mengingat akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim-pai dengan dunia kang-ouw, kami ingin mohon bantuan Siauw-lim-pai dalam hal ini.”
Thian Kek Hwesio menarik napas lega. Jelas, bahwa urusan itu tidak langsung menyangkut Siauw-lim-pai sehingga tidak akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan sikap ramah dia berkata,
“Harap Tio-taihiap tidak bersikap sungkan dan ceritakanlah, bantuan apa yang dapat kami berikan kepada Taihiap demi terlaksananya perintah yang mulia itu.”
Tio Hok Gwan lalu bercerita dengan suara perlahan namun jelas,
“Panglima The telah kehilangan sebuah pusaka, belasan tahun yang lalu dan hal ini tadinya dirahasiakan saja dan tidak dibocorkan ke luar karena telah diketahui bahwa yang mencuri dan melarikan pusaka itu adalah seorang pengawal panglima sendiri. Diam-diam panglima mengutus orang-orang kepercayaannya untuk melakukan pengejaran dan mencari pengawal yang mencuri pusaka itu. Namun semua usaha sia-sia belaka, sampai terdengar kabar bahwa pengawal yang berkhianat itu ternyata telah kehilangan pusaka yang dicurinya, dan kabarnya pusaka itu hilang tenggelam di Sungai Huang-ho.
Sepuluh tahun yang lalu, pengawal khianat itu terbunuh bersama anak buahnya yang telah menjadi bajak sungai, dan pusaka itu masih belum diketahui berada di mana. Hanya ada kabar angin yang mengatakan bahwa pusaka itu telah diangkat dari dasar sungai, akan tetapi tidak seorang pun tahu siapa yang membawanya. Kemudian kami mendengar berita pula bahwa pada saat pergawal khianat dan anak buahnya tewas, di sekitar daerah itu tampak bayangan Siang-tok Mo-li. Kami masih meragukan semua berita itu dan mengingat akan pengetahuan Losuhu yang amat luas, kami sengaja datang menghadap mohon petunjuk.”
Jantung Kun Liong berdebar tegang mendengar penuturan itu. Tidak salah lagi tentu bokor emas yang dimaksudkan oleh Tio Hok Gwan ini. Dia mendengar disebutnya nama Siang-tok Mo-li, teringat dia kepada Bi Kiok yang manis!
Bi Kiok tentu sekarang telah menjadi seorang dara yang cantik manis! Dan dara itu pernah monolongnya, dua kali malah telah menolongnya. Pertama ketika bersama mendiang kakeknya, Bi Kiok menyelamatkannya dari gelombang air Sungai Huang-ho. Kedua kalinya ketika Bi Kiok membebaskannya pada waktu dia menjadi tawanan para tokoh Pek-lian-kauw dan Ketua Ui-hong-pang. Betapa manisnya anak itu! Kun Liong tak sengaja tersenyum ketika membayangkan wajah Bi Kiok.
Melihat pemuda gundul itu tersenyum-senyum, diam-diam Tio Hok Gwan melirik dengan penuh perhatian dan selidik. Sementara itu, Thian Kek Hwesio sudah berkata,
“Pinceng sendiri tidak pernah mendengar akan urusan itu, Taihiap. Akan tetapi pinceng akan mengumpulkan semua anak murid dan memperingatkan mereka agar memasang mata telinga, juga bertanya-tanya di dunia kang-ouw kepada para sahabat. Tentu saja kami akan segera melapor kalau ada berita bahkan pinceng akan memerintahkan kepada para anak murid untuk membantu Taihiap mendapatkan kembali pusaka itu.”
“Terima kasih atas kebaikan hati Losuhu. Eh, Yap-sicu, agaknya Sicu mempunyai suatu pendapat yang ada hubungannya dengan urusan ini, bukan?”
Kun Liong yang sedang termenung membayangkan wajah Bi Kiok yang manis itu, terkejut mendengar teguran ini.
“Ahh, saya hanya merasa heran mengapa seperti yang sering kali saya dengar, di dunia kang-ouw banyak terjadi perebutan pusaka-pusaka. Pusaka apa pula yang Taihiap ceritakan tadi? Sebuah senjatakah ataukah sebuah kitab?”
“Benar sekali pertanyaan itu, pinceng sendiri pun perlu mengetahui apa macamnya Pusaka yang hilang itu.” Thian Kek Hwesio berkata.
“Pusaka dari The-ciangkun itu adalah sebuah bokor emas kuno yang amat berharga.”
“Sebuah bokor emas...?” Thian Kek Hwesio berkata sambil mengangguk-angguk.
“Kalau hanya emas yang merupakan harta, mengapa orang-orang gagah di dunia kang-ouw sampai berebutan? Sungguh tiada bedanya dengan para perampok saja sikap ini!”
Kun Liong berkata lagi, diam-diam jantungnya makin keras berdebar karena ternyata dugaannya tepat, pusaka yang dimaksudkan itu adalah bokor emas yang telah dia sembunyikan!
Tio Hok Gwan menghela napas panjang.
“Agaknya engkau tidak tahu, Yap-sicu. Kalau hanya emas belaka, kiranya Panglima The tidak akan menyimpannya dan menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang berharga. Kami hanya mengharapkan bantuan Losuhu, juga bantuan Yap-sicu yang kami anggap sebagai orang sendiri sehingga kami ceritakan semua tentang pusaka.”
“Jangan khawatir, Taihiap. Setelah kami selesai dengan perkabungan kami, tentu kami akan bekerja keras membantu melakukan penyelidikan tentang bokor emas itu,” kata Thian Kek Hwesio.
“Saya pun akan berusaha membantu, Tio-taihiap. Saya akan membantu menyelidiki dan kalau saya beruntung dapat menemukan benda pusaka itu, tentu akan saya persembahkan sendiri kepada Panglima The yang mulia.”
Thio Hok Gwan menghaturkan terima kasih, kemudian bersama kedua orang pembantunya, dia segera berpamit den meninggalkan kuil yang sedang berkabung itu.
Kun Liong tetap tinggal di dalam kuil, membantu persiapan yang diadakan oleh Siauw-lim-pai untuk menerima kedatangan para tamu yang tentu akan membanjiri Siauw-lim-si untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dua orang tokoh besar itu. Selain merasa berkewajiban untuk membantu, juga Kun Liong sengaja hendak menanti dengan penuh harapan ayah bundanya akan datang pula ke Siauw-lim-si.
Ayahnya adalah murid Tiang Pek Hosiang dan bekas tokoh Siauw-lim-pai, dia merasa yakin ayahnya akan datang kalau mendengar akan kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio yang menjadi suhengnya. Selain mengharapkan kedatangan ayah bundanya di kuil Siauw-lim-si, juga Kun Liong ingin sekali mellhat dan bertemu dengan para tokoh kang-ouw yang diduga tentu akan datang memberi penghormatan terakhir kepada jenazah seorang tokoh besar seperti Tiang Pek Hosiang.
“Yap-sicu, apakah yang telah terjadi?”
Kun Liong sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang itu benar-benar mengenal Ketua Siauw-lim-pai! Dengan terus terang dia menjawab,
“Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk mengacau Siauw-lim-si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi pertengkaran.”
Hwesio tua itu tampak kaget sekali.
“Aihhh... engkau tidak tahu siapa yang kau tentang ini, Sicu!” Dia kembali menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata, “Harap Taihiap sudi memaafkan Yap-sicu yang masih amat muda. Sesungguhnya Yap-sicu berniat baik untuk membela Siauw-lim-pai. Dia adalah seorang sahabat kami yang baik... dan Yap-sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan dan Tio-taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!”
Si Pengantuk yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas mencegah Ketua Siauw-lim-pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata,
“Losuhu, marilah kita bicara di dalam saja.”
Hwesio itu mengangguk-angguk, kemudian mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong juga ikut masuk sambil memandang dengan penuh perhatian, diam-diam dia terkejut mendengar disebutnya nama Panglima Besar The Hoo tadi. Kiranya kakek pengantuk itu seorang yang berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya, Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk itu tentu memiliki sin-kang yang amat kuat. Biarpun dia belum pernah mendengar nama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, namun melihat sikap Ketua Siau-wlim-pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek pengantuk ini tentu seorang tokoh kang-ouw yang terkenal.
Memang demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang kelihatan seperti seorang pengantuk itu bukanlah seorang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nama besar Panglima The Hoo siapakah yang tidak mengenalnya? Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang merupakan pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling lihai.
Melihat orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur! Akan tetapi, pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima Besar The Hoo melakukan pelayaran memimpin armada sampai jauh menyeberangi lautan dan menjelajah di negara-negara asing.
Adapun dua orang temannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak buahnya. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan yang tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi pengawal-pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han, berusia empat puluh lima tahun sedangkan sutenya, Si Muka Merah bernama Song Kin berusia empat puluh tahun.
Ketika Tio Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti jenazah, dia terkejut bukan main. Apalagi ketika mendapat keterangan bahwa peti-peti itu terisi jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio!
“Ah... maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan berani datang mengganggu!” katanya dan cepat dia bersama dua orang anak buahnya lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati dengan penuh khidmat.
Setelah selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang menyebabkan kematian dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Thian Kek Hwesio memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
“Omitohud... mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tidak ada yang harus disesalkan dalam menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, kalau Suhu meninggal dunia dengan wajar karena usia beliau sudah amat tua, adalah Sute Thian Le Hwesio meninggal secara menyedihkan sekali.”
Dia lalu menceritakan betapa rombongan piauwsu yang tidak tahu-menahu datang membawa peti yang terisi jenazab Thian Le Hwesio yang terbunuh orang!
“Sungguh penasaran sekali!” Tio Hok Gwan berseru. “Ini merupakan tanda bahwa kaum sesat di dunia kang-ouw sudah mulai berani bergerak lagi!”
Tentu saja hati pengawal ini menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan pembersihan, kaum sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak berani sembarangan bergerak. Kini, wakil Ketua Siauw-lim-pai terbunuh, berarti bahwa kaum sesat agaknya sudah mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan tak langsung kepada pemerintah!
Ketika diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan berkata,
“Harap Tio-taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak mengenal telah bersikap kurang hormat.”
Orang she Tio itu memandang Kun Liong dengan mata hampir terpejam, kemudian mengangguk-angguk dan memuji,
“Yap-sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami kagum sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar bahwa Sicu adalah putera tunggal Yap Cong San yang kami kenal. Siauw-lim-pai boleh merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti Sicu yang setia dan menjaga Siauw-lim-pai dengan gagah.”
Sebagai tamu-tamu yang dihormati, tiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan makan, sungguhpun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang bersahaja dan minumnya hanya air dan teh tanpa setetespun arak!
Kun Liong yang dianggap “keluarga sendiri” juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua Siauw-lim-pai bertanya,
“Pinceng mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentulah membawa urusan yang amat penting. Pinceng harap Sam-wi tidak bersikap sungkan, dan biarpun di sini sedang tertimpa malapetaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam-wi. Maka harap Sam-wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam-wi bawa dari kota raja.”
Tio Hok Gwan menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut menceritakan keperluan kedatangannya. Akhirnya dia berkata setelah beberapa kali meragu,
“Memang benar apa yang Losuhu katakan. Kalau kami tahu bahwa di Siauw-lim-pai terjadi hal yang amat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami hanya khusus untuk melayat dan berkabung. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kami datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri.”
Thian Kek Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang itu,
“Pinceng dan para anak murid Siauw-lim-pai siap untuk melaksanakan perintah Yang Mulia Panglima The.”
“Terima kasih atas kebaikan Losuhu. Sebetulnya tidak ada permintaan sesuatu kepada Losuhu dan Siauw-lim-pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan mengingat akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim-pai dengan dunia kang-ouw, kami ingin mohon bantuan Siauw-lim-pai dalam hal ini.”
Thian Kek Hwesio menarik napas lega. Jelas, bahwa urusan itu tidak langsung menyangkut Siauw-lim-pai sehingga tidak akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan sikap ramah dia berkata,
“Harap Tio-taihiap tidak bersikap sungkan dan ceritakanlah, bantuan apa yang dapat kami berikan kepada Taihiap demi terlaksananya perintah yang mulia itu.”
Tio Hok Gwan lalu bercerita dengan suara perlahan namun jelas,
“Panglima The telah kehilangan sebuah pusaka, belasan tahun yang lalu dan hal ini tadinya dirahasiakan saja dan tidak dibocorkan ke luar karena telah diketahui bahwa yang mencuri dan melarikan pusaka itu adalah seorang pengawal panglima sendiri. Diam-diam panglima mengutus orang-orang kepercayaannya untuk melakukan pengejaran dan mencari pengawal yang mencuri pusaka itu. Namun semua usaha sia-sia belaka, sampai terdengar kabar bahwa pengawal yang berkhianat itu ternyata telah kehilangan pusaka yang dicurinya, dan kabarnya pusaka itu hilang tenggelam di Sungai Huang-ho.
Sepuluh tahun yang lalu, pengawal khianat itu terbunuh bersama anak buahnya yang telah menjadi bajak sungai, dan pusaka itu masih belum diketahui berada di mana. Hanya ada kabar angin yang mengatakan bahwa pusaka itu telah diangkat dari dasar sungai, akan tetapi tidak seorang pun tahu siapa yang membawanya. Kemudian kami mendengar berita pula bahwa pada saat pergawal khianat dan anak buahnya tewas, di sekitar daerah itu tampak bayangan Siang-tok Mo-li. Kami masih meragukan semua berita itu dan mengingat akan pengetahuan Losuhu yang amat luas, kami sengaja datang menghadap mohon petunjuk.”
Jantung Kun Liong berdebar tegang mendengar penuturan itu. Tidak salah lagi tentu bokor emas yang dimaksudkan oleh Tio Hok Gwan ini. Dia mendengar disebutnya nama Siang-tok Mo-li, teringat dia kepada Bi Kiok yang manis!
Bi Kiok tentu sekarang telah menjadi seorang dara yang cantik manis! Dan dara itu pernah monolongnya, dua kali malah telah menolongnya. Pertama ketika bersama mendiang kakeknya, Bi Kiok menyelamatkannya dari gelombang air Sungai Huang-ho. Kedua kalinya ketika Bi Kiok membebaskannya pada waktu dia menjadi tawanan para tokoh Pek-lian-kauw dan Ketua Ui-hong-pang. Betapa manisnya anak itu! Kun Liong tak sengaja tersenyum ketika membayangkan wajah Bi Kiok.
Melihat pemuda gundul itu tersenyum-senyum, diam-diam Tio Hok Gwan melirik dengan penuh perhatian dan selidik. Sementara itu, Thian Kek Hwesio sudah berkata,
“Pinceng sendiri tidak pernah mendengar akan urusan itu, Taihiap. Akan tetapi pinceng akan mengumpulkan semua anak murid dan memperingatkan mereka agar memasang mata telinga, juga bertanya-tanya di dunia kang-ouw kepada para sahabat. Tentu saja kami akan segera melapor kalau ada berita bahkan pinceng akan memerintahkan kepada para anak murid untuk membantu Taihiap mendapatkan kembali pusaka itu.”
“Terima kasih atas kebaikan hati Losuhu. Eh, Yap-sicu, agaknya Sicu mempunyai suatu pendapat yang ada hubungannya dengan urusan ini, bukan?”
Kun Liong yang sedang termenung membayangkan wajah Bi Kiok yang manis itu, terkejut mendengar teguran ini.
“Ahh, saya hanya merasa heran mengapa seperti yang sering kali saya dengar, di dunia kang-ouw banyak terjadi perebutan pusaka-pusaka. Pusaka apa pula yang Taihiap ceritakan tadi? Sebuah senjatakah ataukah sebuah kitab?”
“Benar sekali pertanyaan itu, pinceng sendiri pun perlu mengetahui apa macamnya Pusaka yang hilang itu.” Thian Kek Hwesio berkata.
“Pusaka dari The-ciangkun itu adalah sebuah bokor emas kuno yang amat berharga.”
“Sebuah bokor emas...?” Thian Kek Hwesio berkata sambil mengangguk-angguk.
“Kalau hanya emas yang merupakan harta, mengapa orang-orang gagah di dunia kang-ouw sampai berebutan? Sungguh tiada bedanya dengan para perampok saja sikap ini!”
Kun Liong berkata lagi, diam-diam jantungnya makin keras berdebar karena ternyata dugaannya tepat, pusaka yang dimaksudkan itu adalah bokor emas yang telah dia sembunyikan!
Tio Hok Gwan menghela napas panjang.
“Agaknya engkau tidak tahu, Yap-sicu. Kalau hanya emas belaka, kiranya Panglima The tidak akan menyimpannya dan menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang berharga. Kami hanya mengharapkan bantuan Losuhu, juga bantuan Yap-sicu yang kami anggap sebagai orang sendiri sehingga kami ceritakan semua tentang pusaka.”
“Jangan khawatir, Taihiap. Setelah kami selesai dengan perkabungan kami, tentu kami akan bekerja keras membantu melakukan penyelidikan tentang bokor emas itu,” kata Thian Kek Hwesio.
“Saya pun akan berusaha membantu, Tio-taihiap. Saya akan membantu menyelidiki dan kalau saya beruntung dapat menemukan benda pusaka itu, tentu akan saya persembahkan sendiri kepada Panglima The yang mulia.”
Thio Hok Gwan menghaturkan terima kasih, kemudian bersama kedua orang pembantunya, dia segera berpamit den meninggalkan kuil yang sedang berkabung itu.
Kun Liong tetap tinggal di dalam kuil, membantu persiapan yang diadakan oleh Siauw-lim-pai untuk menerima kedatangan para tamu yang tentu akan membanjiri Siauw-lim-si untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dua orang tokoh besar itu. Selain merasa berkewajiban untuk membantu, juga Kun Liong sengaja hendak menanti dengan penuh harapan ayah bundanya akan datang pula ke Siauw-lim-si.
Ayahnya adalah murid Tiang Pek Hosiang dan bekas tokoh Siauw-lim-pai, dia merasa yakin ayahnya akan datang kalau mendengar akan kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio yang menjadi suhengnya. Selain mengharapkan kedatangan ayah bundanya di kuil Siauw-lim-si, juga Kun Liong ingin sekali mellhat dan bertemu dengan para tokoh kang-ouw yang diduga tentu akan datang memberi penghormatan terakhir kepada jenazah seorang tokoh besar seperti Tiang Pek Hosiang.
**** 049 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar