Tentu saja tidak ada penjaga yang merintangi larinya Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang masih berteriak-teriak memaki dan meronta-ronta itu. Ia memasuki sebuah hutan lebat yang sunyi, kemudian sambil tertawa-tawa dia merenggut pakaian Yan Cu, menelanjangi gadis itu yang menyepak-nyepak dan meronta-ronta tanpa hasil.
Melihat tubuh yang menggairahkan itu di bawah sinar bulan, nafsu berahi bernyala-nyala di dalam hatinya dan dia lalu melemparkan tubuh Yan Cu ke atas rumput, sambil menyeringai dia tergesa-gesa melepas bajunya sendiri kemudian dia mendekati tubuh Yan Cu. Yan Cu menggulingkan tubuhnya, berusaha menjauhi orang yang mengerikan itu.
Tentu saja usahanya sia-sia saja karena sambil tertawa-tawa seenaknya raksasa gendut itu melangkah lebar mengikuti ke mana tubuh gadis itu bergulingan, lagaknya seperti seekor kucing mempermainkan tikus dan hendak mempermainkan dulu sepuasnya sebelum akhirnya menerkamnya.
Yan Cu mengerti bahwa dia tak mungkin dapat membebaskan diri, maka ketika melihat tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah jurang, tiba-tiba ia menggerakkan tenaga dengan kaki dan tangan menekan tanah dan tubuhnya sudah meloncat untuk terjun ke jurang. Dia memilih hancur ke dalam jurang daripada menjadi korban perkosaan Thai-lek Sin-mo. Akan tetapi, lengan raksasa itu sudah menyambarnya.
"Ha-ha-ha, tidak boleh, Manis!" kata raksasa itu dan membawa tubuh Yan Cu ke tempat tadi, merebahkan di atas rumput dan dia sendiri berlutut.
Yan Cu memejamkan mata, tak tertahan lagi ia terisak menghadapi saat yang mengerikan itu.
"Keparat, lepaskan dia!" Tiba-tiba Cong San muncul dan mengirim pukulan dari belakang.
"Aihhh!"
Cong San terkejut dan cepat meloncat bangun sambil menangkis. Ke dua lengan mereka bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Ternyata tenaga raksasa itu benar-benar hebat sekali.
Untung bahwa Cong San tidak terlambat datangnya dan bahwa Thai-lek Sin-mo hendak mempermainkan dulu korbannya sehingga gadis itu terhindar daripada perkosaan. Ketika tadi melihat Thai-lek Sin-mo melarikan Yan Cu, Cong San cepat berkelebat keluar, kaki tangannya bergerak cepat merobohkan empat orang penjaga di depan pintu kamar tahanan sehingga mereka roboh tanpa sempat berteriak lagi, kemudian Cong San menyelinap keluar, mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk meloncat-loncat dan menyelinap di antara pohon-pohon mengejar Thai-lek Sin-mo.
Kalau saja dia tidak mendengar suara Thai-lek Sin-mo tertawa-tawa, agaknya akan sukar baginya untuk dapat menyusul dengan cepat. Ketika melihat raksasa itu berlutut dan Yan Cu menangis, kemarahan membuat dada Cong San seperti hendak meledak maka dia langsung mengirim pukulan yang dapat ditangkis oleh raksasa gendut itu.
"Tar-tar-tarrr...!"
Thai-lek Sin-mo sudah melolos cambuk bajanya menyerang Cong San. Raksasa gendut ini marah sekali karena dalam saat terakhir ketika dia hendak mendekati korbannya muncul pemuda ini yang sama sekali tidak disangkanya. Dia tidak sempat lagi menyelidiki bagaimana pemuda itu dapat terlepas dan muncul, kemarahan membuat dia gelap mata dan langsung menyerang kalang kabut dengan sambaran pecut bajanya yang lihai.
Cong San bertangan kosong. Kedua macam senjatanya, yaitu senjata rahasia Touw-kut-chi (Uang logam Penebus Tulang) dan sepasang Im-yang-pit telah dirampas musuh. Namun pemuda gemblengan ketua Siauw-lim-pai ini bersikap tenang dan tabah. Melihat gulungan sinar hitam dari pecut baja lawan yang menyambar-nyambar, dia lalu mengerahkan ginkangnya, melesat ke kanan kiri dan berusaha membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan dekat.
"Yap Cong San manusia hina! Aku tidak membutuhkan bantuanmu!"
Terdengar Yan Cu memaki, menahan isak. Hatinya masih panas sekali mengingat akan sikap Cong San dalam kamar tahanan tadi yang seolah-olah tidak memperdulikan nasibnya malah memberi nasihat kepada raksasa gendut untuk melarikannya dan memperkosanya di dalam hutan.
Sambil meloncat tinggi mengelak sambaran pecut yang menyerampang kakinya, Cong San membela diri terhadap makian gadis yang menjatuhkan hatinya itu,
"Harap jangan salah sangka, Moi-moi. Aku sengaja memancing dia ke tempat sunyi ini agar dapat menolongmu tanpa gangguan musuh-musuh yang lain!"
"Oohhh... maaf... maaf...!"
Yan Cu kini terisak lagi seperti tadi, hanya bedanya, kini ia terisak karena menyesal akan dugaannya yang keliru sehingga dia memaki pemuda itu, dan karena girang mengharapkan pertolongan.
Mendengar isak tangis gadis itu, Cong San mendapat semangat baru dan gerakkannya makin lincah. Ketika cambuk itu dengan suara bercuitan menyambar lehernya, dia mengerahkan sinkang, membiarkan ujung cambuk baja membelit leher, namun secepat kilat dia menangkap cambuk dan kedua kakinya mengirim tendangan berantai ke arah pusar dan tangan lawan yang memegang cambuk.
Gerakannya cepat sekali, juga amat kuatnya. Dalam hal ilmu silat, memang pemuda ini masih menang setingkat dibandingkan lawannya, menang cepat dan ilmu silatnya lebih murni, gerakannya lebih teratur, hanya dalam hal tenaga dia kalah sedikit.
Menghadapi tendangan yang susul-menyusul amat cepatnya ini, Cou Seng terkejut dan mengeluarkan gerengan dahsyat ketika dia terpaksa melepaskan gagang cambuk untuk menyelamatkan pergelangan tangannya dari sebuah tendangan kilat. Cong San cepat melepaskan cambuk dan melempar cambuk itu jauh dari tempat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba lawannya yang bertubuh gemuk bundar itu sudah menubruknya dan tahu-tahu kedua lengan yang berbulu dan besar telah memeluk pinggangnya. Betapapun Cong San mengerahkan tenaga, tetap saja tubuhnya terangkat ke atas dan di banting!
"Brukkk!”
Tubuh Cong San terguling-guling dan kembali raksasa gendut itu menubruk. Namun sekali ini Cong San yang merasa sakit-sakit pinggul dan punggungnya, telah siap dan kakinya menendang dari bawah.
"Desssss!"
Tubuh yang sedang menubruk maju itu kena ditendang dadanya. Raksasa itu terbatuk-batuk dan napasnya seperti akan putus. Ternyata dia kuat sekali karena ketika Cong San meloncat bangun dan memukul ke arah ulu hatinya dengan pukulan keras, raksasa itu masih dapat mengelak miring dan tahu-tahu lengan kanan Cong San sudah ditangkapnya. Dengan jurus ilmu gulat yang tidak dikenal Cong San, tahu-tahu lengan itu dipelintir dan tubuh Cong San sudah ditelikung, hendak dipatahkan sambungan lengan dari pundaknya!
Cong San merasa betapa pundaknya nyeri bukan main. Cepat dia membalik, mengendorkan lengan kanan yang hendak dipatahkan, jari tangan kirinya menyambar dan menotok pinggang lawan karena keadaan tubuhnya sudah dihimpit ke bawah. Sedetik saja dia terlambat tentu sudah terlepas sambungan lengannya dari pundak! Totokan itu membuat tubuh Cou Seng tiba-tiba lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cong San untuk merenggut lengannya terlepas, kemudian secepat kilat dia menamparkan tangan kirinya ke arah kepala lawan yang masih lemas dan belum pulih kekuatannya itu.
Kalau tamparan itu mengenai sasaran, betapa pun kebal tubuh Cou Seng, tentu akan pecah kepalanya. Akan tetapi, Cou Seng bukanlah seorang lemah dan dia sudah mengalami banyak perkelahian mati-matian. Biar pun kepalanya pening dan tubuhnya lemas akibat totokan di pinggangnya tadi, melihat datangnya tamparan, dia sempat melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan sehingga jalan darahnya pulih kebali.
Ketika Con San meloncat mengejar dan mengirim tendangan, tangan kirinya menyambar. Ia memang ahli dalam ilmu gulat yang menggunakan kecepatan gerak jari tangan untuk menangkap bagian tubuh lawan. Kini jari-jari tangan kirinya berhasil menangkap tumit kaki Cong San yang menendang, lalu menggunakan tenaga sentakan karena untuk memegang terlalu lama pun berbahaya baginya.
Cong San mengeluarkan seruan kaget. Untuk menjaga kakinya yang bisa terkilir atau bahkan patah, dia tidak melawan, bahkan mengikuti gerak putaran lawan sehingga tubuhnya terbanting ke kiri. Terbanting keras namun cepat dia melanjutkan bantingan itu dengan loncatan ke atas berjungkir balik beberapa kali. Setelah dia meloncat turun, dia melihat Cou Seng sudah lari. Celaka, pikirnya, kalau setan itu memanggil kawan-kawannya, dia dan Yan Cu akan tertawan kembali! Cepat dia mengambil sebuah batu dan dengan kepandaiannya menyambitkan senjata rahasianya, batu itu melayang ke arah tubuh Cou Seng.
"Aduhhh...!"
Tubuh raksasa itu terguling. Cong San cepat meloncat dekat dan hampir saja dia menjadi korban tipu muslihat Thai-lek Sin-mo. Ketika pemuda ini membungkuk, tiba-tiba kedua tangan raksasa itu menyambar ke atas hendak mencekik leher.
"Aihhh...!"
Cong San cepat menggunakan tangannya, bukan menangkis karena dia sudah maklum akan kekuatan kedua tangan yang sudah menyentuh kulit lehernya sehingga tangkisan mungkin takkan menyelamatkan lehernya yang tentu akan remuk oleh cengkeraman lawan. Sebaliknya dia menggunakan kedua lengan lawan dekat siku. Pemuda murid Siauw-lim-pai ini memang ahli totok jalan darah karena sepasang senjatanya, Im-yang-pit memang merupakan senjata untuk menotok. Tentu saja totokannya tepat mengenai sasaran sehingga kedua lengan lawan menjadi lumpuh dan cekikan itu pun terlepas.
Cou Seng memang hebat sekali ilmu gulatnya. Kedua lengannya sudah lumpuh untuk sementara, akan tetapi kedua kakinya tidak dan sebelum Cong San tahu apa yang akan dilakukan oleh jago gulat yang lihai ini, tahu-tahu kedua kaki raksasa gendut itu sudah membelit dan "menggunting" kedua kakinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, tubuhnya terguling menindih tubuh Cou Seng.
Hebatnya, raksasa gendut ini biarpun perutnya gendut seperti kerbau, ternyata gerakan tubuhnya di atas tanah cepat bukan main karena begitu lawan roboh karena dia "sengkelit" kakinya, dia sudah menggulingkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya sendiri yang besar dan berat sudah menindih malang pada tubuh Cong San!
Dalam keadaan rebah tertelungkup ditindih tubuh sebesar Thai-lek Sin-mo yang masih menggunakan tenaga itu sama saja dengan ditindih tubuh seekor gajah sehingga Cong San sampai tak mampu berkutik!
Masih untung bagi murid Siauw-li-pai itu bahwa kedua tangan lawannya masih setengah lupun, karena kalau kedua tangan lawannya sudah pulih tenaganya, dalam keadaan tertelungkup dan terhimpit itu tentu saja lawannya akan dapat mengirim pukulan maut dengan amat mudahnya!
Cong San cepat menjangkau untuk meraih dan memukul, akan tetapi jago gulat itu sudah memperhitungkan ini sehingga dia menghimpit tubuh bagian bawah lawan, dan kedua tangan Cong San tidak dapat memukulnya. Dalam keadaan amat berbahaya ini, Cong San tidak memperdulikan lagi akan penuturan kaum persilatan karena lawannya pun menggunakan ilmu gulat. Ia mencengkeram ke atas dan berhasil menjambak rambut lawan yang terurai lepas, terus menarik rambut itu sekuatnya.
"Wadouuhhh...!"
Kulit Thai-lek Sin-mo boleh jadi kebal, akan tetapi kalau akar-akar rambutnya hendak tercabut, sakitnya bukan kepalang dan terpaksa dia menjulurkan kepalanya agar tidak terlalu keras tertarik. Namun gerakannya inilah yang mencelakakannya karena kini tangan Cong San dapat bergerak cepat, melepas rambut dan jari tangannya di tusukkan ke ubun-ubun lawan.
"Crokkk!"
Tiga buah jari tangan pemuda itu amblas memasuki batok kepala kurang lebih lima senti dalamnya, menembus otak. Teriakan dahsyat keluar dari mulut Cou Seng, tubuhnya berkelojotan dan nyawanya melayang. Cong San keluar dari himpitan tubuh berat itu, memandang dan setelah merasa pasti bahwa lawannya tewas, dia lalu lari menghampiri Yan Cu.
Melihat keadaan gadis yang telanjang bulat, Cong San cepat menyambar pakaian gadis itu dan dengan menahan debaran jantungnya serta menahan agar matanya tidak terlalu liar memandang tubuh itu, dia mengenakan pakaian pada tubuh Yan Cu sedapatnya. Yan Cu membantu sebisanya dengan gerakan tubuh karena kedua tangannya terbelenggu ke belakang sedangkan kedua kakinya masih terbelenggu pula.
Melihat tubuh yang menggairahkan itu di bawah sinar bulan, nafsu berahi bernyala-nyala di dalam hatinya dan dia lalu melemparkan tubuh Yan Cu ke atas rumput, sambil menyeringai dia tergesa-gesa melepas bajunya sendiri kemudian dia mendekati tubuh Yan Cu. Yan Cu menggulingkan tubuhnya, berusaha menjauhi orang yang mengerikan itu.
Tentu saja usahanya sia-sia saja karena sambil tertawa-tawa seenaknya raksasa gendut itu melangkah lebar mengikuti ke mana tubuh gadis itu bergulingan, lagaknya seperti seekor kucing mempermainkan tikus dan hendak mempermainkan dulu sepuasnya sebelum akhirnya menerkamnya.
Yan Cu mengerti bahwa dia tak mungkin dapat membebaskan diri, maka ketika melihat tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah jurang, tiba-tiba ia menggerakkan tenaga dengan kaki dan tangan menekan tanah dan tubuhnya sudah meloncat untuk terjun ke jurang. Dia memilih hancur ke dalam jurang daripada menjadi korban perkosaan Thai-lek Sin-mo. Akan tetapi, lengan raksasa itu sudah menyambarnya.
"Ha-ha-ha, tidak boleh, Manis!" kata raksasa itu dan membawa tubuh Yan Cu ke tempat tadi, merebahkan di atas rumput dan dia sendiri berlutut.
Yan Cu memejamkan mata, tak tertahan lagi ia terisak menghadapi saat yang mengerikan itu.
"Keparat, lepaskan dia!" Tiba-tiba Cong San muncul dan mengirim pukulan dari belakang.
"Aihhh!"
Cong San terkejut dan cepat meloncat bangun sambil menangkis. Ke dua lengan mereka bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Ternyata tenaga raksasa itu benar-benar hebat sekali.
Untung bahwa Cong San tidak terlambat datangnya dan bahwa Thai-lek Sin-mo hendak mempermainkan dulu korbannya sehingga gadis itu terhindar daripada perkosaan. Ketika tadi melihat Thai-lek Sin-mo melarikan Yan Cu, Cong San cepat berkelebat keluar, kaki tangannya bergerak cepat merobohkan empat orang penjaga di depan pintu kamar tahanan sehingga mereka roboh tanpa sempat berteriak lagi, kemudian Cong San menyelinap keluar, mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk meloncat-loncat dan menyelinap di antara pohon-pohon mengejar Thai-lek Sin-mo.
Kalau saja dia tidak mendengar suara Thai-lek Sin-mo tertawa-tawa, agaknya akan sukar baginya untuk dapat menyusul dengan cepat. Ketika melihat raksasa itu berlutut dan Yan Cu menangis, kemarahan membuat dada Cong San seperti hendak meledak maka dia langsung mengirim pukulan yang dapat ditangkis oleh raksasa gendut itu.
"Tar-tar-tarrr...!"
Thai-lek Sin-mo sudah melolos cambuk bajanya menyerang Cong San. Raksasa gendut ini marah sekali karena dalam saat terakhir ketika dia hendak mendekati korbannya muncul pemuda ini yang sama sekali tidak disangkanya. Dia tidak sempat lagi menyelidiki bagaimana pemuda itu dapat terlepas dan muncul, kemarahan membuat dia gelap mata dan langsung menyerang kalang kabut dengan sambaran pecut bajanya yang lihai.
Cong San bertangan kosong. Kedua macam senjatanya, yaitu senjata rahasia Touw-kut-chi (Uang logam Penebus Tulang) dan sepasang Im-yang-pit telah dirampas musuh. Namun pemuda gemblengan ketua Siauw-lim-pai ini bersikap tenang dan tabah. Melihat gulungan sinar hitam dari pecut baja lawan yang menyambar-nyambar, dia lalu mengerahkan ginkangnya, melesat ke kanan kiri dan berusaha membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan dekat.
"Yap Cong San manusia hina! Aku tidak membutuhkan bantuanmu!"
Terdengar Yan Cu memaki, menahan isak. Hatinya masih panas sekali mengingat akan sikap Cong San dalam kamar tahanan tadi yang seolah-olah tidak memperdulikan nasibnya malah memberi nasihat kepada raksasa gendut untuk melarikannya dan memperkosanya di dalam hutan.
Sambil meloncat tinggi mengelak sambaran pecut yang menyerampang kakinya, Cong San membela diri terhadap makian gadis yang menjatuhkan hatinya itu,
"Harap jangan salah sangka, Moi-moi. Aku sengaja memancing dia ke tempat sunyi ini agar dapat menolongmu tanpa gangguan musuh-musuh yang lain!"
"Oohhh... maaf... maaf...!"
Yan Cu kini terisak lagi seperti tadi, hanya bedanya, kini ia terisak karena menyesal akan dugaannya yang keliru sehingga dia memaki pemuda itu, dan karena girang mengharapkan pertolongan.
Mendengar isak tangis gadis itu, Cong San mendapat semangat baru dan gerakkannya makin lincah. Ketika cambuk itu dengan suara bercuitan menyambar lehernya, dia mengerahkan sinkang, membiarkan ujung cambuk baja membelit leher, namun secepat kilat dia menangkap cambuk dan kedua kakinya mengirim tendangan berantai ke arah pusar dan tangan lawan yang memegang cambuk.
Gerakannya cepat sekali, juga amat kuatnya. Dalam hal ilmu silat, memang pemuda ini masih menang setingkat dibandingkan lawannya, menang cepat dan ilmu silatnya lebih murni, gerakannya lebih teratur, hanya dalam hal tenaga dia kalah sedikit.
Menghadapi tendangan yang susul-menyusul amat cepatnya ini, Cou Seng terkejut dan mengeluarkan gerengan dahsyat ketika dia terpaksa melepaskan gagang cambuk untuk menyelamatkan pergelangan tangannya dari sebuah tendangan kilat. Cong San cepat melepaskan cambuk dan melempar cambuk itu jauh dari tempat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba lawannya yang bertubuh gemuk bundar itu sudah menubruknya dan tahu-tahu kedua lengan yang berbulu dan besar telah memeluk pinggangnya. Betapapun Cong San mengerahkan tenaga, tetap saja tubuhnya terangkat ke atas dan di banting!
"Brukkk!”
Tubuh Cong San terguling-guling dan kembali raksasa gendut itu menubruk. Namun sekali ini Cong San yang merasa sakit-sakit pinggul dan punggungnya, telah siap dan kakinya menendang dari bawah.
"Desssss!"
Tubuh yang sedang menubruk maju itu kena ditendang dadanya. Raksasa itu terbatuk-batuk dan napasnya seperti akan putus. Ternyata dia kuat sekali karena ketika Cong San meloncat bangun dan memukul ke arah ulu hatinya dengan pukulan keras, raksasa itu masih dapat mengelak miring dan tahu-tahu lengan kanan Cong San sudah ditangkapnya. Dengan jurus ilmu gulat yang tidak dikenal Cong San, tahu-tahu lengan itu dipelintir dan tubuh Cong San sudah ditelikung, hendak dipatahkan sambungan lengan dari pundaknya!
Cong San merasa betapa pundaknya nyeri bukan main. Cepat dia membalik, mengendorkan lengan kanan yang hendak dipatahkan, jari tangan kirinya menyambar dan menotok pinggang lawan karena keadaan tubuhnya sudah dihimpit ke bawah. Sedetik saja dia terlambat tentu sudah terlepas sambungan lengannya dari pundak! Totokan itu membuat tubuh Cou Seng tiba-tiba lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cong San untuk merenggut lengannya terlepas, kemudian secepat kilat dia menamparkan tangan kirinya ke arah kepala lawan yang masih lemas dan belum pulih kekuatannya itu.
Kalau tamparan itu mengenai sasaran, betapa pun kebal tubuh Cou Seng, tentu akan pecah kepalanya. Akan tetapi, Cou Seng bukanlah seorang lemah dan dia sudah mengalami banyak perkelahian mati-matian. Biar pun kepalanya pening dan tubuhnya lemas akibat totokan di pinggangnya tadi, melihat datangnya tamparan, dia sempat melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan sehingga jalan darahnya pulih kebali.
Ketika Con San meloncat mengejar dan mengirim tendangan, tangan kirinya menyambar. Ia memang ahli dalam ilmu gulat yang menggunakan kecepatan gerak jari tangan untuk menangkap bagian tubuh lawan. Kini jari-jari tangan kirinya berhasil menangkap tumit kaki Cong San yang menendang, lalu menggunakan tenaga sentakan karena untuk memegang terlalu lama pun berbahaya baginya.
Cong San mengeluarkan seruan kaget. Untuk menjaga kakinya yang bisa terkilir atau bahkan patah, dia tidak melawan, bahkan mengikuti gerak putaran lawan sehingga tubuhnya terbanting ke kiri. Terbanting keras namun cepat dia melanjutkan bantingan itu dengan loncatan ke atas berjungkir balik beberapa kali. Setelah dia meloncat turun, dia melihat Cou Seng sudah lari. Celaka, pikirnya, kalau setan itu memanggil kawan-kawannya, dia dan Yan Cu akan tertawan kembali! Cepat dia mengambil sebuah batu dan dengan kepandaiannya menyambitkan senjata rahasianya, batu itu melayang ke arah tubuh Cou Seng.
"Aduhhh...!"
Tubuh raksasa itu terguling. Cong San cepat meloncat dekat dan hampir saja dia menjadi korban tipu muslihat Thai-lek Sin-mo. Ketika pemuda ini membungkuk, tiba-tiba kedua tangan raksasa itu menyambar ke atas hendak mencekik leher.
"Aihhh...!"
Cong San cepat menggunakan tangannya, bukan menangkis karena dia sudah maklum akan kekuatan kedua tangan yang sudah menyentuh kulit lehernya sehingga tangkisan mungkin takkan menyelamatkan lehernya yang tentu akan remuk oleh cengkeraman lawan. Sebaliknya dia menggunakan kedua lengan lawan dekat siku. Pemuda murid Siauw-lim-pai ini memang ahli totok jalan darah karena sepasang senjatanya, Im-yang-pit memang merupakan senjata untuk menotok. Tentu saja totokannya tepat mengenai sasaran sehingga kedua lengan lawan menjadi lumpuh dan cekikan itu pun terlepas.
Cou Seng memang hebat sekali ilmu gulatnya. Kedua lengannya sudah lumpuh untuk sementara, akan tetapi kedua kakinya tidak dan sebelum Cong San tahu apa yang akan dilakukan oleh jago gulat yang lihai ini, tahu-tahu kedua kaki raksasa gendut itu sudah membelit dan "menggunting" kedua kakinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, tubuhnya terguling menindih tubuh Cou Seng.
Hebatnya, raksasa gendut ini biarpun perutnya gendut seperti kerbau, ternyata gerakan tubuhnya di atas tanah cepat bukan main karena begitu lawan roboh karena dia "sengkelit" kakinya, dia sudah menggulingkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya sendiri yang besar dan berat sudah menindih malang pada tubuh Cong San!
Dalam keadaan rebah tertelungkup ditindih tubuh sebesar Thai-lek Sin-mo yang masih menggunakan tenaga itu sama saja dengan ditindih tubuh seekor gajah sehingga Cong San sampai tak mampu berkutik!
Masih untung bagi murid Siauw-li-pai itu bahwa kedua tangan lawannya masih setengah lupun, karena kalau kedua tangan lawannya sudah pulih tenaganya, dalam keadaan tertelungkup dan terhimpit itu tentu saja lawannya akan dapat mengirim pukulan maut dengan amat mudahnya!
Cong San cepat menjangkau untuk meraih dan memukul, akan tetapi jago gulat itu sudah memperhitungkan ini sehingga dia menghimpit tubuh bagian bawah lawan, dan kedua tangan Cong San tidak dapat memukulnya. Dalam keadaan amat berbahaya ini, Cong San tidak memperdulikan lagi akan penuturan kaum persilatan karena lawannya pun menggunakan ilmu gulat. Ia mencengkeram ke atas dan berhasil menjambak rambut lawan yang terurai lepas, terus menarik rambut itu sekuatnya.
"Wadouuhhh...!"
Kulit Thai-lek Sin-mo boleh jadi kebal, akan tetapi kalau akar-akar rambutnya hendak tercabut, sakitnya bukan kepalang dan terpaksa dia menjulurkan kepalanya agar tidak terlalu keras tertarik. Namun gerakannya inilah yang mencelakakannya karena kini tangan Cong San dapat bergerak cepat, melepas rambut dan jari tangannya di tusukkan ke ubun-ubun lawan.
"Crokkk!"
Tiga buah jari tangan pemuda itu amblas memasuki batok kepala kurang lebih lima senti dalamnya, menembus otak. Teriakan dahsyat keluar dari mulut Cou Seng, tubuhnya berkelojotan dan nyawanya melayang. Cong San keluar dari himpitan tubuh berat itu, memandang dan setelah merasa pasti bahwa lawannya tewas, dia lalu lari menghampiri Yan Cu.
Melihat keadaan gadis yang telanjang bulat, Cong San cepat menyambar pakaian gadis itu dan dengan menahan debaran jantungnya serta menahan agar matanya tidak terlalu liar memandang tubuh itu, dia mengenakan pakaian pada tubuh Yan Cu sedapatnya. Yan Cu membantu sebisanya dengan gerakan tubuh karena kedua tangannya terbelenggu ke belakang sedangkan kedua kakinya masih terbelenggu pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar