*

*

Ads

FB

Selasa, 30 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 168

"Tidak! Keng Hong, jangan mendengarkan dia! Aku mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku, karena itu, aku tetap ingin melihat engkau sebagai seorang gagah yang patut kubela sampai mati! Kalau engkau menyerah kepada iblis betina ini, berarti engkau menodai cinta kasih antara kita!"

Mendengar ucapan yang bersemangat, Keng Hong tertawa dan menoleh kepada Cui Im, lalu berkata penuh ejekan,

"Kau dengar sendiri, Cui Im! Kekasihku, pujaan hatiku Sie Biauw Eng adalah puteri dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong yang mewarisi watak gagah perkasa ayahnya, tidak seperti engkau yang rendah budi! Kalau engkau mau membunuh aku dan Biauw Eng, silakan. Dalam kematian pun kami berdua akan masih mencinta! Tidak ada kekuasaan di dunia dan akhirat yang akan dapat memisahkan cinta kasih kami!"

Pucat wajah Cui Im mendengar ini. Celaka, pikirnya. Dia sudah mengorbankan perasaan, sudah mengobati kepedihan hati Biauw Eng dengan pengakuannya, dengan harapan agar Biauw Eng suka membujuk Keng Hong menyerahkan ilmu itu demi kebahagian dan kehidupan mereka. Siapa kira, dua orang itu demikian keras kepala! Ia mengepal kedua tangannya, ingin sekali pukul membunuh dua orang yang kini makin dibencinya itu.

Akan tetapi wajahnya yang pucat itu menyeringai dan dalam keadaan seperti itu, kecantikannya berubah menjadi serem menakutkan, seperti wajah iblis betina yang haus darah.

"Keng Hong dan Biauw Eng! Aku masih bersabar terhadap Keng Hong mengingat akan hubungan cinta kasihnya denganku dahulu, dan aku bersedia memaafkan Biauw Eng karena mengingat akan hubungan persaudarann. Akan tetapi kesabaran ada batasnya! Kalau engkau suka menurunkan ilmu itu kepadaku Keng Hong, bukan hanya engkau dan Biauw Eng yang akan bebas, melainkan juga Gui Yan Cu dan Yap Cong San. Akan tetapi kalau engkau menolak, berarti bukan hanya kalian berdua yang akan mati tersiksa, juga kedua orang muda itu!"

"Ha-ha-ha! Mereka berdua pun adalah dua orang gagah perkasa yang mengangap kematian seperti pulang ke kampung halaman!" Keng Hong menantang,

Dan sesungghunya pemuda ini bukan hanya omong kosong atau bicara besar, karena dia sudah memperhitungkan bahwa Cui Im tidak akan mudah begitu saja menyerah sebelum kehendaknya dipenuhi maka tidak akan membunuh mereka secara tergesa-gesa, sedangkan sebaliknya, sekali kehendaknya tercapai, tentu Cui Im akan membunuh mereka tanpa di tunda-tunda lagi. Selain ini, dia pun sudah bersiap sedia untuk turun tangan apabila keadaan sudah mendesak dan tidak ada jalan lagi untuk mengatasinya.

Akan tetapi tiba-tiba Cui Im tertawa, suara ketawanya bergelak menyeramkan seperti suara kuntilanak menangis karena kehausan darah.

"Mereka kini hampir mati, dan engkau masih bicara tentang kegagahan mereka? Aku telah menyerahkan gadis ayu yang menjadi sumoimu itu kepada Thai-lek Sin-mo. Hi-hi-hik,. Engkau tentu tahu siapa Thai-lek sin-mo Cou Seng, si raksasa yang tubuhnya seperti gajah! Hi-hi-hik, kalau tidak ada urusan dengan kalian disini, ingin sekali aku menyaksikan betapa Yan Cu menggeliat-geliat digagahi oleh raksasa itu. Mungkin saat ini sedang merintih-rintih atau mungkin juga tidak mampu. Gadis mana yang akan dapat bertahan terhadap Thai-lek Sin-mo? Sayang, aku masih banyak urusan, terutama sekali denganmu, Biauw Eng. Engkau keras kepala, sepatutnya dihukum seperti yang diderita Yan Cu. Akan tetapi Yan Cu masih untung setidaknya menerima penghinaan dari seorang di antara Iblis-iblis Tembok Besar. Adapun engkau, engkau akan kuberikan kepada dua orang raksasa kasar yang lebih rendah derajatnya daripada dua ekor anjing. Di sini! Di kamar ini dan engkau akan menjadi saksinya, Keng Hong! Engkau dan aku, hi-hi-hik! Kira berdua akan menikmati pemandangan yang amat mesra! Hi-hi-hik!"






Biauw Eng dan Keng Hong terkejut bukan main, bukan mengkhawatirkan nasib mereka sendiri, melainkan mengkhawatirkan nasib dua orang teman mereka, Yan Cu dan Cong San. Mereka saling pandang dan menduga-duga, apa gerangan yang terjadi dengan mereka itu? Malapetaka apakah yang menimpa mereka?

Cui Im memang tidak membohong ketika menceritakan tentang Yan Cu. Memang ada saja akal yang aneh-aneh dan keji-keji dalam benak iblis betina ini untuk menyiksa musuh-musuhnya. Menyaksikan sikap mesra Yan Cu terhadap Keng hong, biarpun dia tahu bahwa Yan Cu adalah sumoi dari Keng Hong, namun tak dapat ia tahan rasa cemburu yang timbul di hatinya.

Yan Cu demikian muda dan demikian cantik jelita, rasa cemburu bercampur dengan rasa iri yang menimbulkan kebencian hebat. Oleh karena Yan Cu tidak ada gunanya baginya, maka gadis itu harus dibunuh, akan tetapi selain untuk menyiksanya, juga dia hendak mempergunakan kesempatan itu untuk menyenangkan hati Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang haus wanita pula. Hal ini mudah saja ia tangkap dari pandang mata Cou Seng yang ditujukan kepadanya.

Karena dia sendiri enggan melayani raksasa gendut itu, biarlah raksasa itu memuaskan nafsunya kepada Yan Cu. Dan untuk menyiksa Cong San, di samping membangkitkan gairahnya agar kelak mudah dia merayu pemuda tampan yang menarik hatinya itu, dia mengatur agar Cong San berada di dalam kamar menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Cou Seng terhadap Yan Cu!

Malam itu memang merupakan malam yang menyeramkan, malam yang penuh ancaman mengerikan bagi empat orang muda yang menjadi tawanan di benteng Pat-jiu Sian-ong di lereng Pegunungan Tai-hang-san itu. Mereka berempat tidak tahu bahwa tiga hari yang lalu, Hun Bwee telah membunuh Lian Ci Sengjin dan gadis itu melarikan diri dari benteng.

Pada malam hari itu, Yan Cu yang tadinya di tahan dalam kamar terpisah, didatangi Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang tertawa-tawa dan tanpa banyak bicara raksasa ini memondong tubuh Yan Cu yang dibelenggu kaki tangannya lalu dibawa keluar dari kamar tahanan.

Empat orang penjaga di luar pintu kamar tahanan hanya tertawa dengan pandang mata iri karena mereka sudah menerima perintah dari Cui Im bahwa tawanan yang jelita itu "diserahkan" kepada Thai-lek Sin-mo.

Yan Cu maklum akan bahaya yang mengancam, akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya dalam kempitan lengan yang amat kuat itu, apalagi dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

Sementara itu, Yap Cong San yang merasa prihatin sekali, tidak pernah berhenti dengan usahanya mematahkan belenggu. Dengan pengerahan tenaga sinkang, berkali-kali dia berusaha merenggut belenggu baja yang mengikat kedua tangannya pada tiang di dalam kamar tahanan, namun belenggu itu amat kuat sehingga semua usahanya hanya mengakibatkan kulit kedua pergelangan tangannya lecet-lecet.

Kemudian dia mengubah cara usahanya. Pemuda ini sambil berdiri lalu menghimpun tenaga dalam, dan mulai bersamadhi untuk mempergunakan ilmu sakti dari Siauw-lim-pai, yaitu ilmu Sia-kut-sin-hoat, semacam ilmu untuk membuat tulangnya seolah-olah terlepas dan tubuhnya menjadi lemas dan licin. Untuk dapat mencapai ilmu ini diperlukan pengerahan hawa murni di tubuh sehingga dia bersamadhi sampai dua hari dua malam, barulah berhasil.

Tulang pergelangan tangannya dapat dia gerakkan sedemikian rupa sehingga dapat tergeser dan dagingnya menjadi lemas sehingga akhirnya dia dapat meloloskan kedua tangannya dari belenggu demikian pula membebaskan kedua kakinya! Namun, setelah berhasil dia harus mengatur napas sampai lama untuk memulihkan tenaga.

Belum lama dia berdiri tak bergerak mengatur napas, tiba-tiba dia mendengar jejak kaki yang berat datang dari luar kamarnya. Ia terkejut, cepat dia mengatur belenggu kaki tangannya sehingga tampak seolah-olah dia masih terbelenggu, dan dia melanjutkan usahanya memulihkan tenaga yang banyak diperasnya untuk mempergunakan Ilmu Sin-kut-sin-hoat tadi.

Pintu kamarnya terbuka dan dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hatinya ketika dia melihat bahwa yang memasuki kamarnya adalah raksasa gendut Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang masih terbelenggu kaki tangannya dan kemudian melemparkan tubuh Yan Cu di atas pembaringan yang berada di dalam kamar itu, di depannya.

"Ha-ha-ha!"

Thai-lek Sin-mo tertawa bergelak dan bertolak pingang menghadapi Cong San. Pemuda ini bersikap tenang dan siap untuk melawan kalau si raksasa gendut ini hendak melakukan kekejian.

"Ang-kiam Bu-tek sungguh aneh sekali! Memberikan si jelita ini memakai syarat pula, harus kulakukan di kamar ini, di depan matamu, orang muda! Ha-ha-ha! Entah apa kehendaknya, akan tetapi di depanmu atau di mana saja, apa bedanya? Hanya kuharap engkau akan cukup sopan untuk memejamkan matamu dan hanya menikmati pertunjukkan ini dengan telingamu saja. Ha-ha-ha! Gadis manis seperti bidadari, kau bersiaplah menerima aku!"

Thai-lek Sin-mo membalikkan tubuh dan hendak menerkam tubuh Yan Cu yang rebah terlentang di atas pembaringan. Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, maklum dia terancam bahaya yang hebat, maka mengambil keputusan untuk melawan mati-matian biarpun tangan kakinya terbelenggu.

Sebagai murid tersayang dari Tung Sun Nio, ia memiliki ginkang yang hebat. Kini melihat raksasa gendut itu melangkah maju dengan kedua lengan berbulu dipentang lebar, baju atas terbuka memperlihatkan dada yang berbulu lebat, muka yang menyeringai mengerikan, Yan Cu menggerakkan tangan dan kaki yang membelenggu ke atas dipan dan sekali mengenjot tubuh, ia telah menendangkan kedua kaki yang terbelenggu itu ke arah pusat Thai-lek Sin-mo!

"Blukkk!"

Serangan ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh Thai-lek Sin-mo yang sedang dimabuk nafsu berahi, maka mengenai perutnya dengan keras.

Namun ternyata raksasa gendut berbangsa Kerait ini memiliki kekebalan sehingga tendangan yang amat kuat itu hanya membuat dia terhuyung dan mengerutkan kening dengan perut terasa agak mulas.

Sebaliknya, karena kaki tangannya terbelenggu, ketika kedua kaki Yan Cu bertemu dengan perut yang gendut dan keras itu, tubuhnya sendiri terbanting kembali ke atas pembaringan dengan keras.

"Ha-ha-ha, engkau benar-benar liar! Aku senang... Aku senang sekali... Makin hebat kau melakukan perlawanan, makin menyenangkan, Manis!"

Cou Seng sudah melangkah maju lagi mendekati pembaringan sambil tertawa terkekeh-kekeh, dari sudut mulutnya yang lebar menetes air liur seperti seekor anjing melihat daging.

"Thai-lek Sin-mo, tahan!" tiba-tiba Cong San berseru.

Sudah gatal-gatal tangan pemuda ini hendak menerjang raksasa gendut itu. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang tenang dan cerdik. Kalau dia menerjang raksasa gendut itu di dalam kamar tahanan, mungkin dia akan berhasil membunuh lawan ini, akan tetapi tidak mungkin akan dapat membebaskan diri dan menolong Yan Cu. Kalau terjadi perkelahian di situ, tentu tokoh-tokoh fihak lawan akan datang dan mana mungkin dia dapat melawan mereka? Pihak musuh amat banyak dan banyak di antara mereka yang memiliki kepandaian amat tinggi.

Thai-lek Sin-mo memutar tubuh seperti singa menoleh.
"Mengapa banyak cerewet? Kalau kau tidak suka menonton, pejamkan matamu!" Bentaknya.

"Thai-lek Sin-mo, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi dan gagah perkasa, siapa kira ternyata engkau hanya seorang pengecut dan penakut!"

Thai-lek Sin-mo mendelik marah dan inilah yang diharapkan Cong San. Lengan yang besar itu bergerak.

"Plakkk!"

Pipi Cong San ditamparnya keras sekali sehingga pemuda ini merasa kepalanya pening dan ujung bibirnya berdarah. Akan tetapi dia menahan sabar dan melanjutkan kata-katanya.

"Engkau hendak menikmati tubuh gadis ini adalah hal yang wajar dan tidak aneh, akan tetapi ke mana perginya sifat gagahmu, sifat laki-lakimu sehingga engkau begitu merendah diri untuk melakukannya di sini, terlihat oleh orang lain? Hal itu akan membuat engkau malu dan hina! Apakah kalau engkau membawa dia itu ke hutan dan menikmatinya di tempat sunyi sepuas hatimu, engkau tidak berani? Takut kalau gadis yang sudah terbelenggu itu melawanmu? Begitu penakutnya engkau yang berjuluk Thai-lek Sin-mo?"

"Yap-twako...!! Kau... Kau...!!” Yan Cu terbelalak marah.

Saking marahnya, Yan Cu kembali meloncat dan menerjang Thai-lek Sin-mo dengan kakinya, akan tetapi sekali ini, raksasa gendut itu cepat menyambar dan mengempit pinggangnya. Kemudian sambil menyeringai ke arah Cong San dia berkata,

"Kalau dipikir, omonganmu benar juga. Tempat ini, terlalu sempit untuk menaklukan kuda betina liar macam ini, ha-ha-ha!"

Setelah berkata demikian Thai-lek Sin-mo lalu membawa Yan Cu keluar dari tempat tahanan sambil tertawa-tawa Yan Cu berteriak-teriak memaki,

"Yap Cong San, kiranya engkau hanya seorang yang berwatak pengecut dan rendah!"

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: